二十一 ; tsuki to suppon

the moon and a softshell turtle
.......................................

"Apakah aku salah ... kalau aku ingin mati?"

Lengkingan suara nampan besi yang terjatuh memekikkan telinga, membuat Kano menoleh ke arah pintu. Terdapat si pendek Satou Miyuki yang menjatuhkan nampan berisi makanan rumah sakit yang sudah tercecer berai dan wajahnya yang menganga. Kano meringis, merasa menyesal sudah berceletuk seperti tadi—yang mungkin, Miyuki mendengarnya. Tidak mungkin Miyuki tidak terkejut mengingat pembicaraan mereka kemarin Kano sudah berjanji untuk tidak pergi, 'kan?

"Kakak ... sudah berjanji untuk tinggal, loh?" Matanya mulai berkaca-kaca, dan Kano tahu detik selanjutnya gadis itu akan menangis. Maka Kano mengibas-ibaskan tangannya, menyuruh Miyuki mendekat dan memeluknya hangat.

"Aku hanya bercanda, kok," ujar Kano menenangkan Miyuki, menepuk-nepuk punggung kecilnya yang naik turun sesenggukan.

Sekarang bagaimana soal makanannya yang tumpah itu?

Kano menghela napas dan menurunkan Miyuki. Ia memencet bel di samping ranjangnya dan datanglah Aki, terkejut karena ada tumpahan makanan di depan pintu. Miyuki menyembunyikan diri dengan berpura-pura tidur di sofa, berlagak tidak bersalah. Kano yang melihatnya hanya tersenyum kecil.

"Katakan padaku apa yang terjadi?"

Tanya Aki sambil membereskan pecahan kaca dan ceceran makanan di ubin bening itu. Kano menggaruk tengkuknya, menyengir, "Ano, Miyuki menjatuhkannya."

Tatapan Aki melayang pada seseorang yang berbaring di sofa. Alisnya naik satu.

"Bagaimana bisa ia menjatuhkannya?"

Kano berdehem. "Ia terpeleset ... kurasa."

"Kurasa? Jadi kau tidak melihat kejadiannya?"

"Kau penasaran sekali?"

Aki menyelipkan anak rambutnya yang jatuh ke belakang telinganya. "Tidak, aku hanya ingin tahu apakah gadis itu baik-baik saja. Pecahannya banyak."

Kano manggut-manggut. Ia berujar, "Ia baik, kok. Sepertinya."

"Aish, kau ini selalu tidak yakin," decak Aki menggeleng-gelengkan kepala. Wanita itu membawa pecahan kaca yang sudah ia kumpulkan, pergi entah kemana dan kembali lagi untuk mengepel makanan yang tumpah. Kano merasa merepotkan.

"Eh, kalau aku bisa membantu ...."

"Tidak perlu. Lehermu belum sembuh sepenuhnya, kusarankan kau tetap diam disitu," perintah Aki, matanya tajam memandang Kano yang hendak turun dari ranjang rumah sakitnya. Kano meringis lagi, ia serba salah. Kalau saja waktu itu ia tidak bodoh, berinisiatif menjadi sukarelawan untuk pergi membersihkan gudang halaman sekolah yang tidak terpakai dan tidak tahu bahwa Haruto termasuk di dalamnya, ia mungkin tidak akan ada disini.

Sekolahnya akan mengadakan festival—entah apa maksudnya, padahal ini sudah mulai memasuki musim dingin. Akhir November sudah dekat dan sekolahnya malah menyiapkan festival, sungguh unik. Katanya ini festival pertama yang diadakan di musim dingin dan satu-satunya diantara seluruh sekolah di Jepang—padahal SMU Tatsuni tidak begitu terkenal? Mungkin, karena jarang ada yang mengadakan festival saat musim dingin, SMU Tatsuni dengan 'kreatif' membuatnya terlebih dahulu. Maka itu pula sekolah memerlukan dirinya bersih supaya tampak bagus di pengunjung yang datang.

Kano—gadis naif dan bodoh yang telah menjadi baik memutuskan ikut membantu. Maksudnya, siapa memangnya yang tidak ingin membantu sekolahnya sendiri? Ada, beberapa. Tapi, Kano tidak ikut-ikutan. Kano ingin berubah—ia bukan dirinya yang sarkas lagi; jujur saja, ia bahkan lupa seperti apa dirinya yang dulu, karena Haruto menyebalkan itu. Mengingat-ingatnya membuat Kano kesal, apalagi tidak melupakan fakta bahwa selama ini lelaki itu selalu membuatnya susah—tapi, juga membantunya. Apa tujuannya? Lelaki itu tidak waras. Meski Kano mengatakan itu berkali-kali, itu tidak akan cukup sebab dunia ini saja tidak bisa menanggung ketidakwarasannya.

"Yoshida-san, aku boleh jujur?"

Aki mendongak, menghentikan dirinya dari kegiatan mengepelnya yang hampir selesai. "Apa?"

"Kau tampak seperti telah biasa menanganiku selama bertahun-tahun, apa itu wajar?"

Aki terdiam. Bukan karena ketidaksopanan Kano yang hampir menyerempet hal pribadinya, namun, akan fakta bahwa gadis itu agak peka terhadap sekitarnya. Aki berpikir ia bisa mencari informasi dengan tidak perlu sembunyi-sembunyi karena ia pertama kali melihat Kano sebagai gadis yang tidak peka, rupanya ia salah. Gadis itu menyadarinya. Menyadari tingkah anehnya.

Aki mengelak, "Apa itu mungkin ditanyakan pada seseorang yang sudah merawatmu berkali-kali? Maksudku, tidakkah kau menghitung jumlahmu masuk rumah sakit ini dan menempati kamar yang sama lagi? Entah untuk keberapa kalinya?"

"Aku masuk rumah sakit ini sekitar empat atau lima kali, 'kan?" Kano menghitung menggunakan jarinya.

Aki menggeleng. "Lebih tepatnya tujuh kali."

Kano membulatkan bibirnya. Ia terkekeh dan kemudian berbaring. Menyadari ia juga pernah mengunjungi rumah sakit ini saat tidak sedang sakit, hanya untuk berjalan-jalan dan melihat pohon mapel besar yang ada di halaman rumah sakit. Ia merasa rindu, bukankah aneh? Aki menghela napas lega dan keluar dari kamarnya, membiarkannya istirahat.

Kano hampir saja membawa kelopak matanya turun saat ia tiba-tiba teringat sesuatu.

Perginya ke rumah sakit untuk hiburan itu, 'kan, diam-diam?

🍂

"Aku tidak peduli sedikitpun jika aku mati, tapi, aku masih menginginkan orang sekitarku untuk hidup."

Gadis bersyal itu menghela napas, memandang manusia yang sama-sama gadis dengannya. Nama mereka sama, hanya saja marga mereka berbeda. Mereka sedang berada di pinggir tebing di suatu pantai—dan angin berhembus terlalu kencang. Tetapi, mereka tidak peduli. Mereka tidak memiliki niat sama sekali untuk menghindari tebing itu. Mereka berdiri diam disana, hanya diam.

"Shimizu ... kau tahu kalau aku sangat menyayangimu, 'kan?"

Gadis yang ditatap mengangguk. Ia mendongak, mencoba menahan tangisnya. "Aku tahu ... aku hanya tidak bisa menerima bahwa ia sudah pergi, Kobayashi kita sudah pergi."

Hayashi menepuk-nepuk punggung Shimizu lembut, pandangannya beralih pada hamparan laut yang luas dan tidak terbatas. "Itu sudah bertahun-tahun lalu ... kita bahkan terakhir kali melihatnya saat kecil, 'kan?"

"Iya ... tapi, bukankah hidup itu tidak adil?"

Hayashi menatap Shimizu heran. Alisnya bertaut. "Kenapa kau berkata begitu?"

"Aku hanya merasa hidup ini tidak adil. Persahabatan kita rusak dan hanya Nakano yang masih terlihat baik-baik saja ... Dan, entah bagaimana ... aku sedikit membencinya."

"Kau tidak boleh berkata seperti itu! Bagaimanapun juga, ia adalah malaikat kita!" Hayashi menjauh dan memberikan tatapan tak percaya pada Shimizu.

Shimizu terkekeh sarkas. "Apa ia bisa disebut malaikat kita hanya karena ia membantu perekonomian keluarga kita?"

"Kau ... siapa? Tidak seharusnya kau disini. Kau tidak boleh merendahkan ia. Sampai kapanpun, kau tidak akan pernah menyamainya." Mata Hayashi sedikit berkaca-kaca saat mengatakannya.

Shimizu mulai terisak. "Maaf ... maafkan aku. Mungkin, aku iri, aku capai ... Tolong, aku tidak tahan."

Hayashi memeluk Shimizu kontan, dan gadis yang dipeluk itu menumpahkan semuanya di pelukan Hayashi. Suara isakannya terdengar memilukan. Hayashi tidak menyalahkannya. Hidup membuat mereka seperti ini. Shimizu wajar karena merasa iri pada dewi seperti Nakano Juliet, karena bagaimanapun manusia itu terlalu sempurna untuk mereka, bahkan untuk Kobayashi sendiri.

"Tidak apa, semuanya akan baik-baik saja."

Dan itu adalah kebohongan.

🍂

"Kau pikir kenapa aku tidak menghubungimu? Aku frustasi karena aku menyakitinya lagi!"

"Maka dari itu menjauh darinya, bodoh! Kau bagaimanapun itu hanya racun baginya!"

"Aku ini seperti lalat, kau tahu? Aku menyakitinya, juga menyembuhkannya, jadi diam!"

"Dan kau bangga dengan menjadi seperti lalat? Benar-benar brengsek."

Kekehan sinis Hayashi melayang di udara menanggapi penyangkalan Haruto. Mereka berada di kediaman keluarga Takahashi dan hanya berdua saja. Hayashi langsung ke situ setelah menyelesaikan urusannya di pantai dengan Shimizu. Berharap menjumpai Haruto yang jinak, ia malah mendapati pengusiran dari sang tuan rumah itu sendiri. Perasaannya tidak baik, dan ia membenci itu.

Haruto mengangkat tangannya, matanya menggelap dan ia bertingkah seperti hendak menampar Hayashi. Gadis itu melihatnya dan malah lebih menantangnya. Ia berkacak pinggang dan memajukan tubuhnya. "Apa? Mau menamparku? Silahkan saja! Kau tidak akan berani!"

Tangan Haruto sudah diam di tempat saat sapaan kecil terdengar dari pintu depan.

"Permisi?"

Haruto dan Hayashi kompak memandang horror ruang tamu. Salah satu dari mereka berjalan menuju pintu depan dan menemukan Fujii Nakano, membawa bungkusan kain yang berbentuk kotak. Hayashi tersenyum dan menyambutnya.

"Hai, Fujii, bagaimana kabarmu?"

Kano sedikit heran akan keberadaan Hayashi Momiji di kediaman Takahashi, tapi, ia tidak terlalu memusingkannya. Bukannya kalau ia bertanya, mereka akan lebih banyak menyembunyikan sesuatu darinya? Dan ia tidak mau itu terjadi. Sebisa mungkin, ia akan mencari tahu sendiri. Setidaknya sampai beberapa waktu lagi.

Kano terkekeh dan menjawab, "Tidak baik sama sekali. Kau tidak lihat perban di leherku?"

"Ah! Aku baru sadar, kau kenapa?" Hayashi berpura-pura terkejut, menunjukkan simpati palsunya. Ia mengambil alih bungkusan kain ditangan Kano dan membawanya ke ruang makan untuk disiapkan. Kano mengikuti dari belakang sambil tidak menghiraukan eksistensi Takahashi Haruto di ruang keluarga.

Kano meringis, akan lebih baik kalau ia berbohong. Ia yakin Hayashi juga ikut andil dalam hilangnya memorinya. "Tergores ranting pohon saat aku sedang berusaha menyelamatkan kucing yang terjebak disana."

"Wah? Kau bisa memanjat, Fujii?" Keahlian akting Hayashi membaik dan Haruto tidak menyangkanya. Tangan Hayashi cekatan mempersiapkan mangkuk kecil dan sumpit-sumpit sebagai peralatan makan, juga es jeruk sebagai minumannya. Melihat dirinya merepotkan orang untuk kesekian kali, Kano berniat membantu.

"Aku bisa membantu apa?"

Hayashi menarik kedua sudut bibirnya sampai matanya menyipit. "Tidak, tidak perlu. Omong-omong yang membuat makanan ini siapa?"

"Ibuku. Beliau berpesan supaya aku mengantarkannya pada keluarga Takahashi." Kano mengikuti Hayashi duduk, ia menempati kursi yang berlawanan arah dengan pintu ruang makan jadi ia tidak akan tahu kalau ada yang datang.

Seseorang menggelayuti bahunya dan ia langsung tahu bahwa orang itu adalah Haruto. Kano melepaskan kuncian lelaki itu pada lehernya dan tertawa. Tawa sarkas.

"Ke mana saja kau selama ini? Bahkan tidak menjengukku sama sekali?"

Hayashi makan dengan tenang seolah tidak mempedulikan keributan yang sebentar lagi akan terjadi. Dentingan sumpit kayu itu menjadi latar belakang dalam adu mulut antara Haruto dan Kano.

"Aku sibuk."

"Lucu sekali." Kano mulai mengeluarkan sindirannya.

"Aku minta maaf."

Kano merotasikan bola matanya. "Apa maaf bisa mengubah segalanya? Tidak, sekarang menjauh dariku. Kecuali kau mau merawat lukaku."

"Baiklah."

Kano menyumpit telur gulung di hadapannya dan mulai memasukkannya ke mulutnya, bersikap cuek.

"Aku akan merawat lukamu."

Kedua gadis di ruangan itu tersedak. Apa-apaan? Kata-katanya terdengar omong kosong sekali. Kano tidak ingin percaya. Ia menelan minumannya dan menyapu sekitar bibirnya menggunakan tisu yang tersedia dan bertingkah seolah tidak ada apapun yang terjadi. Ia kembali melanjutkan makannya.

Hayashi sejenak melupakan aktingnya. Ia berdehem, bertanya, "Luka apa, Fujii?"

"Perban di lehernya. Aku yang menyebabkannya."

Haruto mengaku, tak ayal membuat Hayashi mengumpat dalam hati. Apa lagi yang lelaki itu rencanakan? Semuanya menjadi impulsif sekarang, dan ia tidak menyukainya. Harusnya semua itu terencana.

"Oke, baiklah, aku sudah tahu."

Kano tersedak untuk kedua kalinya. Hal-hal seperti ini memang tidak boleh dibicarakan saat sedang makan, kecuali kau ingin mati dengan cara konyol, cara ini adalah yang terbaik.

Haruto mengangkat sebelah alisnya. "Kau mengaku?"

"Kau juga mengaku?" Hayashi tidak ingin kalah. Mereka mulai berdebat dan tidak mengacuhkan kehadiran Kano yang mana membuatnya tambah bingung. Hayashi itu siapa? Apa benar Momiji yang ia curigai itu benar Hayashi Momiji, salah satu dari tiga mapel yang pernah bersamanya? Awalnya Kano hanya curiga biasa, dan ia tidak terlalu menganggapnya serius. Sekarang dimana Hayashi mengaku membuatnya yakin bahwa Hayashi Momiji adalah salah satu dari tiga mapel yang pernah bersamanya. Hayashi Momiji, Kobayashi Momiji, dan satu lagi. Ia agak kesulitan mengingat namanya. Shimizu ... Momiji?

Kano menggebrak meja dan berdiri. Matanya membulat.

Ah, benar! Hayashi, Kobayashi dan Shimizu!

Lengkap sudah potongan teka-teki itu. Ia kembali duduk, mengherankan Haruto dan Hayashi yang masih belum berhenti berdebat. Kano bertanya-tanya, dimana Shimizu Momiji sekarang?

"Momiji."

Hayashi terkesiap. Gadis itu memanggilnya?

"Ah, ya?"

Tatapan dingin Kano menusuk Hayashi dalam. "Kau sahabatku dulu di Okita?"

"Benar."

Bukan Hayashi yang menjawabnya—melainkan Haruto, lelaki itu meletakkan sumpitnya dan bertopang dagu. "Benar, ia adalah sahabatmu di Okita dulu."

Kano memicingkan matanya. Ia yakin orang-orang disekitarnya menyimpan terlalu banyak rahasia darinya, tapi, ia yakin pula kalau mereka tidak sebodoh itu untuk mengekspos kebohongannya. Apa yang sedang Haruto rencanakan?

"Dan bagaimana kau bisa tahu?"

"Kau pindah ke Jepang umur berapa?" tanya Haruto tenang. Gelagatnya tidak mencerminkan pencuri yang habis kemalingan sama sekali.

Kano mencoba mengingat-ingat. "Tujuh tahun?"

Haruto tersenyum sinis. "Itu yang kau tahu."

"Lalu? Kalian tidak berniat memberitahuku yang sebenarnya, pecundang-pecundang kecil?" Kano mengulas senyum sangat manis hingga terasa seperti palsu. Matanya menghilang dalam senyumnya, tanda ia sangat kecewa dan menyindir.

Haruto terkekeh. "Belum waktunya."

Omong kosong. Kano beralih pada Hayashi.

"Kau juga tahu, 'kan, Momiji?"

Hayashi senang karena dipanggil nama depan setelah lama tidak oleh orang paling dihormatinya, tapi, tidak begini caranya. "Tidak, Fujii, aku tidak tahu banyak."

"Kau ingin melihatku di peti mati atau memberitahuku yang sebenarnya?"

Hayashi membelalak. Pilihan yang sulit. Ia tidak ingin Kano mati—sampai kapan pun, ia harus mati duluan. Di sisi lain, ia tidak ingin membeberkan semuanya mengingat lelaki itu akan membunuhnya jika ia melakukannya. Hayashi menggigit bibirnya, mengabaikan Haruto yang menatapnya tajam dan menyuruh Kano mengikutinya menuju halaman belakang kediaman Takahashi.

"Sebenarnya ...."

Dan, Hayashi menceritakannya. Tentang Kano yang pindah ke Jepang pada usia lima tahun dan bukan tujuh tahun, serta pertemuan pertama mereka bukanlah di Tokyo melainkan pantai Okita. Kano agak bingung mengenai hal yang ini—ia memang benar pertama kali bertemu keluarga Takahashi di Okita, 'kan? Bukan di Tokyo. Kano bertemu Haruto saat akan menyelamatkannya dari seretan ombak—dan ia yakin betul begitu. Ia hanya bingung kenapa keluarga Takahashi langsung menuju ke Tokyo setelah bertemu keluarga Fujii, dan bersikap seperti tidak terjadi apa-apa begitu mereka bertemu kembali di Ibu Kota Jepang itu, sebagai tetangga apalagi. Ia juga bingung soal ini. Apa yang terjadi? Apa sebelumnya ibunya dan Satou Asuka (yang waktu itu marganya masih Takahashi) bermusuhan, lalu berteman lagi? Sedikit tidak masuk akal.

Masih banyak misteri yang ingin ia tahu, tapi, Hayashi tidak tahu lebih lanjut. Jadi Kano menyerah dan menghela napas. Dari sinar mata Hayashi tersirat kalau gadis itu tidak berbohong, yang mana tidak bisa membuat Kano memaksanya.

"Terima kasih." Kano tersenyum. Ia hampir beranjak pergi ketika Hayashi mencekal tangannya. Alis Kano bertaut.

"Ada apa?"

Hayashi menatapnya cemas. "Ano ... apa kita tidak bisa menjadi seperti dulu lagi?"

"Seperti dulu lagi?" Kano bertanya bingung. Menyadari maksud Hayashi, ia menarik sebelah sudut bibirnya. "Nothing last forever."

Hayashi meremas-remas tangannya sendiri, "Aku ... tidak tahu artinya." Ia menunduk, merasa malu.

Kano terkekeh. "Tidak ada yang bertahan selamanya. Tidak setelah kalian semua menipuku dan memintaku bersikap normal karena itu."

Hayashi diam.

"Bukankah kalian tidak tahu malu sekali?"

"Kau terlalu kasar padanya."

Haruto memasuki percakapan dan berdiri di sebelah Hayashi yang hendak menangis. Matanya sudah berkaca-kaca hebat. Kano bersidekap.

"Kau pikir aku peduli?"

Haruto menghela napas. "Kau ini masih sakit, jangan banyak bertingkah."

"Dan kau pikir karena siapa aku sakit, sialan?!"

Kano emosi dan berteriak kencang. Tenaganya habis seketika dan lehernya terasa perih karena keringat yang membasahi tubuhnya. Kano masih sempat menghabiskan waktunya untuk tertawa, mengejek Haruto yang menatapnya nanar.

"Kalian itu sungguh menyebalkan ... kalian tahu, 'kan?"

Detik selanjutnya, Kano jatuh pingsan. Dan jeritan refleks Hayashi menjadi latar belakangnya.

🍂

"Baik! Ini sudah ke-delapan kalinya kau mengunjungi rumah sakit, dan bila itu mencapai angka sepuluh, aku akan benar-benar membunuhmu!"

Kano menatap Aki yang sedang marah-marah dengan santai. Ia setengah berbaring dengan setelan ranjang rumah sakit yang sudah disesuaikan, memotong apel kecil-kecil dan memakannya meski bentuknya tidak beraturan.

"Maka aku akan mati dengan tenang karena dibunuh oleh orang yang aku cintai."

Kening Aki mengernyit. "Apa maksudnya?" Ia duduk di samping Kano dan membantu memotong buahnya.

"Itu artinya aku mencintaimu, ha~ni," ujar Kano dengan ekspresi menggemaskan yang dibuat-buat.

Aki bersikap seperti mengeluarkan muntahan. "Oke, itu menjijikkan sekali. Apa dirawat di rumah sakit berkali-kali membuatmu tidak waras, Sayang?"

"Ew, kau sama tidak warasnya." Kano memasang raut jijik. Ia berhenti mengunyah apel di mulutnya saat pintu kamarnya terbuka dan menampilkan sosok yang menyebabkan kontroversi di hatinya. Kano menggembungkan pipinya, cemberut, melihat berlawanan arah dengan lelaki itu berada.

Aki menyaksikan itu dan diam-diam terkekeh. Ia mengambil sepotong apel di nampan di atas pangkuan Kano dan menyuapkannya pada sang pemilik. Kano mengunyah kembali dan menampilkan ekspresi puas.

"Um, ini manis sekali ...."

"Apa semanis aku?"

Kano menoleh pada manusia yang menginterupsi kegiatannya menikmati hidup. Ia berdecak, bersidekap dan menyingkirkan nampan berisi penuh apel itu ke nakas. Menggertak yang menurutnya cukup menuntut dan malah terlihat imut, "Kau ini percaya diri sekali?"

Lelaki itu tertawa. "Percaya diri adalah keahlianku. Kalau aku tidak percaya diri, bagaimana aku bisa menjadi ketua kelas?"

Melihat gertakannya dipatahkan, Kano melontarkan ujaran mengancam, "Kitayama, kau ingin mati muda?"

"Boleh kalau yang mencabut nyawaku itu kau."

Aki tersenyum simpul. Godaan yang receh sekali. Kano tidak termakan, ia malah tertawa dan menerima tas plastik yang diberikan oleh Tatsuya.

Kano sedang menelusuri apa saja isi dari plastik itu saat ia menemukan Aki bertanya, "Siapa lagi ia?"

Melihat dirinya disebut, Tatsuya memperkenalkan dirinya. "Yang Anda maksud adalah saya?"

Aki mengangguk tidak niat.

Tatsuya memaksakan senyum, dan Aki tahu betul senyum itu adalah palsu karena hampir sepanjang hidupnya ia memalsukan senyum. Ia mengelurkan senyum tulus saat ia benar-benar bahagia atau berada di sisi orang yang berharga baginya. Aki mencurigai Tatsuya. Sayangnya, mereka berdua sama-sama cerdik sehingga mereka berpikir mereka mengelabui satu sama lain. Kenyataannya, tidak. Itu hanya menjadi bumerang untuk mereka sendiri di masa depan.

"Saya Kitayama Tatsuya, dan saya ketua kelas di kelas Fujii. Salam kenal."

Tatsuya mengulurkan tangannya, Aki sempat menganggurkannya selama beberapa saat. Kendati begitu, wanita itu memutuskan menyambutnya, menjabatnya tidak kalah erat. Padahal Aki lebih tua, tapi, tenaga lelaki ini menyamainya. Luar biasa sekali.

"Saya Yoshida Aki ... perawat yang menemani Fujii selama beberapa minggu."

Dan selanjutnya mereka mengobrol seperti biasa. Karena ini adalah hari Sabtu, jadi sekolah tidak masuk, Kano resmi cuti selama satu minggu. Lagi. Untuk entah keberapa kalinya. Ia berharap ia masih bisa naik kelas mengingat daftar hadirnya sudah cukup mengkhawatirkan. Aki sedikit banyak menimbrung—ia tidak terlalu nyaman dengan lelaki itu. Kenapa Kano tiba-tiba dekat dengan seseorang? Kano tidak pernah memberitahunya.

Pandangan Aki kosong.

Benar juga. Memangnya ia siapa sampai Kano harus menceritakan semua kisahnya kepadanya? Padahal Aki hanya ingin menjalin hubungan pura-pura dengan pasien Fujii Nakano karena ia merasa gadis itu ada hubungannya dengan masa lalunya. Kenapa ia jadi bawa perasaan begini?

"Yoshida-san?"

Aki terkesiap. "Eh, iya?"

"Anda melamun?"

"Tidak." Aki menggeleng dan mengulas senyum badut.

Aki menyadari kalau Kano menggunakan bahasa formal dengannya saat ada orang lain bersama mereka. Jadi Kano tidak ingin lelaki itu tahu bahwa dirinya dan Aki cukup dekat? Entah bagaimana, Aki merasa kalau Kano juga merasakan perasaan tidak nyaman itu. Sepertinya Kano hanya berakting. Mereka berdua jago akting sekali, bukankah keterlaluan? Membodohi satu sama lain dan tidak menyadarinya, Aki rasa ia akan tertawa sendirian untuk malam ini.

"Apa benar Anda tidak membutuhkan sesuatu?"

Aki menggeleng lagi. "Saya yang seharusnya berkata begitu."

Kano terkekeh. "Baiklah."

"Omong-omong, ia siapamu?"

Kano tampak tertegun sebentar, ia menelan ludahnya. Kesulitan menjawab, Tatsuya mengganggu percakapan mereka. "Apa pantas seorang yang hanya perawat bertanya begitu?"

"Apa pantas seorang yang tidak saya tahu sama sekali melarang-larang saya?"

Itu perdebatan yang cukup panas, dan Aki sudah menikmatinya. Aki lalu mengalah dan tertawa. "Sepertinya suasananya jadi agak serius sekarang. Kalau begitu, maafkan saya. Saya akan jujur."

Alis Kano menyatu. "Jujur tentang apa?"

"Kalau saya lebih menyukai pemuda sebelumnya."

Kano berdecak cuek. "Oke, katakan pada saya. Pemuda yang mana?"

"Wah? Saya baru sadar pemuda disekitar Anda banyak sekali."

Tatsuya menginterupsi kembali, "Anda tidak bermaksud mengatainya murahan, 'kan?"

Aki mengabaikannya. Kano membalas, "Katakan saja?"

"Arata. Saya ingat namanya begitu. Ia lelaki yang manis."

Tidak bosan menginterupsi, Tatsuya mencari celah bergabung, "Nakamura Arata?"

Kano membeku. Arata ada banyak. Di sekolah mereka bahkan ada dua Arata.

Tapi, yang Tatsuya sebut adalah Arata yang berbeda sekolah dengan mereka.

Sungguh ceroboh.

Tapi, itu mampu membuat perasaan Kano sedikit membaik.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top