📷 Bab 5. Jangan ikuti aku!
"Saat rahasia diujung tanduk, semoga tak membawa petaka besar jika harus terbongkar."
✨📷✨
Setelah kamera Nara berada di tangan, Fadil dengan cekatan membuka galeri. Ia menggeser setiap foto.
"Kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Fadil masih fokus menatap layar kamera.
"Hah? Maksudnya?" Nara menggigit bibirnya takut.
Fadil menatap Nara. "Apa tujuan lo ngelakuin hal ini?"
"Eee ... itu ... gue ... gue pengagum rahasia Gevan." Nara pun mendapat alasan. "Yang bisa mengagumi Gevan dari jauh," ucap Nara sepenuhnya berbohong.
"Lo ... pengagum rahasianya?" tanya Fadil masih curiga.
"I-iya. Lo jangan kasih tau siapa-siapa ya, termasuk Gevan, oke?"
Fadil masih terdiam. Ia menatap Nara dari atas hingga bawah. "Oke. Tapi lo harus berhenti motret dia. Jangan sebar gambar-gambar yang lo ambil ke siapapun. Simpan pribadi atau hapus!"
Nara hanya terdiam. Hingga akhirnya cowok itu menghela napas berat dan menyerahkan kamera Nara tanpa menghapus satu pun gambar yang Nara ambil.
***
Keesokan harinya, saat istirahat pertama, Nara hanya bisa terduduk lemas di bangku pinggir lapangan--bangku favoritnya. Kepalanya, ia taruh di atas kedua punggung tangan yang tertumpuk dan matanya memandang malas kelas XI IPA1.
"Argh! Kenapa Fadil harus tau sih? Kalo Fadil ngasih tau Gevan gimana? Atau ngasih tau kalo gue pengagum rahasianya gimana?" Nara menegakkan tubuh dan memukul pelan kepalanya. "Bodoh! Bodoh! Bod--"
Ucapannya terhenti saat matanya menangkap Fadil baru saja meninggalkan kelas. Itu artinya, kelas Gevan sedang aman jika Nara menjalankan misi di sana. Ya, Nara memutuskan untuk menjalankan misi di kelas Gevan karena sejak tadi tak ada tanda-tanda cowok itu akan keluar kelas.
Saat Nara berhasil tiba di kelas Gevan dengan aman, ia langsung menemui Yeni.
"Yen!" panggil Nara dengan senyuman lebar. Tentu saja suara Nara membuat Gevan meliriknya sekilas, karena kelas hanya diisi oleh seperempat orang saja.
"Eh, Ra! Sini, sini," ajak Yeni untuk duduk seperti biasa.
Nara pun duduk di samping Yeni. "Nggak ke kantin lo?"
"Masih kenyang."
"Ah, paling lagi diet."
"Kok tau?" Yeni tertawa mendengar tebakan Nara dan Nara pun ikut tertawa.
"Eh iya." Nara mengangkat kameranya. "Nih gue bawa kamera, selfie yuk!"
"Wah, ayuk!" Yeni merangkul Nara, mendekatkan tubuhnya agar mereka berdua dapat terlihat di kamera.
Nara pun mengangkat kameranya tinggi-tinggi. Misinya telah dimulai. Ia ingin cowok itu ikut terlihat menyempil di belakang. "Satu, dua, tiga, cheese!"
Setelah puas berselfie ria, mereka langsung melihat hasilnya. Ternyata sangat jauh dari ekspektasi. Ternyata hanya sikut cowok itu saja yang terlihat.
"Eh, Yen, jelek hasil fotonya. Gelep nih." Nara menunjukan layar. "Cari tempat yang terang yuk!"
Yeni menyisir sekitar. "Mau di deket jendela itu?"
Nara meraih tangan Yeni dan langsung menariknya. Ia membawa gadis itu ke kursi persis di depan meja Gevan.
"Di sini aja, ada lighting alami."
Yeni tertawa. "Maksudnya sinar matahari?"
Nara mengangguk antusias. Ia menjunjung kameranya lagi sejauh dan setinggi mungkin. Ia usahakan agar cowok yang duduk persis di belakangnya ikut terlihat.
Usai beberapa kali selfie, kedua gadis itu langsung melihat hasilnya. Nara tersenyum senang. Ia berhasil mendapatkan gambar Gevan yang sedang asyik membaca.
Tapi ada sesuatu yang aneh di gambar ketiga. Saat gambar itu diperbesar, ternyata dugaan Nara benar. Mata cowok itu sadar kamera.
"Hapus!"
Nara terkejut mendengar suara berat Gevan yang tiba-tiba berada sebelahnya. Ia menoleh takut.
"Gimana?"
"Hapus fotonya," kata Gevan dengan tatapan setajam belati.
Nara menggigiti bibir. Matanya bergerak ke sana kemari. Ia tak bisa menghapus foto tadi. Bisa-bisa misinya akan gagal hari ini.
Setelah melihat celah untuk lari, dengan cekatan gadis itu kabur ke luar kelas, membuat Gevan semakin tersulut amarah. Cowok itu ikut mengejar Nara.
Gadis itu masih berlari dengan sangat gesit, tapi tetap saja kekuatan larinya tak sebanding dengan langkah panjang Gevan. Cowok itu dengan mudahnya berhasil menghadang Nara.
"Oke, oke! Gue bakal hapus foto tadi." Nara menghidupkan kembali kameranya dan mulai membuka galeri.
Tanpa diduga, Gevan malah menarik paksa kamera Nara. Untung saja gadis itu bisa menahannya, sehingga ia tidak terlibat masalah besar.
"Gue aja yang ngapus. Lo nggak percaya sama gue?" tanya Nara yang tak dijawab oleh Gevan. Ia pun mulai menghapus foto ketiga tadi. "Dah gue hapus," tambahnya berusaha meyakinkan.
"Gue mau bukti."
"Hah?" Mata Nara membulat. Ia menelan ludahnya susah payah. "Buktinya...." Bel masuk tiba-tiba berbunyi, menandakan bahwa gadis itu sedang beruntung hari ini.
"Udah masuk, gue ke kelas dulu ya," ucap Nara yang dengan cepat langsung berlari dan masuk ke kelasnya.
Gevan ingin mengejarnya lagi, tapi beberapa orang guru yang mulai keluar dari ruangan, membuatnya mengurungkan niat. Ia pun memutar tubuh dengan penuh kekesalan.
***
"Ro, gue nggak balik sama lo dulu ya," kata Nara saat bel pulang berhenti berdering. Ia dengan cekatan memasukan semua peralatan sekolah ke dalam tas.
"Tumben. Mau ngapain lo?" tanya Dero santai sambil memainkan ponselnya.
Nara menutup tas dan menggendongnya. Ia bangkit dari kursi dengan tergesa. "Gue lagi jadi buronan."
"Hah? Buronan?" Dero sepenuhnya menatap Nara.
Tapi gadis itu langsung berlari ke keluar, tak mengindahkan kebingungan Dero. Saat Nara tiba diujung pintu, ia menjulurkan kepalanya. Menengok kanan dan kiri. Menyisir sekitar, mencari keberadaan Gevan yang bisa saja mengejarnya kembali.
Aman. Tak ada tanda-tanda cowok itu berkeliaran di sekitar sini. Nara pun dengan cepat berjalan ke gerbang luar.
Setelah menunggu beberapa menit, angkot yang ditunggunya kini tiba. Gadis itu bernafas lega. Ia segera masuk dan duduk di sisi kanan. Tapi kelegaannya itu ternyata hanya sesaat. Seseorang yang sangat dihindari tiba-tiba mengekorinya masuk ke angkot dan duduk persis di sebelah Nara.
Nara mematung. Lengan kanannya memanas kala menempel dengan lengan kiri Gevan.
"Mana kamera lo?" bisik Gevan setelah angkot berjalan maju.
Nara terdiam. Ia memilih untuk pura-pura tidak mendengar. Ia menatap penumpang lain yang di dominasi oleh anak SMA lain.
"Pura-pura budek?"
Kesal mendengar ucapan cowok itu membuat Nara menoleh. Tak di sangka ternyata jarak wajah mereka sangatlah tipis, membuat Nara kehilangan oksigen dalam sekejab. Ia lalu kembali menatap depan.
"Nggak ada."
"Di tas?"
Nara sontak meletakkan tasnya di depan dan dipeluk erat. "Nggak ada."
"Kasih gue sebelum gue tarik."
Nara menoleh kembali. Tidak peduli jika matanya harus bertabrakan langsung dengan mata tajam Gevan. Ia sangat kesal sekarang. "Maksa banget sih jadi orang. Kan udah gue udah bilang, udah dihapus."
Ucapan Nara yang lumayan besar membuat semua orang di dalam angkot menatap mereka berdua heran. Hal itu membuat Gevan terdiam. Ia tak suka menjadi pusat perhatian.
Nara terus menggigiti bibir bawahnya. Ia bingung bagaimana caranya lari dari cowok itu. Jika ia pulang ke rumah, bisa-bisa Gevan akan tau alamat rumahnya dan dia akan di teror tiap hari di rumah. Tidak, tidak, Nara tidak akan membiarkan hal itu. Nara harus turun di tempat yang lumayan jauh dari rumahnya.
"Pak, turun sini," ucap Nara setelah beberapa menit melewati daerah rumahnya. Ia kini punya rencana khusus. Ia akan turun di sini lalu menelpon Dero agar cowok itu segera menjemputnya dan meninggalkan Gevan sendirian
Ia membayar beberapa lembar uang rupiah ke supir angkot setelah turun. Diikuti Gevan melakukan hal yang sama.
Angkot itu pun berlalu. Meninggalkan Nara dan Gevan di tengah jalanan yang sudah sepi. Kanan-kiri jalan ini seperti hutan. Lebat oleh pohon dan semak-semak. Ditambah cuaca mendung membuat suasana di sekitar mereka terasa lembab dan sedikit menakutkan.
Nara dengan segera mengambil ponselnya dari saku dan mencari nomor Dero. Tapi belum sempat ia lakukan, cowok di sebelah Nara tiba-tiba melangkah ke belakang.
Nara memutar kepala, mengikuti gerak-gerik Gevan. Cowok itu semakin masuk ke hutan. Hingga akhirnya menghilang di balik semak belukar.
Gimana bab 5 nya? Kalo suka vote yaa, jangan lupa komenannya 💕
Terima kasih🌈✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top