🍁GARIS WAKTU
a story by YumYum_mAh
-
Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau bertemu dengan seseorang yang berpengaruh pada hidupmu. Juga, tidak di pungkiri kalau kau akan terluka atau merasa kehilangan. Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, akan ada saatnya kau ingin melompat mundur pada titik-titik kenangan tertentu.
Lee Jinhyuk namanya, pemuda tampan dengan tinggi di atas rata-rata. Sekarang berada di fase ingin melompat mundur pada titik-titik kenangan tertentu. Ia sudah berhasil bertemu dengan sosok yang berpengaruh dalam hidupnya. Tapi, sesuatu bernama takdir memisahkan mereka.
Tidak, bukan berpisah dalam arti apapun. Memang tidak ada kata-kata perpisahan di antara mereka, hanya ada sebuah kecelakaan. Dan Jinhyuk yang menjadi pihak yang paling rugi di sini.
Lee—Kim Wooseok maksudnya.
Dulu, hampir sekali marga itu berubah menjadi marganya. Kecelakaan membuat semuanya berantakan. Ia pernah hampir memiliki Wooseok seutuhnya, tapi kala hal fatal menimpa sosok manis itu terpaksa merenggut rencana mereka. Jinhyuk harus bisa menerima bahwa Wooseok hilang ingatan.
Tidak ada lagi sosok Kim Wooseok yang hangat padanya, yang biasanya akan selalu memberikan pelukan erat setiap harinya. Tidak ada lagi Kim Wooseok yang dulu selalu merenggut kesal setiap kali Jinhyuk goda. Yang ada hanyalah Kim Wooseok yang pendiam, dan tidak mengenal Lee Jinhyuk.
Memang apa yang ia harapkan? Keadaan di sekitar Wooseok berubah drastis. Pemuda Kim itu jarang tersenyum seperti dulu, dan menjadi sangat pendiam. Itu bukanlah sosok Wooseok yang di kenalnya. Kemana Kim Wooseok yang secerah matahari?
"Aku akan bilang kalau kau stalker, penguntit." Yuvin datang lalu menarik buku yang sejak tadi pura-pura Jinhyuk baca.
Objek yang semata menjadi pengalihan bahwa dirinya sedang menguntit Wooseok. Pujaan hatinya yang sedang larut dalam dunianya, membaca di sudut perpustakaan di temani dengan cahaya senja. Semilir angin menggelitik kulitnya, sesekali membuat surainya bergerak teratur. Angin musim gugur memang selalu menyejukkan.
"Tolong jangan buat identitasku terlihat begitu jelas." Protes Jinhyuk lalu kembali mengambil buku yang sebelumnya di rebut oleh Yuvin.
"Sayang sekali itu memang sudah terlihat sangat jelas." Yuvin merotasikan matanya malas.
"Kenapa kau tidak mendekatinya?" tanya Yuvin penasaran pada Jinhyuk yang sudah kembali menatapi Wooseok.
Jinhyuk bergeming, entah menerawang apa di depan sana. Si jangkung menoleh pada Yuvin yang entah mengapa tampak begitu antusias mendengarkan jawaban dari Jinhyuk. "Dia pasti berpikir kalau aku orang yang aneh karena tiba-tiba mendekatinya."
"Tapi sebenarnya kau berhak atas semua itu, kau berhak atas seorang Kim Wooseok."
"Tunggu tidak semudah itu sebe—Hei Song Yuvin lepaskan aku, astaga ini sa—"
Lee Jinhyuk seketika terdiam. Melihat bagaimana Wooseok menatapnya dan Yuvin dengan penuh keheranan. Pemuda Kim itu menatap mereka bingung dengan kacamatanya yang sedikit turun di batang hidungnya—terlalu menggemaskan.
"Hallo Kim Wooseok, Jinhyuk tadi minta untuk ditemani membaca buku. Tapi sayang sekali aku ada kencan. Jadi, aku titip dia padamu ya."
Belum sempat si Lee menyerukan protesnya, kini tubuh jangkungnya sudah dibuat duduk di sebelah Wooseok oleh Yuvin yang lalu berlalu seraya tersenyum penuh arti padanya.
"Maaf, Yuvin memang begitu." Jinhyuk hampir saja tidak bisa menahan dirinya.
Melihat bagaimana pemuda manis itu menatapnya intens, lalu senyum kecilnya. Sunggu, Lee Jinhyuk rindu semua hal yang ada pada Kim Wooseok.
"Aneh ya, jantungku berdebar tak karuan. Apa sebelumnya kita pernah bertemu?"
Dada Jinhyuk terasa sesak, tapi ia tetap paksakan senyum itu ada di wajah tampannya. Mempertahakan ekspresi wajahnya, berbanding terbalik dengan jantungnya yang seakan di remas di dalam sana.
"Menurutmu?" jawaban yang tidak memberikan penjelasan cukup bagi Wooseok membuatnya cukup sebal.
"Jadi, kau orang yang selalu memperhatikanmu dari sana ya?"
Dan Jinhyuk tersedak setelah penuturan itu terdengar.
***
"Jinhyuk, kemari!"
Wooseok belari menginjak daun-daun maple yang berguguran, mereka sedang berlibur ngomong-ngomong. Bukan liburan ke tempat mewah apapun. Pemuda Kim itu ingin berlibur di tempat yang membuatnya tenang, dengan pemandangan yang indah dan tanpa hiruk-pikuk kota.
Pemuda Lee itu tersenyum lembut. Surai hitam legamnya tertiup angin, sukses membuat Wooseok berdebar melihatnya. Langkah kaki Jinhyuk membuat jarak mereka semakin tipis, hingga si dominan berada di hadapan Wooseok.
"Iya, ini aku sudah sampai."
Lalu tanpa mengucapkan apapun, Wooseok sontak menabrakkan tubuhnya ke dalam pelukan Jinhyuk. Meski bingung pemuda Lee itu tentunya tidak akan menyia-nyiakan hal seperti ini. Lantas, ia rengkuh tak kalah erat tubuh mungil Wooseok di dalam dekapannya.
Hubungan mereka tidak kembali seperti dulu—belum. Wooseok belum ingat apapun, dan Jinhyuk tidak ingin memaksakan kehendaknya agar Wooseok kembali mengingatnya. Jinhyuk tidak sepasif itu, ia akan selalu menjawab semua pertanyaan yang Wooseok lontarkan. Seperti ; "Apa kau tau hal-hal tentang diriku yang tidak aku ketahui?"
Lalu Jinhyuk akan menjawab ; "Iya, ukuran pinggangmu begitu kecil."
Berakhir dengan kepalanya yang di pukul oleh Wooseok dengan buku tebal sastranya. Tapi yang jelas, Wooseok paham kalau ia kehilangan sebagian besar ingatannya. Tapi, tampaknya pemuda Kim itu belum siap untuk bertanya hal-hal seperti ; "Apa dulu kita memiliki sebuah hubungan?"
Seharusnya cincin pada kalung yang Jinhyuk kenakan itu menjawab semuanya. Tapi Jinhyuk selalu memasukkan cincin—yang merupakan liontin kalungnya ke dalam bajunya. Sehingga, hanya terlihat rantainya yang menggantung pada leher. Jinhyuk sengaja melakukan hal tersebut.
"Terkadang aku merasa sesak, ada bagian di dalam dadaku yang terasa kosong. Bisa kau beritahu apa itu?" lirih Wooseok, pelukkan itu kian mengerat dengan Jinhyuk yang mengusap pelan surainya.
Jinhyuk tertegun, sontak saja membuat usapan pada punggung Wooseok terhenti. Tidak lagi mendapati usapan pada punggungnya, Wooseok melepaskan pelukkan itu. Ia mendapati Jinhyuk yang tengah membuang muka ke sembarang arah.
"Tatap aku, dan beritahu aku jawabannya." Kedua tangan Wooseok menangkup wajah Jinhyuk memaksa pemuda Lee itu untuk menatapnya.
Menatap ke dalam manik jernihnya yang terlihat tak memiliki harapan. Memang benar, ada sesuatu yang hilang dari Wooseok. Sang empu tidak mengerti apa itu, pemuda tinggi di hadapannya itulah yang mengetahui kehilangan si Kim. Dan kehilangannya merupakan pemuda tinggi itu pula.
"Lantas, apa yang hilang dariku Jinhyuk?"
"Aku,"
Kening Wooseok lantas saja mengernyit heran mendengar penuturan Jinhyuk yang mengambang. Tapi, tidak bisa di pungkiri kalau jantungnya serasa ingin meledak kala tangan besar Jinhyuk meraih tangan mungil Wooseok yang masih menangkup wajahnya. Perlahan, Jinhyuk tuntun tangan itu turun, hingga berada di dadanya. Wooseok terkejut, mendapati jantung Jinhyuk sama berisiknya dengan miliknya.
"Kau kehilangan diriku, kenangan kita. Kau kehilangan semua itu."
"Jadi selama ini, kau—" Wooseok terperangah dengan segala fakta yang menabraknya.
Pengungkapan Jinhyuk sungguh membuatnya pusing, juga dadanya yang terasa berdenyut semakin menyiksanya. Ia tidak tau harus senang atau marah, atau apapun itu. Semua perasaan aneh itu sekarang menjadi satu. Ingin ia marah karena Jinhyuk diam saja, membiarkannya uring-uringan tidak jelas dengan kehampaan di dalam. Atau senang karena Jinhyuk selalu tulus mendampinginya meski tersiksa dengan rasa rindunya.
"Kau tau semuanya, tapi pura-pura tidak tau?"
"Aku tidak mau membebanimu."
Sungguh, Wooseok tidak mengerti mengapa Lee Jinhyuk terlihat begitu tulus. Senyumannya mampu menutupi semua rasa sakitnya, Wooseok bahkan dapat melihat manik itu berkaca-kaca. Lee Jinhyuk tetap berdiri kokoh meski tersakiti, ia bukanlah orang yang bisa di hancurkan dengan mudah.
"Kalau begitu, bantu aku kembali untuk mengingatmu."
Satu kecupan Wooseok terima pada keningnya. Lee Jinhyuk selalu berhasil membuatnya berdebar dalam setiap perlakuan manis tersebut.
"Maka dengan senang hati aku akan melakukannya."
END.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top