二十四 ; amai mono ni ari
ants go to sweet things
.......................................
Kano pikir karena ia sudah mengetahui fakta bahwa ia pindah ke Jepang saat usia lima tahun dan bukan tujuh, serta sebenarnya ia menyelamatkan Takahashi Haruto tidak sendirian melainkan bersama tiga gadis mapel lainnya, ia akan baik-baik saja. Setidaknya karena ia mengetahui beberapa, ia bisa mencari tahu yang lain dengan santai. Tapi, ternyata, tidak semudah itu. Ia harus mencari tahu semuanya secepat mungkin sebelum rahasia masa lalunya hilang dan orang-orang yang mengetahuinya akan melupakannya. Sebelum semuanya menjadi buram dan Kano tenggelam dalam ketidaktahuan.
"Apa masalah yang mungkin bisa terjadi lagi?"
Itulah yang ada dibenaknya saat ia belum menyadari situasi yang genting ini. Ia terlalu tenang hingga menepiskan fakta bahwa keadaan belum cukup baik untuk diabaikan. Dan, ia, merasa kesal untuk itu.
Sampai lima tahun kemudian.
"Nona Juliet?"
Kano mengerjap, melepaskan kacamata hitamnya, dan tersenyum. Ia mengangguk dan berdiri, berkata, "Terima kasih."
Perawat yang memanggil hanya mengangguk dan kembali sibuk dengan catatannya.
Kano melangkahkan kakinya dengan santai. Hak sepatunya bersinggungan dengan lantai dan itu adalah satu-satunya suara di lorong panjang itu. Kano menyimpan kacamatanya di tasnya, lalu mengetuk pintu di depannya.
"Silakan."
Begitu suara itu terdengar, Kano membuka pintunya dan anak perempuan berambut panjang serta laki-laki yang sedang menulis sesuatu merupakan hal yang netranya tangkap. Kano mendekat ke arah anak perempuan itu dan yang didekati langsung melompat turun dari ranjang yang sebelumnya ia tempati. Gadis kecil itu memeluk Kano kontan, dan Kano terkekeh kecil.
"Rindu ibu atau rindu Bibi?"
"Dua-duanya."
Kano berjongkok, menyamai tinggi gadis itu dan mencubit pipinya pelan. "Menma tidak bisa rindu Bibi saja?"
"Tidak bisa. Nanti Menma dimarahi ibu."
Kano terkikik. "Ya sudah, Menma tunggu diluar dulu, ya. Bibi ingin bicara dengan doktermu."
Menma menunjukkan cengiran lebarnya. "Baik, Bibi!" Ia meninggalkan ruangan luas itu dengan tergesa-gesa dan menutup pintunya. Saat pintu sudah sepenuhnya tertutup, Kano mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang sedari tadi bergeming.
Ia diam, duduk di kursi yang disediakan dan membuka percakapan. "Bagaimana keadaannya?"
"Lebih baik dari sebelumnya."
"Apa ada yang harus diperhatikan?" Kano berpangku tangan, bersikap tidak sopan. Lelaki itu mengernyit sebentar dan berdehem, melanjutkan ucapannya.
"Makanannya. Ibunya terlalu sering memberinya sayur. Kurasa makan makanan instan sesekali itu perlu, supaya tubuhnya tidak terkejut bila suatu saat ia memakannya."
Kano mengangguk-angguk. Ia tersenyum meremehkan. "Bukannya kau sudah memberinya beberapa?"
Alis lelaki itu bertaut.
Kano mendekatkan wajahnya dan menekankan intonasinya. "Kau pikir aku tidak tahu kalau kau mengajaknya bermain beberapa kali? Rindu anakmu?"
Lelaki itu membeku sejenak dan menghela napas. Ia memijit pelipisnya. "Dengar, ya, pernyataanmu memang benar, tapi, hanya beberapa kali." Ia ikut menekankan kata-katanya.
Kano bergerak mundur dan membanting tubuhnya pada punggung kursi yang tidak empuk, membuat lelaki itu tersentak sedikit.
"Berhati-hatilah, bahumu masih belum sembuh," kata lelaki itu, berdecak kesal. Kano merotasikan bola matanya.
"Kau peduli padaku dan bukannya anakmu?" Kano menyilangkan kakinya dan bersidekap. "Kau pikir aku juga tidak tahu kalau kau berpindah profesi dari dokter bedah umum menjadi dokter umum demi anak itu?"
Lelaki itu masih tidak ingin menjawab.
"Watanabe Menma, bukankah cocok sekali?"
Tepat sasaran.
Lima tahun yang lalu, anak kecil yang bernama Yoshida Menma yang Kano temukan di kafe waktu itu adalah anak dari Yoshida Aki, perawat yang selama ini selalu menjaganya. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa Aki yang terlihat baik-baik saja, ternyata, sama sekali tidak baik-baik saja. Mereka sempat bertengkar beberapa minggu sampai Aki datang meminta maaf dan menjelaskan semuanya.
Dari ceritanya, Kano bisa menangkap kalau Menma adalah anak hasil hubungannya dengan Watanabe Naoki, dokter yang sempat meninggalkan trauma buruk dalam pikiran Kano. Mereka berhubungan selama dua tahun lalu putus. Tetapi, Aki malah hamil dan menyebabkan keadaan menjadi rumit. Naoki sempat meninggalkan Aki untuk delapan bulan, sebelum kembali dan membuatnya bekerja di rumah sakitnya. Saat itu, Yoshida Menma berusia dua tahun dan genap empat tahun Aki menjadi perawat. Keponakan yang tidak bisa ditinggalkan olehnya dan membuat hubungan Kano dan Akira agak kacau adalah Menma. Waktu Naoki meninggalkan Aki, itu bukan tanpa alasan, salah satunya adalah pertunangannya dengan Watanabe Eru—yang sudah dijadwalkan sejak perempuan itu lahir.
Kano yang bersimpati, memutuskan ikut membantu Aki merawat Menma dan ini adalah tahun ketiganya menjadi bibi baru bagi Menma.
"Berhenti membahasnya. Aku sudah mencukupi kebutuhannya, apalagi yang kurang?"
Kano tertawa sinis. "Padahal kau juga sayang pada anak itu, kenapa tidak mengaku saja?"
"Mengatakan padanya kalau aku adalah ayahnya? Selamanya tidak akan."
"Keras kepala sekali, sih?" Kano memandang kukunya dan menunjuk Naoki terang-terangan. "Kau, apa yang membuat kau keras kepala begini?"
Naoki menggelengkan kepalanya dan menggenggam tangan Kano, menurunkannya. "Kau tidak sopan."
"Berhenti menghindari pertanyaanku!"
Suasana menjadi hening dan Kano muak.
"Aish, baiklah! Kalau aku menerimamu, apa kau akan mengaku sebagai ayahnya?" tanya Kano mengungkit kejadian dua bulan lalu. Ia tampak seperti tersadar akan sesuatu dan menutup mulutnya menggunakan satu tangannya. "Ah, harusnya kau tidak suka aku lagi, ya. Sudah selama itu soalnya."
"Bagaimana jika masih?"
Kano tersenyum sinis. "Omong kosong. Untuk apa mengejar-ngejarku sampai seperti ini? Tidak ada gunanya." Ia mengambil cermin dari tasnya dan berkaca. "Kenapa semua orang menyukaiku," gumamnya bersenandung sambil merapikan kunciran rambutnya.
"Anak yang bermarga Takahashi itu, apa mereka masih menyukaimu?"
Kegiatan Kano terhenti. Ia lalu mengambil lipstik berwarna merah darah dan mengaplikasikan kembali riasan wajahnya. "Apa itu urusanmu?" Ia menyimpan cerminnya kembali. "Yah, tapi, kalau aku percaya diri, aku bisa bilang mereka masih menyukaiku."
Naoki memejamkan matanya. Ia menghela napas. "Aku minta maaf."
Alis Kano terangkat satu.
"Karena sudah membebanimu seperti ini."
"Aku pernah punya yang lebih buruk," balas Kano santai. Ia beranjak dari duduknya dan merapikan penampilannya sebentar.
"Omong-omong kalau kau masih ingin tahu jawabanku tentang pernyataanmu dua bulan lalu, besok, datang ke tempat biasa."
Naoki mengangguk. "Baiklah. Kau juga berhati-hati."
"Tidak ingin memberi salam perpisahan?" pancing Kano, ia memberi senyum remehnya. Ia lalu duduk di meja dan menyilangkan kedua tangannya menghadap Naoki.
"Menggantungku lalu begini, sebenarnya apa maumu?" Meski begitu, Naoki tetap mendekat dan menyejajarkan tingginya dengan Kano.
Kano tersenyum miring. "Aku sudah bilang, 'kan, kalau aku akan menghancurkan kalian?" Tangannya bergerak memeluk leher lelaki itu dan memajukan wajahnya, berkata tepat di depan bibirnya. Mata mereka bersiteru sejenak dan setelahnya mereka memakan satu sama lain. Di tengah proses itu, Kano mengeluarkan ponselnya dan memotret kegiatan mereka. Sesudahnya, Kano mendorong pria itu menjauh dan menatap hasil jepretannya, berdecak puas.
"Terima kasih atas fotonya yang bagus, aku senang," ucapnya, ia mengelap bibirnya dan melompat turun dari meja.
"Sejak kapan kesepakatannya jadi begini?" tanya Naoki kesal, ia menumpu tubuhnya menggunakan satu tangan yang ia letakkan di meja. Satu tangan yang lain ia taruh di saku celananya.
Kano berakting seolah-olah sedang berpikir, dan membalas dengan nada yang menyebalkan, "Sejak kau menjadi keras kepala dan tidak mau mengaku, mungkin?"
Kano berjalan menuju pintu, memegang kenop pintu, dan mengeluarkan kalimat,
"You should've ended me when you had a chance, stupid."
🍂
"Takahashi Haruto, dari dulu sampai sekarang, kau itu sangat tidak berguna untuk Nakano."
Haruto yang merasa namanya dipanggil, menghentikan kegiatannya berselancar dalam dunia ponsel dan menatap Akira heran. Ia tidak benar-benar bertanya ketika melontarkan, "Apa-apaan itu? Kenapa tiba-tiba membahasnya? Aneh."
Akira mengedikkan bahunya. "Tidak tahu, kalimat itu hanya keluar dari mulutku begitu saja." Mendengar Haruto berdecih, ia melanjutkan, "Oh, ya, tapi, itu memang benar, 'kan?"
"Kau juga sama tidak bergunanya."
Akira mengernyit tidak terima. "Hei! Setidaknya aku pernah menjadi orang yang dicintainya! Sedangkan kau?"
Haruto tidak membalas, dan itu membuat Akira kesal. Akira bergerak turun dari sofa dan melihat melalui tirai jendela, matanya mengedip antusias. "Nakano sudah pulang! Tidak ingin melihatnya?"
"Tidak," jawab Haruto tanpa berpikir. Akira berdecak dan pergi meninggalkan kediaman Takahashi melalui pintu dan hendak menyapa Kano yang turun dari mobilnya.
Itu niatnya sebelum ia melihat seorang laki-laki dan anak kecil di gendongannya keluar dari kediaman Fujii dan menghampiri Kano terlebih dahulu.
Akira menghela napas. Ia mengurungkan niatnya tersebut dan beralih mengamati dari kejauhan. Mereka tampak bahagia, dan Akira merasa sebal karena meski sudah tiga tahun, ia tetap tidak bisa melupakan Fujii Nakano—atau yang sudah resmi melepas marga keluarganya, menjadi Kitayama Nakano. Hanya beberapa saat ia mengamati karena Kano menangkap eksistensinya dan menyuruhnya mendekat.
"Ryu, lihat! Bukankah pamanmu tampan sekali?" Kano berkata sambil mencubit pelan pipi anak dalam gendongan Tatsuya, merujuk pada Akira yang berdiri di sebelahnya.
Ryu, sang anak kecil, mengerjapkan matanya dan tertawa. "Da! Da!"
Kano ikut tertawa dan mengambil Ryu dari Tatsuya, mengelus-elusnya. Tatsuya mengalihkan pandangannya ke Akira, bertanya, "Apa saudaramu ikut acara hari ini?"
"Tidak, kurasa." Akira menggaruk tengkuknya, merasa sungkan. "Tapi, apa aku boleh mengajak teman?"
Tatsuya menepuk bahu Akira. "Tentu! Semakin banyak orang, Nakano akan semakin senang."
"Baiklah, terima kasih." Akira baru saja berjalan keluar dari kediaman Fujii saat Nakano memanggilnya.
"Apakah kamu bisa membantu kami menyiapkan meja? Tidak lama, hanya saja aku harus menjaga Ryu malam ini," pinta Kano, tangannya aktif mengusap-usap punggung Ryu yang masih berusia satu tahun. Akira menggigit bibirnya dan mengangguk, "Aku akan kembali dulu untuk mengambil barang," ucapnya.
Kano tersenyum, "Tidak masalah."
Selepas permintaan Kano untuknya, Akira jadi merasa tidak enak dan menyuruh Haruto supaya ikut acara ulang tahun Ryu yang bertepatan dengan tahun baru itu.
"Haru, apa kau benar-benar tidak ingin ikut acara nanti malam?"
Panggilan baru Akira untuk Haruto adalah Haru, seperti nama kepribadiannya yang lain. Bedanya, sekarang Haruto sudah agak 'waras' dan ia tidak kasar seperti sebelumnya. Sepertinya kepribadiannya yang lain sudah tenggelam sejak Kano memutuskan menikah dan hidup bahagia (yang mereka tahu) bersama Kitayama Tatsuya. Bukankah itu yang sedari dulu diinginkan Haru? Supaya Nakano Juliet menjauh dari Takahashi Haruto dan tidak membuatnya jatuh cinta lebih dalam lagi padanya? Nyatanya, Haru muncul karena Haruto merasa tidak bisa melindungi Kano berkali-kali—lebih tepatnya, gagal melindunginya. Tak pelak malah menjadi senjata makan tuan, Haru membenci Kano. Setelah tujuannya tercapai, ia seenaknya menghilang dari tubuh Haruto, bukannya menyebalkan?
"Tidak. Wanita itu juga ikut acaranya, 'kan?" balas Haruto pelan, menyebutkan wanita yang selalu mengusik pikirannya belakangan ini, karena wanita itu melanggar sumpahnya untuk tidak berhubungan dengan keluarga Takahashi lagi.
Akira tampak menahan napasnya dan berkilah, "Sampai kapan kau mau membenci ibu? Setiap manusia melakukan kesalahan, 'kan."
Mata Haruto menyipit dan mendengkus sinis. "Tapi, ia tidak ada itikad sama sekali untuk meminta maaf padaku," ucapnya sebagai pembelaan diri.
"Terserahlah. Jaga rumah ini baik-baik, aku pergi," putus Akira usai berganti pakaian dan menyimpan ponsel di saku celananya, bergerak keluar dari kediaman Takahashi.
"Ke mana?"
"Menyiapkan acara Nakano. Ingin ikut?"
Haruto terdiam, lantas menjawab, "Tidak."
Akhir-akhir ini, pria itu sering sekali menggumamkan kata tidak.
🍂
Kano sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menghancurkan orang-orang yang menyakitinya dengan Tatsuya, dan ia akan menepati janji itu, satu persatu.
"Hei, lihat, bukankah foto ini bagus?"
Kano menyela Tatsuya yang sedang menggoreng ikan, mengambil atensinya sejenak. Tatsuya mematikan kompor, menutup penggorengan dan melepas celemeknya, menghampiri Kano yang duduk di kursi ruang makan.
"Hm?"
Begitu Tatsuya selesai duduk di sebelahnya, Kano menggelayuti lengannya dan berucap sambil menunjukkan gambar di ponselnya. "Ini. Menurutmu mana yang harus kutunjukkan pada Yoshida Aki?"
Alis Tatsuya bertaut saat ia sepenuhnya melihat foto itu. "Ini kau dan dokter itu?"
"Eung," Kano mengangguk dan menyenandungkan nada. "He is a good kisser, by the way."
"Huh?"
Tatsuya agak tersinggung.
Kano melihat perubahan ekspresi Tatsuya dan terkekeh. Ia mendekatkan dirinya dengan Tatsuya, berujar, "But still, I prefer yours."
Jarak mereka sudah kurang dari satu senti saat tangisan Ryu tiba-tiba terdengar, mengacaukan sedikit perasaan Tatsuya dan membuatnya menggerutu. Kano memberi senyum kecil, beranjak dari duduknya dan naik ke lantai dua melalui tangga, tempat dimana kamar Ryu—yang dulunya adalah kamarnya, berada.
"Ssh, tidak apa, ibu disini," ucapnya begitu ia mengangkat Ryu dan memeluknya, mencoba membuatnya tenang.
Tatsuya menyusul dibelakangnya dengan membawa sebotol susu batita dan menyerahkannya kepada Kano, sementara ia duduk di sofa yang terletak di ruangan itu. Ia bertopang dagu, dengan pelan bertanya, "Apa kau yakin akan baik-baik saja malam ini?"
Usai membetulkan kondisi Ryu dan menidurkannya kembali, Kano barulah menjawab. "Tentu. Apa yang kau khawatirkan?"
"Maksudku, bukankah mereka orang yang menyakitimu ...."
Kano tertawa. "Hey, I'm fine," balasnya. Ia lalu melanjutkan, "I do want to make them suffer like I did. But, if I do that, itu hanya akan membuatku sama dengan mereka."
"I don't understand, what caused you to be this good?"
"Wait, you didn't know what I go through when I was a kid, right?" Kano terkekeh, ia bersandar di dinding dan menatap ranjang yang ditempati Ryu. "We're married as well, and still we don't know much about each other."
"You want to?"
Kano menyahut cepat, "If I can."
I can't because my love is not for you. All the times. Those carrying words are fake. Itu hanya omong kosong. Tentu saja, itu semua ia katakan dalam hatinya.
"Kenapa tidak bisa?"
Kano menggigit bibirnya. Ia tidak bisa menjawab, pun menjelaskan alasan mengapa ia tidak mencintai pria yang sudah menyandang status suaminya selama tiga tahun ini. Kebersamaan atau kedekatan mereka berdua tetap tidak bisa menyingkirkan pemilik singgasana hati Kano selama enam belas tahun ini. Apalagi menyinggung soal masa lalunya yang Tatsuya tahu, tapi, tidak ia beritahu, Kano jadi merasa mustahil untuk memberikan perasaan yang sama kepada laki-laki yang telah menyatakan cinta padanya ribuan kali itu.
Untung saja, Tuhan saat ini berpihak padanya, sehingga bel pintu depan yang berbunyi membuat Kano bergegas untuk membuka pintu. Langit kelabu saat Kano bersua dengan teman-teman lamanya, khususnya Tanaka Aoi dan Hayashi Momiji. Kelompok yang datang itu berisikan empat orang, dua di antaranya adalah nama yang Kano sebutkan tadi, dan dua lainnya adalah Yoshida Aki serta Watanabe Naoki. Entah mengapa, kelompok itu terasa canggung sekali.
"Eh, kalian datang cepat sekali, kami bahkan belum menyiapkan meja," kata Kano basa-basi, bersuka cita dengan Ao dan juga yang lain.
Hayashi menjabat tangan Kano saat wanita itu membuka suara, "Tidak apa, aku ingin ikut membantu; juga ingin melihat keponakanku." Ia mengeluarkan cengiran lebarnya. Kano terkikik.
"Anakku ada di atas kalau kau ingin bertemu." Kano menerima paper bag dari genggaman Aki dan mengucapkan terima kasih. "Bersama ayahnya, tentu saja," Kano melanjutkan, membuat sebagian orang disana tertawa, hanya Naoki yang tidak. Garis wajahnya dingin dan tangannya membeku. Mungkin, karena salju yang turun dan cuaca yang tidak mencapai belasan derajat menyebabkan semuanya. Anehnya, sewaktu jam pulang Kano tadi, belum bersalju dan hanya semilir angin sejuk yang menerpa.
"Kalian bisa masuk." Kano mengingatkan, melihat mereka hanya berdiri di depan kediaman Fujii yang tentunya mengherankan para tetangga di sebelah.
"Ah, tentu," Aki tersadar melangkah masuk, menyadari Naoki dan Kano tidak, tapi, ia membiarkannya. Ia berpikir mereka memiliki sesuatu yang harus dibicarakan, seperti kesehatan Menma atau kesehatan Ryu, ia setengah benar, karena mereka memang memiliki hal yang harus dibicarakan, tapi, bukan itu. Jauh dari ekspetasi Aki.
"So, how was your day?"
Kano mengeratkan jaket tipisnya dan menyilangkan kedua tangannya, tidak repot-repot menatap Naoki untuk menjawab pertanyaannya. "Hell."
Satu kata.
Naoki tersenyum miring, "You wouldn't experience that if you accept me."
"But I'm actually married, bodoh."
Padahal menurut Kano, orang yang bilingual atau otomatis menggunakan lebih dari satu bahasa saat berbicara itu sangat sedikit, ditambah dengan faktor orang Jepang biasanya tidak punya lidah yang fleksibel, sangat sedikit orang multilingual di Jepang. Tapi, ia bisa dengan cepat mengubah-ubah bahasanya, bahkan orang sekitarnya juga.
"Well, for your info, divorce is exist."
Kano bergumam, "I have a son."
"I'm rich."
Kano mengernyit, menolehkan kepalanya menghadap Naoki. Apa itu berarti tidak masalah jika Ryu ikut dengannya dan jadi tanggungannya? Sombong sekali.
Ralat, tidak ada manusia disekitar Kano yang biasa saja. Semuanya memiliki kelakuan yang luar biasa 'atau' dibawah biasa. Dan, yang menentukan standar ini adalah Kano, jadi ia bisa membuat orang-orang disekitarnya tidak biasa saja hanya dengan standarnya.
"I don't really care."
Kano menemukan netranya menangkap satu orang yang melambai kepadanya dari kediaman Takahashi, dan dua orang lainnya yang Kano tidak lihat jelas. Yang melambai adalah Akira karena Kano bisa melihat kacamatanya, sedangkan yang lain, ia tidak begitu berminat mengenali. Kano tersenyum dan melambai balik, menghampiri mereka. Sebelum itu, Kano menepuk bahu Naoki yang terlewat lebih tinggi darinya dan mengatakan sesuatu dalam jarak yang hanya Naoki bisa dengar.
"You are a good kisser, by the way. Keep it up."
Wanita ini selalu tahu cara membuat Naoki tidak bisa berkata-kata.
Naoki kehilangan kalimatnya dan berbisik, "Bitch, please?"
Tapi, Kano menepati janjinya, 'kan?
Untuk menghancurkan orang-orang yang menyakitinya. Dan ia tidak bercanda soal janji itu.
🍂
"Seperti melihat orang poliandri. Keluarga bahagia sekali, bukan begitu?" tanya Ao dengan senyum miring di wajahnya, ia bertopang dagu.
Hayashi terkikik dan menyahut, "Benar juga. Seperti melihat langsung sinetron yang biasanya tayang di televisi."
Aki masuk dalam obrolan mereka, "Itu sebenarnya tidak lucu. Tapi, kenapa aku tertawa?"
"Mungkin humor kita terlalu rendah," timpal Ao lagi, tangannya bergerak menata piring di meja. Hayashi memanggil Shimizu yang berdiri di sudut supaya mendekat dan tidak terlalu canggung.
Hayashi menunjuk Kano yang sedang memasak bersama Tatsuya disampingnya, serta Akira disisinya yang lain membawa Ryu agar anak itu tidak rewel mencari ibunya. Mereka agak ribut sedikit. Ia memperlihatkannya ke Shimizu, menanyakan pendapatnya, "Bagaimana menurutmu?"
Shimizu membalas pelan, "Apanya yang bagaimana?"
Shimizu memang agak sedikit pemalu, tapi, Hayashi tidak menyangka suara yang dikeluarkannya akan sepelan ini. Hayashi berdecak kesal menyadari ketidakpekaan Shimizu. "Bukankah kau tadi datang bersamanya? Apa-apaan itu?"
"Apanya?"
"Kau mau kita jadi saling bertanya begini?"
Shimizu berdehem. "Kurasa pembicaraan ini tidak penting. Aku akan keluar saja."
Dan Shimizu melangkah menuju halaman depan, tidak menghiraukan Hayashi yang memanggil-manggilnya. Shimizu menemukan Takahashi Haruto, duduk di kursi yang ada di tempat itu tanpa khawatir akan hawa dingin yang menyerbu. Shimizu duduk disebelahnya dan bertanya, "Apa kau ingat aku?"
Haruto menoleh, tangan pria itu bersidekap. "Huh? Pacarnya Akira?"
"Tidak, sebenarnya namaku adalah Shimizu Momiji." Shimizu mengoreksi.
Haruto menarik sudut bibirnya sedikit. "Ah, kita pernah bertemu, ya."
Shimizu mengangguk.
"Kau menyukainya, 'kan?"
Keheningan sebentar sebelum Haruto menghela napas. "Ya, dan, kenapa?"
"She wouldn't love you back because you are not with me."
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top