📷 Bab 1. Isi Hatinya

"Kadang hati tak bisa kita terka hanya dengan lewat pikiran. Ia juga perlu kita tahu lewat sebuah pengungkapan."

"Wah, kamera baru nih!" seru seorang cowok setelah menarik paksa kamera hitam milik gadis berkuncir kepang itu. Ia lalu membawa pergi kamera tersebut sambil mengutak-atik beberapa tombol di kanan-kiri layar.

"Fadil! Balikin kamera gue nggak?!" teriak gadis itu seraya berlari mengejar Fadil. Fadil sangat gesit berlari dari barisan bangku ke barisan bangku lainnya.

Cowok itu tetap tak menghiraukan sama sekali amarah gadis itu. Ia terus berlari menghindari kejaran sambil terkekeh jail.

"Ahahaha, jernih juga kamera lo." Fadil beberapa kali mendekatkan lensa kamera itu ke sebelah matanya. Ia mengambil beberapa gambar teman sekelasnya langsung di depan wajah orang tersebut. Menyebabkan beberapa dari mereka berdecak kesal.

"Eh, upil lo keliatan nih. Hahaha," ejek Fadil setelah melihat hasil jepretannya.

Ia lalu beralih mengambil gambar seorang gadis yang tengah menyalin tugas. "Eh, otak lo keliatan nih. Lo nggak belajar apa-apa ya dari semalem?"

"Wah, kutu rambut lo berkembang dengan baik, Ton!" ucap Fadil setelah memperbesar gambar rambut seorang cowok berambut lebat.

"Senyum dong--" ucapan Fadil tercekat saat ia mendengar teriakan cewek pemilik kamera semakin kuat. Fadil kini sadar gadis itu telah berhasil menangkap kerah bajunya.

"Njir, gue kecekek! Lepasin Sar!" Tangan Fadil masih mencoba menarik cengkraman tangan gadis itu agar terlepas.

"Enggak akan, sebelum lo balikin kamera gue! Nanti kalo lensanya kepegang jari lo gimanaaa, Fadil!" rengek gadis itu dengan tangan masih menarik kerah Fadil dan tangan satunya berusaha menggapai kamera yang Fadil pegang sangat tinggi.

"Oke gue pegang sekarang kalo lo nggak lepasin kerah gue," ucap Fadil santai seraya menaruh jarinya perlahan di depan lensa.

"Jangan!" Gadis itu akhirnya melepas tangannya. Dengan wajah kesal seperti singa hendak mencengkram mangsa, gadis itu akhirnya meninggalkan Fadil. Ia pasrah tak bisa melakukan apa-apa lagi jika Fadil telah mengancamnya dengan hal itu.

Fadil hanya terkekeh senang sambil membenarkan kerah bajunya yang miring. Ia lalu lanjut menjahili seluruh anak kelasnya. Benar-benar murid kurang kerjaan di pagi hari menjelang bel masuk.

"Do, mingkem dong kalo di foto! Hehehe."

"Rah, sante aja nyonteknya, jangan tegang. Mau difoto nih."

"Gevan, senyum dong, jangan kaya orang belum makan seming--"

Bugh!

Tiba-tiba kepalan tangan Gevan memukul rahang Fadil dengan sangat keras. Fadil terdorong hingga hampir tersungkur ke lantai. Satu tangannya memegang kamera dengan kuat dan satunya lagi memegang rahang kesakitan.

Seluruh anak kelas sontak menghentikan aktivitas mereka. Terkejut dengan apa yang barusan terjadi di dalam kelas.

Fadil mengelap sudut bibirnya. Darah. "Lo kenapa sih?"

Mata elang Gevan hanya menatap tajam Fadil. Lalu ia memundurkan kursi dan melangkah keluar kelas. Meninggalkan seluruh anak kelas dengan rasa penasaran di kepala mereka tentang apa yang terjadi.

Setelah cowok itu sempurna menghilang di ujung pintu, seluruh anak kelas IPA 1 itu berlari mendekati Fadil heboh. Mereka bertanya macam-macam tentang apa yang terjadi padanya, bagaimana itu bisa terjadi, setan apa yang merasuki Gevan, dan lain sebagainya. Tapi Fadil hanya terdiam. Ia menatap pintu tempat keluar Gevan. Ia tahu, pasti ada sesuatu yang di sembunyikan oleh cowok itu.

***

"Guys, guys, guys! Ada hot news!" Fani, si pembawa berita gosip, tiba-tiba masuk ke kelas 11 IPS 2 dan membuat heboh. "Bikin kaget! Pagi-pagi seorang siswa 11 IPA 1 meninju siswa lainnya. Alasan nomer 2 bikin merinding!" ucap Fani menirukan judul-judul berita di internet.

"Tahan, Nara, tahan. Jangan gosip itu nggak baik. Jangan percaya berita yang belum terbukti benar. Jangan percaya karena itu pasti clickbait."

"Diem lo!" sembur Nara sambil melempar botol minuman di dekatnya ke arah cowok berambut cepak itu. Cowok itu mencoba menghasut Nara agar tak berlari mendekat Fani.

"Udahlah sini aja. Ini Truth or Dare-nya belum selesai. Si Dero belum kena-kena mulu nih dari tadi."

"Loh kok gue?" Dero terkekeh. "Itu namanya bejo!"

"Enggak. Pokoknya gue penasaran. Gue mau ke Fani dulu." Nara pun akhirnya berdiri dari lantai dan segera mendekati Fani yang sudah bersiap menggosip di depan kelas. Tapi tiba-tiba, Dero menangkap tangan Nara dan menariknya.

"Sini aja, Sayang!" ucap Dero santai. Mendongak menatap Nara.

Nara menatap datar cowok itu. "Enggak mau, Sayang," jawab Nara lalu ia menarik tangan Dero hendak menggigit tangan cowok itu.

Dero sontak melepaskannya. Hal itu membuat cowok berambut cepak itu tertawa mengejek melihat raut Dero.

"Lo masih mau bantah kalo lo cuma temenan aja sama Nara?" tanya cowok itu yang masih bersila di atas lantai, menyender tembok.

"Emang."

" Walaupun pulang-pergi bareng terus?"

Dero mengangguk.

"Walaupun tiap hari chat-chatan tiap menit?"

Dero mengangguk lagi. "Eh bentar, kok lo tau? Lo buka hp gue?"

"Ngintip dikit waktu itu."

Dero berdecak sebal. Ia lalu memutuskan untuk tak mau melanjutkan sesi menjawab pertanyaan cowok itu.

Sementara di depan kelas, Nara masih tegang mendengarkan kronologi cerita yang dibawa fani dari koridor kelas IPA.

"Gevan? Cowok tanpa foto di feed instagram SMARA angkatan 71 kan?" tanya Nara setelah mendengar cowok itu telah meninju teman sekelasnya. SMARA adalah singkatan SMA mereka yaitu SMA RAksara.

Fani mengangguk. "Iya, Gevan yang itu."

"Gila barbar juga sampe ninju orang. Eh bentar deh. Kata lo kan, alasan nomer dua bikin merinding. Tapi tadi gue baru denger alasan pertama yang karena Fadil ngefotoin Gevan, terus alasan keduanya apa yang bikin merinding itu?"

"Oh iya. Itu clickbait-nya hehe."

Semua anak yang mengerubungi Fani berseru kesal. Termasuk Nara juga. Ia kesal karena telah terpancing clickbait Fani. Ia lalu memutuskan untuk balik lagi ke belakang kelas.

"Gimana beritanya?" tanya Dero setelah cewek itu duduk di lantai dengan wajah lesu.

"Kurang gereget. Cuma tentang Gevan yang ninju Fadil karena Fadil ngefoto Gevan di depan mukanya."

"Cuma gara-gara di foto?" tanya cowo berambut cepak itu.

Nara mengangguk. "Aneh ya, segitu marahnya dia di foto? Kenapa emang kalo dia di foto?"

Dero yang dari tadi terdiam perlahan tersenyum sinis.

"Udah yok lanjutin. Pokoknya selama Bu Rasya belum masuk, gue nggak mau berenti main sampe Dero kena!" ajak Nara menghentikan pembahasan mereka tentang Gevan.

"Iya gue juga, pokoknya Dero harus kena dare, yang kaya gue tadi keliling lapangan," ucap cowok satunya sangat bersemangat.

Nara lalu mengambil botol minuman yang tadi ia lempar dan menaruhnya di tengah-tengah mereka. Ia memandang tajam Dero dan cowo itu sebelum memutar botol.

Setelah siap, ia pun memutarnya. Botol terus berputar hingga akhirnya bagian tutup botol berhenti tepat mengarah Dero.

Nara sontak berseru senang. "Yes!Cepet sekarang lo mau milih Truth atau Dare!"

"Udah dare aja, gue mau bales dendam nih!"

"Nggak, nggak. Gue pilih truth aja deh."

"Yah, nggak asik lo."

"Hahaha. Oke gue yang nanya duluan ya. Nanya apa ya...." Pikiran Nara mulai melayang jauh. Mencari sesuatu hal yang harus segera ia ketahui jawabannya.

Mata Nara tiba-tiba melebar. Ia teringat akan sesuatu hal. Isi hati Dero. Ya, itu yang ingin Nara ketahui sekarang.

Nara menelan ludahnya kasar. Ia bingung, harus menanyakan hal itu atau tidak. Tapi ia benar-benar butuh jawaban darinya. Ia ingin sekali bisa lepas dari status friendzone-nya selama ini. Tapi bagaimana jika jawabannya tak ingin Nara dengar? Bagaimana jika jawabannya ... menyakiti hati Nara?

"Siapa cewek yang lo sukai dan mau lo gebet?" Nara nekat melemparkan pertanyaan itu. Walaupun raut wajahnya setenang air di sungai, tapi sebenarnya hatinya berdegub kencang saat ini.

"Hah? Cewek yang gue suka?" Kaget Dero. "Ya rahasia lah."

"Nggak bisa dong. Lo harus jawab. Ini kan namanya truth," tukas Nara tak terima. Ia melipat tangan di dada.

"Enggak mau. Ini rahasia hati gue."

"Harus mau." Nara lalu menarik-narik lengan baju cowok itu. Mengakibatkan tubuh Dero terguncang. "Apa nggak?"

Dero tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Membuat Nara kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke depan wajah Dero.

Dero menoleh. Jarak wajah mereka kini hanya tinggal beberapa senti.

"Oke gue bakal jawab pertanyaan dari lo itu. Tapi dengan satu syarat. Lo harus ngelakuin dare dari gue," ucap Dero dengan lirih.

Setelah lama menahan napasnya, Nara lalu memundurkan wajah. Ia berusaha menetralkan kembali wajahnya dan juga degup jantungnya.

"Kok jadi gue yang kena?" tanya Nara mencoba seperti biasa.

"Ya udah kalo lo nggak mau. Gue nggak bakal jawab pertanyaan lo itu."

"Udahlah, Ra. Turutin aja si bos besar biar cepet kelar. Gue belum ngasih truth nih dari tadi." Cowok berambut cepak itu mengintrupsi perdebatan mereka.

"Iya deh iya gue mau. Apa dare-nya?"

"Dare-nya ... lo harus mau jadi paparazi Gevan selama seminggu," jelas Dero dengan senyuman yang tidak Nara bisa artikan.

"Paparazi? Gevan?" Nara benar-benar terkejut. Matanya membulat. "Dia aja nggak mau difoto masa gue mau jadi paparazi-nya?"


Author note

Hai! Gimana Bab 1 nya nih? Suka? Kalo suka jangan lupa vote dan komen ya💕 Selamat berjumpa di bab selanjutnya👋🌈✨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top