二 ; jūnin toiro

ten persons, ten colors
.......................................

Kano membuka mata. Badannya remuk semua. Sakit sekali. Mungkin, tulang bahu-nya sudah hancur karena tidak dapat digerakan, sebab; ia tidak dapat merasakannya. Kepalanya diperban. Pun, kaki dan tangannya. Kano merasa seperti mumi sekarang ini.

Bisa Kano dengar, Haruto terisak, mengadu kepada ibu-nya, Yukino.

"Kano ... Kano tidak sengaja tertabrak ketika menyelamatkanku, aku tidak lihat-lihat jalan. Ini salahku, Bibi, ini salahku. Harusnya aku yang terbaring di situ."

Dasar manipulatif.

Dari ekor matanya, Haruto duduk di lantai dan kepalanya ia senderkan pada paha Yukino, sementara wanita itu berada di sofa dan mengelus kepalanya. "Sudah, Haruto, ini sudah takdir. Tidak apa, Kano masih hidup. Ia akan baik-baik saja, tidak apa."

Kano tidak tahan.

"Kaa ..... san ......"

Yukino terlonjak kaget kala mendengar suara anaknya. Kano telah siuman. Pun Haruto, lelaki itu dengan cepat berdiri dan menghampiri Kano, menggenggam tangannya. Yukino keluar untuk memanggil dokter. Mimik muka Haruto nampak khawatir.

"Berhenti berakting."

Haruto terkesiap, gadis itu masih bisa berbicara lancar rupanya. Senyum miring andalannya terbit.

"Aku tidak berakting. Aku sungguh mengkhawatirkanmu, sayang."

Menjijikkan.

"Kau membuatku begini supaya aku tidak bisa berkencan dengan pacarku, 'kan?! Iya, 'kan?! Jawab!"

Haruto menampilkan raut pura-pura terkejut yang ketara. "Ah, kau tahu saja? Kau memang sahabatku."

"Cemburumu keterlaluan!" Seru Kano lemah. Haruto terkekeh menyeramkan, menggenggam tangan Kano semakin erat tanpa bisa gadis itu tolak. Haruto beranjak dari duduknya dan mencondongkan badannya ke arah Kano. Lelaki itu berbisik tepat di telinganya, membuatnya meremangmerinding.

"Bukankah sudah kubilang, aku akan menjadikanmu milikku, meski dengan cara tidak benar sekali pun?"

Sekali lagi, Haruto gila.

Cara tidak benar-nya kelewat batas. Kano sampai didorong ke truk dan mengakibatkannya koma dua minggu di rumah sakit. Saat truk tersebut menghantam tubuh mungil Kano, pengendaranya sedang berada di kecepatan enam puluh lima. Lumayan cepat untuk menghancurkan tulang-tulang Kano. Tetapi, Kano selamat.

Ajaibnya, Kano selamat.

"Kau mendorongku ke truk! Kau gila! Kau sungguh—,"

Sebelum Kano meracau lebih jauh, pemuda itu memilih menghentikannya dengan menciumnya cepat.

Air mata luruh menuruni pipi Kano. Sesaat setelahnya, pintu dibuka, menampilkan sesosok pria jangkung yang Kano kenali dari siluetnya merupakan Arata, pacarnya. Kendati begitu, Haruto tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyingkir dari tubuh Kano.

"Arata ...."

Panggilnya. Lelaki dengan nama sapaan tersebut menghampiri Kano dan menatapnya teduh. "Iya, aku disini. Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja."

Pandangannya beralih menatap Haruto yang terlalu dekat dengan Kano. "Bisakah Anda minggir? Saya punya urusan dengan kekasih saya," tukasnya tajam. Tanpa lelaki itu lihat, Haruto menyingkir dan mengulas senyum remehnya. Haruto berdiri di pojok ruangan, tidak keluar dari kamar.

"Kenapa bibirmu basah? Kano-ku habis menangis ya?"

Tangis Kano semakin deras. Ia merasa tidak tega karena telah membohongi manusia yang sangat menyayanginya. Gestur anggukan ia tunjukkan.

Arata tersenyum lagi. "Tidak apa, kau pasti akan baik-baik saja. Tuhan Mahabaik. Kau pasti akan sembuh," ucapnya menenangkan, ia mengecup kening Kano pelan. Arata menyapu anak rambut Kano ke belakang, lalu menatapnya lagi.

"Dokter akan memeriksamu."

Kano kembali mengangguk. Setelah Arata menyusul Yukino, Haruto tengah memandangnya tidak suka. "Kau jadi perempuan murahan sekali, ya? Bukankah begitu?"

Haruto hanya memancingnya. Tenanglah, Kano.

"Selepas mencium seorang pria, kau juga dicium oleh pria lain. Aku tidak menyangka ada gadis seperti itu." Haruto berkata menggunakan nada kasihan yang dibuat-buat.

Kano menghela napas. Kau yang menciumku, sialan!

Kano banyak bersumpah akhir-akhir ini karena Haruto. Lelaki itu tidak membiarkan dirinya tenang sedetik pun. Rusuh. Semenjak naik ke kelas sebelas, perilaku Haruto berbeda. Tampak lebih ... sadis. Tidak peduli apa pun yang akan menimpanya, ia akan melakukan segala hal agar sesuatu yang diinginkannya jatuh ke tangannya. Egois sekali.

Sebagai contoh, festival musim panas bulan Juli lalu meninggalkan banyak kenangan. Di antaranya, Haruto yang berebut okonomiyaki terakhir bersama pelanggan lain. Para mahasiswa yang menjaga stan ikut kebingungan, entah memihak siapa yang dirasanya akan menguntungkan. Haruto yang melihat kalajengking melintas di dekat kakinya, langsung mengambil hewan tersebut dan melemparnya kepada pelanggan yang berebut dengannya. Pelanggan itu terkena sengatan kecil oleh si kalajengking—yang pastinya berbisa, nasibnya sekarang abu-abu, namun, Haruto dengan tidak tahu malu-nya malah tertawa. Kano yang melihat kejadian itu hanya bisa bergidik ngeri. Haruto kelewat batas.

'Sesuatu' yang sekarang Haruto inginkan adalah Kano.

Kano jadi khawatir terhadap nasib Arata, semoga pria itu baik-baik saja.

Selepas Kano melamunkan tentang masa lalu, Yukino datang bersama Arata dan dokter yang tampak asing di mata Kano. Tentu saja, karena Kano jarang masuk rumah sakit. Tapi, dokter itu tampan dan masih muda. Sepertinya dokter baru. Semoga dokter itu tidak membeberkan rahasia Kano yang lain, tidak seperti Haruto yang bermulut besar.

"Anak Nyonya sudah lebih baik. Mungkin, tinggal dirawat beberapa minggu lagi sampai sembuh total."

Ujarnya setelah mengecek bagian-bagian tubuh Kano, seperti bola mata dan bagian dalam mulut. Awalnya, dokter itu tampak akan mengucapkan sesuatu, namun, urung dikatakannya. Ia malah meminta waktu berdua dengan Kano untuk sebentar. Kano takut dokter ini akan bertanya apa alasannya melakukan itu selama ini.

"Saya Watanabe Naoki, dokter yang ditugaskan untuk merawat kamu,"

Ucapannya belum selesai.

"Kamu merahasiakannya dari ibu-mu?"

Kano memilin bibirnya gugup. "Tentu, mana mungkin ada anak yang memberitahu ibunya jika ia melakukan itu?"

Dokter itu tertawa. "Betul juga. Tapi, saya terkejut; ketika kamu dioperasi, banyak luka-luka sayatan di paha dan perut. Perawat lain, pun, begitu. Saya langsung menyuruh mereka untuk fokus saja ke tujuannya."

Kano mengangguk. "Terima kasih, Dokter."

"Eum, dokter tidak akan memberitahukannya ke Ibu saya, 'kan?" celetuk Kano lagi. Naoki yang sedang membetulkan infus milik Kano terlihat berpikir.

"Tergantung. Kalau kamu setuju kencan dengan saya, tidak akan saya beritahu."

Kano tertegun, mukanya memerah. "Dokter kok genit, ih!"

Naoki tertawa lagi, menikmati menggoda Kano. "Saya bosan, lama-lama berkutat jadi dokter melulu. Dan lagi, tidak ada pasien saya yang secantik kamu. Perbedaan umur kita juga tidak terlalu jauh. Saya tebak kamu kisaran tujuh belas tahun, 'kan?"

"Memang, Dok. Tapi, saya sudah punya pacar; jadi, tidak bisa. Kalau saya dituduh selingkuh, 'kan, malah lebih gawat, hehe," Kano meringis; meminta maaf.

"Ya sudah, temani saya beli hadiah untuk keponakan saya saja; bulan depan, bagaimana? Keponakan saya perempuan soalnya, dan perempuan di keluarga saya hanya sedikit; itu, pun, mereka agak tomboi," Naoki menjelaskan tanpa diminta. Kano manggut-manggut.

"Boleh, Dok. Tunggu saya keluar rumah sakit, ya," Kano terkikik geli. Pasalnya, dokter bermarga Watanabe ini sangat humoris dan ceria, ia membawa energi positif.

Hening.

"Kalau begitu—,"

"Sekarang hari apa, dok?" Ujaran Naoki terpotong oleh Kano.

"Hari Sabtu," jawab Naoki.

Kano bertanya sekali lagi, "Benar saya sudah koma dua minggu?"

"Iya, tahu dari siapa? Pacar kamu yang selalu menunggu kamu, itu, ya?"

Mata Kano membelalak. "Hah? Masa, sih, dok? Pacar saya itu sibuk, loh," balasnya. Arata memang sibuk; sibuk belajar maksudnya. Lelaki itu dikenal ambisius sesekolahnya, bahkan, saat liburan musim panas, pun, ia masih belajar dan belajar, sampai tidak menghadiri festival musim panas yang membuat mereka bertengkar sebentar. Untung saja; Arata itu pengertian, hingga ia meminta maaf dan berjanji akan meluangkan waktu lebih banyak untuknya.

"Berarti, ia bukan pacar kamu? Tapi, ia akrab dengan ibu kamu, kok."

Kano tertawa. "Sepertinya, tidak ada, deh, pasien yang membahas hal pribadi dengan dokternya."

Mereka berdua tertawa bersama.

🍂

Hari Senin.

Yukino kerja. Haruto sekolah. Arata, pun. Kano bosan, sampai rasanya ingin mati. Ia berada di taman rumah sakit, duduk di kursi roda yang didorong oleh salah satu perawat. Namanya Aki. Yoshida Aki.

"Nona Perawat, kapan saya bisa keluar dari rumah sakit?"

Kano berceletuk sambil memandang langit biru berawan. Pandangannya kosong. Ia berpikir; kalau saja ia tidak menolong Haruto kecil yang hampir terseret ombak, mungkin, keadaannya sekarang tidak akan begini. Melamun sendirian—sebenarnya, berdua—ditemani angin sepoi-sepoi yang menyejukkan. Mengenaskan—kakinya mungkin tidak bisa berjalan dalam waktu lama ini.

"Kalau itu, saya tidak tahu. Coba nanti tanyakan pada dokternya?" jawab Aki baku. Kano mengangguk dalam diam.

"Saya dengar kamu rela tertabrak demi menyelamatkan sahabatmu, ya?"

Kano terkesiap. Hah?

"Ano ... kok, Nona Perawat bisa bilang begitu?" ringis Kano.

Aki tersenyum simpul. "Kisahmu terkenal di kalangan perawat medis, loh, Dik. Mereka mengagumi keberanianmu yang meloncat untuk mendorong sahabatmu menyingkir."

"Yoshida-san," bisik Kano mencoba mendekat ke telinga Aki. Wanita itu menunduk sedikit dan mengangkat alis, senyumnya masih bertahan.

"Iya?"

"Sebenarnya ... ia yang mendorongku ke depan truk."

Mata Aki membulat lebar. "Eh? Maksudnya? Jadi, ia mendorongmu supaya tertabrak, begitu? Tidak mungkin, ''kan? Bukankah kalian sahabat? Apa yang—,"

"Ssst," Kano menaruh jari telunjuknya di depan mulutnya yang membentuk garis. "Mau saya ceritakan, tidak?"

Aki mengangguk antusias. Dirinya langsung mendorong kursi roda Kano ke satu bangku terdekat dan menjatuhkan pantatnya disana. "Ayo ceritakan, saya penasaran," katanya.

"Em, sebelumnya Yoshida-san tahu saya memiliki luka?"

Aki mengangguk kedua kalinya. "Saya dan Naoki-sama berteman, jadi, ia memberitahu cukup banyak hal kepada saya, termasuk kamu yang mempunyai banyak sekali sayatan; di paha, perut, mau pun bahu yang memar. Kamu pasien remaja kedua yang kedapatan seperti itu." Kano ber-oh panjang.

Tunggu, pasien remaja kedua?

"Siapa pasien remaja pertama, Nona Perawat?"

Aki menggeleng cepat. "Ia cantik sekali seperti namanya, daun mapel. Tapi, tidak sopan membicarakan ningen yang telah menjadi abu. Sekarang, lanjutkan ceritamu."

Kano mengernyit, daun mapel? Abu? Jadi orang itu sudah meninggal?

"Saya ... merasa bodoh sudah melakukan hal tersebut."

Aki menepuk tangan Kano pelan. "Tidak apa, semua orang pasti pernah bodoh, kok. Pun, saya."

Kano menatap Aki meminta penjelasan. Perawat bermarga Yoshida itu lalu menggulung lengan seragamnya, menunjukkan beberapa luka garis-garis yang cukup dalam, bahkan—di bagian nadinya, membiru.

"Yoshida-san, ternyatasaya—saya ternyata, saya tidak sendiri. Meski untuk hal seperti ini, saya ... saya senang sekali." Kano mulai terisak. Aki (yang tidak mengerti harus melakukan apa) hanya mengelus-elus tangan Kano yang ia pegang sedari tadi. Tangisan kecilnya reda beberapa menit kemudian, karena temukan kucing yang mendekati kaki langsing sang perawat.

"Eh? Kucing!"

Aki tersentak, ia langsung menaikkan kakinya ke bangku taman. "Eh?! Kucing? Dimana?!"

Sepertinya Aki takut kepada makhluk Tuhan yang imut itu.

Kano terkekeh, ia mengusap butiran air matanya yang jatuh. Kemudian, tanpa persetujuan Aki, gadis itu dengan susah payah membungkuk lalu mengambil kucing tersebut dan menaruhnya dalam gendongannya.

"Kucing ini menggemaskan. Saya boleh memeliharanya?"

Aki berjengit menjauh. "Jangan, bulunya bisa membuat kau infeksi—kau!" Aki berteriak karena secara tiba-tiba Kano mengarahkan kucing itu kepadanya.

"Tidak menyangka, ya, Yoshida-san bisa kasar, hihi." Kano terkikik. Wajah Aki sudah memerah padam sampai ke telinga, ia menggigit bibir. "Ayolah, ijinkan saya memeliharanya, ya?" Kano sedang ber-aegyo atau apalah itu namanya.

"Uh, saya tidak bisa memberi ijin." Aki membuka suara. Kano menghela napas.

"Kalau begitu, saya harus meminta ijin ke Naoki-sama?"

Aki mengangguk. Kano menahan napas lama, mengepalkan tangannya sendiri seolah menyemangati. "Tidak apa! Naoki-sama pasti sibuk, aku akan meminta ijin besok, ketika beliau luang!" gumamnya lebih kepada diri sendiri. Kucing itu mengeong seolah ikut mendukungnya.

Aki memijit pelipisnya, "Haa, terserah kamu saja. Saya tidak mau ikutan dimarahi, ya, kalau kamu memegang kucing itu."

"Eung! Lagipula, saya tidak akan dimarahi, kok, hihi," ucap Kano sangat yakin.

Aki mengernyit. "Kenapa bisa yakin sekali?"

Kano menampilkan deretan giginya dengan manis. "Karena Naoki-sama menganggap saya spesial," ujarnya kemudian. "Namamu Hachi, ya, sayang," gumamnya lagi, fokusnya teralihkan untuk mengelus rambut-rambut kucing itu.

Aki bingung.

Spesial?

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top