十五 ; abu hachi torazu

catch neither the horsefly nor the wasp
.......................................

"Kau serius ingin menjadi idol?"

Eru mengangguk santai menanggapi pertanyaan Naoki. Mereka sedang berada di kamar rumah sakit milik Kano. Gadis itu sudah merasa baik-baik saja tetapi, rasa malas melarangnya melakukan hal yang membuat sehat—misal, berolahraga—dan memilih merebahkan dirinya di kasur yang tidak empuk sama sekali.

"Dengan usia semuda itu?"

Eru berdecak, dapat didengar oleh Kano yang sepertinya tertarik dengan pembicaraan mereka.

"Justru usiaku ini cocok, kak, karena agensi membutuhkan yang segar-segar sepertiku."

Naoki menyentil dahi Eru pelan, membuat Eru mengaduh sedikit. Gadis itu mencebik. "Apaan, sih?" ujarnya tak terima.

Naoki terkekeh kecil, sedetik kemudian berlagak marah. "Jangan bicara seperti itu. Memangnya kamu itu daging?"

Kano memperhatikan mereka berdua dan tertawa renyah. "Kalian lucu, ya? Kenapa dokter Naoki menolak Eru? Padahal, ia, kan, manis."

Naoki menggeleng, "Kalau ia lebih tua, saya pasti tidak akan menolak perjodohan tidak masuk akal itu."

Bibir Eru kontan memparodikan kalimat yang baru saja dilontarkan Naoki. Berceletuk, "Apa bedanya dengan kak Kano? Ia bahkan hanya berbeda setahun dariku! Huh, katakan saja kalau Kakak tidak menyukaiku."

Naoki meraup wajahnya gusar. "Apa yang kau katakan?"

Eru berpaling ke Kano yang terbengong. "Kak, tahu, tidak, kak Naoki pernah telepon aku malam-malam cuma buat menceritakan kisah Kakak yang memprihatinkan?!"

Kano hampir meledak dalam tawa. "Maksudmu kisahku yang memprihatinkan?"

"Iya." Eru mengangguk, menambahkan, "Aku dengar Kakak tertabrak truk?"

Kano membeku. Samar-samar mengingat memori sebulan lalu. Jangan lupakan fakta bahwa ingatannya masih belum kembali dan hari demi hari dihabiskannya dengan cekokan masa lalunya yang tidak ia ketahui. Kano terkekeh hambar. "Begitulah."

Eru menyentuh lengan Kano, berempati. "Aku tahu itu berat bagi Kakak, tapi, setiap kali Kakak membutuhkan bantuan, aku ada disini."

"Tidak apa, itu sudah berminggu-minggu lalu." Kano mengulas senyum simpul yang dipaksakan.

Situasi menjadi hening sejenak. Kano membuka topik, "Bagaimana kalau kita makan bersama? Aku cukup sehat untuk sekadar pergi keluar."

Naoki menaikkan sebelah alisnya. "Yakin kamu tidak akan pingsan lagi?"

"Tidak, kok!" sungut Kano merasa sebal. Akhir-akhir ini, tubuhnya memang lemah, setiap kali bersinggungan dengan masa lalunya ia akan pusing dan jatuh pingsan. Selalu seperti itu. Siklusnya berputar-putar disitu saja. Dan Kano membencinya. Kano membenci dirinya yang tak berguna yang bisanya menyusahkan orang lain. Ke mana Kano yang berdiri sendiri? Hilang sejak saat Haruto membuatnya amnesia.

"Kakak bisa masak, tidak?"

Kano mengangguk ragu. "Sedikit. Aku sering membantu ibu dirumah."

Eru tersenyum culas. "Kalau begitu kita adakan pesta kecil! Untuk merayakan kesembuhan Kak Kano sebentar lagi."

"Di mana?" Kano mengernyit. Untuk apa pula merayakan kesembuhan Kano yang tidak pasti? Sungguh aneh.

"Bagaimana kalau di kondominiumnya kak Naoki?" Eru menjentikkan jarinya. Membungkam mulut Naoki yang hendak mengeluarkan protes dengan tangannya. Menyuruhnya menyetujui lewat kontak mata yang terjadi.

"Eh? Aku ini orang asing, tidak bisa masuk flat orang sembarangan seperti itu," tukas Kano menolak. Eru tampak mendesah kecewa.

"Yah, Kak, aku ini jarang sekali membuat pesta, lho. Papa dan Mama selalu menyuruhku berdandan yang baik untuk lelaki satu ini." Eru menekankan intonasi pada kata 'lelaki satu ini' yang mengundang kikikan kecil dari Kano.

"Tentu saja, ia, 'kan, Tuan Muda," ucap Kano menimpali.

Eru memprotes, "Aku juga Nona Muda!"

Kano mengusap air matanya yang turun karena terlalu menghayati tertawa. "Iya, iya, Nona Muda Watanabe."

🍂

Kano membuka matanya.

Kepalanya menoleh kesana kemari, mendapati sebuah ruangan luas dengan bed king-sized yang tengah ditidurinya. Kano mengangkat badannya dan duduk. Ia baru sadar tangannya terikat oleh semacam rantai dan keduanya melekat sehingga membatasi pergerakannya. Begitu pula kakinya. Kano bergidik ngeri, apa ia masih bermimpi? Kano mencubit pipinya, tetapi terasa sakit. Kau tidak bisa merasakan sakit di alam mimpi, artinya Kano sepenuhnya ada di dunia nyata.

Apa sekarang ia sedang berada di dalam situasi mengerikan seperti di novel-novel?

Maka yang harus ia lakukan adalah mencari cara melepaskan gembokan di kedua tangannya dan kabur secepat mungkin sebelum 'penculiknya' datang. Kano melihat sekitar lagi, mata kucingnya tidak mendapati satupun benda yang tajam yang mampu membebaskannya dari sini. Saat Kano menggaruk kepalanya karena kehabisan ide, ia menemukan jepit rambut tipis nan runcing yang ia gunakan untuk menghalau poninya jatuh kebawah. Kano tersenyum cemerlang. Ia melepas jepit rambut itu dan mengutak-atik lubang kunci di rantai itu.

Kano mendesah frustasi sebab lubang kunci itu sama sekali tidak bisa dibuka.

Pintu didorong dari luar, dan Kano refleks menyembunyikan jepit rambut itu dibawah lidahnya. Muncul Naoki dan Kano hampir menghela napas bahagia, sebelum menyadari tatapan dokter tersebut jauh berbeda dari biasanya. Kano bergidik, apa iya Naoki yang menguncinya? Tidak mungkin, 'kan? Dokter itu baik, kok. Sepanjang pengamatan Kano, sih.

"Ah, dokter—,"

Ucapan Kano dipotong. "Lapar?"

Nadanya bahkan lebih dingin dari biasanya. Kano bergeming dan tidak menjawab. Naoki melangkah maju mendekati Kano, menyingkirkan anak rambutnya yang menjuntai sana-sini. "Perlu kuingatkan?"

Oh, betul. Semalam, Kano sudah lebih dari baik-baik saja. Ia menurut diajak Eru ke kondominium tunangan tidak resminya dan mereka mengadakan pesta kecil-kecilan. Kano ingat sekali sesampainya disana ia malah disuruh duduk dan dilayani seperti putri, tidak ikut memasak yang mana membuatnya merasa bersalah. Ketika semua masakan sudah jadi dan diletakkan di meja makan, tidak ada yang bergerak untuk mengambil sumpit. Eru beralasan bahwa ia ingin Kano mencicipi masakannya yang paling pertama. Sekali lagi, Kano yang naif dan bodoh menurutinya. Selanjutnya buram dan kepala Kano menjadi sakit saat ia memaksa mengingatnya.

"Aku ... pingsan lagi, ya?"

Naoki terdiam. Hening sesaat. "Bisa dibilang seperti itu."

"Lalu kenapa," Kano bergumam, menatap tangannya dan kakinya. "Aku sekarang ada dimana?"

"Kondominiumku."

Kano tidak terkejut. Ia sudah menduganya. Apakah mungkin Eru menaburkan sesuatu pada masakannya?

"Buka mulutmu."

Kano tercengang. "Eh?"

"Buka."

Kano menurut. Tangan Naoki melesak ke dalam mulutnya dan mengambil jepit rambutnya. Harapan satu-satunya Kano pupus sudah. Tapi, ia masih harus berpikiran positif, siapa tahu ini hanya permainan dan Eru akan muncul tiba-tiba dari manapun?

"Ano ...."

"Jangan menatapku begitu. Tanganku bersih."

Hah, memangnya Kano menatap bagaimana?

Kano jengah akan situasi canggung ini. Naoki berdiri dan keluar kamar sebentar, lalu kembali masuk, menutup pintu, dan duduk di sampingnya. Ia sepertinya membuang jepit rambutnya di luar kamar? Karena Kano tidak mendapati tempat sampah di ruangan seluas ini.

Kano akan mengatakan sesuatu, tetapi, untuk kedua kalinya dipotong dengan Naoki yang keluar kamar lagi, membiarkan pintunya terbuka. Kano beranjak menurunkan kakinya dari ranjang, namun, terbelit rantai yang melilit kakinya hingga ia terjatuh dari ranjang tinggi itu. Kepalanya pusing. Begitu ia mendongak keatas, ia menemukan Naoki melemparkan tatapan dingin ke arahnya. Mengantarkan sebuah sengatan listrik yang mampu membuat tubuhnya membeku.

"Bangun."

Kano susah payah berdiri. Lalu apa? Kano bertanya-tanya dalam hati.

"Duduk."

Kano duduk menyamping di ranjang empuk itu. Menundukkan kepalanya takut-takut. Sebenarnya ada apa? Eru—apa gadis kecil itu menjebaknya?

"Lihat aku."

Kano melihat Naoki, ke mana saja asal tidak bertubrukkan dengan hazel milik dokter itu.

Ia menyadari bahwa Naoki membawa nampan yang berisi makanan. Kano tidak tahu itu makanan apa saja karena sang pembawa nampan jauh lebih tinggi darinya.

"Makan,"

Naoki meletakkan nampan itu disebelahnya. Hanya satu porsi pangsit dan ramen, serta segelas susu vanilla.

"Dan jangan pernah mencoba keluar dari kamar ini."

Apa katanya?

Kano ternganga. Apa yang baru saja terjadi? Otak Kano seolah menolak memproses kejadian-kejadian tadi dan membiarkannya tenggelam dalam ketidaktahuan dan keputusasaan. "Tapi, aku ada sekolah—!"

"Sudah kuurus."

Kata terakhirnya.

Kano ditinggalkan dalam kesunyian.

Apa-apaan ini? Kano menaikkan kakinya dan mengkurapkan badannya untuk makan. Ia mengernyit mengetahui di nampan itu tidak ada sumpit. Apa Naoki lupa menaruhnya?

Maka ia hanya memakan pangsitnya dan meminum susunya. Setelahnya ia memindahkan nampan yang masih tersisa ramen tersebut ke lantai. Cahaya di kamarnya meredup dan menghilang. Gelap sekali, membuat Kano gemetar ketakutan. Ia membaringkan dirinya dan meraba-raba selimut tebalnya, membungkus dirinya sendiri dengan selimut itu dan jatuh terlelap.

Kano terbangun kala mendengar pintu terbuka. Sepertinya ia sensitif sekali dengan bunyi sekecil apapun karena ruangan yang ditempatinya benar-benar sunyi. Hanya ada ranjang dan lemari besar serta kamar mandi dalam, yang Kano yakini juga dikunci.

"Sudah bangun?"

Kano mengangguk kecil. Naoki merangsek maju, hendak mengambil nampan yang ada di samping ranjang. Tampak marah mengetahui makanan yang ia sediakan tidak dihabiskan.

"Kenapa kau sisakan ramennya?"

Kano terkejut. "Ah, itu, karena tidak ada sumpitnya."

"I thought I've said you to eat!"

Uh, keras sekali. Telinga Kano sampai berdengung mendengarnya. Yang Kano herankan adalah aksen sempurna lelaki itu, seperti ia benar-benar sudah lancar dalam pengucapannya dan tidak kelewatan satu pun. Kano saja yang juara inggris di kelasnya tidak bisa secara jelas dalam pengucapannya.

"Ka-karena tidak ada sumpitnya! Ja-jadi tidak aku makan," elak Kano. Bukan ia yang salah, 'kan? Memangnya bagaimana lagi cara memakan ramen?

"You're such a moron. I gave you a chance and you wasted it. There's no food for you today."

Kano terbelalak. "Eh? Apa? Dokter!"

Kano menahan lengan Naoki yang beranjak pergi, menatap lemas. "Kumohon, perutku lapar. Beri aku makan." Ia benar lapar. Ia sendiri tidak tahu sekarang pukul berapa karena tidak ada jam dinding di kamarnya. Aneh juga, kenapa semua orang menjahatinya begini, sih? Dari mulai ditabrakkan ke truk, lah, dibuat amnesia, lah, dibuat bingung setengah mati oleh hubungan darah Akira dan Haruto, kemudian dibuat bingung oleh tingkah Naoki yang berubah seratus delapan puluh derajat begini. Apa Kano pelakor jaman purbakala yang membunuh permaisuri raja atau bagaimana?

"Kalau begitu makan ramen itu."

Mata Kano sukses membola. Hah? Memakan ramen yang tidak tahu sudah basi apa belum? Apa Naoki gila?

"Katanya kau lapar."

Kano bergeming. Sedang berpikir baik-baik apakah ia harus mengambil ramen itu atau tidak. Pertama, ia sangat kelaparan dan tidur seperti orang mati jadi tubuhnya pasti lelah. Ia harus makan. Kedua, jika ia mengambil ramen itu, tubuhnya bisa berubah lebih buruk lagi karena ramen itu mungkin sudah basi. Jadi?

"A-aku akan memakannya," ujar Kano final. Ia hendak mencoba meminta sumpit, tetapi, niatnya dibatalkan ketika Naoki mengatakan, "Tidak ada sumpit. Makanlah dengan tanganmu."

Lihat? Naoki memperlakukannya seperti binatang.

Dan Kano benci ia yang lemah dan tidak tahu apa-apa seperti sekarang. Ia punya kesalahan apa sampai orang-orang memperlakukannya seburuk ini? Ia punya kesalahan apa sampai Haruto tega menabrakkannya ke truk? Ia punya kesalahan apa sampai Haruto tega melukainya hingga membuatnya amnesia? Ia punya kesalahan apa sampai dipaksa menetap di kondominium orang yang tidak terlalu dekat dengannya?

Kano punya kesalahan apa?

Kano mulai menangis. Ia meraup wajahnya dan berteriak sekencang-kencangnya. Menjerit tidak tahu malu. Rasanya sakit dan sesak sekali—seolah rasa takut itu menyebar ke seluruh pembuluh darah Kano. Naoki membiarkannya begitu saja, dan pergi meninggalkannya. Kano pikir ia akan kembali bergelut dengan kegelapan sebelum lelaki yang lebih tua darinya itu menyodorkannya suapan ramen pertama.

"Makan."

Perintahnya. Kano membuka mulutnya dan memasukkan mi yang sudah dingin itu, mengunyahnya pelan. Naoki terus menyuapinya sampai mi dalam mangkuk itu kosong. Lelaki ini menghela napas.

"Kau harus mandi."

Naoki beranjak dari ranjang dan membuka kunci kamar mandi, terdengar kucuran air dari dalam sana. Butuh waktu sekitar sepuluh menit sampai lelaki itu keluar dari kamar mandi dan menyuruh Kano masuk.

"Aku akan siapkan pakaianmu. Handuk sudah disana."

Kano mengangguk kecil.

Saat Kano menyelesaikan mandinya—yang mana ia sangat menikmatinya, sebab bath tub-nya nyaman sekali, ia sampai lupa sedang diculik—dan menggunakan bathrobe putih salju, ia menjumpai satu buntalan lengkap pakaian di atas ranjang. Ia menghampiri pintu kamar, mencoba membuka, tapi, nihil karena dikunci. Kano mendesah kecewa. Ia mengawasi sudut-sudut kamar dan menemukan satu kamera kecil, Kano tahu karena itu mengeluarkan semacam sinar merah kecil yang menjadi satu-satunya cahaya ditengah kegelapan malamnya.

Naoki mengawasinya?

Kano hampir menangis lagi. Kali ini ia menggeleng-geleng kuat dan membawa buntalan pakaian tadi ke dalam kamar mandi, berganti baju disana. Bahkan dokter itu tahu ukurannya? Astaga, menyeramkan.

Kano keluar dari kamar mandi, sudah mengenakan pakaian lengkap yang Kano yakini harganya tidak murah. Ia membuka lemari dengan cara menggesernya, menemukan pakaian-pakaian lain yang serupa tapi tak sama. Menemukan kertas dengan catatan acak-acakan disana.

Ini semua bajumu.

Singkat sekali. Kano mengernyit heran dan menggeser lemarinya menutup kembali. Netranya menangkap satu objek yang terletak di pojok kamar, sebuah mesin gacha!

Bagaimana bisa ia baru menyadarinya? Apa Naoki menyiapkannya sewaktu ia mandi? Apa tidak berat? Ah, Kano tidak peduli. Ia mendekati mesin itu dan memutar tuasnya, tetapi, gacha berbentuk telur itu tidak mau keluar. Kano dengan cepat mengobservasi mesin itu dan menemukan seplastik koin mainan yang jumlahnya lima buah.

Oh, jadi mesinnya harus pakai koin?

Kano dengan semangat memasukkan koinnya ke slot yang disediakan, memutar tuas. Ia mengambil telur yang keluar dan memecahkannya. Isinya kertas. Kano tidak membacanya dan memutar tuas lagi. Isinya juga kertas. Sampai kemudian ia menghabiskan lima koinnya, semuanya berisi kertas. Kano menghela napas jengah.

"Aku akan coba membacanya," gumam gadis itu lebih kepada dirinya sendiri. Ia membaca kertas dari telur pertama yang ia pecahkan, sukses mendelik ketika selesai mengucapkannya.

Kau hanya boleh memasukkan satu koin sehari.

Dan ia sudah memasukkan lima koin!

Kano menoleh ke sudut kamar. Kamera itu tidak berkedip lagi. Segera setelah ia menemukan dirinya gemetar karena takut, kunci pintu terdengar dibuka.

Kano dalam bahaya!

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top