📷 Bab 6. Akhirnya Terungkap
Jangan jatuh cinta sendirian. Jalan sendiri aja rasanya hampa apalagi jatuh cinta?
✨📷✨
Nara menatap ponselnya yang masih menunjukan kontak Dero. Ia bingung, antara harus pergi atau mengikuti Gevan. Lagi pula ke mana sih cowok itu sekarang? Masuk ke dalam hutan? Yang benar saja.
Nara menghela napas kasar. Ia mematikan ponselnya dan berlari mengejar Gevan. Ia tak ingin Gevan melakukan hal yang aneh-aneh karena ia membawanya ke daerah ini.
Nara menyingkirkan beberapa semak belukar di bawah kakinya dan di atas kepala. Daun-daun hijau di sini terasa dingin di tangan gadis itu. Sesekali ia menyapu sekitar. Takut ada makhluk gaib yang mengintainya. Tapi tentu saja tidak. Hanya ada Gevan yang kini menoleh ke belakang menatap Nara.
"Lo ngapain masuk ke dalam hutan?" tanya Nara setelah berhasil menghampiri Gevan. Tapi cowok itu tetap diam. Menatap datar Nara.
Saat Nara hendak bertanya kembali, cowok itu memutar badan dan menyibak semak belukar setinggi badan mereka.
Mata Nara membulat kala ia menyaksikan pemandangan di hadapannya. Sebuah lembah dengan terasering hijau dan perbukitan cukup membuat mata Nara tak berkedip selama beberapa detik.
Gevan melangkah maju, meninggalkan Nara dan akhirnya semak tertutup kembali. Nara berdecak. Ia mengikuti Gevan melewati semak itu.
Hembusan udara di tengah cuaca gelap seperti ini menambah dinginnya angin yang menyentuh tubuh Nara. Nara mengusap pelan lengannya seraya terus berjalan maju mengikuti langkah Gevan. Permukaan jalan yang terjal dan sedikit landai membuat gadis itu sering kehilangan keseimbangan. Tapi untung saja ia berhasil naik hingga tiba diujung jalan.
Nara menatap seluruh pemandangan dari atas. Ia lalu melihat Gevan yang kini sudah terduduk di pinggir jurang. Sedikit menakutkan memang, tapi sepertinya cowok itu menikmatinya.
"Bagus banget ya?" tanya Nara seraya mencoba duduk di sebelah Gevan. Jantungnya sedikit berdegup kencang kala ia melihat bawah. Tapi untungnya ia bisa duduk dengan aman.
"Lo tau dari mana tempat ini?" tanya cowok itu tanpa menoleh.
"Eee ... gue tau aja. Kalo di sini ada pemandangan alam yang bagus banget kaya di lukisan-lukisan," ucap Nara berdusta. Padahal ia sama sekali tak tahu kalau di balik hutan ada sebuah lembah.
"Lo cuma pake mata?"
"Hah? Gimana?"
Gevan tersenyum sinis. "Lo juga harus pake hati."
Nara terdiam beberapa detik. Mencoba memahami ucapan Gevan.
"Lo masih nggak maksud?" Gevan lalu melipat tangannya. "Sebenarnya indra manusia itu ada enam."
"Maksudnya, indra keenam? Yang bisa liat hantu itu?"
Gevan menatap datar Nara. Membuat gadis itu menaikkan sebelah alisnya bingung.
"Gue belum selesai."
"Oke, maaf."
"Indra ke enam itu hati. Indra yang jarang mendapatkan perhatian manusia."
"Kenapa bisa gitu?"
"Coba sekarang lo bayangin, melalui mata, lo cuma tau kalau alam ini indah. Melalui telinga, lo cuma tau suara angin itu berisik. Melalui hidung, lo cuma tau hujan itu beraroma. Melalui lidah lo cuma tau air laut itu asin. Melalui kulit, lo cuma tau hembusan angin itu dingin. Tapi melalui hati, lo tau kalau alam itu memberikan kebebasan, ketenangan, dan--"
"Kedamaian," lanjut Nara setelah memotong ucapan Gevan. Ia termenung menatap cowok itu. Ucapannya membuatnya miliki sudut pandang baru.
Beberapa detik kemudian, gadis itu terkekeh sendiri. "Gue baru tahu loh, cowok sedingin lo mikirin tentang hati."
"Dingin?"
Nara mengangguk. "Lo itu terkenal di sekolah sebagai cowok dingin tau nggak? Kayak cowok-cowok nggak berperasaan gitu. Ternyata hati lo masih ke pake juga."
Gevan menunduk lalu tersenyum tipis.
"Eh, ternyata lo bisa senyum juga?"
"Lo pikir gue robot?"
Nara tersenyum geli. "Ya nggak gitu. Tapi bener deh, gosip yang beredar, lo itu katanya nggak bisa senyum, terus ambis banget karena tiap hari ke perpus, sama suka banget nambah musuh. Emangnya bener?"
Gevan terdiam. Ia kembali menatap depan. Membuat Nara sedikit takut cowok itu menjadi marah.
"Lo mar--"
"Gue bukan nggak bisa senyum. Tapi belum ada yang bisa bikin gue tersenyum." Ia terdiam beberapa detik. "Gue ke perpus hanya untuk sebuah sastra dan ... gue nggak suka nambah musuh. Gue sengaja ngejauh dari mereka semua," jelas Gevan meluruskan semua rumor tentangnya. "Banyak yang ngomongin gue ya?"
"Eh." Nara tersadar telah membuat cowok itu tahu tentang gosip yang beredar. Ia menunduk tak enak. "Sorry."
Cowok itu tetap terdiam. Dan Nara tetap tak tau apa isi pikiran Gevan sekarang.
***
Tak terasa, sudah enam hari Nara menjalankan misinya sebagai paparazi. Di hari keenam ini pula ia kembali melancarkan aksinya di Fantasy Garden untuk memotret Gevan yang berada di balik jendela perpustakaan.
Nara termenung saat menatap wajah tegas Gevan. Cowok itu terang-terangan berkata sengaja menjauhi semua orang. Ada apa? Kenapa ia berusaha menjauh?
Berbagai pertanyaan mengenai cowok itu kini berkerumun di kepala Nara. Gadis itu menghela napas berat. Tak ada satupun yang bisa terjawab. Ia lalu memutuskan untuk segera melakukan misinya dan mengabaikan segala kebingungan mengenai cowok itu. Yang terpenting misinya selesai sekarang juga.
Tapi saat Nara hendak menekan tombol shutter, seseorang dengan sengaja menarik kuat kamera mirrorless Nara. Ya, pelakunya sudah gadis itu duga, Fadil.
"Kan udah gue bilang. Kok lo ulangin lagi?" Cowok itu mengangkat kamera Nara. "Lo sebenernya pengagum rahasianya atau ... penguntitnya?"
"Apa? Gila lo ya? Buat apa gue jadi penguntit." Nara tersulut emosi.
"Terus kenapa sampe sekarang lo nggak berenti-berenti motoin dia?"
"Ya...." Mata Nara berkeliling, mencari alasan disaat genting. "Karena ... buat, gue, pandang," ucapnya sangat ragu. Ragu apakah kebohongannya harus seperti itu?
"Kalo gitu sekarang lo ikut gue dan gue kasih tau Gevan aja supaya dia tau perasaan lo."
"Heh! Gila lo ya?" umpat Nara tak sadar. "Eh, maksud gue, nggak. Gue nggak mau. Gue mau ini tetap menjadi rahasia."
"Sampai kapan lo ngerahasiain perasaan lo?"
Nara terdiam.
"Manusia itu bukan peramal hati. Yang saling tahu isi hati masing-masing tanpa campur tangan ucapan. Kalo cuma satu hati yang tau, hati lainnya nggak bakal tau. Lo harus ungkapin. Lo nggak capek, jatuh cinta sendirian?"
Ucapan Fadil malah membuatnya mengingat Dero. Sepertinya, memang hatinya saja yang mencintai Dero, di hati cowok itu tak ada dirinya.
"Capek," jawab Nara dengan pandangan menerawang jauh.
"Makanya, lo harus ungkapin. Jangan cuma motret-motret cowok yang benci dipotret."
Nara kembali ke kenyataan saat mendengar ucapan Fadil. "Benci?"
Fadil menghela napas berat. "Iya, cowok itu trauma akan kamera."
"Maksud lo?"
"Dulu gue pernah ngelakuin kesalahan yang fatal. Gue bikin kenangan buruknya kembali lagi. Dia ninju gue. Tapi itu pantas gue terima. Kalo gue jadi dia, gue mungkin bakal ngelakuin hal yang sama. Tapi hebatnya dia, dia mau minta maaf ke gue. Dan dia ceritain masa lalunya. Tentang ayahnya yang masuk penjara dua tahun yang lalu karena kasus penggelapan uang, tentang dia yang harus dikelilingi wartawan dengan banyak pertanyaan pedas, dan tentang banyak kamera yang tertuju padanya dan menampilkan gambarnya di mana-mana."
Mulut Nara sempurna terkunci. Ternyata cowok itu memendam luka lama. Gevan ternyata tak sekuat yang ia kira. Ia juga trauma akan sesuatu. Dan apakah masa lalunya itu berhubungan dengan mengapa ia menjauhi semua orang?
"Sejak saat itu, dia bilang sama gue, kalau dia mau ngejauhin semua orang. Dia terlalu kecewa sama bokapnya. Beliau ternyata tak sebaik yang ia kira, ia melakukan sebuah kejahatan yang tak diampuni masyarakat. Dan kini ia takut untuk mempercayai orang lagi."
Terjawab sudah pertanyaannya melalui Fadil. Nara hanya bisa tertegun mendengar semua penjelasan cowok itu. Ia sama sekali tak pernah membayangkan hal itu.
Fadil kini menatap Nara. "Lo harus jaga rahasia ini! Atau gue laporin kalo lo pengangum rahasia Gevan pake toa sekolah!" ancam cowok itu tiba-tiba saat Nara masih merasakan perasaan Gevan dahulu.
"Hah? Iya, nggak kok."
"Ini yang terakhir kali!"
"Iya!"
"Tapi nama lo siapa? Masa gue nggak tau nama lo terus gue ngelaporinnya gimana?"
Astaga, ternyata Fadil tak sepintar yang Nara kira. "Nara."
"Oke, Nara, gue Fadil."
"Gue nggak nanya."
"Iya juga." Fadil berdecak. "Ah bodo amat, yang penting besok kalo lo ketauan masih megang kamera dan motret Gevan, gue langsung lapor--"
Nara tiba-tiba menarik paksa kameranya dari tangan Fadil. Menurutnya Fadil terlalu banyak bicara.
"Heh! Mau kemana lo? Gue belum selesai!" teriak Fadil pada cewek yang sekarang tengah berlari kembali ke kelasnya. "Bener-bener tuh cewek--" ucapan Fadil sontak terhenti kala matanya menangkap mata Gevan yang melihat lurus ke dirinya. Ya, Gevan melihatnya sekarang.
Selamat malam, gimana bab ini? Kalo suka jangan lupa vote yaa, sama komen hehe💕
Terima kasih🌈✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top