(Now) BAB 19: Rasa Terdalam

Rindu akan bermakna lain saat yang kau tunggu datang dan senyumnya hilang.
***

[Now]

---Andin---

Tidak seperti saat kunjungannya ke Batam. Kali ini aku tidak tenang melepasnya ke Bandung. Aku tahu ini urusan kerja tapi entah kenapa perasaanku ingin dia tidak pergi saja. makanya aku berulang kali menelpon Mas Zaryn hanya ingin memastikan... entah itu apa.

"Kamu pulang besok kan?" tanyaku saat menelepon.

"Mmm," aku curiga kalau jawabannya cuma 'mmm'.

"Kenapa?"

"Sebenernya tadi pas ngobrol sama rekan di sini. Aku dapat undangan, sayang."

"Undangan?"

"Grand opening kompleks vila. Karena kebetulan Mas lagi di Bandung, jadi dia nggak ingin Mas melewatkan hadir di sana. Rekan Mas itu yang memegang hampir keseluruhan proyeknya."

"Jadi?"

"Maafin ya? kayaknya nggak bisa pulang besok."

"Hmm," aku tidak suka ini.

"Mas minta maaf. Nggak enak kalau menolak undangannya. Tempatnya di daerah puncak, pemandangannya bagus." Aku nggak ngerti kenapa dia harus bilang pemandangannya bagus.

"Pasti bagus banget. Suhunya dingin. Apalagi kalau malam. Bisa lihat lampu kota yang nyala," kataku datar bermaksud merajuk. "Selamat berlibur."

Dia diam. Faham banget kalau aku lagi nggak baik suasana hatinya.

"Maaf."

"Udah makan?"

"Maafin dulu baru nanti dijawab."

Aku menarik napas dalam, rasanya memang berat kalau merajuk ke dia lama-lama.

"Iya."

"Iya apa?"

"Dimaafin."

"Aku udah makan kok. Kamu udah? Jangan terlalu capek. Banyakin istirahat."

"Mmm."

"Tuh, gitu lagi."

"Lagi pengin martabak."

"Itu namanya lagi ngidam ya?"

"Nggak tahu."

"Nanti aku telepon Indra ya biar dibeliin?"

"Sana. Nanti kalau anak kita lahir dan dia nanya, mama waktu hamil ngidam apa? lalu aku jawab, ngidam martabak. Terus ayah beli martabaknya di mana? Aku jawab lagi, yang beliin Pak Satpam, Nak. Bukan ayah. Ayah kamu lagi liburan waktu mama hamil."

"Sayang jangan gitu."

"Ya mau gimana lagi?"

"Kan cuma sekali."

"Cuma sekali."

"Iya kan?"

"Sekarang di Bandung. Nanti lama lagi di Santorini."

Mas Zaryn terdiam, aku tahu dia sedang memikirkan perkataanku. Dia paling gampang merasa bersalah kalau aku yang ngomong. Aku tersenyum, membayangkan wajahnya yang menunduk sambil memandangi ujung pantofelnya.

"Asal kamu selalu ngasih kabar, aku nggak apa-apa misal kamu pergi kerja ke mana saja. Cuma khawatir." Nggak tega bayangin dia cemberut.

"Mm, iya." Suaranya sungkan, dia pasti masih bersalah. Ah, kamu ini Mas. Itu kenapa aku sayang banget sama kamu.

"Hati-hati kerjanya. Aku selalu doain buat kamu. Sholat duha tiap pagi doain kamu. Bangun sepertiga malam. Baca surat ar-rahman. Ya buat mendoakan siapa lagi kalau bukan kamu."

"Aku jadi kangen kamu kan." Air mataku menitik setelah mendengarnya. Disusul sebuah senyum hangat. Aneh. "Kamu paling jago bikin Mas kayak gini."

Kami diam sesaat. "Mas," panggilku.

"Iya?"

"Kamu kayak nggak pernah nyanyi ya?"

"Aku?"

"He-em."

"Aku mana bisa nyanyi sayang. Bisanya ngaji. Mau aku ngajiin? Request surat apa?"

Masya Allah. Hehe, lucu. Aku ingin tertawa dan menarik jenggotnya yang cepak sampai dia meringis, lalu diakhiri dengan mendapat pelukan hangat darinya.

"Kalau ngaji, itu sudah nggak perlu diraguin lagi."

"Kenapa? Kamu lagi ngidam pengin aku nyanyi?"

Kenapa dia harus menghubungkan semuanya dengan ngidam? Ini belum masanya.

"Nggak, bukan gitu. Aku cuma nanya aja. Pengin... denger kamu kalau nyanyi gimana sih?"

"Ujung-ujungnya juga minta Mas buat nyanyi." Suaranya seperti dia ingin tertawa.

"Loh, kalau iya juga nggak apa-apa kan?"

"Suara Mas jelek, sayang."

"Tapi aku pernah dengar Mas bergumam lho. Lagunya JL. Bagus kok kedengarannya. Biasanya, orang kalau bergumamnya bagus, nyanyinya juga bagus.."

"JL itu siapa?"

"John Legend."

"Ooh."

"Kok cuma oh."

"Pengin Mas nyanyi?"

"He-em."

"Lagu siapa?"

"Ih, tuh gayanya udah yang seperti hafal banyak lagu."

"Hehe, kan Mas nggak ngerti kamu sukanya lagu apa."

"Kamu kan simpan banyak lagu di Joox. Kalau bukan lagunya Ed ya JL."

"Mmm. John Legend?"

Whoaa! Beneran mau nyanyi?

"Terserah."

"Judulnya yang apa?"

"Terserah."

"Sayang, kalau Terserah itu lagunya Glenn Fredly."

Aku terkekeh senang. Membayangkam wajahnya yang dibuat polos dan suka berlagak bodoh, padahal aku tahu seperti apa otaknya berpikir.

"Maksudnya, judul lagunya terserah kamu! Bebas mau pilih yang mana."

Lalu tanpa jawaban dia mulai hening. Dia seperti sedang berjalan karena aku bisa mendengar ketukan pantofelnya. Seperti pergi menjauh ke suatu ruangan sampai tidak ada satu suara pun di sekitarnya.

Kemudian kukira dia akan bernyanyi saat suaranya mulai terdengar. Tapi dia hanya mengatakan sesuatu yang sangat luar biasa, membuat jiwaku bergetar dan menangis. Jatuh cinta dan rindu di waktu yang bersamaan.

[Author: Dari bagian di bawah ini sampai akhir bab, tolong bacanya pelan-pelan. Nikmati ayunan kata-katanya. Kalau bisa, sambil dengerin lagunya John Legend - You And I]

"Istriku sayang... malam sedang berjalan di langit dengan membawa bulan di tangannya. Hiruk pikuk di luar, lalu aku ingin berlari ke tengah sahara yang sunyi. Karena istriku baru saja meminta aku menyanyikan sebuah lagu. Suaraku tidak semerdu Bilal Bin Rabbah. Yang menyeru Ahadun Ahad saat maut menantang dirinya. Yang suaranya indah sampai ke pintu-pintu Firdaus. Yang dari pita suaranya Rasul pun sujud menghadap Allah.

... Aku ingin ke tengah sahara yang sunyi. Hanya malu karena tidak bisa memenuhi keinginan istriku kali ini. Aku ingin membisikinya sebuah lirik lagu yang aku gubah menjadi prosa.

... meski tidak bisa menyanyi, tapi aku menyimpan beberapa lirik lagu di dalam kepala, karena ingin sekali bisa menyanyikannya buatmu."

Dia berhenti setelah kukira yang tadi dia ucapkan hanyalah prolog. Tapi, napasku sudah tercegat di persimpangan kerongkongan. Debaran berkawan desiran merundung sekujur tubuh. Entah apa itu yang akan dia katakan, aku yakin itu akan sangat berhasil membuatku semakin rindu.

"Suatu hari aku melihat istriku mendekati meja rias miliknya..."

Dia sudah memulai. Paru-paruku kembali berhenti memompa.

"Dia membenahi dandanan di wajahnya berulang kali. Aku rasa dia tidak sadar bahwa wajahnya sangat cantik sekalipun tanpa mendekati meja rias berukir khas Jepara.

Lima belas menit di sana, dan lima belas menit setelahnya dia gunakan untuk memilah pakaian untuk dikenakan. Lunaslah tiga puluh menit dia lalui. Itu menghiburku, meski tiga puluh menit sebelumnya dia sudah lebih dari cantik...

... sayang, tahu tidak?... seseorang bisa membenci dan mencintai dirinya sendiri saat di depan cermin. Itu kenapa seandainya cermin tidak bisa memberi jawaban memuaskan tentang kamu. Cukup berdiri di depan mataku, lalu akan aku beri jawaban yang sanggup membuatmu bersyukur selamanya.

... aku kalah kalau kamu minta aku buat nyanyi. Tapi kamu yang akan kalah saat aku mulai merangkai lirik jadi kata-kata yang terucap.

... lalu John Legend membisikan padaku untuk mengatakan ini padamu juga. Out of all the girls, you my one and only girl, ain't nobody in the world tonight. Hmm, John itu bodoh. Dia pikir aku nggak pernah memikirkan ini sebelumnya.

... dipaksa seperti apa juga. Aku memang nggak bakal bisa nyanyi dengan suara merdu. Dan kamu jangan menganggap kalimatku tadi gombal. Aku memang pengin bilang gitu ke kamu.

... tadi Mas sengaja menjauh dari temen-temen. Mereka asik ngobrol. Ini Mas lagi di balkon. Biar nggak ada orang lain yang denger Mas bilang kayak gini. Cukup kamu saja. Maaf nggak bisa nyanyi. Lebih baik kamu anggap mas bodoh dari pada mempermalukan diri sendiri. Bukan apa-apa sebenernya, tapi aku memang ingin selalu keren di depan kamu. Tapi tidak untuk kali ini."

Kalimatnya yang jujur itu seperti sebuah bintang terang yang dalam sejuta tahun sekali turun ke hatiku, penuh dengan kilauan cinta. Wajahku terbenam di atas bantal bersarung sutera.

Suatu saat, seperti saat ini, bintangku jatuh meredup hanya karena rindu dan khawatir. Lalu ingin aku perbarui cahayanya dengan kata-kata miliknya.

Kalian tahu usiaku masih sangat muda sekarang, dan menjadi istri Mas Zaryn adalah obat dari gejolak cinta di masa remajaku. Penebus semua tawanan di dalam hati. Payung bagi derasnya rentang penantian yang merundung seperti runtukan komet. Aku akui besar inginku untuk selalu dekat di sampingnya. Ingin sekali agar di antara kami tidak ada jarak yang membentang entah itu waktu, tempat, ataupun situasi.

Karenanya aku suka bersikap sangat drama menanyakan berulang kali, Mas, apa kamu mencintaiku?

Sekalipun jika aku akan menanyakannya sejuta kali dan jawabannya akan selalu iya. Aku hanya ingin terus mendengarnya, suara yang terdengar dari bibirnya terdengar sebening zam-zam. Mas, apa kamu mencintaiku? Maka bibirnya akan terbuka, lalu ya... ya... ya... aku ingin menuliskan ya sebanyak sejuta kali. Tidak perlu kutanya alasan ya miliknya.

Ketika ya merebak dari bibirnya. Gerakan stakato tentara-tentara di hatiku mulai terasa. Mereka bahu membahu mengibarkan bendera cinta di atas tiang-tiang yang kupunya di kedalaman sana. Tiang kepercayaan. Tiang kesetiaan. Tiang kepatuhan. Tiang kasih-sayang. Tiang ketulusan. Tiang kerinduan. Dan tiang-tiang yang sudah siap berbaris menanti giliran untuk mengibarkan bendera cinta. Maka atas nama cintaku pada Zaryn Geraldi, bendera itu tidak akan pernah diturunkan. Mereka akan terus berkibar karena tiupan angin cinta.

Suamiku adalah angin bagi layar kapalku. Kehidupan telah menjelma menjadi samudera luas. Tak mungkin aku bisa menaklukan laut, tapi mengendalikan kapal di atasnya mungkin saja. Lalu semua menjadi pasti saat anginku datang, merundung layar dengan tekanan yang selalu bertiup. Membuat kapalku selalu bergerak di bentangan samudera kehidupan.

Suamiku adalah angin bagi sayap-sayapku. Keseimbangan hilang jika dia tidak berada di dekatku.

Alis lembut menaungi mata beningnya yang semakin terlihat teduh. Pipinya yang kokoh dan terasa hangat saat aku meletakkan bibirku di atas pipi itu. Bibirnya yang tipis selalu menawan saat merangkai senyum. Dia pernah berkata, tidak sayang, bibirmu lebih indah saat tersenyum dari pada punyaku. Aku menyukai bibirmu dari pada lelehan madu. Karenanya aku tidak ingin satu tetespun meleleh percuma kecuali jatuh di tangkapanku. Kalau katanya begitu, lenganku akan melingkar dengan cepat di tubuhnya. Dari tempat kami berpelukan, jauh di atas langit, peristiwa supernova terjadi lebih banyak dari biasanya. Bintang menjadi terang lebih cepat.

Rumah ini, kamar ini, dan benda-benda yang berada di dalamnya mengekor waktu bersama cinta milik kami berdua. Kalau kalian pikir kami punya cangkir couple, itu salah besar. Aku memang sempat berpikir untuk memilikinya barang sepasang, tapi itu hanya bertahan pada ujung lidahku saja. Karena betapa dungunya aku yang tidak memiliki sisi romantis untuk urusan ini. Mas Zaryn memilih untuk menggunakan sebuah mug ukuran besar sebagai tempat minum kami berdua. Memang satu, tapi kami punya teko besar untuk mengucurkan air.

Kalau sampai keinginanku soal cangkir couple terwujud. Maka yang seperti ini tidak akan pernah terjadii, ketika Mas Zaryn dengan tanpa sungkan meletakan bibirnya di sisi mug bekas bibirku untuk meminum isinya. Kami mengomentari rasa minuman di gelas yang sama sehingga kecil kemungkinannya terjadi selisih penilaian. Bibir kami seperti pemain petak umpat, yang saling mencari jejak di pinggiran mug.

Aku dan Mas Zaryn sama-sama memiliki indera penciuman yang sangat sensitif. Setiap apa yang menyerak ke dalam hidung, akan terhisap ke otak lalu memprosesnya menjadi kenangan. Karenanya, aku diam-diam membubuhkan tiga tetes minyak wangi pada tiga sapu tangan berbeda untuk kubawa ke mana-mana. Yang pertama aku tetesi Zafran, ini akan mengingatkanku saat pertama kali dia mencium pipiku di malam pernikahan. Kedua misik, ini selalu mengingatkanku pada udara yang berrotasi di sekeliling langkahnya setiap fajar. Yang terakhir kesturi, ini rahasia kami berdua, hanya kami berdua yang boleh tahu apa yang terjadi saat aroma kesturi tercium.

Napasku beradu seperti taifun. Napas serupa siklon tropis di Laut Cina Selatan. Bergerak galak hanya karena Sang Kata. Kata dari seorang laki-laki yang menyimpan gugusan ayat. Membuat aku cemburu kepada Allah, aku takut Dia lebih menganggap suamiku sebagai kekasih-Nya dari pada aku menganggap suamiku sebagai kekasihku. Tapi, mata ini sudah Dia ciptakan untuk menatap halal kekasih-Nya. Kedua lengan ini, akan selalu ketat melingkar di punggung kekasih-Nya. Aku akan jadi selimutnya, bahkan saat milyaran galaksi menciut dan hanya ada ruang menggigil di detak-detik waktu, aku akan menghangatkannya.

Dia suamiku, aku ingin membuat puisi yang berjudul Dia Suamiku, dan hanya berisi kalimat Dia Suamiku.

Dia kekasihku, aku ingin melanjutkan puisi itu pada chapter dua, jika itu boleh, akan kuberi judul Dia Kekasihku, dan hanya berisi kalimat Dia Kekasihku.

Jika ada yang berpikir aku telah gila karena cinta, maka kuucapkan terimakasih, karena itu benar. Mencintainya adalah hal terwaras yang pernah melintas di babakan hidupku, karenanya aku seperti gila. Mungkin saat Allah mengucurkan rasa cinta pada hati Sayidah Rabiatul Adawiyah ada satu tetes yang terciprat kepadaku.

Untuk permintaan tadi, aku sudah tidak menginginkannya lagi. Menyanyi atau tidak, aku lebih suka yang seperti ini. Saat senang kita akan menikmati nada lagu, tapi saat sedih dan rindu kita akan mengerti lirik. Maka tidak salah kalau aku sangat mengerti tiap baris kata yang dia ucapkan, karena saat ini aku tidak tahu apakah Niagara masih pantas dibandingkan dengan deburan rindu di dadaku atau tidak.

Di hatiku ada sebuah pohon kasih sayang yang akan tetap aku jaga hijaunya, agar kata-kata darinya menjadi seekor burung yang hinggap dan bernyanyi di sana. Itu cukup.

Namun,

Hmmm, di hari berikutnya saat kami kembali berbicara di telepon. Dia sedang menghadiri acara grand opening vila. Kita sempat mengobrol panjang lebar. Sampai tiba-tiba kalimatnya terjeda, dia jeda tidak berbicara apa-apa sampai lebih kurang lima menit. Entah apa yang sedang terjadi di sana, dia tidak menyahut saat aku menyebut namanya. Apa sedang melihat parade sampai dia tidak bisa berbicara? Atau ada orang penting yang harus dia hormati dan memberi sambutan? Atau di sana tiba-tiba ada sesuatu yang lebih menarik dilihat dari pada percakapan dengan istrinya? Aku tidak tahu. "S-sayang, kita... bicara lagi nanti," tutupnya tiba-tiba.

...
Sepulangnya dari Bandung, aku menyambutnya dari ujung tangga. Aku memeluk dan mencium. Dia tersenyum, namun ada getaran yang berbeda di ujung senyumnya. Ada sesuatu. Mas Zaryn seperti sedang dilanda musim dingin dari Arktik. Sikapnya hangat di mataku, tapi hatiku merasa kedinginan.

Ada apa ini? firasat apa ini?

Kenapa angin pada layarku bisa semenggigil ini? Kenapa selimut di kamar kami terasa dingin? Dan tiang-tiang yang menjunjung bendera kasih sayang terdiam, kibarannya melemah.

Sayang, kenapa?

---o0o---
Apa yang kalian rasakan saat membaca BAB ini? humm? Semoga firasatnya sampai ke hatimu juga.

Pengin kenalan sama kalian nih. Yang baca AF dari kota mana saja? ☺

(Jawab di sini ya)

Nanti kita ngobrol di komentar masing-masing.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top