🍁 [Now] BAB 2: Melamar
Jangan lupa follow PixiOfficial sebuah akun yang didedikasikan oleh Zaryn Geraldi untuk wattpader Indonesia khususnya para author dan calon author di Wattpad. Semoga kalian menjadi pencerita yang handal lagi bermanfaat ☺
🍁🍁🍁
Berani mengutarakan di depan orang tuanya, semoga ini menjadi sedikit pendukung kalau aku ini pantas.
🍁🍁🍁
[Now]
---Ge---
...
Sekarang Ibu dan Bapak gue sudah kumpul di rumahnya Andin. Ini hanya pertemuan sederhana, tidak mewah, cukup mempertemukan dua belah pihak. Mencari titik kejelasan. Mungkin bisa dibilang sebagai sebuah prosesi lamaran. Gue, bakal mengkhitbah Andin secara resmi. Deg-degan.
Hidangan sudah tertata di ruang tamu. Sofa-sofa besar yang tadinya memenuhi ruangan, rupanya sudah disingkirkan untuk sementara, dan sebagai gantinya mereka menggunakan karpet berbahan semacam beludru.
Ini jelas seperti di desa, adat kekeluargaan yang tidak bisa ditinggalkan, karena sejatinya keluarga kita adalah orang desa. Hanya nasib dan berbagai tuntutan yang membuat kita berada di tanah orang.
Buktinya kalau setiap musim lebaran, keluarga Andin seluruhnya pada mudik ke Jawa. Orang tua gue datang ke sini juga karena kondisinya Andin memang nggak bisa jauh dari sini. Sebab dia juga masih berstatus mahasiswa aktif.
Detik ini, yang gue rasakan adalah debaran. Gue grogi. Mengkhitbah bukanlah hal yang sesederhana nembak cewek. Ini artinya gue bakal meminta Andin dari orang tuanya buat dijadikan istri gue, yang semoga dunia akhirat.
Buat para cewek, sekali lagi gue harus mengingatkan untuk tidak menyepelekan laki-laki yang sudah nekat menyatakan perasaan cintanya. Terlebih lagi seperti yang bakal gue lakuin ini, melamar.
Gue menunduk dengan tenang dalam posisi duduk bersila.
Tidak bisa mendengar secara jelas suara percakapan akrab antara Bapak gue dengan Papahnya Andin, yang sudah nggak terlihat seperti dua orang calon besan, karena mereka adalah sahabat sejak kecil yang akhirnya memutuskan untuk menjadi besan. Dan melalui perjodohan inilah akhirnya keinginan itu terlaksana. Insya Allah.
Dentuman di dada semakin cepat, kala Andin keluar dengan memakai abaya cantik berwarna merah marun. Aduhai, darah berdesir cepat, terasa menggerayang dari ulu hati, meraba dada gue, menjalar di leher sampai akhirnya seperti mengumpul di daun telinga. Andin berjalan diiringi Ibu gue dan Mamahnya Andin.
Iya, tidak ada orang lain selain kami sendiri yang ada di acara ini. Maksud gue selain beberapa pembantu di rumah ini, yang mempersiapkan segala hal. Sebab kami ingin acara ini benar-benar menjadi sebuah pertemuan keluarga yang berkualitas.
Gue memakai peci hitam, kemeja marun, dan celana formal berwarna emas padam. Blazer semi formal merangkap di badan gue. Gue sengaja nggak mencukur jenggot, hanya kumis saja yang gue cukur. Jenggot pun hanya sebatas tumbuh saja.
Gue mendongak sesaat buat melihat Andin. Pandangan kita bertemu sesaat, gue menggeleng kecil dengan senyum singkat. Sekadar ingin memberitahu ke Andin, Mas deg-degan banget, sayang.
Dia hanya membalas dengan kedipan mata pelan.
Aduhai, cantik nian calon istriku.
Setelah semuanya kumpul, dan sepiring wajik menjadi alat basi-basi penjamuan. Akhirnya, Bapak mulai bersuara.
Gue diam, sambil sesekali nakal melirik jemari Andin yang sudah berhias kutek hitam. Lentik dan menawan.
"Alhamdulillah. Insya Allah pertemuan ini akan membawa banyak keberkahan. Saya, istri pun sama, tidak bisa mengutarakan seberapa bahagia saat ini. Akhirnya saat yang seperti ini bisa kami saksikan, kami masih diberi nikmat usia dan kesehatan juga kesempatan bisa berada di sini," kata Bapak. Wajahnya memang terlihat senang. Pokoknya keempat orang tua di ruangan ini semuanya bahagia.
"... Zaryn itu anak yang sebenarnya susah diatur. Sejak SMA saya sudah lepas tangan dengan urusan dia. Itu sebab kepercayaan, dan beruntungnya Zaryn tidak pernah mengecewakan saya dengan pilihannya. Pernah sih satu kali, dulu waktu kelas tiga SMA... tapi, itu masa lalu."
Tenggorokan gue tercekat. Gue seketika ngerti dengan maksud perkataan Bapak. Untung tidak dilanjutkan sebelum gue menahan. Lupakan lupakan lupakan.
"Sejak itu sampai sekarang, saya sama Istri hanya menuruti jalan hidup yang dia pilih. Pilihan-pilihannya semuanya alhamdulillah baik, dan salah satu keputusan terbaiknya adalah memilih Nak Andin."
Gue benar-benar semakin berdebar hebat.
"Dengan maksud menyatukan alu dan lesung, cangkul dan cukil, misik dan melati, flamboyan dan kenanga, saya pun istri datang bersama anak laki-laki kami untuk menyatukannya pula dengan gadis ranum di rumah ini," indah, santun, dan gue nggak ngira bakal seperti ini cara Bapak bermain basa-basi.
Semuanya tersenyum. Mungkin hanya gue dan Andin yang sibuk dengan debaran masing-masing.
Giliran Papahnya Andin yang bersuara.
"Seharusnya di sini yang paling bahagia adalah saya. Sebab sayalah yang memulai perjodohan ini... mungkin kalau direnungkan lagi, mereka berdua memang dilahirkan untuk berjodoh...
... saya tahu seperti apa Nak Zaryn. Ini saya mau jujur, saya pernah menangis di tengah malam, meratap, kok kenapa Allah nggak ngasih saya keturunan?... andai punya satu orang anak gadis saja, pasti akan saya jodohkan sama Zaryn.
... Eee, kok malah seminggu kemudian ayahnya Andin dipanggil Yang Kuasa, dan saya tiba-tiba punya anak gadis yang waktu itu masih berumur... Andin dulu umur berapa?"
"Sepuluh," jawab Andin lirih.
Mendengar itu, gue lansung terlempar ke ingatan masa lalu. Waktu di mana gue dijodohkan sama Andin.
Gue rasa ini yang menjadi pertanyaan besar bagi kalian. Kapan gue dijodohin? Kok tiba-tiba udah nyantol aja?
Biar gue sendiri yang jelasin...
🍁🍁🍁
[Past]
Saat itu gue mudik ke Jawa untuk pertama kalinya, karena dulu lagi musim libur perkuliahan semester satu.
Ibu sama Bapak waktu itu sudah tidur. Mbak Fatma diam-diam masuk ke kamar gue. Dia juga sudah menikah, tapi dulu masih serumah.
"Dek, Mbak mau ngomong sama kamu. Ke teras sebentar yuk."
Gue ngikut. Nggak tahu apa yang mau disampaikan.
Di teras kita duduk di kursi bambu.
"Kenapa Mbak?"
"Mbak terpaksa harus cerita ini ke kamu, karena rasanya nggak adil kalau Mbak ngumpetin ini dari kamu."
"Iya ada apa?" gue penasaran.
"Kamu sudah punya pacar belum? Atau incaran?"
Gue bingung. "Kok nanya itu?"
"Jawab dulu."
Gue menggeleng.
"Beneran? Jangan bohong."
"Beneran."
Mbak Fatma menghela napas.
"Ada apa sih Mbak?"
"Gini. Mungkin Bapak sama Ibu nggak berani cerita ke kamu karena takut nantinya jadi pikiran di kamunya... tapi kalau nggak diomongin juga, mbak takutnya malah nggak tepat."
"Mbak, langsung ke poin intinya saja."
"Sebulan yang lalu, ada orang yang bertamu, dan maksud kedatangan mereka, yaitu buat meminta kamu jadi mantunya."
Seketika mata gue melebar.
Asli?
Ini gue masih 19 tahun loh!
Gue nggak percaya.
"Nggak usah bercanda pakai yang kayak ginian Mbak."
"Mbak jujur, Zaryn."
"Aku kan masih, remaja banget."
"Kamu itu sudah termasuk usia dewasa!"
"Iya tapi kan Zaryn masih kuliah, baru semester satu malah, kok malah... gini."
"Maka dari itu Mbak ngomong langsung ke kamu. Ibu sama Bapak nggak berani buat ngomong ini. Mereka takut kalau ini bakal jadi pikiran buat kamu."
"Memangnya Mbak nggak takut Zaryn terganggu?"
"Maksud Mbak, kan kita bisa ngobrolin ini dengan lebih santai. Kalau sama Bapak Ibu pasti bawaannya serius. Mbak juga ngomong ini karena takut, kalau misal akhirnya Bapak ngasih tahu ke kamunya beberapa tahun kemudian, dan ternyata nggak tepat, atau kamu lagi punya pacar, kan masalahnya nambah rumit."
Gue diam sesaat. "Memangnya siapa yang mau dijodohin sama Zaryn? Sekolah di SMA mana?" tanya gue.
Mbak Fatma tersenyum.
"Dia anak desa ini, ayahnya baru saja meninggal beberapa bulan yang lalu. Anaknya cantik, cerdas, ngajinya rajin, nurutan."
"Iya, dia siapa?"
Mbak Fatma ragu-ragu untuk bercerita. "Kamu tahu Andin?"
"Andin? Anak mana? Nggak ngerti."
"Dia, anaknya ustadz yang dari pesantren kamu dulu. Ustadz Rahman."
Gue terkejut. Ustadz Rahman? Beliau yang memang gue tahu sudah meninggal beberapa bulan yang lalu, dan gue juga ingat kalau dulu beliau pernah menghukum gue waktu di pesantren. Lebih terkejut lagi, ketika gue akhirnya merunutkan masalah, jika yang dimaksud Mbak Fatma adalah Andin anaknya Ustadz Rahman, bukannya gadis itu masih SD?
"Mbak! Anak SD?"
Mbak Fatma ngangguk.
Gue menggeleng nggak ngerti sama ini semua.
"Waktu itu orang tua angkatnya datang dan menyampaikan maksudnya."
"Itu nggak mungkin Mbak, masa Zaryn dijodohin sama anak SD? Kenapa nggak TK sekalian?" gue mulai kesal.
"Dengerin Mbak dulu, justru itu usia kalian sangat ideal kalau sampai dewasa nanti."
"Sekarang Zaryn sudah dewasa, dan dia masih bocah. Dan bisa jadi Zaryn sudah punya pasangan ketika dia beranjak dewasa. Jadi Mbak mendukung?"
"Makanya tadi Mbak memastikan dulu. Ini hanya pendapat. Bapak sama Ibu juga belum memberi jawaban, mereka juga bingung dan nggak tahu harus bagaimana ngasih tahu ke kamunya."
"Kalau gitu Zaryn juga nggak bakal jawab sekarang. Buah yang masih berbentuk bunga saja tidak boleh untuk dijual-belikan karena ketidak-pastian. Apalagi ini urusan perjodohan, ini nggak masuk akal banget."
"Jadi kamu menolak mentah-mentah?"
Saat itu gue memang lagi malas banget mikirin soal cewek. Kalian tahu sendiri apa alasannya.
"Gimana ya. Yang jelas, satu, Zaryn belum pengen mikirin yang kayak gini, dan yang kedua, dia masih bocah."
"Jadi?"
"Tidak menerima, juga tidak menolak."
"Maksudmu apa?"
"Tidak ada jawaban."
"Zaryn."
"Zaryn nggak akan ngasih jawaban, sebelum jelas anak itu besarnya seperti apa. Bisa jadi ketika Zaryn jawab Ya, dan ketika dia beranjak dewasa ternyata memiliki kekurangan yang sulit Zaryn terima, siapa yang bakal menderita? Zaryn, kan? Dan misal Zaryn menolak... intinya, ini bukan urusan yang sederhana."
Dan sejak saat itu, pikiran soal perjodohan konyol ini, perlahan menyingkirkan luka-luka di dalam sana. Yang entah kenapa akal gue lebih pusing memikirkan ini dari pada kesakitan di hati. Ditambah ketika akhirnya waktu libur di semester 3 orang tua gue baru berani cerita jujur ke gue soal ini, itu pun karena Papahnya Andin berulangkali menanyakan jawaban dari gue lewat Bapak.
(Bagian ini akan dilanjutkan di bagian Past. Pssst, Mas Zaryn juga punya kisah dengan seseorang pas kuliah)
🍁🍁🍁
[Now]
Lanjutan yang di atas...
"Jadi, bahagianya saya sekeluarga juga sangat beralasan. Mengingat Zaryn itu anaknya ulet banget di kerjaan, gampang cair sama rekan kerja, juga dia selalu mau jemput Andin kalau kemalaman," tambah Papahnya Andin. Sebenarnya ini nggak penting buat diomongin.
"Mungkin lebih baik Zaryn-nya langsung yang harus menyampaikan niat baiknya di depan kita semua," kata Ibu. Sebelum ke sini memang gue sudah minta ke orang tua biar gue saja yang menyampaikan niat baik pribadi.
Semuanya mengiyakan. Kemudian diam. Meskipun di waktu biasa ketika gue lagi sama Andin itu rasanya santai, tapi di situasi yang sekarang, itu bikin perut mules grogi.
Gue berdehem. Lalu,
"Bismillah," gue masih menunduk. "Mungkin tanpa perlu berbasa-basi lagi, karena obrolan dari awal sudah banyak menyinggung niat saya sekeluarga datang ke mari... niat hanya akan menjadi benak saja kalau tanpa adanya perbuatan, pun perbuatan juga tidak akan sempurna jika tanpa niat. Setelah mungkin cukup lama saya berusaha sabar, menunggu sampai... Andin beranjak dewasa...
... Mungkin dulu saya merasa aneh, waktu hanya memberi jawaban 'tidak apa-apa' yang kejelasan 'ya' atau 'tidak'-nya itu belum pasti. Namun saya harap itu bisa dijadikan maklum untuk semuanya. Karena bagi saya, mengambil keputusan di urusan ini sangat penuh dengan konsekuensi baik-buruk. Sebab apa yang saya putuskan akan berdampak di masa yang akan mendatang...
... secara non-formal, sebenarnya saya sudah melamar Andin beberapa minggu yang lalu. Namun mungkin kurang afdal kalau tidak dilakukan secara kekeluargaan. Karena itu sudah menjadi adat.
... dan dengan maksud yang sama," jantung gue berdetak sangat cepat. Gue menarik napas dalam sebelum melanjutkan. "Saya datang ke sini bersama orang tua, dengan niat mulia untuk mengkhitbah Andin Maolida."
"Barakallah... barakallah..." seru Bapak gue dan Papahnya Andin. Gue merinding.
Ibu terdengar sedikit terisak. Andin dan Mamahnya pun sama.
Ini hari bahagia, kan? Mungkin karena haru.
Ibu mengeluarkan sekotak cincin miliknya, katanya jika Andin menerima lamaran gue. Ibu sendiri yang akan memakaikannya di jari Andin. Kalau begitu, berarti Andin bakal menerima dua cincin, jika dia menerima.
Semuanya kembali hening, namun terasa hangat.
"Meskipun, kita sudah tahu jawabannya. Tapi alangkah lebih baik kalau kita juga mendengar langsung jawabannya dari Andin sendiri. Karena sekali lagi, keputusan ada di tangan Andin," kata Mamahnya Andin.
Di sini gue mulai khawatir, selama duduk Andin hanya diam menunduk sambil terlihat sedikit menangis.
Gue harap jawabannya tidak berubah.
Gue menunggu.
🍁🍁🍁
---Andin---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top