🍁 [Now] BAB 14: Suami Tercinta

Jangan lupa follow PixiOfficial sebuah akun yang didedikasikan oleh Zaryn Geraldi untuk wattpader Indonesia khususnya para author dan calon author di Wattpad. Semoga kalian menjadi pencerita yang handal lagi bermanfaat ☺
🍁🍁🍁

Dia membukakan pintu surga dari berbagai penjuru, untukku, dengan cinta.

🍁🍁🍁

[Now]

🍂Andin🍂
~~~

Salah satu hal yang paling aku tunggu dalam hidup adalah menjalani peran sebagai seorang istri. Aku rasa itu juga penantian kebanyakan perempuan. Jadi, di malam itu, aku benar-benar bersyukur mengambil jalan menikah untuk menyelesaikan kisah cinta kami. Satu babak kehidupan sudah tertutup, dan sequel baru telah kami mulai.

Pukul tiga pagi aku terbangun. Mas masih terlelap di balik selimutnya. Suasana di luar sudah tenang. Gazebo di bawah juga sudah tidak ada lagi hiburan. Sekalipun masih ada suara orang-orang yang mungkin sedang melakukan beres-beres.

Kalian tahu bukan? Kalau ada sebuah pahala berbuah surga ketika memandang wajah suami? Dan siapa yang tidak menginginkan pahala itu? mungkin ini bukan yang pertama kali, tapi bagiku memandang wajah laki-laki yang sedang terlelap itu menyenangkan, khususnya suamiku ini. Mungkin mereka terlihat gagah dan kuat ketika masih terjaga, namun akan terlihat lemah dan menggemaskan ketika tertidur. Seperti anak kecil.

Aku mendaratkan sebuah cium di kening Mas. Lalu pergi menghangatkan air di bathub. Setelah selesai untukku. Lalu aku mendirikan sholat dua kali salam saja. Kemudian barulah membangunkan Mas Zaryn.

"Asholatu khairu minannaum..." bisikku di telinganya. Sambil menepuk pundaknya pelan. Aku ingin melakukan sholat lagi, kali ini dengan dia.

Tidak perlu pengulangan, Mas Zaryn mudah sekali untuk menggeliat dan terbangun. Mula-mula dia duduk, menatapku, mengucek mata, dan tersenyum seperti baru saja menyadari sesuatu.

"Kenapa?" tanyaku.

"Baru ingat kalau sudah menikah. Ini di kamar kita," katanya polos diikuti seringai.

Aku juga tidak bisa menahan diri untuk menunjukkan seringai pula. Itu lucu, karena tadi aku sempat merasakan hal yang sama. Ketika terbangun dan ada seorang laki-laki yang sedang memegangi lenganku sambil tertidur. Itu suamiku, kita sudah menikah. Just married.

"Mau minum?" aku menawarkan. Tapi bukannya jawaban iya atau tidak. Mas Zaryn malah memegang belakang kepalaku dan menariknya agar lebih dekat. Dan mengecup tepat di pipi kananku... seketika darahku berdesir dan jantung beradu. Bekas bibirnya menyisakan kehangatan yang menjalar. Ini halal. Lagi berpahala.

"Udah nggak haus lagi," katanya kemudian.

Aku tersenyum masih sedikit gugup. Harus mulai terbiasa dengan ini. Huhh. Biarkan aku bernapas sebentar.

"Mau langsung mandi saja? Itu udah disiapin air hangatt." Aku memandangnya penuh interaksi.

Tapi dia malah memelukku pelan-pelan.

Mmm, sekalipun sudah halal. Rasanya tetap saja mendebarkan ketika tubuh kami bersentuhan. Mungkin ini karena masih baru. Dan aku sama sekali tidak keberatan dengan yang dilakukan Mas.

"Pelukan dulu," katanya.

"Harus ya?"

"Biar pahalanya nambah banyak-banyak."

Aku terdiam mendengarkan suara Mas yang bergetar di dadanya, berbunyi harmoni bersama detak jantung itu. Hangat. Pelan. Berat. Sangat nyaman.

"Suami... udahan dulu yaa. Mandi. Terus sholat."

"Kenapa manggilnya harus suami, humm? Kan bisa pake sayang, atau apa gitu yang lebih romantis."

"Manggil suami, biar semakin tegas kalau kamu milik aku. Kan enak dengernya, Mas Suami. Kamu juga boleh panggil istri. Itu kan romantis juga," entah kenapa suaraku mendadak sangat manja. Aduh, kapan aku berlatih seperti ini?

Lalu terdengar suara senyum yang lagi-lagi menggetarkan dadanya. Membuat aku mempererat pelukan dibalik mukena.

"Yaudah, Mas manggilnya... sayang aja deh. Karena udah lama pengin manggil kamu pake sayang. Tapi temporari yaa, mungkin aku juga bakal seneng panggil kamu istri." Kenapa suamiku bisa sepolos ini? aku menyungging senyum.

"Iya, My Hubby sekarang mandi yaa?."

"Itu hubby apa lagi?"

"Husband. Dibikin imut."

"Haduuh. Kayaknya Mas harus sering-sering pasang mode toleran sama yang gitu-gituan."

"Gitu-gituan?"

"Ya yang imut-imut. Mas kan kurang suka."

"Tapi kamu imut loh, kalau lagi tidur."

"Jadi sekarang hobi kamu ngintip Mas kalau lagi tidur? Eh tapi pernah kan? Waktu itu di mobil."

"Nggak apa-apa kan?"

"Lakukan saja sampai kamu puas. Misal Mas lagi tidur dan kamu juga lagi memandangi wajah Mas, yang mungkin jadi sejuta kali lebih cakep kelihatannya, tapi mungkin juga ada ilernya. Jangan dibangunin!"

Aku terkekeh mendengarnya.

"Itu ibadah buat kamu," katanya lagi.

"Iyaa! Sekarang Mas Suami mandi ya? biar hilang ilernya."

"Aku beneran ileran?"

"Hehe... Nggak. Pelukannya udahan dulu."

Kemudian dekapannya melonggar. Dia memandangiku, tatapan yang sangat dalam dan begitu menghujam. Mungkin ini yang disebut-sebut bisa membuat bidadari cemburu.

"Mandi nih?" katanya mengulang. Wajahnya mencurigakan.

"Iyaa, Suami..."

"Jam segini?"

Aku mengangguk.

"Memangnya habis ngapain?"

Saat itulah aku mencubit perutnya. Dia menjingkut bersama tawa, lalu meloncat dari tempat tidur. Berjalan sambil tertawa kecil ke arah lemari handuk. Dia mengambil yang berwarna putih tebal. Menoleh ke arahku sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.

Aku memegang dada dan meraskan detak-detak yang sungguh menyenangkan.

Setelahnya, yang kulakukan hanya mengamati apa yang dilakukan Mas. Dia terdengar sedang mengguyurkan air. Dia menggunakan sabun sampai aromanya keluar. Mengguyur lagi. Berdehem. Menyikat gigi. Berkumur. Dan terdengar banjuran air ke lantai kamar mandi.

Lalu dia keluar mengenakan handuk setengah badan dan membawa pakaiannya di tangan kiri. Mungkin sebelumnya aku akan menutup mata jika dia bukan muhrimku. Namun kali ini berbeda, justru jika aku memandang itu akan berbuah pahala.

"Ini ditaruh di mana?" Mas Zaryn menunjuk pakaian yang dibawa. Rambutnya basah. Dari badannya menebar aroma sabun yang seperti parfum.

Aku sampai lupa kalau belum ada keranjang buat baju kotor di kamar. Tapi ada keranjang penjalin yang waktu beberes kemarin aku simpan di lemari bawah. Lemariku memang besar.

"Bentar," aku melangkah ke lemari tersebut, mengeluarkan keranjangnya dan meletakannya tak jauh dari pintu kamar mandi. "Mulai sekarang, kalau ada baju kotor taruh saja di sini. Nggak boleh digeletakin sembarangan di lantai. Biar rapi."

Kulihat Mas Zaryn hanya berdiri bengong, mengangkat sebelah alis.

"Tapi kan baju ini baru dipakai sekali doang, sayang..."

"Tapi udah kena keringat dan lain-lain, Mas."

"Dan lain-lain?" pasang tampang polos lagi. Tapi aku paham betul maksudnya apa.

"Pokoknya itu kotor. Taruh di situ aja, kan baju yang lebih bersih ada banyak."

"Siap komandan," katanya sambil berlalu, aku menangkap senyum jail sebelumnya. "Padahal, Mas kalau pakai baju dalem itu, satu buat seminggu. Dua hari dipakai normal. Dua hari berikutnya dibalik yang belakang buat depan. Dua hari lagi yang dalam buat luar. Terus dibalik lagi buat sehari terakhir. Jadi nggak repot sering-sering nyuci baju."

"Haaaaaaa?!"

"Bercanda," usilnya sambil berjalan ke arah lemari. "Annadhofatu Minal Iman... kebersihan harus kita jaga, karena itu sebagian dari iman, kan? "

Aku menggeleng heran. Sekalipun di dalam hati aku tertawa keras.

"Ini aku harus pake baju yang mana?"

Gagasan mengenai laki-laki yang akan berubah seperti anak kecil ketika sudah menikah, ternyata benar.

"Mas duduk aja. Biar istrimu ini yang pilihkan," kataku sambil melangkah ke lemari. Sementara Mas menghindariku karena dia punya wudu.

Aku mengambil sebuah sarung, kopyah dan baju koko yang aku beli waktu itu. Aku sangat menantikan saat-saat seperti ini.

"Pakai yang ini ya?" kataku.

"Baju baru?"

"Andin yang pilihin sendiri. Coba dipakai."

Mas langsung memakainya begitu aku menyerahkan. Tidak perlu dijelaskan apakah aku menyingkir sebentar atau tidak. Kami suami-istri.

Setelah tinggal kopyah saja yang belum dipakai. Aku sudah merasa sangat bangga sebab berhasil membelikan baju yang sangat cocok dipakai oleh Mas. Bukan hanya cocok sih, karena dia terlihat berkali lipat lebih menawan untuk diperhatikan. Ini juga hal yang aku nantikan sepanjang hidup, yaitu memakaikan kopyah ke suami. Hanya perlu sedikit berjinjit dan aku sudah berhasil memasangkan kopyah itu. Perfect!

"Baguuuus banget. Sekarang coba Mas ke cermin, biar lihat sendiri," kataku.

"Itu nggak perlu."

"Kenapa? Kan biar Mas tahu penampilannya."

"Mas itu udah nggak butuh lagi sama yang namanya cermin, cukup berdiri di depan kamu istriku, dan membiarkan kamu berkomentar sesuka kamu. Kalau menurut kamu bagus, nggak perlu nanya ke cermin lagi."

Baiklah, itu membuatku tersipu dan bingung harus jawab apalagi selain dengan senyum.

"Lagi pula, Mas tampil cakep itu cuma buat kamu sama Allah saja kok," katanya yang terdengar sangat ringan. "Kalau ke kantor atau selain ke kamu sama Allah itu kelihatannya cakep juga. Berarti memang dari sananya."

Aku mengerjap tak bisa menahan senyum. "Satu lagi yang kurang."

"Apa?"

Segera aku mengambil kotak kecil dari dalam lemari yang isinya botolan minyak wangi ukuran kecil. "Mas mau pakai yang mana? Misik hitam, zafran, atau malaikat subuh?"

"Kamu tahu dari mana aku suka aroma itu?"

"Dapat bocoran dari langit."

Dia tersenyum. "Yang Zafran."

Aku mengangguk. Lalu kami berhadap-hadapan. Kutuangkan beberapa tetes Zafran ke telapak tangan, dan tanpa malu-malu lantas menggosok-gosokannya sebelum menyapukan pelan di badan Mas Zaryn, bagian dada. Sangat pelan disertai upaya keras untuk tidak gemetar. Kami hening. Kalau tatapan itu semakin lama bisa semakin tajam seperti pedang, mungkin sekarang kepalaku bisa terbelah karena tatapan Mas terasa sekali menuju ke arahku.

"Sudah," kataku, tapi masih belum berani mendongak menatap balik Mas. Aku takut pipiku semakin menyala dibuatnya.

Kami terdiam beberapa saat, masih berhadap-hadapan.

"Aku bisa merasakan pintu surga terbuka dari segala penjuru untuk istriku. Karena saat ini, ketika waktu paling indah dari penjuru-penjuru malam. Aku sebagai suamimu, akan memberikan seluruh keridhoanku sampai akhir hayat nanti, tidak peduli seberapa banyak kamu akan berbuat kesalahan, atau nanti kamu akan melanggar perintahku, mengecewakanku, menyakitiku, keluar rumah tanpa seizinku, memarahiku karena mungkin aku tidak bisa selalu ada, karena aku bukan yang paling sempurna... Aku memberi seluruh ridhoku agar ridho Allah juga selalu menyertaimu setiap kali kamu melangkah di bumiNya. Dan agar kamu bisa begitu mudah memasuki surga dari pintu mana saja yang kamu kehendaki, istriku sayang. Aku ridho padamu."

Aku tertegun ingin menangis. Rongga dadaku bergemuruh. Hamdalah beterbangan di seluruh penjuru kamar kami. Karena aku menghargai wudu yang dimiliki Mas Zaryn, maka yang bisa kulakukan hanyalah mendekatkan wajah ke dadanya dan meletakan keningku perlahan di sana. Lalu tidak tahan lagi untuk memeluknya tanpa ada secuilpun dari kulit kami yang bersentuh. Dadanya sangat harum tercium bau Zafran. Jika di surga ada tanah yang tercipta dari Zafran, maka aku yakin rasanya akan seperti ini.

Aku tidak ingin berkata apa-apa. Selain berikrar dalam hati untuk membalas keridhoan itu dengan kepatuhan tanpa henti untuknya. Melayani dia sepenuh hati tanpa lelah. Dan menyerahkan segalaku padanya. Ridhonya adalah kunci segala apa buatku. Dan malam ini dia menyerahkannya begitu murah. Bagaimana aku akan melanggar? Sedangkan dunia dan akhiratku sudah dimudahkan olehnya.

Setelah emosi indahku tersampaikan, aku bergegas mengambil wudu. Lalu menyiapkan sajadah di mihrab milik kami berdua. Kemudian yang ada hanya sebuah kehanyutan. Lantunan ayat dari mulutnya seperti gemericik sungai Tigris di surga kelak. Pelan. Lembut. Menenangkan. Bagiku itu murrotal terbaik. Suamiku.

🍁🍁🍁

"Teng, teng, teng, teng, teng.... Perhatian semuanya! Siang ini kita sudah berkumpul di rumah pengantin perempuan dalam rangka menghadiri acara ramah tamah sama pengantin baru. Karena kita para tamu mahasiswa menerima undangan dengan tanggal H+1 dari akad, dan nggak dikasih kesempatan buat ngasih cie cie ke pengantinnya pas ijab qabul. Jadi sekarang kalian bisa kosongkan amplop yang kalian bawa, jangan mau kondangan!"

Sahabatku Zaulaeha sedang berpidato dengan suara cemprengnya di dekat mahligai. Menghadap teman-teman mahasiswaku yang sedag duduk rapi di kursi undangan. Memang aku majukan tanggal undangan untuk mereka.

Di sebelahku Mas Zaryn berbisik. "Yang kayak dia cocok misal dijodohkan sama Furqan," katanya cekikikan.

"Iya kalau Pak Furqannya juga mau." Aku menjawab.

Teman mahasiswaku hanya tertawa mendengarnya.

"Tega banget ya Andin nyalip tiba-tiba. Kita para cewek yang jomlo di kelas dilangkahi gitu aja. Enak banget ya, nanti nugas ada yang nemenin," kata Zulaeha lagi.

"Leha, yang jomlo kayaknya kamu doang deh." Seseorang menyahut.

"Eh?" wajahnya terkejut. "K-kata siapa?"

"Kita, kecuali kamu, udah punya calon semua."

Semuanya tertawa. Zulaeha mendesis lalu turun dari mahligai dan mendekati temanku yang lain. "Kalian udah punya kenapa nggak ngomong-ngomong? Haiss." Lalu dia berjalan cepat ke arahku dan Mas Zaryn.

Aku memandang wajahnya. Menahan tawa.

"Selamat. Ha-we-de," katanya singkat. Wajahnya memerah. Mungkin malu.

"Masa ke teman sendiri gitu banget ngucapinnya," kataku menagih.

Lalu dia berlagak merajuk. "Ndin kamu kenapa sih cepet-cepet nikahnya. Mas Zaryn juga! Nggak sabaran banget!"

"Hei hei hei. Kamu, siapa namanya tadi? Ada salam dari Pak Furqan," ledek Mas Zaryn. Aku menyikutnya pelan.

Zulaeha mendesis lalu memelukku kasar. "Aku tahu kamu kejam banget ninggalin aku seorang diri di alam jomlo. Pliis jangan berubah hanya karena kamu sudah menikah. Tetep akrab ya!"

"Iya, iya. Kamu ini seperti aku mau dibawa migrasi ke luar negeri aja sama suami. Aku masih kuliah kok, masih bisa main sama kamu. Kalau kamu mau curhat tentang apa saja juga aku masih bisa buat ada di sana dan dengerin semuanya."

Dia melepas pelukan. "Aku nggak tahu kenapa wajah kamu terlihat bahagia banget. Padahal nikah pas masih kuliah."

"Masa aku harus sedih," jawabku.

"Kata siapa nikah pas kuliah?" Mas Zaryn lagi-lagi menyahut. "Kita nikah pas lagi libur kuliah. Nggak pas masih kuliah."

"Mbuh!" Zulaeha kesal tapi menggemaskan. Mas Zaryn terlihat puas.

Setelah obrolan kami selesai, lalu aku memberi sambutan kepada tamu mahasiswaku. Ditemani Mas Zaryn tentunya. Untungnya dia bisa cair dan humble banget, malah ngobrol sama beberapa teman sekelasku yang laki-laki.

Lewat dzuhur mereka sudah pada pulang. Giliran sehabis ashar keluarga Mas Zaryn pamitan untuk kembali ke Jawa. Kalau rombongan pengantarnya sudah pulang kemarinnya langsung. Ibu kandungku, suami, anaknya dan adik kandungku juga pulang bareng mereka. Karena banyak kesibukan yang tertunda karena mengurusi pernikahanku. Keharuan serta merta tumpah di sana. Bagaimana tidak?

...

Malamnya Mas Zaryn masih harus menyambut tamu-tamunya yang dari tempat kerja. Beberapa juga dari teman kuliahnya dulu.

Seharian ini kami berdua benar-benar lelah melayani para tamu. Dan bersyukurnya sudah tidak ada lagi. Paling nanti hanya akan ada satu atau dua tamu lagi di hari-hari berikutnya. Benar-benar melelahkan.

Setelah selesai, Mas Zaryn langsung rebahan di tempat tidur. Aku tahu dia lelah banget.

"Sayang, capek banget nggak?" katanya. Aku sedang melipat baju yang tadi siang kami pakai.

"Lumayan."

"Yasudah nggak jadi."

"Nggak jadi apa?"

"Pengin minum. Hehe..."

"Kalau itu tinggal ngomong aja, Mas. Aku ambilin dulu ya?"

Aku tahu dia haus sekali, terlihat dari caranya meneguk habis segelas air putih.

"Istirahat aja. Aku udah ngomong ke Mamah kalau nanti ada tamu tolong disambut aja. Hari ini kan tamu Papah sama Mamah sedikit, dan tahu kalau kita kelelahan banget."

"Yasudah bagus deh kalau gitu."

Beberapa saat kemudian aku lihat Mas Zaryn memejamkan mata. Napasnya berat dan pelan. Pasti dia ngantuk banget. Aku pun sama. Makanya setelah beberes aku langsung mengganti pakaian dan bergabung di sisi Mas. Membetulkan selimutnya dan berbaring menghadap wajahnya. Dia kalau tidur pasti miringnya ke kanan. Tapi kali ini aku ingin menghadapnya saja. Aku menepuk-nepuk lengannya pelan. Mengusap rambutnya dari depan ke belakang. Sedikit menimang agar dia merasa nyaman.

Dan ketika kelopak mataku mulai berat. Aku menghadapkan tubuh ke kanan, meskipun nggak enak membelakanginya. Tapi, begitu aku berbalik. Tiba-tiba tangan kokoh Mas memelukku dari belakang.

"Giliran aku yang menepuk-nepuk kamu. Cepat tidur ya," katanya dengan suara serak, kentara sekali kalau sebenarnya dia udah ketiduran tadi. Tepukannya juga lemah, jelas sekali masih mengantuk.

"Mas tidur saja, kirain tadi udah lelap," kataku.

"Hmm ya... udah kamu tidur."

Suaranya saja terdengar lesu karena ngantuk. Masih saja mau bikin aku seneng. Bukankah tadi dia sudah terlelap? Ah, kamu ini Mas.

"Iya," katakau sambil mengulum senyum.

Beberapa menit setelahnya, Mas Zaryn masih menepuk, tapi mulai melemah.

"Mas?" kataku.

"Hmm?"

"Ingat nggak dengan kata-kata ini?...

Aku memperhatikanmu,

Meski kau mengira aku tak pernah.

Aku melihatmu, saat kau berpikir aku berpaling.

Sejak mata kita terbuka di dunia, sampai detik ini adalah sebuah perjalanan.

Aku di sampingmu. Dan ini adalah sebuah persimpangan.

Yang sejak awal mata terbuka, ini titik di mana kita dipertemukan. Dengan cara yang mungkin kau tak suka." [Hardest Goodbye, BAB 8: Bimbang]

"Hmm. Itu bukannya yang kata kamu lirik lagu?"

"Bohong. Itu bukan lirik lagu. Itu kata-kata yang muncul begitu saja ketika dekat kamu dulu. Itu karanganku sendiri."

"Hmm?..." dia setengah mengantuk. "Ya, ya. Mas sudah menduga kalau kamu naksir Mas dari dulu."

Akhirnya kami tertidur diantar sebuah kejujuran dariku. Yang saat dulu itu, sebenarnya adalah caraku mengutarakan perasaanku padanya. Hanya saja masih terlalu malu untuk jujur. Tapi kuharap sekarang bisa lebih jujur jika ingin mengatakan semuanya. Dia suamiku, Zaryn Geraldi.

🍁🍁🍁

Jangan lupa Vote! 😀
Silahkan berkomentar terserah kalian...

🍂🍂🍂
Author:
Whoaa! Susah banget bikin kemistri di BAB ini. Semoga kalian suka lah. Gue nggak ngerti bagaimana sikap istri ke suami. Makanya kebanyakan cuma nulisin semua keinginan gue kelak kalau udah jadi suami. Hahaha.

BAB ini sudah dibaca Mba Andin. Dan dia suka katanya.

Kuharap kalian juga suka.

See you next Part...

Saya mewakili para tokoh dan sebagai penulisnya. Mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1438 H. Mohon apabila kami banyak melakukan kesalahan dari segi manapun juga karena tidak mungkin kami menyebutkan satu persatu kesalahan kami.

Minal Aidin Walfaidzin...
Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Terimakasih telah setia menjadi pembaca kami.

Penuh Cinta, Atas Nama Zaryn Geraldi dan Andin Maulida.
|
|
Sahlil Ge

[Psst... Gue dapat THR dari Pak Manajer. Hahaha...]

😊😊😊

Baca ini juga ya ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top