二十五 ; arasoi ni wa takagoe ga katsu

in a quarrel the louder person wins
.......................................

"I just didn't get it. Why are you always chasing me?"

Sekelebat kalimat itu muncul di kepala Haruto seraya perkataan Shimizu memasuki telinganya. Ia tersenyum sinis, menyadari situasi, lalu mengerjap.

"Apa? Aku?"

Haruto tahu apa yang gadis itu maksud dengan menyebut ia mitomania, an abnormal or pathological tendency to exaggerate or tell lies. Seseorang yang suka berbohong. Seseorang yang senang ketika berbohong. Seseorang yang sering mengatakan kebohongan dengan tujuan menyenangkan dirinya sendiri.

Seseorang itu ada banyak sekali, dan Haruto adalah salah satunya. Ia menderita mitomania ... sejak gadis yang ia sakiti berkali-kali memutuskan menikah selepas menyelesaikan kuliahnya.

Dan terkadang, ia menyesal pernah menyakitinya.

Tapi, penyesalan tidak pernah berguna, 'kan?

Tidak ada yang bisa ia lakukan, selain mengamatinya bersama laki-laki yang membuatnya bahagia—atau setidaknya, itu yang diketahuinya.

"Yes, unfortunately."

Haruto mendengkus. "It's not like having mythomania is a bad luck."

"It is," ujar Shimizu menekankan kata-katanya, lalu tertawa. Tawa getir yang terdengar ... sangat menyakitkan.

"Ada apa?"

Haruto bertanya setelah sekian purnama keheningan melanda. Shimizu menghela napas.

"Well, Nakano adalah gadis paling beruntung yang pernah kutemui—dan, mungkin, hanya ia yang memiliki nasib seperti itu di lingkaran hidupku."

Shimizu memulai percakapan, yang sedikit membuat Haruto mengernyitkan alis. "But you never know—,"

Yang segera dipotong oleh Shimizu, sambil terkekeh, "Unless you walk in their shoes." Shimizu mendongakkan kepalanya, menatap langit sekelam hatinya. "I know she has been through a lot this year, and little did I know too, the fact that her marriage isn't even real."

Haruto membelalak. "What?"

Shimizu tersenyum remeh. "Sejelas itu? Dan kau tidak tahu?"

"Aku tidak terlalu peka, by the way," Haruto mengedikkan bahunya. Tatapannya melunak. "And, thank you."

"Untuk?"

"Everything. You saved my life."

Shimizu terkekeh. "Actually, i'm not. Your savior is Nakano. Aku hanya kurcaci yang digariskan Tuhan untuk membantunya." Shimizu mengubah posisi duduknya, tangannya bersidekap. "Apa kau sadar kalau Nakano, ternyata, penyelamat hidup kita semua?"

Haruto diam.

"I'm talking too much, I know. But, melihat ia pertama kali di pantai itu, amazed me. Ia terlalu sempurna. She's beautiful, kind, well-mannered, and ...." Shimizu berhenti. "Empty."

Haruto tahu kemana ini akan berjalan, tapi, ia tidak menghentikannya. Ia suka mendengar cerita tentang Nakano, dan akan selalu.

"She's having that one look when her eyes became blank and, dark. Just that's it. I know that look very well because my mother caused me to stare at everyone like that. But ... when I asked her about her family, they are okay. Her mother loved her, as well as her father too. So I'm wondering why'd she has that look, and she never told me. Lucunya adalah, usia kami baru lima tahun saat itu. Aku sampai berpikir kalau ia adalah reinkarnasi dari perempuan yang sebelumnya punya kisah hidup tragis." Shimizu tertawa mengakhiri ceritanya. Haruto mengangguk-angguk.

"Apa yang tiba-tiba membuatmu bercerita begini?"

"You have that look too, Haruto,"

Haruto tidak bersuara, membiarkan wanita di sebelahnya berbicara lebih lanjut karena ia merasa ucapannya belum selesai.

"Just don't. Don't end up like Nakano, yang merasa balas dendam kepada orang yang menyakitinya itu wajib,

Because you are the one that hurts."

🍂

Prinsip dasar Kano ketika disakiti hanya satu; jangan pernah menyakiti balik. Itu hanya akan membangkitkan kemarahan dalam diri mereka dan iri dari hati mereka, berujung merugikan orang yang tidak ada sangkut-pautnya sama sekali. Orang yang sedang dibutakan itu biasa mencari pembenaran atas hal-hal yang salah yang mereka lakukan—dan ketika mereka terpaksa meminta maaf, mereka akan melakukannya lagi, terus-menerus—tidak berubah sampai ada keinginan dari diri sendiri.

Namun, sekarang, Kano bimbang antara menjadi pihak yang sudah jelas-jelas salah, atau menjadi pihak yang diragukan kebenarannya.

"Memang kenapa kalau aku merasa tersakiti? Aku—memang tersakiti, 'kan?"

Kano menatap nanar pada Hayashi yang tiba-tiba berdiri sambil berteriak, membuat semua orang menatapnya, pun Ryu yang dengan penasaran ingin tahu. Ia mengayunkan tangannya di udara. "Iie! Iie!"

Artinya—tidak! tidak! Yang bermaksud menghentikannya memulai perdebatan. Ryu sepertinya tahu betul situasi ini, ditambah faktor bahwa orang tua-nya seringkali menunjukkan suasana seperti itu saat ada di depannya—mau pun bantingan barang-barang yang cukup membuatnya menangis keras dan anak serta ibu itu berakhir menginap di keluarga Takahashi.

Pernikahan Nakano dan Tatsuya berjalan tidak baik, sebenarnya. Dua tahun bagai mimpi buruk bagi Kano, sekaligus penyembuh dikala dirinya merasa memerlukan seseorang untuk berbagi cerita. Tatsuya ... selalu ada untuk itu. Ia, entah bagaimana caranya, adalah pendengar yang baik, juga support system yang sangat bagus disaat orang di luaran sana tidak punya yang cukup baik. Ryu ... berarti naga, diambil dari nama Tatsuya yang bisa bermakna dua hal; jembatan atau naga. Nama Tatsuya cocok karena jembatan, khususnya, memiliki arti spesial bagi Nakano itu sendiri.

Pernikahan Nakano dan Tatsuya bukan pernikahan penuh cinta, pula bukan juga pernikahan kaku yang biasa dialami para pejabat—it just, somehow, flows. Seperti mereka hidup berdua tidak dalam pernikahan, hanya sebuah kontrakan atau kos yang penghuninya saling bertemu dan bersapa satu sama lain.

Tatsuya menaruh daging yang barusan dipanggangnya ke piring kecil di sebelahnya. Bersikap cuek.

"Apa yang membuatmu berpikir begitu?" Naoki angkat bicara.

Aki melanjutkan, "Kami orang asing, jadi kami tidak tahu."

Lebih tepatnya, tidak ingin tahu. Yang mereka pedulikan hanya Nakano Juliet saja.

Shimizu membuka suara, "Sebelumnya, maaf jika teman saya membuat keributan. Saya Shimizu Momiji, dan ia adalah teman saya, Hayashi Momiji. Kami pamit undur diri sebentar."

Dengan sorot matanya yang seolah kosong, Shimizu dengan paksa menarik Hayashi keluar dari kediaman Fujii menuju halaman depan, untuk sementara. Sebelum keluar, Shimizu sempat mendengar Akira mencegahnya, "Tidak perlu—,"

"Tidak apa." Shimizu tersenyum tipis.

Mereka berdua menghilang dari balik pintu sesaat kemudian. Suasana menjadi hening. Kano berdehem. "Maaf untuk intervensi yang tadi. Silakan lanjutkan makan kalian."

Beberapa orang di meja makan mengangguk, dan hanya Takahashi Haruto yang tidak merespon apa-apa. Ia juga diam saat Hayashi membuat masalah, ia diam sepanjang waktu.

"Kakak tadi ... kenapa?"

Miyuki, yang juga diajak oleh Satou Asuka—ibu Takahashi bersaudara, memberi pertanyaan.

"Tidak ada. Makan lagi, saying." Asuka mengusap rambut ikal anaknya. Miyuki tidak cukup bodoh untuk mengerti situasi, namun, tidak pintar juga untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Usianya sepuluh tahun sekarang.

"Aku sudah kenyang," rengek Miyuki, meletakkan sumpitnya. Nasi di mangkuknya masih tersisa setengah, tapi, Asuka tidak berniat memaksanya memakan lebih. Asuka hanya menarik sudut bibirnya kecil dan ikut meletakkan sumpitnya.

"Kami datang untuk bintang utama acara ini, apa kuenya sudah siap?" Asuka terkekeh kecil, melihat Ryu yang mengayunkan tangannya tinggi-tinggi dan mengoceh tidak jelas. "Lihat, bukankah ia lucu sekali?"

Kano menyahut, "Tentu saja! Lihat gumpalan daging di pipinya itu, seperti bakpao!"

Miyuki menimbrung, "Aku ingin memegang adik!" Kuncir duanya bergoyang heboh saat berlari kecil menghampiri Ryu di babyseat. Ia menyentuh tangan Ryu dan tersentak, raut wajahnya berubah merah. "Menggemaskan! Kenyal! Mama, aku ingin punya adik!"

Tawa-tawa pun mengudara di ruangan yang sudah dimodifikasi untuk memuat lebih dari sepuluh orang itu. Akira menimpali, "Kalau Miyuki ingin adik, jangan meminta pada Mama. Minta Bibi Nakano lagi saja."

Kano yang jaraknya dua kursi dari Akira, langsung melemparnya dengan tisu, mendumel. "Ryu belum cukup besar, kenapa tidak kau saja yang menikah dan punya anak? Kandidatnya bahkan sudah ada." Kano mengedikkan kepalanya ke arah pintu depan, bibirnya bertaut kesal.

"Ah ... si kembar mapel itu?"

Sebenarnya, trio. Tapi, salah satunya sudah mati, koreksi Kano dalam hati. Hatinya mendadak perih.

Ia mengubah topik pembicaraan sebelum melenceng terlalu jauh. "Ah, karena sebentar lagi pukul dua belas, aku akan mengeluarkan kuenya. Kalian boleh bermain dengan Ryu." Jeda sejenak. Sorot Kano menelusuri ruangan itu. Ia terkekeh. "Atau menyiapkan kado untuknya."

Miyuki tertawa paling keras.

🍂

Bulan November lima tahun lalu, tepatnya tanggal tiga belas, merupakan kali pertama pertemuan Kano dengan Arata. Bukan pertemuan penuh tekanan ataupun romantis—biasa saja, hanya biasa. Saat itu, Kano masih menjadi ketua kelas, sebelum berganti tahun ajaran baru pada musim panas. Kano ditunjuk oleh kepala sekolah untuk menyampaikan salam persahabatan kepada sekolah lain. Disitulah Kano dan Arata bertemu. Pertemuan yang singkat, sangat singkat.

"Permisi, apakah anda perwakilan dari SMU Tatsuni?"

Kata Arata waktu itu. Kano mengerjap,

"Ya? Ah, benar." Kano melihat name tag lelaki yang tidak ia kenal itu. "Anda?" tanya Kano langsung.

Arata mengangguk. Ia lalu memerintahkan petugas penjaga untuk membuka gerbang supaya Kano bisa masuk bersama siswa yang ikut mendampinginya. Saat itu, Haruto. Dan satu guru perempuan yang Arata sama sekali tidak kenal.

"Senang bertemu dengan Anda," ucap Arata seraya berjalan berdampingan bersama Kano, bibirnya membentuk senyum. Kano mengulas senyum tipis.

"Vice versa."

Balasnya. Arata terpaku sejenak, sebelum akhirnya mengeluarkan tawa pelannya. Kano mengernyit, heran, namun, tidak berniat mengulik lebih lanjut.

"Anda orangnya simpel sekali, ya."

Kano tidak tahu harus menjawab apa, maka ia berujar, "Terima kasih."

Tidak lama sampai Arata tertarik pada Kano dan mereka resmi berpacaran, satu Januari. Tanggal yang nyentrik dan mudah diingat, melihat itu merupakan hari pertama setelah tahun baru dan hari yang paling atau tidak ditunggu-tunggu di tahun sebelumnya.

Kano menyesal kenapa ia memilih menerima Arata pada tanggal satu Januari. Pikirannya dulu mengatakan bahwa mereka akan bersama selamanya—ini naif, memang, tapi, tidak ada yang bisa menolong pikiran gadis remaja yang baru menginjak sekolah menengah atas.

Lihat, 'kan?

Begitu pukul dua belas tepat, hype dari tetangga-tetangga serta televisi membuatnya luar biasa sakit.

Ia tidak menyukai Tatsuya.

Ia menyayangi Arata.

Siapa yang ia cinta?

🍂

"The moon and the softshell turtle."

Tiga bulan pertama berpacaran, Arata banyak bicara. Setelahnya? Ia jadi sibuk ujian dan temperamennya lebih sensitif. Kano tidak berani mengganggunya. Meski begitu, Arata malah ngambek karena dikiranya Kano menjadi cuek. Bukannya sedari dulu Kano memang cuek?

Kano menelan makanannya, mengangkat alis. "Apa itu?"

"Itu berarti meski mereka berbentuk hampir sama, kegunaannya sangat berbeda." Arata menyumpit pangsit dan memasukkannya ke mulut, mengunyahnya.

"Dan kau bermaksud?"

Akira mengedikkan bahunya. "Tidak ada. Aku tiba-tiba terpikir tentang peribahasa unik itu saat melamun."

Kano mengangguk-angguk.

"Omong-omong, sebentar lagi valentine."

"Lalu?" sahut Kano, tidak peka.

Perlu diingat bahwa kepribadian Kano sejak awal adalah manusia yang menyebalkan dan senang sekali dengan sarkas, dan satu lagi, tidak peka. Hanya saja sejak kejadian truk itu, ia berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi lebih ... ramah.

Setidaknya.

"Kau ingin memberi coklat ke siapa?"

Sebenarnya itu pertanyaan basa-basi, mengingat pertanyaan ini sudah sangat umum ditanyakan ketika pergantian bulan menjadi Februari. Tapi, Arata tidak berharap Kano akan membalasnya begitu serius.

"Tidak. Itu membuang uang. Lebih baik aku gunakan uangku untuk membeli buku soal."

Dulu, Kano itu pintar.

"Kau tidak peka sekali."

Kepintarannya itu tidak sekali-dua kali membuat Arata jengkel.

"Apa? Kalau ingin coklat, kenapa tidak beli sendiri?"

Bahkan mereka sempat bertengkar beberapa minggu karena Arata menyibukkan diri untuk belajar dan tidak ingin bertemu sampai nilainya sempurna.

"Hei, aku ini pacarmu, loh?"

Itu berhasil.

"Lalu?"

Sayangnya, itu menjadi terlalu jauh.

"Bukannya tiap valentine perempuan akan memberi coklat ke laki-laki yang disukainya, ya?"

Ia melampauinya.

"Aku tidak menyukaimu."

Arata kecanduan belajar.

"Kau ... jahat sekali?"

Ia bahkan sudah jarang menyisihkan waktu untuk Kano.

"Dengar dulu perkataanku selanjutnya."

Prioritasnya adalah buku pelajaran.

"Tidak mau, kau jahat."

Nomor dua?

"Aku tidak menyukaimu, tapi, aku menyayangimu. Bagaimana?"

Tentu saja tetap Nakano Juliet yang tercinta.

🍂

Harusnya ketika seseorang—entah siapa itu, Kano tidak ingin memberi tahu siapa orangnya, berbuat dosa, keturunannya tidak perlu terkena dampak dari perbuatan hina yang leluhurnya lakukan pada jaman dahulu itu. Maksud Kano, ayolah, bukankah itu semua masa lalu? Orang-orang yang dibenci karena itu juga seharusnya tidak merasakan diskriminasi yang mereka dapatkan. Kano kesal sekali dengan perilaku menjijikkan itu. Membenci seseorang hanya karena kakek dan nenek moyangnya berjalan di keburukan? Para pengecut sekali, 'kan?

Yah, itulah yang ia katakan.

Nyatanya, pikiran-pikiran yang bersemayam di kepalanya selama puluhan tahun itu berbanding terbalik dengan apa yang dilakukannya sekarang.

"Dasar iblis!"

Teriak Kano hampir menampar gadis kecil yang sudah membuat anaknya terluka itu. Untungnya, ia ditahan Haruto dari belakang sehingga gadis yang sedari tadi menjadi tokoh utama tersebut tidak jadi merasakan telapak tangan mendarat di pipinya dengan keras.

"Maafkan aku, maafkan aku! Aku benar-benar minta maaf, aku salah, jadi tolong maafkan aku! Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi! Aku akan menjauh darinya! Sekali lagi, maafkan aku!" Juliet membungkuk penuh pada Kano yang mati-matian melepaskan kuncian Haruto, sementara Ryu terduduk kelu dibawah bayangan rumah pohon. Ia sekuat tenaga mencoba menggerakkan tangannya guna menghentikan ibunya yang mengamuk, namun, memantapkan kakinya berdiri saja ia tidak bisa.

"Itu karena kau menyuruhnya memanjat pohon, anak nakal! Sekarang tulang-tulangnya patah, apa kau mau menggantikannya, huh?! Apa kau juga ingin aku mematahkanmu?!"

"Hentikan, Kano! Kau sudah keterlaluan!"

Kano tersenyum sinis dan berdecih. Ia menghempaskan lengan Haruto kasar dan berjalan ke arah Ryu, berjongkok di depannya, dan mengelus rambutnya lembut. "Sakit, ya?"

Ryu mengangguk lemah.

"Tenang saja, Mama di sini," kata Kano menenangkan.

Juliet bergumam, meski masih didengar Kano. "Ibu, aku minta maaf ...."

Kano tidak repot-repot menoleh dan memberikan jawaban, karena selanjutnya ia membawa Ryu di tangannya, sangat berhati-hati. Mengabaikan Juliet yang tersungkur di tanah.

"Papa, kalau ia ibuku, kenapa ia begitu membenciku?"

Haruto menelan ludah, membantu Juliet bangkit. "Ia tidak membencimu."

"Aku tidak suka ibuku, Pa. Bibi Nakano ... berubah."

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top