二十三 ; nanakorobi yaoki
fall seven times and stand up eight
.......................................
"Hello everyone! My name is Nakano Juliet and from now on I will go to school here, mohon bantuannya!"
Bisik-bisik di kelas itu menyertai,
"Apa yang ia ucapkan?"
"Aku tidak paham."
"Wajahnya orang Jepang, tapi, kenapa ia berbicara bahasa asing?"
Kano tersenyum simpul. Ia masih belum terlalu lancar Bahasa Jepang dan disuruh ibunya segera bersekolah; itu menyebalkan. Bagaimana ia akan paham seluruh materinya jika bahasanya saja ia tak bisa?
"Apakah namanya ... Nakano Ju-ri-et-to?"
"Nama yang aneh."
"Tidak ada marganya?"
"Wow, ia pasti tidak lahir di Jepang."
Bisik-bisik tersebut segera berhenti ketika wali kelas barunya meminta perhatian. Wali kelas itu berkata, "Anak-anak, teman kalian, Nakano Juliet ini lahir di Inggris sehingga kesulitan berkomunikasi di Jepang. Mohon membantunya, ya."
Anak-anak kelas bersorak dan tertawa. Mereka terlihat bahagia sekali. Beda dengan Kano yang mengerut kebingungan dan tidak tahu harus duduk dimana. Dipandu wali kelas itu, Kano dipersilahkan memilih tempat duduk yang kosong, sementara kursi yang kosong hanya tinggal dua. Kano menimbang-nimbang sebentar. Salah satunya, disebelahnya, ada anak perempuan yang bahkan sudah tersenyum kepadanya sebelum ia memilih. Kano mengernyit melihatnya, merasa bahwa anak itu akan sok kenal sok dekat, Kano memilih kursi satunya. Sebelahnya adalah anak laki-laki yang cukup pendiam dan tidak repot-repot menghabiskan waktu untuk sekadar meliriknya.
Kano menghela napas lega. Setidaknya tidak akan ada yang mengganggunya untuk saat ini.
Tidak tahunya, anak laki-laki disebelahnya terus menoel bahunya, membuatnya menggeram kesal. "What's wrong with you?"
Kano kelepasan berbicara dalam bahasa Inggris, yang tentunya tidak akan dipahami anak di sebelahnya ini. Anak lelaki itu dengan polos berkata, "Apa artinya?"
Kano sedikit mengerti apa yang dikatakannya, dan ia membalas. "Apa yang salah dengan Anda?" Namun, karena bahasanya baku, anak itu jadi tertawa.
"Kau menggunakan bahasa yang baku sekali."
Kano tertawa. Ia tidak mengerti apa yang anak itu katakan, jadi ia hanya mengiyakannya saja.
Begitu suasana hatinya sudah agak bagus, anak itu kembali mengganggunya. Kano berdecak kesal, seharusnya ia memilih tempat duduk yang calon teman sebangkunya adalah perempuan itu saja. Kano menoleh dan bertanya, "What?"
Anak lelaki itu mengerjap. "I'm Kitayama Tatsuya, and you?"
Kano tertegun sesaat sebelum tersenyum kecil, membalas, "Nakano Juliet."
Kano mengucapkannya dengan aksen Inggris sehingga Tatsuya kesulitan melafalkannya. "Apakah Ju-ri-e-to?"
Kano mengangguk. "Eung."
Mereka menyimak pelajaran dengan tenang. Tatsuya yang merasa bosan karena sudah memahami materi yang diulang-ulang itu beralih memperhatikan Kano, bertopang dagu.
"People usually call me Nakano."
Tatsuya diam sesaat. "Ah, Nakano, ya?"
Kano mengangguk lagi.
"Is it okay if I call you Kano? Karena kamu terlihat cantik dengan nama itu."
He giggles as if it's something funny. Padahal menurut Kano, tidak sama sekali. Ia mengulas senyum sungkan dan berkata, "Anda manusia pertama yang memanggil saya begitu, berarti."
"Manusia pertama? Aku beruntung, dong." Tatsuya menampilkan cengiran lebarnya dan mengalihkan pandangannya ke bukunya, menghitung dengan cermat.
Mereka baru ada di tingkat taman kanak-kanak, tapi, Tatsuya telah menyelesaikan soal anak kelas empat dengan mudah. Kano pikir; mungkin, tidak buruk juga berteman dengannya, sampai Kano melihat bekal anak itu—Kano menarik perkataannya. Ia tidak akan bisa berteman dengannya!
Kotak bento Tatsuya adalah alumunium dengan tinta yang pas dan menu makanan yang warnanya bagus dan cukup mencolok. Tatsuya membawa berbagai macam makanan di bekalnya, dan itu dengan cepat membuatnya didekati anak-anak sekelas. Namun, bukannya memberi mereka yang meminta bekal itu sedikit, alih-alih Tatsuya malah memanggil nama depan Kano terang-terangan dan mengajaknya makan bersama.
"Kano-chan, ayo makan bersama!"
Itu sukses membuat sekelas merasa iri dan bertanya-tanya. Baru duduk satu materi pelajaran, dan mereka sudah saling memanggil nama depan? Kira-kira itulah yang ada di benak mereka saat itu.
Tatsuya tidak mempedulikannya dan melanjutkan berbagi makanan dengan Kano, yang terpaksa Kano makan untuk menghargai pemberiannya. Tatsuya merupakan teman pertama yang didapatnya di Jepang, dan ia merasa bersyukur akan hal tersebut. Perbedaan kasta mereka cukup menjadi konsen—yang kemudian tidak menjadi masalah lagi sebab orang tua Tatsuya sangat baik.
Kano senang berteman dengannya.
Tapi, takdir tidak.
🍂
"Hei, Kano!"
Kano menoleh, terkekeh. "Apa kau sudah kembali memanggilku tanpa -chan lagi?"
"Ya, kurasa namamu tidak cocok ditambah -chan."
Kano mengernyit. "Bukankah orang Jepang sudah otomatis mengucapkan embel-embel begitu, ya?"
Tatsuya mengedikkan bahunya. "Tidak tahu, Kak. Umur saya masih enam tahun, hehe," lalu ia tertawa kecil.
"Umur saya juga." Kano menyahut dan mereka tersenyum bersama. Ibu Tatsuya menginterupsi dan membawa nampan yang berisi camilan dan susu vanila. Wanita itu meletakkannya di atas meja ruang tamu yang sedang ditempati Kano dan Tatsuya saat ini.
"Ara, Kano-chan, masih betah disini?"
Kano mengangguk, tersenyum sopan. "Benar, Bibi."
Ibu Tatsuya berjongkok, menyamai tinggi Kano dan menepuk bahunya, "Tidak perlu terlalu canggung terhadap saya, oke?" Wanita itu berdiri dan mengelus-ngelus kepala Kano lembut.
"Siap, Bibi." Kano terkikik.
"Sepertinya kau sudah akrab sekali dengan ibuku," ujar Tatsuya begitu ibunya meninggalkan ruangan luas bernuansa prancis modern itu. Kano beranjak dari sofa dan mengambil choco bars yang disediakan, mengunyahnya pelan.
Kano menyengir lebar. "Tentu. Asal kau tahu, aku ini pandai sekali mengambil hati manusia," bangganya, menepuk-nepuk dadanya seperti sedang melakukan salam hormat. Tawa Tatsuya pecah.
Ia mengusap air matanya dan berkata, "Aku tidak bisa menyangkalnya. Soalnya, kau sendiri sudah mengambil hatiku."
Kano tersedak. "Kau ini, kecil-kecil sudah meresahkan."
"Aku akan tambah meresahkan kalau kau tidak mengembalikan hatiku," ucap Tatsuya, sesaat kemudian tubuhnya melompat dan mengacak-acak rambut Kano gemas. "Kalau kau duduk dan aku berdiri begini, jadi kelihatan kalau aku lebih tinggi darimu. Makanya, jangan berdiri sendiri, ya! Aku bakal selalu ada untukmu," tambahnya.
Kano tertawa. "Tentu saja! Kita, 'kan, sahabat selamanya?"
"Tapi, tidak ada, tuh, sahabat yang mengatur rambut sahabatnya." Tatsuya terkikik, bermaksud mengejek Kano.
Pipi gadis itu memerah sedikit, tapi, tidak berlangsung lama. Karena selanjutnya ia tersenyum sangat lebar. "Kalau begitu ingin bergantian? Aku jamin rambutmu akan botak kalau kuurus."
Mata Kano tenggelam dalam senyumnya. Tatsuya menjauh dan bergidik, "Uh, memangnya ada, ya, orang yang bisa bilang hal menyeramkan begitu sambil tersenyum?"
Kano bersiap berdiri, "Ada, kok!"
"Dasar tidak waras!"
Setelahnya mereka kejar-kejaran dan ruang tamu keluarga Kitayama menjadi berantakan.
🍂
"Liburan? Aku ingin sekali! Kano, bagaimana denganmu?"
"Uh, memangnya aku bisa ikut?"
Tatsuya beralih menatap kedua orang tua-nya. "Mochiron! Kano bisa ikut, 'kan, Ayah?"
Lelaki yang dimaksudkan Tatsuya beralih menatap Kano. Auranya mengintimidasi. Kano berdehem. "Ano, perkataan Tatsuya tidak perlu terlalu dipikirkan." Gadis itu lalu menunduk.
Suasana sempat hening sebentar sebelum lelaki itu membuka suara. "Tentu."
Tatsuya bersorak, "Yay! Terima kasih, Ayah."
"Terima kasih, Tuan." Kano mengangguk sopan.
Ibu Tatsuya bergerak maju dan menepuk-nepuk kepala Kano, "Tidak perlu keberatan. Kami senang, kok, ada Kano-chan."
"Tapi, Kano-chan harus tanya orang tua dulu, ya?" lanjut wanita itu.
Kano mengangguk antusias, "Baik! Terima kasih, sekali lagi!"
Ibu Tatsuya tertawa. "Tidak masalah."
🍂
"Bagaimana, Kano? Diperbolehkan?"
"Liburannya?"
"Aku bertanya apalagi memangnya?"
"Err, tidak ada."
Tatsuya berdecak sebal. Ia bersidekap dan itu membuatnya terlihat menggemaskan. Pipinya menggembung. "Jadi, diperbolehkan, tidak?"
Kano menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pertanda ia ragu untuk mengucapkan jawabannya. "Etto, Tousan membolehkan, tapi, tidak dengan Kaasan."
Tatsuya mengernyit. "Kau memutuskan?"
"Untuk tidak pergi. Maafkan aku." Kano menundukkan kepalanya.
Tatsuya tampak kecewa. Pria kecil itu menghela napas dan menurunkan tangannya yang sebelumnya ia taruh di dada. "A-aku, aku akan bujuk ibumu."
Pernyataan Tatsuya yang langsung membuat mata Kano membulat. Kano memegang bahu Tatsuya dan menggucangnya pelan.
"Apa maksudmu?" tanya Kano, ia menggelengkan kepalanya. "Kau sendiri bukannya tidak pernah akrab dengan Ibuku?"
Tatsuya menggigit bibirnya.
"Hei, you are the gifted, but why are you so sad?" celetuk Kano membuat Tatsuya mendongakkan kepalanya.
Tatsuya mengernyit. "Apa maksudnya dengan aku terberkati?"
Kano berdecak. "Bagaimana kau tidak sadar? Kau kaya, kau dimanja, kau tampan." Telinga Tatsuya memerah saat Kano memujinya tampan. Kano melanjutkan ucapannya, "Dan kau pintar. Katakan apa yang kurang darimu? Bukankah Tuhan begitu memberkatimu?"
Tatsuya terlihat berpikir sejenak. "Aku pendek. Tapi, ya, mungkin apa yang kau bilang itu benar."
"Iya, 'kan?" Kano tersenyum puas. "Makanya, jangan sedih kalau aku tidak ada. Kau akan baik-baik saja tanpaku."
Meski dalam hati, Kano ingin sekali pergi.
Perasaan Tatsuya memburuk. Ia mulai gelisah.
"Ba-bagaimana kalau ke pantai dekat sini? Apa ibumu akan membolehkan?" Tatsuya bertanya sambil menggigiti kuku ibu jarinya.
Kano tertegun. Ia menyadari sesuatu. "Benar juga! Ibuku mungkin tidak memperbolehkan karena beliau khawatir aku akan kenapa-kenapa kalau pergi terlalu jauh. Terima kasih sarannya, Tatsuya!"
Tatsuya menunjukkan cengiran andalannya. "Kapan saja, Kano!"
🍂
Pada akhirnya, mereka adalah anak-anak polos yang tidak mengerti kejamnya dunia. Alasan Yukino terlalu takut dan tidak suka anaknya berteman dengan keluarga Kitayama merupakan alasan yang valid dan tidak bisa dibantah, menurutnya. Keluarga Kitayama adalah keluarga konglomerat, dan seperti biasa, konglomerat pasti punya musuh. Dalam dunia bisnis, 'bunuh-membunuh' itu lumrah. Jadi, tidak menutup kemungkinan anak tunggal keluarga Kitayama akan terseret dalam konflik orang tua-nya, begitu juga dengan teman-teman disekitarnya. Kalau sudah begini, Yukino tidak bisa berbuat apa-apa.
Yukino bersyukur anaknya bisa lepas dari keluarga Kitayama, meski hanya sebentar. Ia (tidak) terkejut mengetahui fakta putrinya kembali dekat dengan anak dengan nama sama persis seperti dulu. Toh, putrinya selalu dekat dengan kesialan, dan itu semua karena ia sendiri.
"Apa yang kau lakukan?! Siapa ia?!"
Tangan Yukino sudah melayang, bersiap-siap menampar Kano yang berdiri diam dengan Kitayama Tatsuya di sebelahnya. Kano menghindar dan tamparan itu hanya mengenai angin. Yukino bersidekap, tidak segan mengamuk meski ada orang asing di antara mereka.
"Apa maksud Ibu? Bukankah Ibu pernah bertemu ia?" Alis Kano bertaut menunjukkan keheranan. Yukino berdecak kesal, mencoba mengingat.
"Ah, yang waktu itu! Merebus ramen untuk Kano-chan, 'kan?" tanya Yukino dengan nada kelewat sengit.
Kano menghentakkan satu kakinya, "Iya! Ibu kenapa, sih?!"
Yukino tersenyum remeh. "Tidak apa, Ibu hanya tidak menyangka,"
Kano mengerjap, merasa kalimat ibunya ini belum selesai.
"Tidak menyangka apa?"
"Tidak menyangka kalau si brengsek itu berani menemuimu lagi!"
Kano tersentak. Ada apa? Apa lagi-lagi ada hal yang tidak Kano ketahui? Menyebalkan, batinnya jengkel. Ia memutuskan mengeluarkan unek-uneknya. "Apa yang Ibu maksud dengan brengsek?! Kitayama ini baik! Ibu tidak boleh memanggil seenaknya begitu! Aku tahu Ibu bukan orang yang tidak punya tata krama!" Giginya bergemeletuk seraya ia mengatakannya. "Dan lagi, kalian baru bertemu dua kali! Kenapa Ibu bisa menyimpulkan begitu?! Waktu itu juga ia membantuku yang pingsan!"
Yukino menghela napas, tampak tidak terpengaruh dengan 'pembelaan' yang anaknya itu buat. Mereka sedang berada di depan pintu rumah keluarga Fujii, dan mereka bahkan tidak repot-repot mengecilkan suara. Mereka tidak peduli apakah mereka mengusik tetangga atau tidak, dan itu membuat Tatsuya tersenyum dalam hati.
Ternyata, keluarga Fujii yang aku tahu masih sama, ucapnya membatin.
"Selamat siang, Bibi. Ada yang bisa saya bantu?" Tatsuya menyela. Yukino langsung melempar tatapan sinis kepadanya, yang ia tahu betul kenapa, tapi, ia bersikap seolah tidak tahu apa-apa. "Apa saya sudah mengganggu?"
"Ya, benar! Kau sangat mengganggu!"
"Tidak! Apa yang kau katakan, Kitayama?!"
Dua jawaban berbeda disaat yang sama. Tatsuya memasang senyum sungkan dan menunduk. "Ah, kalau begitu saya pamit undur diri."
"Tidak! Jangan!" Kano memegang lengan seragam milik Tatsuya, menahannya. "Tidak! Ibuku yang salah, kenapa kau yang harus pergi?" kekeuhnya.
"Kano!" Teriakan Yukino menyahut.
"Apa?" balas Kano sewot.
"Pokoknya kalau Ibu tidak juga menjelaskan apa masalahnya, aku akan pergi!" putus Kano tidak bisa dibantah.
Yukino mengatupkan bibirnya. Ia berujar lirih, "Sampai kapanpun, Ibu tidak bisa memberitahukannya."
Kano menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kenapa keras kepala sekali?"
Yukino diam.
"Ah, sudahlah, aku yakin Ibu tidak akan buka mulut, sampai dunia berakhir sekali pun!" omel Kano, tangannya masih setia memegang lengan seragam Tatsuya.
Yukino tetap diam.
"Ibu?" panggil Kano karena wanita itu terpaku. "Terserah! Aku pergi!"
Yukino membeku menatap kepergian Kano yang misuh-misuh dengan Tatsuya yang terkekeh kecil di sebelahnya.
"Aktingku tadi cukup meyakinkan, 'kan?"
Gumamnya lebih kepada diri sendiri.
🍂
"Yang kulakukan seharian?"
Tatsuya mengangguk. Lelaki itu mengunyah choco bars yang dipesannya di kafe bernama Snowy Cafe yang pernah mereka kunjungi tempo hari tersebut.
Kano menyengir. "Kalau belakangan ini, sih, aku sering masuk rumah sakit. Jadi kegiatanku pun ada di rumah sakit?" jawabnya tidak yakin. "Yah, pastinya kegiatanku tidak teratur, yang bisa kujawab cuma itu."
Tatsuya mengernyit. "Benar?"
"Eung?" Kano mengerjap dengan mulut dipenuhi choco bars, membuatnya terlihat seperti tupai kecil yang menggemaskan. "Benar. Memangnya apalagi?"
"Kenapa kau tidak curiga alasanmu masuk rumah sakit terus-menerus?"
Kano terdiam. Ia menelan ludahnya gugup. "A-aku sendiri tidak tahu."
"Kenapa tidak coba tanya dokternya?" Tatsuya tidak menyerah melontarkan pertanyaan.
Bagaimana bisa bertanya setelah ia mengurungku selama satu bulan, bodoh? Yang tentunya ia ucapkan dalam hati.
Kano tersentak sedikit. Ia tidak pernah tahu mengapa Naoki mengurungnya, dan mungkin saja ia tidak akan pernah tahu kalau tidak bertanya? Tapi, jika Kano bertanya, tidak akan menjamin kalau Naoki akan menjawab, 'kan? Apa itu ada hubungannya dengan masa lalu yang selalu disembunyikan darinya?
"Dokternya sibuk jadi aku tidak sempat bertanya," jawabnya pada akhirnya. Kano berdehem. "Sudahlah, bahas yang lain saja. Mana janjimu?"
"Janji apa?" Tatsuya menyeruput teh hangatnya sedikit.
"Janji untuk menghancurkan orang-orang yang menyakitiku?" balas Kano terang-terangan.
Tatsuya tampak tenang. "Sedang kurencanakan."
"Tapi, aku penasaran kenapa kau tahu perlakuan mereka kepadaku?" Kano buru-buru menambahkan sebelum menimbulkan kesalahpahaman. "Maksudku, perlakuan kasar mereka kepadaku."
Maksud Tatsuya, Kano tidak berlebihan. Tidak sama sekali. Kenapa Tatsuya tahu perlakuan-perlakuan menyebalkan mereka pada Kano itu ... seterusnya akan ia sembunyikan.
"Rahasia."
Kano menggembungkan pipinya. "Kalau kau juga menyimpan rahasia dariku, rasa-rasanya keputusanku untuk kabur kesini denganmu salah, deh!"
Sewaktu Kano pulang sekolah dan membawa Tatsuya untuk kerja kelompok di rumahnya, Yukino malah membuat kerusuhan dan berakhir dengan Kano kabur dari rumah dari jam lima sore sampai jam delapan malam, waktu sekarang. Normal, sih, mengingat Kano pernah tidak pulang selama satu bulan lebih.
Ah, kenapa Kano jadi mengingat ia lagi, sih?
Sebal rasanya. Apa tujuan pengurungan itu? Supaya ia tidak masuk sekolah? Apa bagaimana? Rasanya aneh sekali kalau diingat-ingat. Diteliti lebih lanjut pun tidak membuahkan hasil karena ia sekarang sudah aman.
Tatsuya terkekeh. Itu membuatnya seratus kali lebih tampan dari biasanya. Pipi Kano sempat bersemu sedikit sebelum akhirnya ia berdehem lagi.
"Aku sebenarnya ingin bilang sesuatu."
Kano menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa? Katakan saja."
"Aku—,"
"Kakak ...."
Kano menoleh pada sumber suara. Anak kecil yang menangis dan sedang mengusap air matanya sendiri, pemandangan terimut yang pernah Kano saksikan.
"Eh, kenapa?"
"A-aku ... kehilangan orang tua-ku ... tolong temukan mereka," gagap anak itu sambil sesenggukan. Ia masih mengusap-usap matanya yang membuat Kano langsung bersimpati.
"Shh, tidak apa," Kano menepuk-nepuk kepala anak itu. "Tadi duduk di sebelah mana? Siapa namamu?"
"Namaku ... Menma ... Yoshida Menma," jawab anak itu kemudian. Kano tertegun, sepertinya ia pernah mendengar nama marga tersebut di suatu tempat. Kano tidak ingat dimana, yang pasti; ia pernah dengar.
Tidak ingin ada perang batin yang berlanjut, Kano bertanya sekali lagi. "Ke mana orang tua-mu?"
"Mereka bilang katanya akan membayar ... tapi, tidak kunjung kembali ... aku takut sekali, Kak," adu Menma, tangisnya tidak juga berhenti. Bingung bagaimana cara menenangkan anak kecil, Kano berinisiatif membawanya ke gendongannya.
Kano mengulurkan tangannya, dan anak itu langsung paham. Kano mengelus-elus punggung kecilnya dan tersenyum kecil. "Kitayama, apa kau melihat seseorang di kasir?"
Tatsuya mengedikkan bahunya. "Kosong melompong," jawabnya. "Tinggal kita di sini."
Baru jam delapan malam lebih dan Snowy Cafe sudah kosong? Hal baru apalagi yang terjadi?
Tatsuya melamun. Akting Yukino tadi cukup mengejutkannya. Tampak seperti nyata. Atau memang itu keperibadiannya yang lain? Tatsuya tahu benar wanita itu mengidap kepribadian ganda yang cukup kompleks, tapi, sepertinya yang tadi hanyalah akting. Dua kepribadiannya juga harusnya tahu tentang ia, 'kan? Secara ia sendiri pernah kena pukul oleh kepribadiannya yang—menurutnya, jahat.
"Lalu? Apa yang harus kita lakukan?"
Kano masih setia menepuk-nepuk punggung Menma, menggoyang-goyangkannya sedikit sampai anak itu tenang. Tatsuya mengambil kacamatanya dan mengelapnya dengan lengan seragamnya, kemudian menjawab cuek, "Tidak tahu. Titipkan saja disini. Kita tidak tahu siapa ia, sebaiknya jangan menimbulkan masalah." Ia memakainya kembali.
Tatsuya tidak bohong. Ia memang tidak mengenali marganya, namun, ia agak familiar dengan garis wajahnya. Kano menimbang-nimbang sebentar dan mengangguk, "Titipkan ke kasir, maksudmu?"
Tatsuya mengiyakan. Kano yang lama sudah kembali. Kano yang egois dan keras kepala sudah kembali, dan itu membuat Tatsuya senang luar biasa.
"Oh, baik."
Saat Kano beranjak dari tempat duduknya dan menurunkan Menma dari gendongannya, suara teriakan terdengar.
"Menma, mitsuketa!"
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top