(Now) BAB 12: QABUL
Jangan lupa follow PixiOfficial didedikasikan oleh Zaryn Geraldi untuk wattpader Indonesia khususnya para author dan calon author di Wattpad. Semoga kalian menjadi pencerita yang handal lagi bermanfaat ☺
***
UNTOLD PIECES:
[Past]
Intan seharian ngambek gara-gara gue sakit nggak bilang-bilang. Dua hari gue nggak masuk sekolah karena batuk kering yang kalau bunyi suaranya kayak kodok.
Pas gue masuk sekolah, wajah masih pucat bekas sakit. Dan suara gue serak banget, kalau ngomong suaranya hampir menghilang.
Kita ketemu di kantin. Dia seperti biasa ngikutin selera gue minum es limun. Gue pesennya teh tawar tanpa es karena tenggorokan lagi nggak bersahabat.
"Ehm," gue dehem. Belum ketahuan kalau suara gue ancur.
"Kamu anggap aku apa sih Ge? Kenapa sakit nggak bilang-bilang?!"
Gue cuma ngangkat alis terkejut sambil berusaha tetap kalem nyedot teh. Lalu menggeleng.
"Makanya kalau aku bilang naiknya jangan di atap bus, itu nurut Ge!... sekarang siapa yang khawatir? bukan bibik, bukan guru, dan juga bukan ibu kamu doang. Aku."
Tuh kan, dia mula ngelantur.
Gue manggut-manggut sambil terus nempelin sedotan di mulut, padahal udah nggak nyedot lagi.
"Kamu sakit apa?!... udah minum obat?!"
Gue menatap dia kemudian.
"Nggak perlu jawab, Ge. Kesel aku."
Gue berdecak. Lalu senyum. Kemudian tangan gue menjulur ke kepala dia dan ngasih cafune.
Tapi dengan gerak cepat dia menepis.
"Aku bakal nambah parah sakitnya kalau sikap kamu gini ke aku," kata gue, barulah Intan mendengar suara gue yang ancur, jelek banget.
"Tuh, kan! Nggak mau ah." Dia ngambek kayak mau nangis. Dia itu paling jago mewek di depan gue, misal gue lagi kenapa-kenapa.
Gue terkekeh, "Dengerin."
"Nggak."
Gue meringis. "Yaudah kalau nggak mau. Aku ngomong sama bibik aja."
Wajah Intan memberengut.
"Bibik, sini deh." Panggil gue ke bibik. Dia lagi ngelayanin pembeli.
"Bentar." Lalu dia mendekat sambil ngelap tangan ke dasternya.
"Aku boleh nanya nggak?" kata gue. Bibik melirik aneh karena dengar suara gue yang ancur.
"Tanya apa?"
"Kalau pacar ngambek enaknya diapain?"
"Siapa yang ngambek?"
"Nih, pacar."
Bibik melirik ke Intan.
Wajah Intan kesal, dia balas nengok ke bibik. "Bik, kalau bibik membela Ge. Berarti bibik nggak bisa peka sama perasaan kaumnya."
"Eh?" bibik bingung.
"Dia, pacar aku. Nggak bilang-bilang lagi sakit udah dua hari. Padahal kan bisa SMS kan?"
Si Bibik ngangguk aja. Gue malah meringis dengar Intan bilang pacar.
"Tapi kalau pacarnya sengaja nggak ngomong lagi sakit, karena takut pacarnya khawatir. Nggak apa-apa kan Bi?" kata gue. Dan bibik pun ngangguk.
"Bik, tuh ada yang jajan,." kata Intan.
Bibik ngangguk, dia langsung jalan pergi. Tapi selang beberapa langkah dia nengok. Wajahnya bingung.
Gue meringis sambil lihatin Intan.
"Kamu nggak perlu meringis kayak gitu."
"Lagi seneng. Ini pertama kalinya kamu ngambek sampai kayak gini. Tanggal berapa sekarang? biar aku catet."
"Sana ke UKS."
"Ngapain? Orang segar-bugar gini."
"Nggak usah minum es teh!"
"Ini nggak ada es-nyaaaaa."
Itu dulu, jauh sebelum negara api menyerang. Andai kedamaian bisa terhampar kala itu. Pasti negeri-negeri penguasa empat elemen itu akan tetap berdamping dengan tenteram.
***
[Now]
"Halo, Arin?" Gue lagi mematut di depan cermin. Sambil dengarin suara Arin lewat loadspeaker panggilan.
"Lo pengin gue kondangan berapa?"
"Hahaha. Satu milyar! Kalau nggak punya, lo tinggal datang aja nggak perlu bawa apa-apa. Yang gue butuh, hanya kehadiran kalian semua... eh, anak lo ajak juga ya."
"Mentang-mentang banget ya. Tadinya nggak bakal gue bawa sih, takut malu-maluin entar kalau di acara."
"Etdah, bawa aja. Banyak prasmanan, anak kecil kan suka yang kayak gitu."
"Iya deh. Ngomongin anak kecil, lo nggak boleh kalah sama Ucon ya."
"Maksud?"
"Ya jangan malu-maluin istri aja jadi cowok. Tuh, tiru suami gue."
"Tunggu, tunggu. Ini gue meniru dari segi apa?"
"Dari segi kasih sayang."
"Gue nggak perlu diajari soal itu."
Lalu gue merapikan tatanan rambut dan menyemprotkan deo ke badan.
"Oh, iya. Aku ngasih kabar ke dia kalau lo mau nikah," kata Arin.
"Dia siapa?"
"Intan."
Seketika gue mematung. Tidak melakukan apa-apa selain mencoba memproses ke dalam otak sebuah nama yang baru saja tersebut. In-tan. Siapa dia?................ Past. Gue tahu nama itu, dan sepertinya gue sudah nggak perlu lagi memikirkan apa-apa soal dia.
Dia mungkin bahagia sekarang. Udah menikah belum ya? Paling udah. Masih cantik? Ya cewek pasti cantik.
"Buat apa lo ngasih tahu?"
"Ya biar dia tahu aja. Bahwa lo juga bisa bahagia dengan seseorang yang lain... gue bersyukur lo bisa kayak sekarang."
"Dan apa peduli dia kalau gue nikah?"
"Yaa... barangkali mau kondangan. Hahaha."
"Pokoknya siapa saja yang mau kondangan harus satu milyar. Kalau nggak punya ya datang aja. Lagian gue nyebar undangan biar kalian datang, bukan buat kondangan."
"Jadi nggak apa-apa ya kalau gue datang tanpa bawa apa-apa?"
"Yang penting nggak malu aja. Haha." Ketawa gue hambar.
"Yaudah. Gue ikut berbahagia buat lo Ge. Gue sama Ucon."
Gue tersenyum.
"Jaga Andin ya. Bikin anak yang banyak."
"Buset."
"Bikin yang cakep-cakep. Biar nanti kalau kita besanan cucunya juga cakep."
"Edan."
***
Menikah menjadi salah satu pelabuhan yang diharapkan bakal dihampiri sepasang kekasih. Barasal dari kata labuh yang artinya memulai atau permulaan, menikah pun bukan yang terakhir dari pengharapan, tetapi awal.
Gue sudah melewati tahap pelabuhan kesendirian, bertahun-tahun sejak terakhir SMA gue bertahan hidup dengan hati yang sepi tanpa berpenghuni, atau memang gue sendiri yang memilih untuk mengosongkannya.
Kemudian bertemu pelabuhan pacaran, dan gue pernah mengalami pacaran terhebat selama gue hidup. Sudah terlewat dan tidak apa-apa.
Dan sekarang, besok tepatnya gue bakal memijak pelabuhan berikutnya, yaitu pernikahan. Gue akan menjadikan Andin halal buat diri gue sendiri.
Menikah berarti akan ada seseorang lagi yang memiliki diri gue seutuhnya. Melakukan apa saja agar bisa saling membahagiakan.
Semua keluarga bahu membahu menyelesaikan persiapan yang harus dilakukan. Dan mungkin dekorasi pun persiapan lain-lainnya tidak sebesar yang dilakukan di rumah Andin. Sebab acara akad akan dilakukan di sana, paling di kondo hanya persiapan sederhana untuk menyambut tamu-tamu jauh. Sedangkan rumah di Jawa juga sedang ada persiapan serupa, karena di sana juga ada syukuran pernikahan untuk saudara-saudara dan tetangga orang tua.
Gue nggak bisa tidur sampai malam, padahal seharusnya gue istirahat sedini mungkin. Apalagi besok pasti bakal ada banyak tamu yang harus gue temui, itu pasti akan melelahkan.
Gue berusaha menepis pikiran-pikiran aneh tentang apa saja. Ini gue lagi bahagia, nggak boleh ada yang mengusik. Apa yang udah gue lewati, biarlah tertinggal di masa lalu. terkubur bersama detik-detik yang tidak akan pernah kembali. Gue nggak akan membiarkan portal mesin waktu terbuka hanya untuk megenang masa lalu. Let it go. Sekarang adalah Anddin. Bukan siapapun lagi.
Gue sudah siap menjadi milik Andin. Siap menanggung apa saja yang akan dia hadapi. Maksudnya gue akan menemani dia di masa-masa tersulitnya sekalipun. Andin bertahta bersama ayat-ayat. Dia yang membangkitkan, bukan melemahkan. Dia akan menjadi peneduh syahwat. Pelindung dari ketakutan. Penenang dari kecemasan. Kalau laki-laki itu melindungi, maka tugas perempuan adalah penenang. Pemberi kelembutan.
Kata Sibel, Kesabaran yang kuat itu diberikan kepada perempuan, sementara perjalanan pedih di padang pasir diberikan untuk laki-laki.
Sudah lewat pukul dua belas malam, gue mulai mengantuk sebelum itu, gue mengulang sebuah surat. Setelahnya, seperti tahu kalau gue belum bisa tidur. HP gue menyala dan ada satu pesan WA.
"Bismillah," pesan dari Andin.
Gue tersenyum. Lalu membalasnya dengan sebuah emotikon senyum.
***
Iqbal menggandeng tangan Milan memasuki kondo. Bersama anak ceweknya yang masih kecil. Kali ini Milan tidak memakai cadar. Nggak tahu kenapa. Seperti biasa, Iqbal dan Milan menjadi pasangan yang klop. Memiliki karakter yang sama. Masa lalu yang sama. Dan kini meniti jalan yang sama, jalan yang sakinah.
Mia dan Mega juga datang bersama suami mereka. Perut Mega mulai membesar, gue takut nanti meletus pas dibawa jalan. Tapi suami dia protektif banget, jadi selalu nempel di dekat Mega. Mungkin nanti kalau Andin hamil juga gue bakal gitu. Eh,
Mereka kompak datang pukul setengah tujuh pagi. Tapi cuma Wana yang datangnya jam tujuhan, bareng Iyus tentunya.
Nggak ada waktu buat bercengkrama lebih lama. Karena semuanya harus dipersiapkan segera. Gue memakai pakaian yang sudah serasi sama gaun Andin.
Mulai deg-degan.
Pas lagi kesusahan pasang dasi, tiba-tiba Iqbal nongol buka pintu. Kirain siapa.
"Agak miring tuh," kata Iqbal. Lalu dia benerin dasi gue dari belakang. "Harusnya lo mau didandanin sama orang ahli."
"Kayak nggak punya tangan sendiri aja."
Setelah itu, gue diam mematung di depan cermin. Memandangi tubuh gue yang udah rapi sama baju pengantin. Iqbal menjejer di sebelah gue, merangkul pundak, dia juga udah rapi. Lalu kita sama-sama memandang ke cermin.
"Ini giliran lo," kata Iqbal pelan.
Gue tersenyum.
"Akhirnya, kita semua bisa bertahan sampai melihat pernikahan masing-masing. Gue bahkan dulu nggak mengira ada yang bakal mau nikah sama gue, sampai akhirnya ada Milan... Memang, Ge. Gue ngerasain sendiri, kalau menebak-nebak siapa jodoh kita itu memang asyik. Maksudnya, pas kita mencoba bersinggah di beberapa hati, yang ternyata zonk bukan jodoh kita, itu seru. Tapi, jodoh nggak ke mana memang. Dan, sebenernya nggak pacaran pun bisa aja. Malah lebih baik sendiri dan bertahan sampai waktu yang pantas. Dari pada kita terluka di sembarang hati, dan bersimbah dosa yang pasti..."
Gue tersenyum, menyimak kata-kata sahabat gue ini. Yang sudah bareng-bareng melampaui semua aral. Hanya merasa tenang, gue khawatir aja, dulu apa jadinya kalau teman gue ini terjerumus terlalu dalam.
"Gue pengin ngasih salut ke lo, Ge. Gue tahu seperti apa yang sudah lo lewati untuk sampai di sini. Gue nggak lagi ngomong dunia, tapi apa yang lo hadapi di dalam sini." Iqbal menunjuk ke dada.
"Thanks."
"Jangan merasa takut kehilangan, sekalipun harus menunggu lama. Karena yang namanya jodoh takkan lari ke mana. Kalau sudah waktunya, pasti akan singgah di dada. Nggak peduli seberkelit apapun prosesnya."
"Kok lo ngomong gitu gue jadi grogi, ya?"
"Kalem aja. Kan nanti bakal gue temenin sampai ke pelaminan. Gue bakal duduk tepat di belakang lo. Asal jangan ngadat aja pas jawab ijab."
"Bismillah."
***
Sebelum melangkah keluar pintu dan berangkat ke rumah Andin, gue berhenti, berbalik dan entah kenapa ingin sekali memeluk Ibu sama Bapak. Gue nangis di sana. Ya, ini wajar sih. Yang namanya menikah, itu artinya kita terlepas dan melepas diri dari salah satu tanggung jawab. Sekalipun bakti kepada orang tua itu tidak akan pernah berhenti hanya sampai itu saja.
Ibu sama Bapak, bagi gue adalah segalanya. Mereka menghujani gue sama kakak dengan banyak cinta dan kasih sayang, ketegasan, dan menaruh kepercayaan kepada anak-anaknya sehingga malah bikin gue segan buat melanggar. Mereka memperkenalkan gue tata krama, keramah-tamahan, menghargai, mimpi, cita-cita. Dan apalah lagi yang bisa gue berikan buat membalas. Nggak ada. Selain bakti yang tak terputus.
Di sana gue sungkem duluan sebelum akad, gue berterimakasih, gue minta maaf, gue mencium, memeluk. Sampai harus ditenangin sama kakak. Setelah itu kita semua berangkat. Ini wajar, yang bilang cengeng nanti bakal ngerti sendiri bagaimana rasanya. Tidak ada pernikahan yang terbebas dari tangisan, entah itu bahagia, haru, bahkan sedih.
Ada sekitar dua puluh mobil yang berangkat ke rumah Andin. Berisi rombongan keluarga, sahabat, dan lain-lain.
...
Begitu sampai di tempat parkir yang sudah dipersiapkan khusus untuk kedatangan kami, gue mulai merasakan debaran yang kuat. Namun gue mengulang beberapa ayat sampai tenang.
Ini, yang aneh banget. Kejadian yang membuat gue berkata dalam hati, kenapa harus ada? Dan harus diperlihatkan ke gue?
Ada seorang anak SMA yang lagi mendorong perempuan di atas kursi roda di jalan. Dan mengesalkannya, itu membuat gue teringat akan sebuah luka. Gue tertegun sesaat, mengenyahkan semua pikiran-pikiran aneh. Gue nggak ingin mengingat, gue nggak ingin mengingat, gue nggak ingin mengingat. Jika harus merasa sakit, cukup itu saja. Jangan sampai ingat sama orangnya. Gue hampir sampai di garis finish, nggak mungkin kembali lagi ke garis awal. Dan mengulaing lagi. Gue nggak ingin.
Kemudian dengan hati yang sedikit terguncang, kami mulai berjalan menuju gerbang rumahnya Andin. Barisan paling depan itu rombongan keluarga gue, lalu diikuti gue yang di sebelahnya ada Iqbal sama Ucon. Di belakang barulah orang-orang terdekat dan pembawa seserahan.
Dari awal gerbang sudah ada berbaris pemain rebana yang mulai memainkan nada-nada indah untuk menyambut. Taman depan rumah sudah didekor, ada mahligai juga.
Gazebo besar dekat kolam sudah ada tatanan karpet dan alat-alat musik gambus. Gue dengar bakal ada hiburan lagu-lagu islami yang entah akan dimulai kapan. Sedangkan kolamya bertabur kelopak bunga yang mengambang. Seperti yang sudah disepakati, semuanya bernuansa putih.
Sambutan juga datang dari pihak Andin. Para keluarga tersenyum bahagia, ramah khas orang Jawa. Menyapa. Dan merasa rikuh.
Lalu ada ibu kandungnya Andin yang menyambut dan mengalungi gue dengan hiasan melati. Gue mencium tangannya. Beliau sangat bahagia rautnya.
Kemudian gue dipandu untuk langsung mengarah ke pelaminan. Sudah ramai ternyata di dalam. Itu semakin bikin deg-degan.
...
Kebisingan mereda saat gue lihat Andin sedang menuruni anak tangga, diiringi empat perempuan yang gue tahu mereka siapa. Cantik banget Andin. Dia berjalan sedikit menundukkan pandangan, sekilas terlihat tangannya sudah memakai hena. Itu cukup membuat gue berdesir dan menenangkan. Lalu gue kembali menundukkan pandang. Menunggu.
Saat dia sudah duduk di sebelah gue dan kain sudah ditudungkan di atas kepala kami. Barulah, gue seperti berada di ambang garis finish.
Ini saatnya, tapi kilasan-kilasan terlihat di dalam kepala. Mengganggu seperti dengingan nyamuk. Membuat buyar. Sedikit menyakitkan.
Astaghfirullah...
Proses ijab tidak diwakilkan kepada penghulu, tetapi papahnya Andin secara langsung.
Entah kenapa saat itu pikiran gue buyar. Aneh, ini pengaruh gugup.
Gue menjabat tangan beliau dan akhirnya ijab pun diucapkan.
Giliran gue menjawab.
"Qobiltu nikaahahaa wa tazwijaha..." suara gue meredup.
Hingga harus diulang kembali dari ijab, tidak ada tawa. Padahal biasanya kalau gagal ada yang cekikikan. Mungkin karena mereka tahu kalau sebenernya gue hafal, dan hanya sedang gugup. Tanpa mereka tahu apa yang sebenarnya gue pikir dan rasakan.
Dan dipercobaan kedua... gue tersendat juga!
Di sanalah, gue merasa bersalah dengan semua yang ada di ruangan. Terutama Andin.
Apa-apaan gue ini? Ini garis finish, gue harus melangkah dengan mantap. Gue nggak ingin itu terjadi, tapi air mata gue mengalir dengan sendirinya.
Astaghfirullah... Ini mungkin akan membuat Andin gugup.
Gue mengambil sapu tangan dan mengelap pelan. Air mata itu hanya mengalir sekali saja.
Dari belakang Iqbal menepuk pundak pelan. Cukup menenangkan.
Lalu pengulangan ketiga.
"Qobiltu nikaahahaa wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhitu bihi, wallahu waliyut taufiq."
Berhasil.
Kemudian doa diucapkan. Melantun bersama kelegaan yang terlepas.
Saat itulah, secara sah dan halal, gue sudah menjadi suami dari Andin dan begitu pula sebaliknya.
Anehnya begitu selesai prosesi ijab-qabul pikiran dan perasaan tadi hilang seketika. Seolah itu hanya gangguan semata.
Tangan kiri gue bergerak memegang tangan Andin. Kami saling tatap dan tersenyum. Syukurlah, wajah Andin, eh, wajah istriku juga terlihat lega. Lalu gue main cium keningnya begitu saja. For the first.
"Eeeeeh, main cium aja padahal belum disuruh." Kata pak penghulu sambil ketawa.
Semuanya juga tertawa, dan gue nggak malu. Pokoknya perasaan tadi seperti kabur entah ke mana.
Barulah gue sama Andin dikasih aba-aba. Karena tadi nggak kefoto pas gue nyium kening Andin.
Pertama Andin sungkem mencium tangan gue. Lama, karena banyak yang foto. Sekalipun sudah ada fotografer khusus tapi mendadak banyak fotografer amatir yang mengambil gambar. Ya, itu jelas mereka para saudara dan teman-teman. Apalagi Wana sama Mia yang memfoto gue sambil cekikikan, ditambah yang bikin heran Mega ikut memfoto padahal lagi susah.
Barulah, gue disuruh nyium kening Andin. Kalau yang ini, selama apapun gue bakal mau bertahan dalam posisi ini.
...
Selanjutnya acara sungkeman kepada orang tua kami, tak tertinggal ibu kadungnya Andin tentu.
Kemudian gue sama Andin diarahkan oleh tim WO ke mahligai yang ada di taman depan rumah. Kami duduk bersanding di kursi yang sudah tersedia. Menerima ucapan selamat. Ledekan, ini pasti banget sama anak-anak van oranje. Foto-foto. Dan tangan kami tak terlepas menggenggam satu sama lain.
Sementara di dalam rumah para keluarga dan tetamu sedang menikmati hidangan.
...
Percaya atau tidak, gue tiga kali ganti pakaian. Sebab tamu berdatangan sampai lewat pukul delapan malam. Gue bahkan belum sempat diam berdua sama Andin. Ada inilah, ada itulah. Sampai tubuh terasa lelah.
Hiburan musik gambus sudah mulai bertalun di gazebo sejak setelah isya. Melantunkan lagu-lagu islami seperti lagunya Debu, Maher Zain, dan Sami Yusuf. Suara mandolin yang dimainkan membuat suasana rumah seperti di Turki.
Tamu-tamu yang notabene koleganya Pak Mertua datangnya pada malam. Makanya di lantai bawah lagi ramai banget.
...
Uhuuuk.
...
Andin sudah ada di kamar sejak tadi, sedangkan gue baru memastikan sudah nggak ada lagi tamu gue. Kalau ada pun, biarlah.
Lalu gue menyusul ke kamar, yang sudah di dekorasi sedemikian indahnya, bunga di beberapa sudut, aromanya harum, romantis, dan bikin dada berdesir. Ini kamar pengantin ya? hehe. Gue memasuki kamar dengan senyum nggak jelas.
Pas gue masuk, Andin sudah memakai mukena. Dan membuat dia semakin terlihat seperti bukan manusia, tapi bidadari. Cantik banget. Begitu segar dan meneduhkan. Kita tatap-tatapan sebentar.
"Pak Manajer udah sholat isya?" kata Andin.
Gue mengernyit. Menahan senyum dengan jinjitan alis. Berdehem.
"Aku bukan Pak Manajer," jawab gue.
Andin tersenyum malu-malu, "Ehm. Mas Suami udah sholat isya?"
Tahan! Gue nggak boleh langsung menubruk dia seolah rusa yang kehausan. Dada gue berdesir hebat mendengar Andin bilang begitu. Gue harus bisa menahan rindu yang sudah membuncah, sebentar lagi.
"Belum," jawab gue. "Istriku belum juga?"
Dia menggeleng.
"Yaudah, Mas Suami ambil wudhu dulu ya?" kata gue kemudian.
Andin mengangguk dengan senyum.
Lalu gue beranjak ke kamar mandi. Pas gue kembali, Andin sedang menggelar sajadah di mihrab.
Gue tersenyum, pemandangan itu indah banget. Bahagia. Jadi kalau ada yang merasa keren sholat bareng pacar. Jangan percaya kalau rasanya indah. Menikah deh, nanti kamu bakal ngerti bagaimana rasa yang sesungguhnya.
...
Gue menghadapkan hati ini ke kiblat. Memasrahkan diri kepada Allah. Isya bersama istri untuk pertama kalinya.
Rasanya begitu manis dan indah. Ketika aku mengucap takbir, di belakang sudah ada istri tercinta yang menyahut takbir. Saat membaca alfatihah sudah ada istri yang mengamini di belakang.
Ayat-ayat gue lantunkan dengan lembut dan semenghayati mungkin. Sampai terdengar isakan di antara kami berdua.
Dari rukuk ke rukuk. Sujud ke sujud. Takbir ke takbir. Kami menikmati setiap rukunnya dengan kehayatan. Rasanya manis.
Lalu, setelah salam gue melanjutkan untuk sholat sunah dua rokaat yang dianjurkan kepada pengantin baru.
Barulah di sana gue berdoa, dengan tulus dan dikeraskan agar didengar oleh Andin juga.
"Ya Sami'u.. perdengarkanlah kata-kataku ini sampai kepada baginda Rasulullah, aku ingin berkata pada beliau...
Rasulullah,
Cahaya fajar menjadi sinar wajahmu. Kilauan malam itu dan secercah rambutnya. Engkau melampaui semua rasul yang telah lalu. Membimbing manusia ke jalan lurus dengan tanda dan bukti. Memandu seluruh bangsa dengan hukum suci. Nasabmu yang paling murni, rupamu pun paling mulia. Nabi terbesar bagi umatnya
Terimakasih telah membawa pernikahan sebagai pelengkap agama kita. Hari ini aku menggenapi agama dengan seseorang yang sangat aku cintai.
Syariat yang kau bawa sangat meneduhkan, semoga kami berdua sampai kepadanya dan melaksanakan di kehidupan kami. Menghidupi sunah-sunahmu. Meneladani perilakumu. Dan ingatlah kami di Mahsyar kelak...
Allah.. Allah.. Allah..
Sesungguhnya garis sudah engkau tetapkan, kami hanya pelakon yang kadang patuh dan membelot. Bimbing kami dalam mengarungi samudera kehidupan dengan bahtera yang akan kami naiki.
Terimakasih sudah menjadikan dia sebagai istriku. Dia yang terbaik. Tumbuhkan terus cinta-cinta di hati kami. Buatlah kami saling jatuh cinta setiap hari. Jika kami salah, ingatkanlah. Jangan pisahkan.
Terimakasih untuk semua patah hati, kenangan-kenangan, dan masa lalu yang berhasil kami lewati. Maafkan apabila kami pernah salah jatuh cinta dengan hati yang tidak sesuai dengan pencatatanMu. Lalu syukur kami atas pertemuan ini, dan jatuh cinta yang engkau tiupkan ke dalam dada kami.
Jadikan aku laki-laki yang membahagiakan, begitu pun istriku, jadikan dia pelabuh yang akan menjagaku.
Kuatkan kami, siapkan kami, buatlah kami saling jatuh cinta setiap hari, setiap hari dan setiap hari.
Jadikan ayat-ayatmu yang ada di dadaku sebagai pengingat, agar aku menjadi suami yang sanggup memimpin, membimbing, mengayomi, menafkahi, mencintai, menjaga, dan memperlakukan sebagaimana yang engkau cintai.
Di kehidupan ini kami dipersatukan, dan jangan biarkan kami saling mencari di akhirat kelak. Satukan kami sampai ke sana.
Aamiin..."
Gue menangis haru di sana. Membalik badan dan membiarkan Andin mencium tangan gue sangat lama dan takdzim.
Lalu gue menarik dia dan mencium keningnya.
Setelah beberapa saat, gue melepas baju pernikahan dan menggantinya dengan kemeja biasa dan tetap memakai kopyah.
...
Dari jendela kamar bisa terlihat bagian kolam yang berkilauan oleh lilin dan kelopak bunga. Musik mengalun dan benar-benar bernuansa seperti di Turki. Petikan mandolin. Biola. Jimbe. Seruling merdu. Dan suara penyanyi pemuda yang sejuk mendayu dayu menyanyikan lagu berbahasa arab.
Malam ini terasa indah sekali.
"Mas mau ke bawah lagi?" tanya Andin.
"Capek," kata gue yang lagi memperhatikan gazebo dari kamar kami di lantai dua.
Lalu berjalan mendekat ke Andin. Kita berdiri berhadap-hadapan. Kita saling tatap dan tersenyum.
"Kamu tampan, padahal lagi capek." Ini pertama kalinua Andin memuji secara terang-terangan.
Gue mengangkat sebelah alis. Mengerjap lalu menarik Andin sampai kami berpelukan.
"Kamu tahu kenapa malam ini terasa indah?" gue mendekap. "Karena di surga sana bidadari sedang menangis cemburu melihat seorang suami memeluk istrinya."
"Iya?" suara Andin manja seperti anak kecil.
"Ya, katanya di dada mereka berisi rindu untuk laki-laki bumi."
"Kamu rindu juga?"
"Kan bidadarinya udah lagi dipeluk. Mas tahu, bidadari yang ini lagi kangen banget, karena sudah sebulan lebih nggak ketemu dan tanpa komunikasi secara langsung."
Andin mencubit dada gue, "Ishh."
Gue meringis.
"Sayang, sekarang bahtera sudah mengapung di atas samudera, layar telah dibentangakan. Kamu siap mengarunginya bersama Mas sebagai nahkoda?"
"Kenapa harus ditanya? Pasti siap."
Gue mencium kepalanya.
"Lalu Mas siap? Mengarungi bersama Andin?"
"Siap dong."
Kita terkekeh. Tanpa sadar kami mulai bergerak ke kanan dan ke kiri secara perlahan mengikuti intro lagu asubhubada versi Maher Zain yang sedang mulai dimainkan di bawah sana.
Kamar ini ibarat sebuah istana yang berdiri megah di negara Turki. Musiknya memabukkan. Gue seperti raja yang sedang bersama permaisuri.
Kelambu ditutup, lampu diredupkan. Sekarang yang diizinkan menyala hanya cinta.
Kami membuat malaikat yang mengitari rumah menutup mata karena malu. Bidadari di surga semakin menangis cemburu. Angin beradu dan tak berani menggerakan kelambu.
Kami beribadah dengan cinta yang meluap-luap. Rindu yang membuncah. Beriringan dengan dzikir-dzikir suci dan limpahan karunia.
Dua napas saling bertemu. Menghirup dan mengembus dengan jarak yang sangat dekat. Membuat malaikat mematahkan benang tasbihnya karena malu. Kiraman Katibin gugup mencatat kebaikan.
Malam ini, rindu bertemu dengan tuan-tuannya. Cinta berkobar bersama iman. Dan iman itu membalut ayat-ayat di dalam dada, yang ikut getar dan tersipu malu karena peribadatan.
Malam menjadi basah sejuk karena kucuran cinta dari Sang Mahacinta.
"Aku mencintaimu," kami saling berbisik.
Sementara bantal-bantal terasa lebih empuk.
A s s u b h u b a d a
Putar dan rasakan.
---o0o---
Silahkan kasih bintang dan komentar sesuka kalian. ☺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top