(Past) BAB 10: Luna
Jangan lupa follow PixiOfficial sebuah akun yang didedikasikan oleh Zaryn Geraldi untuk wattpader Indonesia khususnya para author dan calon author di Wattpad. Semoga kalian menjadi pencerita yang handal lagi bermanfaat ☺
***
Luna, sebuah nama yang mewakili bunga-bunga yang sanggup mekar di malam hari, berhujan, berpetir, menggigil dan sedikit api.
***
[Past]
---Ge---
Tidak, tidak. Gue nggak pernah berusaha menutup diri dengan siapapun. Jika di masa yang terlewat gue belum bisa bertemu epilog bahagia dengan seseorang, mungkin itu artinya gue sudah tercatat untuk menjadi pemeran utama di kehidupan orang lain.
Singkat cerita gue berhasil bekerja di minimarket setelah dua bulan masa pelatihan. Lumayan, gue punya pemasukan sendiri buat memenuhi kebutuhan gue yang lain. Sekalipun gue harus mengorbankan waktu malam gue buat jadi kelelawar di dalam ruangan minimarket yang dingin. Asli, di dalam minimarket itu lebih perlu pake jaket sebenernya dari pada nongkrong pas malamnya di luaran kota Bandung.
Gue dapat jam kerja yang sama bareng Luna. Sebab sebelumnya dia menghabiskan malam-malam di minimarket sendirian.
Dia itu orangnya susah ditebak. Waktu baru pertama kenal dia suka malu-malu gitu sama gue. Padahal harusnya bisalah nunjukin senioritas dikit buat gue yang anak baru. Tapi malah dia yang segan sama gue.
Dia nggak berani nyuruh gue angkat-angkat barang. Makanya gue suka inisiatif sendiri. Kalau nggak dia malah angkat barang yang berat tanpa berani meminta gue buat angkat.
Heran sih ketika gue harus membuat dia terbiasa sama gue. Bukan gue yang terbiasa sama dia.
Kita kerja dari jam 10 malam sampai pukul 4 pagi. Ini peraturan dulu, nggak tahu sekarang seperti apa.
Kadang kalau lagi senggang gue ajak dia ngobrol. Ini usaha gue biar dia terbiasa sama gue. Soalnya walaupun kita satu jurusan, tapi dia seolah nggak kenal gue setiap kali papasan di kampus. Aneh sih. Kita belum sekelas. Sekelasnya nanti pas ada masa pengisian KRS.
"Kita gini banget ya buat kuliah," kata gue.
Luna malah senyum sambil nggak ada kerjaan mainin kertas sisa struk.
"Kamu nggak pengin pulang, Na? Ada libur sebulan bentar lagi," kata gue lagi.
Dia tersenyum disusul dengan gelengan lemah. Apa dia pendiem parah ya? kalau dekat sama gue dia kebanyakan nunduk. Padahal menurut yang gue amati, misal cewek berkuncir kuda dan berambut lurus itu ramai orangnya. Ya nggak setiap hari sih dia bergaya seperti itu. Kadang digerai. Kadang cuma diikat sederhana. Dan misal jam kerja udah selesai, dia langsung buru-buru ke toilet buat menghapus make up cepat-cepat. Kemudian memakai sweater hitam dan tas ransel. Biasanya dia langsung pulang tanpa menunggu gue. Ya gue memang nggak mengharapkan ditunggu sih, tapi seenggaknya kan kita rekan kerja. Wajar dong misal mengakrabkan diri.
Meskipun begitu, gue nggak boleh jadi pihak yang menjauh. Ini bukan soal cowok dan cewek. Tapi soal rekan kerja.
Gue ingat banget, beberapa hari setelah gue bahas soal liburan, sekitar pukul tiga pagi hujan turun deras banget. Segera gue mengamankan barang-barang yang diluaran.
Saat pegawai pengganti sudah datang, ini waktunya gue sama Luna buat pulang.
Butuh waktu sektar 15 menit jalan kaki supaya gue tiba di kostan. Dan kostan gue itu melewati kostannya Luna. Jadi sebenernya misal kita bisa solid, bisa kan ya kita berangkat kerja bareng?
"Kamu libur ini balik ke Jawa nggak Ge?" tanya Dodit, manajernya gue yang masih muda.
"Mudik juga mau ngapain, Pak," jawab gue.
"Yaudah bagus. Kerja aja di sini, lagipula aku nggak bakal ngasih cuti. Nanti aku kasih bonus deh."
"Siap." Gue mengenakan jaket hitam tebal. Dingin banget cuacanya.
"Itu ada runtukan, mau dibawa pulang nggak?"
Kalian harus tahu, runtukan di sini maksudnya itu produk yang sudah masuk masa expired. Dan hari ini ada beberapa makanan yang masuk masa kadaluwarsa. Jadi otomatis ditarik dari rak. Dan biasanya boleh dibawa pulang sama karyawan. Beruntung sih gue sama Luna yang dapat jatah malam, jadi tepat di waktu penarikan. Kadang beruntung misal dapat sarden, mie instan, sabun, dll. Ini aneh banget memang, tapi bagi kami yang berjuang di negeri orang, asal halal itu udah oke. Nanti kalian bakal tahu maksud kadaluwarsa itu apa, meskipun agak gila sih.
Kali ini gue dapat tiga kaleng sarden, dua bungkus makanan ringan, keripik lokal, dan dua bungkus pasta gigi.
"Luna kebagian nggak?" tanya gue.
"Luna? dia mah nggak pernah telat buat ambil yang beginian. Malah semenjak ada kamu, jatah dia jadi berkurang. Kan biasanya cuma dia yang mau bawa ginian."
"Oh, yaudah aku pulang duluan."
"Hati-hati, besok jangan telat datangnya."
"Kapan aku telat?"
Dodit meringis sambil masuk ke ruangannya.
Pas gue keluar dari minimarket yang emang udah sepi, ternyata Luna masih berdiri di luar. Karena hujan dan kayaknya dia nggak bawa payung, makanya belum pulang juga.
Di sini kalian jangan berpikir kalau gue bakal jadi cowok keren yang nawarin payung buat dia. Orang gue-nya aja nggak pernah bawa payung. Biasanya sih gue terabas aja hujannya. Lari sampai ke kostan. Atau paling kuat nunggu dulu sampai agak reda. Tapi sekarang kalau ada cewek yang sama-sama terjebak hujan. Nggak etis misal gue pergi ninggalin gitu aja. Ya sekalipun selama ini gue ditinggalin Luna sih.
"Nggak bawa payung?" tanya gue.
"Kirain nggak akan hujan," jawabnya.
Gue ngangguk-angguk sambil menoleh ke tetesan hujan yang berderai di depan kami. Kemudian gue nengok ke Luna. Memperhatikan sejenak guratan lelah di wajahnya, kelopak mata yang berkantung, dan kulitnya yang putih membuat bibir pucatnya yang kedinginan terlihat jelas.
Menurut gue, Luna itu wajahnya mirip banget sama artis Cina. Matanya sipit, cantik. Entah dia emang keturunan keluarga Cina atau nggak, toh gue juga belum tahu latar belakang dia itu seperti apa. Ngobrol aja jarang banget.
Sesaat dia seperti gelisah karena hujan tidak kunjung reda, gue menebak kalau dia punya tugas kuliah yang belum dikerjakan. Apalagi tidak lama lagi akan memasuki musim UAS.
Gue kembali masuk ke dalam, mendekati ruangan Dodit.
"Pak, ada payung nggak?" tanya gue.
"Loh, kirain kamu udah pulang."
"Hujan deras banget, itu aku sama Luna nggak bisa pulang. Kalau ada, pinjamin lah, besok aku balikin cepat-cepat."
"Ooh, aku nggak ada payung sih. Tapi ada jas hujan."
"Nggak apa-apa. Itu juga boleh."
"Tapi jas hujannya yang jubah, bukan setelan baju-celana."
"Apapun, yang penting biar bisa pulang doang."
"Bentar."
Setelah dapat pinjaman jas hujan yang bentuknya kayak jubah yang lebar, gue langsung kembali keluar.
Gue lihat Luna lagi mengusap-usap lengan kedinginan.
"Luna, ini ada jas. Ayo pulang," kata gue.
"Hm?" dia menengok lalu memperhatikan jas yang ada di dekapan gue.
"Ayo,"
"Ng, aku nunggu reda aja."
"Kayaknya bakal lama redanya. Gue ada tugas yang belum dikerjain," gue memancing. Padahal gue sudah nggak punya tugas lagi. Dan benar saja, gue bisa melihat aura mengiyakan di raut Luna, bahwa dia lagi ada tugas.
"Yaudah, kamu duluan aja."
"Bareng ayo."
Dia ragu-ragu.
"Tapi itu kan jubah, nggak mungkin berdua," dia tersenyum sungkan.
"Halah, gampang. Bisa dilebarin buat berdua. Bentar lagi subuh. Ya? kita kan searah pulangnya."
Kemudian dia seolah sedang menimbang-nimbang. Dan sebuah anggukan ragu terlihat.
Gue nggak mau menanyakan lagi takut keputusannya berubah. Lalu gue memasukan bawaan ke dalam ransel. Dan membentangkan jas ke atas kepala.
"Ayo sini," ajak gue.
Dia ragu-ragu mendekat. Tapi masih berjarak selangkah dari gua.
Gue tertawa kecil, "Kalau ada jarak, nggak bakal bisa, Luna." lalu malah gua yang mendekat.
"Kamu pegang ujung satunya, sebelah kanan," gue memberi intruksi. Dia nurut aja.
Begitu sudah terbentang menaungi kita berdua. Gue memberi aba-aba.
"Siap?" kata gue.
"Iya,"
"Oke, kita mulai jalan pelang-pelan."
Setelah itu, kita sama-sama berjalan sedikit merunduk. Hujan seolah kompak membuat suasana semakin basah dan dingin. Tetesannya terdengar berjatuhan di atas jas. Percikan demi percikan tercipta dari setiap langkah kami. Tidak ada guntur, tidak ada angin, hanya hujan. Kita menyusuri trotoar yang sepi dan temaram. Menggigil. Lalu tiba-tiba kilat menyambar pucuk pohon johar dengan suara yang super kencang nan mengagetkan dan membuat cabang besar tumbang menimpa kabel. Gue ingat banget seketika lampu padam setelah ada kilatan api. Lokasinya nggak jauh dari posisi kami berjalan. Sepi tanpa ada kendaraan yang melintas.
Ada suara cekikan kaget dari mulut Luna. Dia menjingkut dan berani menempel ke tubuh gue. Gue nggak apa-apa. Terkejut sedikit doang. Begitulah cewek, entah seberlagak kuat apapun, tetap butuh cowok buat berlindung sekalipun hanya sesaat.
"Kaget ya?" tanya gue.
"Huff. Maaf, asli kaget."
Gue tersenyum. Akhirnya dia bicara juga. Apa aja deh, sekalipun itu sambaran petir yang penting gue bisa dengar dia ngomong dan bisa mencairkan suasana.
"Kalem aja, kita cepetan menjauh. Takut ada aliran nyasar. Nanti malah kita lagi yang kesambar."
"Hehe, iya."
Wahh! Dia bisa ketawa juga!
"Aku juga kaget tadi, wah. Tiba-tiba aja ya?"
"Iya."
Terus ngapain lagi nih? Biar ada obrolan. Gue nggak enak aja, masa udah lebih dari dua bulan kerja bareng masih belum bisa nemu waktu buat akrab.
"Ada tugas kuliah ya?" tanya gue.
"Iya, akuntansi. Ini juga udah kelewat deadline, tapi dapat toleransi dari Bu Irma."
"Sama, aku juga Bu Irma dosennya."
"Kamu udah?"
"Udah sih, tiga minggu yang lalu dikumpulinnya."
"Bagus deh. Aku, nggak jago sih ngerjain akuntansi."
"Aku juga nggak bisa-bisa amat. Tapi punya temen yang jago. Makanya bisa belajar bareng."
Kita masih terus berjalan bareng dibawah jas hujan. Sekalipun sebagian tubuh sudah basah kuyup.
"Enak kalau punya temen yang bisa ngerjain."
"Kan kamu di kelas juga punya temen, ajak belajar bareng aja,"
Luna diam. Hanya memberi sebaris senyum. Iya kan? Dia pasti di kelas ada teman yang bisa diandalkan. Atau, jangan bilang kalau dia juga susah bersosialisasi di kelas.
"Aku punya salinannya. Mau lihat nggak?"
"Hm? Salinan apa?"
"Tugas akuntansi itu. Coret-coretan sih, tapi tersusun, jadi lumayan jelas misal kamu mau nyalin juga."
"Nggak apa-apa, nanti coba aku kerjain sendiri."
Gue terkekeh, masih heran dan belum bisa melihat dengan jelas karakter Luna itu seperti apa. Jika selama ini yang gue lihat dari Luna adalah karakternya yang sebenarnya, maka itu aneh. Dan nggak zaman banget misal masih ada orang yang berkarakter seperti itu di era yang semakin maju.
"Aku heran deh sama kamu," kata gue.
"Hm?"
"Kamu cewek yang kuat ya? ini aku lagi nanya. Karena seolah semua perkara yang kamu hadapi seperti bisa kamu kerjakan sendiri. Setiap ada bongkar barang, kamu angkatin tanpa meminta aku buat melakukan. Cekatan sih iya aku akui, tapi apa tidak terlalu dipaksakan?"
"Ng,"
"Mungkin menurut kamu sih baik-baik aja, tapi itu malah membuat orang di sekitar kamu jadi terlihat payah." Gue tersenyum.
"Ng-nggak. Takut merepotikan saja."
"Di mata kuliah pengantar manajemen kan ada materi tentang teamwork. Jadi sekarang kita belum bisa jadi tim, kalau yang work jadi kamu doang. Aku sih nggak lagi mempermasalahkan. Maksudnya... umm, kamu itu perempuan, jangan dipaksakan seolah kuat melakukan semuanya, misal sebenernya nggak. Ya kalau memang kuat sih nggak apa-apa, tapi harus bisa menghidupi teamwork."
"Maaf,"
"He! Nggak perlu minta maaf."
Jarak beberapa langkah ada halte. Gue menggiring Luna untuk berteduh di sana, sebab jas yang kita gunakan sudah nggak efektif banget, sementara hujan makin deras.
Dia agak terkejut waktu gue melepas jas pas masuk halte.
"Kita di sini dulu, nggak baik kalau dipaksakan nerabas. Kamu kan cewek."
Dia ragu, tapi nurut aja. Kemudian Luna duduk di sebelah gua. Tapi jauh-jauhan.
Gue melepas jaket, karena sedikit basah. Jadi cuma memakai seragam kerja. Sementara Luna sedang memeluk dirinya sendiri.
"Luna," panggil gue sedikit mengeraskan suara karena hujan berisik sekali di atap halte.
Dia menoleh, "Hm?"
"Maaf ya," kata gue.
Dia mengernyit, "Buat apa?"
"Iya, jadi semenjak aku kerja di sini, jatah runtukan kamu jadi sedikit."
Asli, waktu itu gue baru pertama kalinya lihat Luna senyum yang bagus banget. Cerah. Dia terkekeh sederhana. "Nggak apa-apa lagi, aku juga biasanya nggak banyak bawanya."
"Kata Pak Dodit kamu yang bawa semuanya."
"Ha?"
Gue tertawa, "Iya, tadi dia bilang begitu."
"Ish, kadang pegawai yang lain juga pada bawa."
"Kamu nggak takut mengkonsumsi makanan kadalwuarsa?"
"Bagi aku, kadaluwarsa itu kayak Imsak, jadi cuma peringatan doang. Makanya harus cepat-cepat dikonsumsi sebelum ketemu adzan subuh."
Wah, dia juga bisa ngeles ternyata. Gue ngerti maksud dia, kalian ngerti nggak?
"Gitu ya?"
"Aku selama ini mengkonsumsi, juga baik-baik aja."
"Sekarang aku baru percaya kalau kamu itu kuat, tapi perutnya doang."
"Apaan sih." Kita ketawa bareng. Gue seneng, karena bakalan mengganggu kalau kita bakal beku terus-terusan.
"Harus sering-sering kayak gini ya?" kata gue.
"Kayak gini?"
"Ya bercanda kayak gini, ngobrol, kita gosipin pelanggan, gosipin bos, ketawa-ketiwi, berangkat kerja bareng. Baru, kita bisa jadi teamwork yang bagus."
"Kamu suka gosip?"
"Ya nggak! Maksudnya itu kan kebiasaan cewek. Jadi biasanya cowok cuma ikut-ikutan."
Dia ketawa kecil, "Kalau gitu kayaknya banyak deh yang harus digosipin."
"Wow. It's okay. Nanti kita buat jadwal di jam tertentu buat bergosip."
Dia ketawa lagi. Gue seneng. Ya sebagai rekan kerja. Perlu digarisbawahi ya, rekan kerja.
"Kamu nggak pulang ke Jawa?" wah dia bertanya! Kemajuan.
"Kayaknya nggak deh," gue berusaha untuk berbicara dengan nada yang mengakrabkan diri. "Karena kalau pulang nggak tahu mau ngapain di rumah. Mending stay di Bandung. Bisa kerja, kalau ada perlu di kampus tinggal berangkat. Lagian aku pengin menikmati kota ini sedikit lebih lama daripada orang lain."
Luna manggut-manggut dengarnya.
"Kalau kamu nggak pulang? Eh rumah kamu di mana sih?"
Dia diam sesaat. "Aku? Setiap hari juga pulang."
"Kan itu kostan. Maksud aku, rumah, yang ada keluarganya, tempat buat pulang."
"Kostan, satu-satunya tempat aku pulang."
Gue bingung. Maksud dia apa?
"Semua mahasiswa yang kost juga anggapnya gitu."
"Maksud aku, emang cuma kostan yang aku punya."
Gue tertegun. "Keluarga?"
"Ayah di Punclut, wilayah puncak. Sementara Ibu di Ciwidey."
"Kerja?"
"Mereka udah cerai, dan punya keluarga masing-masing. Jadilah aku yang mutasi dari mereka berdua."
Asli, demi guntur dan hujan yang riuh di sekitar, gue terkejut bukan main. Terus dia selama ini ngekost itu udah sekalian tempat tinggal?
"Oh, maaf... tapi, kamu di sini punya keluarga dong?"
"Aku kabur dari rumah. Orang tuaku nggak ada yang tahu sekarang aku kuliah dan di mana aku pun mereka nggak tahu. Im alone."
"Kamu nggak takut?" sebenernya gue ragu sih buat nanya, tapi penasaran dan ingin memberi kepercayaan ke Luna kalau gue tim yang baik di segala situasi, juga sebagai teman.
"Ngapain takut, sejak SMA aku udah kayak gini. Hidup itu kalau di bawa lembek, ya kita kalah. Karena perjalanannya itu keras banget. Kita nggak bisa menebak-nebak, tiba-tiba aja ada yang mengejutkan... aku udah kehilangan kepercayaan sama orang tua. Jadi lebih baik survive sendirian aja."
Sekarang gue tahu, kalau dia memang cewek yang kuat. Tapi, dia payah dalam bersosialisasi.
"Jadi karena kamu kehilangan kepercayaan sama orang tua, akhirnya kepercayaan buat orang lain pun nggak ada juga?"
"Mungkin semacam itu," dia tersenyum ragu.
"Termasuk aku ini, sosok yang meragukan banget ya di mata kamu?"
"Nggak, orang-orang kayak kamu itu nggak meragukan."
Nih, gue bingung.
"Maksudnya?"
"Orang yang struggle kayak kita, berjuang sendiri nyari duit tambahan. Itu orang terpercaya."
"Terus kenapa selama ini aku seolah nggak dapat kepercayaan dari kamu, ya?" gue meringis.
"Itu karena aku yang nggak jago bersosialisasi, Ge."
Wah, dia nyebut nama gue juga akhirnya!
"Yap, itu menjelaskan semuanya."
Tidak lama kemudian ada suara adzan subuh. Waduh, padahal baru ngobrol sebentar.
Karena kita juga terkejut kenapa tiba-tiba sudah subuh. Lalu gue mengajak Luna untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Masih dalam keadaa hujan dan bernaung jas seadanya.
Ketika hampir mendekati kostannya Luna, gue bilang lagi ke dia.
"Luna, mau nggak aku pinjamin salinan akuntansi?"
"Udah mepet banget."
"Kamu masuk jam berapa hari ini?"
"10.20"
"Ah, masih bisa. Kalau mau nanti aku ambilin."
"Sekarang?"
Gue mengangguk.
"Udah kalem aja, kita kan teman. Sudah sewajarnya kalau kamu merengek minta dibantu sama aku. Lagian, memangnya kamu bisa ngerjain sebelum jam masuk?"
"Nggak sih,"
"Yaudah nanti aku ambilin."
"Nggak apa-apa."
"Kalem."
Sesampainya di depan kosan Luna, kita berhenti.
"Tunggu sebentar, Ge."
"Kenapa?" gue menepi ke tempat teduh. Dingin banget.
Kemudian Luna masuk ke dalam dan keluar dengan sebuah payung.
"Biar nanti buku akuntansinya nggak basah," kata dia ragu-ragu.
"Kan aku dikostan juga ada payung,"
"Yaudah kalau gitu biar kamu ke kostannya nggak basah."
"Kan udah terlanjur basah?"
"Yaudah pakai aja!"
"Iya, iya."
Kemudian Luna langsung masuk ke dalam dan menutup pintu tanpa melihat gue pergi.
Haish, ada apa sih dengan cewek ini?
Yap, setelah gue sampai di kostan. Gue langsung ganti pakaian, sholat subuh. Lalu tanpa nunggu waktu lagi, gue mengantar buku akuntansi ke kostannya Luna.
Intinya gue pengin antara gue sama Luna bisa cair sebagai rekan kerja.
Gue mengetuk pintu kostannya.
Dia keluar masih memakai mukena. Kelihatan beda banget sih antara Luna versi yang sebelumnya dengan yang sekarang.
"Ini payung kamu, dan ini bukunya," kata gue.
"Makasih ya."
"Lain kali aja makasihnya."
Dia mengangguk, lalu gue bingung ketika dia langsung masuk lagi dan menutup pintu rapat-rapat, membiarkan gue mematung aneh di depan pintu.
Gue geram banget sama sikap dia yang rumit banget.
"Luna." gue mengetuk kaca jendela. "Kamu udah lumayan bagus soal bersosialisasi, tapi harus lebih baik misal lagi ada tamu di depan pintu. Ya?" Kata gue kemudian.
Tiba-tiba dia membuka gorden. Gue terkejut.
"Kamu mau masuk?" kata Luna.
Gue menggeleng. "Tidak."
---o0o---
S
ilakan kasih bintang dan komentar terserah kalian. ☺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top