六 ; minu ga hana

not seeing is a flower
.......................................

Harapan Kano tidak terkabul.

Sore ini, di salah satu ruangan sempit nan suram di antara banyaknya bangsal rumah sakit tersebut, Arata meminta putus.

"Aku ... tidak tahan lagi."

Begitu katanya. Lalu, ia anggap kesabaran Kano selama ini apa? Kano sabar sekali menghadapi Arata yang sangat cinta pada buku-buku tebal (yang bisanya hanya membuat ia pusing) itu; Kano sabar sekali menghadapi keegoisan dan kekeraskepalaan Arata yang tidak ingin mengumbar kemesraan mereka di depan umum; Kano sabar sekali diduakan oleh materi pelajaran bernama Matematika itu.

Sekali lagi, ia anggap kesabaran Kano selama ini apa?

Kano tidak merasa telah melakukan kesalahan. Masalah yang kemarin, pun, sudah selesai dan mereka berbicara melalui telepon sampai larut malam; banyak canda tawa. Sekarang, apa yang sedang Arata lakukan? Lelaki itu masih setengah tertidur, ya? Kano menolak percaya bahwa Arata mengatakannya dengan penuh kesadaran.

"Aku ... sangat cemburu melihatmu bersama Haruto. Setiap saat Haruto; setiap detik Haruto. Tengah malam, pun, kau ditemani olehnya. Kau tidak memikirkan perasaanku? Yang membuatmu ada di rumah sakit ini selama sebulan lebih, 'kan, ia, kenapa kau memaafkannya? Dan, malah mencuekiku. Kau pikir aku apa? Soal masalah di kuil, aku sudah menduganya. Kau dimanipulasi, 'kan? Aku yang meminta maaf kepadamu. Kenapa setiap menyangkut lelaki itu, kau biasa saja? Tidak ada dendam mau pun kemarahan? Aku tidak habis pikir."

Kano membungkam. Arata mengetahui kebenaran dari kejadian truk itu?

Lelaki tersebut mengulas senyum sinis, bersidekap. "Benar, 'kan, ucapanku?"

Kano memilin bibirnya cemas, ia hampir menangis. "Kau benar, tapi, soal masalah di kuil; aku yang salah. Aku terlalu bodoh. Gomennasai," lirihnya pelan.

"Jadi, kau mencintaiku atau tidak?"

Kano menjawab cepat, "Tentu, aku menyukaimu. Aku tidak ingin kehilanganmu," dalam satu tarikan napas. Kano menunggu balasan Arata; pesimis mengetahui ekspresi lelaki itu makin keruh.

"Aku bertanya apakah kau mencintaiku, bukan menyukaiku," ujar Arata dingin.

Oke, Kano sungguh takut sekarang. Aura mengintimidasi milik Arata kuat sekali, Kano akan menangis jika saja ia tahu seharusnya tidak boleh (setidaknya melakukannya untuk sekarang akan mempermalukannya). Kano akan diam-diam menangis saat Arata sudah pergi saja, menyisakan luka yang begitu pilu dan akan basah selamanya di hati; bak benalu.

Diamnya Kano mengundang helaan napas jengah dari Arata. "Tidak bisa jawab, 'kan?"

"Kupikir itu dua hal yang sama?"

"Pfft."

Tawa tertahan milik Arata menyinggung Kano. Gadis itu mengernyit.

"Lalu, bisa kau artikan; apa itu cinta, apa itu suka?" lanjut Arata lagi.

Skak.

Kano tidak bisa menjawab.

"Demo, bukankah selama ini aku selalu mengatakan aku mencintaimu?" Kano mencoba membantah. Mereka tidak akan putus. Tidak semudah ini. Kano menyayangi Arata. Masih sangat menyayanginya. Ia tidak rela jika mereka harus putus. Mereka tidak boleh putus. Selamanya.

"Orang gila juga bisa mengatakannya."

Kano terdiam. Ada benarnya. Namun, tidak masuk logika. Menurut Kano, alasan yang dikeluarkan Arata tidak masuk akal. Kano tidak terima.

"Tapi, aku mengatakannya dengan tulus!" seru Kano. Suaranya menggema. Arata tersenyum tipis.

"Kau pikir aku akan mempercayai gadis yang ditemani lelaki lain tiap malam padahal ia memiliki kekasih?"

Kano serba salah. Tertohok. Kenyataan ini mengusiknya. Ia tidak berharap musim gugur-nya akan kacau seperti ini. Ia berharap mapel-mapel yang indah akan menerpanya dan membuatnya tampak seperti model, atau udara dingin yang selalu menyentuh kulitnya tanpa ijin (kendati Kano sudah berlapis-lapis memakai pakaian), atau ibunya yang keras kepala ingin pergi ke pantai meski cuacanya dapat membekukan orang, atau festival-festival yang tidak akan telat dihadirinya lagi.

Kano ... marah.

"Lantas? Kau pikir aku harus apa? Memangnya kau bakal menemaniku tiap malam? Ibu kerja, kau pikir Hodaka-san mau menemaniku? Rumor macam apa yang akan tersebar? Akira masih kecil, ia harus fokus sekolah dan mengabaikan gadis tak berguna sepertiku. Lalu, kau, aku ragu kau akan mau. Makanya, Haruto yang menemaniku," jelas Kano panjang lebar dengan tawa sarkas.

Akira menarik sudut bibirnya tipis. "Kau sendiri tidak pernah bertanya."

Betul juga.

Kenapa Kano tidak pernah berinisiatif—atau, setidaknya, berpikir untuk meminta Arata menemaninya?

Kano sering diduakan, tapi; gadis itu masih prioritas utama Arata.

"Se—setidaknya kita tetap akan menjadi teman, bukan?" sahut Kano pelan. Tangannya menggulung ujung baju-nya, khawatir.

"Tidak ada teman yang memiliki rasa sayang berlebih kepada temannya."

Itu jelas penolakan. Kano tidak tahu harus berkata apa lagi agar lelaki itu tidak memutuskan hubungan mereka, karena—demi Tuhan, Kano mencintainya. Kano mencintai senyumnya yang jarang ia tunjukkan; Kano mencintai tawa tertahan-nya yang malu tertawa langsung di depan pacarnya; Kano mencintai lesung pipitnya yang membuatnya terlihat manis sekali saat berbicara; Kano mencintai bagaimana mata itu memandangnya walau ia kerap kali mengalihkan kepala karena tidak bisa ditatap seperti itu; Kano mencintai wajah memerahnya karena sering ia goda terang-terangan; Kano mencintai segalanya tentang Arata.

"Kalau begitu, bisa temani aku sampai pengobatan terakhir?" Kano buru-buru melanjutkan sebelum mengundang lebih banyak kesalahpahaman, sebab; ia lihat dahi Arata berkerut mengajukan protes. "Hanya sampai pengobatan terakhir, dan setelah itu kau boleh pergi. Kau boleh pergi sejauh-jauhnya dari hidupku. Kau bahkan boleh menghilang supaya aku makin gila karena terlalu mencintaimu, kau juga boleh tidak mengacuhkanku ketika aku menyapamu, kau ... kau dipersilahkan untuk pergi dari duniaku. Selamanya."

"Namun, aku tidak tahu pengobatanmu sampai kapan."

Mata Kano berkaca-kaca, ia siap menumpahkan semuanya jika saja ia ingat untuk tidak bersikap cengeng di depan Arata. "Arata-kun ... sebegitu tidak ingin-nya melihat wajahku, ya?"

Kano menyela Arata yang hendak menjawab, mengusap bulir air matanya yang terjatuh sedikit. "Aku tau, aku menjijikkan. Aku sadar diri, kok, tidak perlu diingatkan dengan satiran seperti itu. Aku tau aku ini menjijikkan sekali, berciuman dengan lelaki yang bukan pacarku. Kau sudah mengetahuinya, 'kan? Kau melihatnya waktu itu, makanya; aku menangis. Kau berpura-pura tidak tahu dan mengasihiku, kau juga tidak menjauhiku yang telah tercemar ini. Kau tidak memukul Haruto yang sudah menabrakkanku ke truk sampai menghabiskan uang Hodaka-san. Aku jadi curiga, kau sebenarnya tidak pernah mencintaiku, ya?"

Dengan tegas—

"Ya."

—jawaban yang dilontarkan Arata menorehkan luka di dadanya. Rasanya sesak. Kano menarik kedua ujung bibirnya sedikit dan menyipitkan matanya.

Kano tidak peduli lagi. Ia akan menumpahkan semuanya. Detik ini; di depan Arata, hatinya kacau.

"Jadi, ucapan-ucapan cinta-mu selama ini bohong? Ucapan rindumu juga? Aku ... bodoh sekali karena bisa tertipu. Ternyata, selama ini; aku cinta sendiri. Kau tidak pernah mencintaiku. Yabai ... desu yo ne?"

Memang gila. Kisah mereka sejak awal sudah gila. Ningen jenius dan ningen biasa. Mereka berdua kebalikan. Arata sempurna—ia bisa memainkan alat musik apa pun: drum, gitar, piano, organ, keyboard, bass, sampai biola; ia bisa memainkan semuanya. Arata juga pandai memasak, bekalnya selalu bervariasi tiap hari (yang Kano tahu karena lelaki itu mengirimkan potret hasil jadi-nya). Arata rajin belajar hingga tak heran ia tidak pernah absen dalam juara satu di sekolahnya. Arata bisa menyanyi; suaranya yang paling Kano rindukan jika mereka sedang berjauhan. Arata bisa mencairkan suasana, mencari topik, mengakurkan orang yang bertengkar; ia bermanfaat bagi orang lain. Visualnya, pun, mengagumkan; bak aktor-aktor yang belakangan ini sedang naik daun.

Sementara Kano, gadis itu tidak bisa memainkan satu pun alat musik. Piano saja ia masih terbata-bata. Kano tidak terlalu bisa memasak. Bekal untuk Haruto saja selalu onigiri; ia seringkali heran mengapa lelaki itu betah. Kano pula tidak bisa bernyanyi, suaranya adalah suara yang teman-temannya ingin dengar di urutan terakhir (dan jika mereka dipaksa). Kano orangnya sarkas. Pantas teman sekelas-nya tidak mendekatinya. Ia gagap sekali kalau harus memulai pembicaraan terlebih dahulu. Kano tidak bisa apa-apa saat melihat orang bertengkar. Pikirnya, itu bukan urusannya sama sekali. Rupa Kano biasa saja—menurutnya. Tidak secantik Hashimoto Kanna yang dielu-elukan banyak orang karena keimutannya.

"Aku tidak bohong ketika aku bilang aku merindukanmu."

"Hiks ...."

Tangisan Kano meledak. Ia yang semula duduk di kasurnya hendak oleng ke bawah, tapi; ditahan oleh Arata, sehingga posisi mereka seperti sedang saling memeluk. Kano meraung-raung sakit. "Hwah ... padahal, baru kali ini aku sangat mencintai orang sampai jadi gila ... kenapa hubungan kami harus berakhir seperti ini ... hiks," racaunya.

"Kita hanya berpacaran beberapa bulan," imbuh Arata.

Kano menatap lelaki itu tidak percaya. "Kau pikir perasaanku bisa dikendalikan? Itu salahmu karena membuatku mencintaimu!"

Arata mengernyit heran. Posisinya selalu serba salah. "Jadi, sebenarnya, kau mencintaiku atau menyukaiku?" Arata bertanya untuk kesekian kalinya.

"Dua-duanya."

"Aku memilih menjawab keduanya," lanjutnya kemudian. Arata mengangguk ragu.

"Ya sudah, kalau begitu aku pulang dulu," pamit lelaki itu mengambil tas ransel miliknya yang ia letakkan di sofa. Kano mencicit kecil,

"Jangan pulang."

"Ha?" respon Arata bingung. Ia tidak terlalu mendengar apa yang gadis tersebut ucapkan.

"Aku bilang jangan pulang!"

Suasana hening. Kano membuka mulutnya, mencecar Arata, "Kau yang bilang bahwa aku tidak pernah memintamu, 'kan? Sekarang, aku memintamu menemaniku!"

Arata tertawa kecil. "Jangan sungkan, kita ini masih pacaran," balasnya sambil mengelus kepala Kano lembut. Buru-buru melanjutkan sebelum gadis itu berharap lebih. "Setidaknya sampai pengobatanmu selesai," begitu.

Kano tidak jadi berbinar. Ekspresinya yang mencebik sekarang terlihat menggemaskan sekali di mata Arata, sampai lelaki itu tidak sadar; tangannya sudah bergerak mencubit pipi tembam gadisnya.

"Awhata-kung?" (re: Arata-kun?)

"Biarkan begini sebentar, ya?"

Kano mengangguk.

🍂

"Kalian jadi putus?"

Kano menggeleng dengan mulut penuh irisan buah jeruk, membuatnya terlihat seperti chipmunk. Gadis itu menghisap jarinya satu-persatu yang terkena cairan dari buah kecut tersebut tanpa merasa jijik. Haruto yang mengupasi kulit buah-nya untuk Kano hanya tersenyum kecil.

"Iie. Kami putus setelah aku sembuh total dan keluar dari rumah sakit," jawabnya. Haruto manggut-manggut; mengerti.

"Kenapa harus repot begitu, sih?"

Kano menyatukan alisnya dan menaikkan bibirnya ke atas, membalas sewot, "Aku yang repot, kenapa kau yang berkelakuan menyebalkan?"

Haruto mengangkat bahu. "Kau keberatan punya harem, tidak?" tukasnya membuat Kano terkejut.

"Omong kosong apalagi yang kau katakan?"

"Santai, aku hanya bercanda," tukasnya lagi meredakan keheranan Kano yang tidak habis pikir dengan pikiran acak lelaki itu.

"Sudah hampir jam enam, ia sebentar lagi akan datang," Kano tersenyum-senyum menunggu kedatangan orang yang disayanginya.

"Aku tidak peduli."

"Apa aku mengharapkan kepedulianmu?" Kano membalik ucapan Haruto, membuat lelaki itu terdiam. Akhir-akhir ini Kano menjadi lebih sarkas dan kejam, kata-kata yang ia keluarkan selalu menyakitkan (dan benar adanya). Sebelumnya juga begitu, sih; namun, kali ini bertambah dua kali lipat. Haruto harus ekstra sabar menghadapi perempuan yang cocok disebut ular ini.

"Aku serius soal omonganku tadi," celetuknya setelah hening selama beberapa menit. Kano menghela napas, memikirkan bagaimana caranya membebaskan sahabatnya tersebut dari pikiran gila-nya. Haruto bipolar; benar, dan sewaktu-waktu ia bisa menjadi lelaki yang tidak menyenangkan untuk Kano. Kepribadian yang sekarang sangat mencintai Kano; tapi, kepribadian yang satunya membenci Kano dengan sungguh-sungguh—karena kepribadian yang suka dipanggil Haru tersebut menganggap bahwa Kano memberi pengaruh buruk pada saudaranya. Tidakkah itu aneh? Padahal Kano yang sampai ditabrakkan ke truk itu tidak melaporkannya ke polisi hingga kini, ia selayaknya berterima kasih; bukan malah menyakitinya.

"Sefrustasi itu kau?"

"Meski kau putus, aku tetap tidak akan mendapat cintamu, 'kan."

Kano menyeringai. "Itu tahu."

Pintu diketuk selama tiga kali; Kano mempersilahkannya masuk. Haruto yang sedang duduk di kursi kecil di samping ranjang rumah sakit Kano, meletakkan buah jeruk-nya dan menyingkir ke sofa.

Tumben lelaki itu sadar diri.

Yang datang adalah Arata, membawa satu tas kain yang Kano tebak isinya adalah bento. Kano jadi penasaran apakah ia membuatnya sendiri atau membeli. Namun, sepanjang yang Kano kenal, pacarnya itu jago masak, kok. Jadi, tidak menutup kemungkinan bento itu dibuatkan olehnya. Artinya, kalau begitu; ia memakan masakan Arata, hal yang menjadi mimpinya sejak dulu?

"Okaeri," sambut Kano senang. Perempuan itu tersenyum sangat lebar, tidak bisa menahan euforia yang membuncah di dadanya. Heran, saat masih masa damai saja Kano bersikap biasa; tapi, saat diambang putus, gadis itu langsung tidak mau kehilangan Arata-nya. Terkadang kau baru mengetahui seberapa berharganya orang saat ia akan menghilang, ironi sekali.

"Daijobu desu ka?" tanya Arata, laki-laki tersebut menarik kedua sudut bibirnya sedikit, menepuk-nepuk kepala Kano lembut. Tangannya menyerahkan tas kain yang dibawanya dan diterima Kano dengan ceria. Ia mengambil semacam kotak, seperti wadah makanan dari dalamnya. Gembira mengetahui isinya merupakan bento.

"Eung. Kau memasaknya sendiri?" tanya Kano, tangan perempuan itu bergerak mengambil sumpit dan memakan telur gulungnya terlebih dahulu. Selanjutnya memakan ayamnya; kemudian tempura; berakhir memakan nasi bersama lauk pauknya, lalu yang terakhir memakan saladnya.

Rakus. Untung cantik.

"Tidak." Jawaban Arata agak membuat Kano kecewa. "Aku tidak ada waktu untuk memasak," lanjutnya tenang. Kano mengangguk.

"Terlalu mempedulikan cinta pertamamu itu?" ejek Kano seraya menutup kotak makannya dan membungkusnya dengan kain kembali. Arata tampak bingung; tidak mengerti maksud Kano. Mereka melupakan Haruto yang ikut penasaran dan menjadi nyamuk sejak tadi.

"Siapa cinta pertamaku?"

Kano memutar bola mata-nya malas mendengar sahutan Arata. Ia yang semula duduk kemudian membaringkan tubuhnya, memejamkan mata dengan bulu mata cantik tersebut. "Buku, dong," ujarnya terkikik kecil. Arata bersidekap, kepalanya memutar sembilan puluh derajat menghadap Haruto, memintanya keluar karena dirinya dengan Kano akan berbicara sesuatu. Kano yang tidak diberitahu lebih dulu menatap pacarnya itu heran.

"Aku sudah bicara dengan doktermu, katanya kau akan sembuh tidak lama lagi."

Mood Kano memburuk.

"Kau hebat. Tertabrak truk, tapi, bisa pulih dalam kurun waktu satu bulan lebih."

Kano bersumpah jika Tuhan tidak menghilangkannya sekarang, ia akan menangis.

"Bagaimana kalau kita putus sekarang?"

"Eh?"

Respon bingung Arata membuat Kano berdecak.

"Ayo putus sekarang saja."

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top