十 ; ishibashi o tataite wataru
knock on a stone bridge before crossing it
.......................................
Untuk apa Haruto membawanya ke kuil pagi-pagi begini?
Hari Jumat pula, bukankah mereka berdua biasa berdoa hari Minggu?
Kano bukannya—menolak, sih, diajak berdoa untuk meminta berkat Tuhan. Hanya saja, Kano heran; Haruto yang biasanya tengil, kok, berubah religius begini?
Kano memikirkan satu kemungkinan yang paling mungkin diantara yang lain.
"Kau pasti sedang menyukai seseorang, ya?" godanya. Haruto yang biasanya akan malu-malu setiap ia goda, kali ini malah menaikkan salah satu alisnya, membalas.
"Tentu."
Mereka berjalan berdua menuju kuil, hawanya dingin; sebab, masih jam tujuh pagi. Masih agak gelap juga. Sepertinya Haruto sangat menyukai orang itu sampai-sampai merelakan dirinya datang ke kuil dengan angin yang tiada henti berembus menambah kedinginan ini. Kano jadi ingin tahu siapa orangnya.
"Siapa orang yang kau sukai? Setidaknya, beri inisial saja, dong, supaya aku bisa menebak." Kano menyengir lebar, tidak takut mulutnya akan beku karena menyengir terlalu lebar. Haruto terkekeh geli. Padahal, ialah gadis yang disukainya; kenapa tidak peka sekali? Seperti laki-laki saja.
"Nanti aku beritahu setelah berdoa."
Kano mengangguk. Suasana menjadi hening kemudian; tetapi, tak lama karena kuil sudah dalam tangkapan mata. Haruto mengajak Kano agar mencepatkan langkahnya supaya bisa berdoa lebih cepat (lebih tenang, mungkin).
Sesampainya di kuil, telinga Kano agak berdengung karena sekelebat ingatan seolah menyerangnya. Seseorang di kuil, yang menunggunya, yang menyebabkan orang di kuil dan dirinya bertengkar, sesuatu tentang ponsel dan bus yang terlewat.
Soal hilangnya ingatan Kano, Haruto belum ingin membawanya ke dokter—karena ia takut bertemu dengan Watanabe Naoki (kendati profesi dokter tersebut adalah dokter bedah umum, jadi tidak ada hubungannya sama sekali dengan bidang amnesia—kecuali ada tambahan kata spesialis dan syaraf di gelarnya, seperti Dokter Spesialis Bedah Syaraf). Haruto sebenarnya tidak ingin memusingkan hal seperti itu, sih, tapi; masa ia biarkan gadisnya menderita?
Tidak, 'kan?
Maka, ia memberitahu pihak sekolah bahwa Kano terlibat kecelakaan untuk kedua kalinya dan meminta cuti selama seminggu. Lalu, mengumumkan pada Hodaka dan Akira kalau Kano terpeleset di kamar mandi, dan entah mengapa; mendadak tidak mengingat semuanya. Alasan yang klise, mengingat bagaimana mereka selalu menonton sinetron seperti ini dan malah terjadi di hadapan mereka sendiri.
Akira tidak sepenuhnya percaya. Ia yang berstatus sebagai pacar baru Kano mencoba mendekatinya. Namun, dilarang oleh Haruto dengan alasan 'supaya Kano beradaptasi terlebih dahulu, baru kemudian diberitahu hal-hal yang gadis itu lupakan'.
Haruto brengsek.
Sejak awal lelaki itu gila, mencintai Kano tapi menyakitinya. Bukankah itu keterlaluan? Pertama; menabrakkan ke truk, kedua; membuatnya amnesia, ketiga; apa? Bisa-bisa perempuan itu meninggal jika berurusan dengan Haruto lagi. Itu yang Akira pikirkan.
Selesai berdoa dan melemparkan koin, mereka berjalan menuju pohon harapan dan mengambil kertas harapan. Kano menulis, 'semoga Arata, aku, keluarga Takahashi, dan orang-orang baik lainnya selalu diberkati dan berumur panjang'.
Polos sekali.
Sementara Haruto menulis—dari ekor mata Kano, tulisannya seperti kaki ayam, tidak bisa terbaca jelas. Kano yang penasaran mencoba mengintip dan meringis saat Haruto menyembunyikannya.
"Mau kuberitahu sesuatu?"
Mata Kano berbinar. Selesai menggantung kertas harapan miliknya, ia menoleh ke arah Haruto, berseru ceria, "Apa? Apa? Kertas harapanmu?"
Haruto menggantung miliknya juga dan berbisik, mendekati Kano. "Semoga gadis yang kusukai sehat selalu dan bahagia, begitu juga aku."
"Wah, itu romantis sekali! Tapi, kau belum memberitau inisial namanya padaku!" Kano memuji sekaligus memprotes Haruto, membuat lelaki itu terkikik.
"Inisialnya FN."
"Eh? Sepertinya familiar. Mari pikirkan siapa yang berinisial itu!" Kano menaikkan bibirnya serta meletakkan kedua jari di bawah dagu, tangan satunya bersidekap; berpose layaknya detektif. Namun, dasarnya seorang Nakano yang pintar di pelajaran saja tidak (ini sarkas, mengingat Kano sedang hilang ingatan), apalagi disuruh memikirkan hal seperti ini, tentu saja ia tidak akan peka. "Huft, aku menyerah! Cepat beritahu saja atau aku pukul!"
Haruto tertawa mendengarnya. Sikap Kano yang seperti ini menggemaskan sekali.
"Aku beri petunjuk sedikit, ia orangnya sarkas dan cantik."
Kano mengerutkan alisnya, seperti ia sekali, tapi, ia tidak cantik. Jadi, sepertinya, bukan dirinya. Hm, kalua begitu, siapa?
Haruto tiba-tiba menyentil kening Kano, membuat gadis itu tersentak.
"Eh? Apa? Aku salah apa?"
"Salahmu karena tidak peka!"
Haruto berkacak pinggang, menatap Kano yang berubah polos mendadak dan sedang memiringkan kepalanya itu, memasang tampang 'tidak tahu apa-apa' andalannya.
"Yang kusukai itu kau, Fujii Nakano!"
Kano melotot.
Apa?!
🍂
"Ibu, Haruto tidak salah. Ia mengangkatku dari kamar mandi dan mengobati lukaku. Ia tidak salah, Bu." Aku berucap lembut pada ibu yang matanya masih berkilat karena marah. Haruto memang tidak salah, 'kan? Itu benar adanya.
"Bukan begitu, sayang. Haruto salah. Ia sangat-sangat salah. Mau Ibu beritahu apa saja yang ia lakukan padamu?" Ibu berujar cepat sambil sedikit terisak.
Aku bingung dengan beliau. Memangnya, apa yang Haruto lakukan padaku sampai-sampai ibu sangat marah—bahkan, menangis? Ibu tidak sadar akan perbuatannya sendiri atau bagaimana?
"Mau aku beritahu apa saja yang pernah Ibu lakukan padaku?"
Aku memutuskan membalas begitu. Kalau yang dikatakan ibu benar, berarti mereka berdua sama-sama tidak sadar diri, 'kan? Tapi, yang dikatakan ibu selanjutnya membuatku terkejut.
"Ibu tahu, sayang. Ibu mengerti, Ibu mengerti Ibu punya banyak sekali salah padamu. Tapi, tolong, sekarang, sekarang saja; Ibu mohon supaya kamu mendengarkan perkataan Ibu," bujuknya. Ibu terlihat pasrah sekali ketika mengatakannya, apa benar Haruto seberbahaya itu?
"Ya sudah, aku akan dengarkan kata Ibu dulu."
Lalu, ibu mulai bercerita tentang Haruto yang diam-diam mengawasiku saat tidur karena ranjangku percis disamping jendela—dan faktor pendukungnya kamar kami sama-sama berada di lantai dua; tentang Haruto yang katanya menabrakkanku ke truk hingga masuk rumah sakit; tentang aku yang sudah putus dengan Arata—aku terkejut sekali saat bagian ini—namun, entah mengapa, perasaan sedihku hanya bertahan sementara; digantikan rasa tidak habis pikir atas perlakuan Haruto padaku; tentang ibu yang curiga Haruto selalu menyakitiku ketika beliau tidak ada, tentang Akira yang menjadi pacar baruku—aku dibuat terkejut kedua kalinya karena; aku berpacaran dengan lelaki yang lebih muda dariku? Tapi, sepertinya kami—aku dan Akira—bisa membicarakannya nanti; tentang aku yang berkunjung ke taman bermain sampai menghabiskan seratus ribu yen lebih—disini aku hampir pingsan; sebab, demi Tuhan itu banyak sekali!
"Apa ... itu benar?"
Aku mempertanyakan kebenaran cerita ibu setelah beliau bercerita. Aku mempunyai krisis kepercayaan karena semua orang selalu berbohong kepadaku, jadi, tidak ada salahnya aku bertanya.
Ibu menunjukkan foto-foto aku dan Akira bersama anak kecil yang tidak aku tahu, kata ibu; anak kecil itu bernama Satou Miyuki, anak dari Satou Asuka, ibu kandung Akira dan Haruto. Kebetulan-kebetulan ini seolah menyerangku dan memaksaku untuk mencerna semuanya; kepalaku berdengung kuat setelahnya. Banyak foto itu berlatar di wahana permainan dan seperempatnya di hotel (yang menjadi pertanyaan adalah aku dan Akira satu kamar?! Mengagetkan sekali). Aku melihat nama yang mengirim foto tersebut di ujung kiri ponsel ibu, tertulis nama Akira disana. Jadi, pacar baruku—aku masih belum terbiasa dengan statusnya—mengirim foto kami kepada ibu? Lagipula, kenapa kami bisa berpacaran, ya? Membingungkan sekali.
"Sewaktu di rumah sakit, ada perawat bernama Yoshida Aki, tidak?"
Gambaranku tentang nama itu adalah seorang wanita berambut biru, berkuncir dua dan tingkahnya seperti tsundere, tetapi; yang ibu katakan selanjutnya mengubah persepsiku. "Betul, ia yang menjagamu. Beliau itu baik sekali, jadi, kapan-kapan, kamu konsultasi tentang ingatanmu saja kepadanya. Ibu yakin ia akan membantumu. Kamu punya kontaknya, kok."
Aku mengangguk mendengarnya. Aku ijin pamit mengambil ponselku di lantai dua dan yang kudapati di kamar tidurku; adalah Haruto yang bersidekap dan bersandar di kasurku.
Tidak tahu harus bersikap apa, aku tersenyum canggung. "Ah, kau belum pulang?"
Haruto menggeleng, raut wajahnya sangat datar sampai mataku buram melihatnya. "Aku ingin menjagamu," ucapnya.
Aku manggut-manggut. "Aku sedang berbicara dengan ibu. Nanti, aku akan kembali ke atas. Hodaka-san tidak khawatir kau belum pulang juga jam segini?"
Haruto tidak menjawab. Aku memutuskan mencabut ponselku—supaya bisa segera pergi—dari kabel charge-nya dan mematung saat Haruto berkata lagi, "Bibi tidak bicara aneh-aneh padamu, 'kan?"
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal (kentara sekali perilaku berbohong milikku). "Oh, apa maksudmu?"
Haruto memejamkan matanya. Ia terlihat kesal. Apa ia mengetahui aku berbohong? Atau ia kesal karena aku mencuekinya? Di kondisi seperti ini, mana ada yang bisa aku percaya. "Sudahlah, lupakan." Begitu katanya.
Aku melangkah keluar dari kamar saat Haruto berujar, "Pokoknya, kalau bibi berbicara aneh-aneh, itu artinya beliau berbohong."
Apa Haruto pikir aku mempercayainya?
Huh,
Ia bodoh.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top