Aurora in Saariselkä

Aurora in Saariselkä

Writing commission by synstropezia

Meira Avienna OC milik Peonyautumn 

Bella Steilsdottir OC milik Bella Steils

Art: masa_yaku99 / Masayaku Art (instagram)

***

Usai mandi dan menaruh handuk, Meira Avienna mendapatkan pesan dari Bella Steilsdottir. Jika bagi Cinderella pukul dua belas adalah puncak segala sihir serta tawa, maka untuk Meira pukul sembilan malam merupakan panggung tertinggi di mana meriahnya kebahagiaan menari-nari. Bella mengajaknya berlibur setelah Meira menjawab, dia masih di Finlandia sampai nanti. Aurora menjadi fokus utama yang akan disorot, dan tanpa pikir panjang Meira tentu setuju.

Mereka pun berjanji untuk menyewa tempat di Pondok Aurora atas rekomendasi Meira, merencanakan beberapa kegiatan yang cukup panjang, sedikit bercanda melalui voice note, hingga Bella berpamitan karena ingin tidur. Walau penerbangannya diadakan pada siang hari, dan begadang sebenarnya tak masalah, tubuh yang bugar di setiap jam haruslah diupayakan, bukan?

"Mimpi indah, Bella."

Doa itu adalah voice note yang terakhir kali Meira kirimkan, sebelum ia ikut tidur. Sayangnya baik pada kalimat tersebut malah tidak berpulang kepadanya, di mana Meira berakhir dalam mimpi buruk yang menyebabkannya berkeringat dingin sampai esok pagi. Bunga tidurnya ini secara singkat menceritakan Bella yang terjebak di tengah-tengah badai salju, dan ia tak bisa mendengar Meira yang berteriak. Suaranya benar-benar hilang seolah-olah sejak awal, Meira tidak pernah berada di kehidupan Bella.

Bagaimana bisa ia memanggil serta didengarkan, apabila sejak awal saja Meira dianggap tiada dalam perjalanan Bella Steilsdottir? Gawai di atas nakas pun langsung Meira ambil untuk menanyakan kabar Bella. Seribu untung jawaban dari sang sahabat masih tiba secepat kilat, di mana katanya Bella sudah di bandara tepat pukul sepuluh. Kesabarannya tinggal menunggu satu setengah jam lagi supaya bisa menaiki pesawat.

"Memangnya kenapa? Meira terdengar panik begitu." Karena Meira meminta Bella meneleponnya, panggilan langsung dilakukan. Bella sedikit tertawa walau di satu sisi ia bertanya-tanya dengan cemas.

"Aku mimpi buruk, Bel. Kayaknya bakal ada badai."

"Hmmm .... badai? Masa sih? Cuacanya cerah banget, lho, di sini." Matahari terik, awan-awan putih berarak damai, dan salju tidak ganas melainkan turun dengan anggun. Pada akhirnya itu hanyalah mimpi buruk yang segera berlalu tanpa arti, menurut Bella. Sebaiknya Meira menenangkan diri dibandingkan menumpuk pesan yang berisikan kekhawatiran, ketakutan, serta kepanikan.

"Tenang saja, tenang. Semua pasti baik-baik saja."

Panggilan dimatikan pada menit kedua untuk menghemat baterai. Akhirnya Meira memutuskan bersiap-siap, karena waktu terlalu cepat jika dibiarkan begitu saja, sedangkan Bella memperhatikan langit dari kaca bandara yang lambat laun menggelap. Sesuai dugaan Meira badai tahu-tahu menghantam masa sekarang. Awalnya tidak terlalu kencang hingga pohon berhasil dibawa pergi, membuat pilot terpaksa menghentikan penerbangan selama beberapa jam ke depan.

"Kepada para penumpang, mohon untuk tetap tenang. Penerbangan akan dihentikan hingga badai mereda. Sekali lagi saya ulangi ...."

Di tengah hiruk-pikuk yang serta-merta membahana, Bella masih berusaha menghubungi Meira dengan tenang. Ia berkata penerbangan benar-benar dihentikan akibat badai, tetapi Meira tak perlu khawatir sebab Bella bisa menjaga diri. Amukan alam yang satu ini tampaknya sulit berdamai soalnya.

"Guð minn góður!"

Sambil menyerukan Oh My God dengan bahasa Islandia, Bella mengacak-acak rambut frustrasi. Caci makinya masih berlanjut sampai Bella menarik napas dalam-dalam, lalu ia menghitung dari satu hingga sepuluh yang lagi-lagi menggunakan bahasa Islandia guna menenangkan diri, sebab cuaca yang menggila berada di luar kendali manusia. Untuk apa Bella menghabiskan tenaga yang berharga hanya gara-gara perhitungannya kacau?

"Setidaknya Meira sudah dihubungi, dan dia paham. Tunggu saja dengan sabar, Bel. Sabar ...."

Badai baru berakhir pada sore hari pukul lima. Langkah kakinya menaiki tangga pesawat dengan dongkol, dan keikhlasan belum sepenuhnya terpancar, karena mula-mula Bella ingin percaya usainya akan cepat. Jika sudah begini tentu ia baru tiba malam nanti, di mana jasa penyewaan sepeda serta permainan ice skating sudah ditutup. Pikirannya amat kalut yang setibanya di bandara Finlandia nanti, Bella sekadar mampu membayangkan kata maaf. Dia menolak percaya pada firasat Meira, lalu membuatnya khawatir gara-gara mendadak Bella sulit dihubungi.

"Itu bukan salahmu. Lagi pula aku sudah mengikhlaskannya, kok."

Walaupun rencana yang mereka susun berakhir porak-poranda, Meira tidak mempermasalahkannya asalkan Bella selamat. Seulas peluk langsung ia beri untuk menyelamati Bella yang baik-baik saja, dan Bella tentu membalasnya sebelum mereka berangkat ke Pondok Aurora.

Dengan bus lokal yang untungnya langsung menjemput tanpa perlu ditunggu, keduanya tiba usai menempuh perjalanan sekitar lima belas menit. Meira membuka kamar menggunakan kartu yang belum apa-apa, keduanya disambut keindahan gugus bintang dari kaca jendela raksasa. Gelap benar-benar terasa dingin meski nyatanya setiap hari akan menyerupai malam, mengingat matahari hanya bersinar beberapa jam nantinya.

"Ayo langsung ke restorannya. Laper banget."

Mandi bisa dilakukan setelah mengisi perut, pikir Bella. Loheikeitto yang merupakan hidangan khas Finlandia masalahnya terus terngiang-ngiang, sehingga Bella tak sabaran untuk memesannya. Meira sendiri memilih mustikkapiirakka, mengingat ia lebih dulu mengisi perut dengan makanan berat.

"Akhirnya bisa makan~ Selama di bandara tegang banget aku menunggu badai reda." Mereka langsung mengambil tempat duduk dekat jendela untuk menghadirkan beberapa obrolan santai. Meira menyantap makanannya lebih dulu begitu pula Bella, lalu keduanya tersenyum saking nikmatnya hidangan yang disuguhkan.

"Rasanya nostalgia enggak, sih? Dulu kita sering jajan juga di kantin."

Semasa SMP mereka memesan menu yang sama seperti sekarang sambil mengobrolkan pelajaran, sementara sekarang ini mereka membicarakan pilihan karir. Meira berencana untuk melanjutkan usaha wedding organizer, sedangkan Bella mengembangkan channel Rabbitube-nya yang bernama Red Orchid Japan. Kebetulan sekali ia telah menemukan pemandian unik di Prefektur Gunma yang menampilkan metode pendinginan air panas bersuhu lima puluh derajat celsius.

"Dengar-dengar di Jepang bisa berendam bareng monyet, bukan?" Meira agak geli ketika membayangkannya, dan ia kurang paham apakah kabarnya benar atau salah, tetapi siapa tahu Bella tertarik. Mendengar informasi itu dari sahabatnya sendiri Bella jadi tersenyum simpul. Mungkin ia harus mencobanya dibandingkan sekadar menampungnya sebagai saran.

"Iya, ada. Seingatku di Prefektur Nagano. Namanya Jigokudani Monkey Park. Memang, sih, menarik, tetapi katanya kebanyakan kolam enggak boleh dipakai saking panasnya. Palingan kalau ke sana hanya bisa merendam kaki."

"Jadinya malah menonton monyet berendam, ya."

"Enaknya itu boleh difoto~ Selama enggak diganggu pasti jinak katanya."

Pembicaraan yang agak melenceng kini mengundang tawa, dan sejujurnya memang amat menghangatkan. Ketika baik Meira maupun Bella melihat obrolan mereka ikut dewasa, tentunya terdapat kepuasan tersendiri yang sulit dijabarkan. Rasanya seolah-olah memberitahu ada banyak hal yang telah dilewati, didapatkan, serta dikorbankan untuk menghadirkan kenangan yang sekarang, sehingga garis lengkung terus menyertai sampai jam tidur datang.

Seolah-olah pula meyakinkan mereka bahwa setelah ini akan ada pertemuan lainnya, setelah Meira maupun Bella sepakat makan malam pada hari ini adalah terbaik di antara yang terbaik. Sebelum lampu tidur dimatikan Bella pun berkata ia tak sabar untuk bersepeda, mencoba permainan ice skating, dan terakhir menyaksikan aurora di Saariselkä.

"Mimpi indah, Meira."

Ketika giliran Bella tiba untuk menyampaikan kalimat itu, Meira benar-benar bermimpi indah. Ia kurang ingat detailnya, tetapi esok hari adalah perwujudan dari bunga tidur yang sempat merekah cantik. Mereka meninggalkan Pondok Aurora pagi-pagi demi bersepeda sekaligus olahraga. Salju tidak menjadi penghalang berarti bagi keduanya yang akrab dengan musim dingin, sampai-sampai Bella mengajak Meira balapan sebelum menjabani ice skating.

Karena kepala dan lutut mereka sudah terlindungi, masalah tidak mungkin berani-beraninya timbul. Meira pun setuju yang dalam hitungan ketiga sepeda langsung memelesat, di mana belum apa-apa Bella sudah menunjukkan tenaga kelewat besar. Pada akhirnya Bella keluar sebagai pemenang yang untuk merayakannya, Meira menjejalkan roti kepada Bella.

Bella makan terlalu sedikit tadi pagi, setidaknya menurut Meira. Ia harus mengisi tenaga agar permainan selanjutnya pun dapat dinikmati, dan Bella mengacungkan jempol atas perhatian Meira. Beres dengan balap sepeda yang rutenya cukup panjang, mereka segera memakai sepatu khusus untuk bermain ice skating. Tanah yang membeku di dekat Pondok Aurora menjadi tempat yang sekiranya strategis.

"Ingat, enggak, siapa yang pertama kali bisa main ice skating?" tanya Bella sambil meluncur dengan mulus. Sayangnya Meira hanya bisa memberikan gelengan sebagai jawaban.

"Yang pasti dulu kita sering terjatuh, dan bergandengan tangan juga supaya enggak jatuh, hahaha ...."

Guna memperkuat perasaan nostalgia itu Bella kembali menggenggam tangan Meira. Mereka berputar-putar, jika mulai lelah sedikit meminum air dari botol, kemudian melanjutkannya lagi sampai jingga menghias langit. Kini baik Meira maupun Bella semakin antusias saja ketika perlahan-lahan keduanya menyaksikan hari makin larut, karena artinya aurora kian dekat untuk ditonton. Kamera bahkan sudah disiapkan yang Bella pastikan berkali-kali memorinya tersisa banyak.

"Aman, kan?" Sepertinya gara-gara parno dengan kejadian pesawat Bella jauh lebih waspada. Padahal biasanya ia agak ceroboh, tetapi Bella yang seperti ini pun menggemaskan bagi Meira.

"Aman, kok, aman. Ayo keluar."

Aurora seolah-olah menunggu mereka sejak tadi, sehingga ketika keduanya keluar pondok ia menampilkan wujudnya yang paling elok. Warna-warni yang saling memilin, dan menari-nari seperti merayakan ajaibnya semesta, lebih dulu Bella rekam sebelum mereka ber-swafoto. Mulai dari tersenyum lebar hingga membentuk love menggunakan tangan, berbagai pose yang rasa-rasanya imut dicoba sesuka hati.

Dunia adalah milik mereka berdua bagi Bella, dan dari kalimat itulah Meira mendapatkan ide. Mumpung baterai kamera masih banyak begitu pula memorinya, Meira menyarankan supaya ia dan Bella direkam secara bergiliran. Apa pun yang dibicarakan terserah saja asalkan membawa kebahagiaan.

"Hmmm .... Meira tahu, kan, aku sangat menyukai aurora?"

"Tentu. Mana mungkin aku melupakannya."

"Meira tahu? Sebenarnya aku ingin menikah di musim dingin saat aurora terjadi. Pasti sangat indah, dan jadinya berkesan banget." Baru membayangkannya saja Bella sudah mesem-mesem. Gaku yang merupakan kekasihnya tentu akan setuju, dan Meira sependapat sehingga ia mulai membayangkan beberapa rencana.

"Kalau begitu kuharap di pertemuan berikutnya, aku dapat melihat aurora di hari pernikahanmu. Tentunya bukan sebagai tamu saja, melainkan wedding organizer-mu."

Meira akan menemani Bella mulai dari menentukan konsep pernikahan, baju yang ingin dipakai, susunan acaranya, dan setelah itu ia menjadi tamu yang menyelamati kehidupan baru Bella. Sayangnya Meira tidak memiliki kemampuan merancang gaun, tetapi adiknya yang bernama Sheira dapat melakukannya. Mungkin jika Bella tidak keberatan, Meira akan belajar lebih dulu kepada Sheira. Apabila kurang memuaskan barulah Bella bisa–

"Niat banget kamu! Aku jadi nangis, nih."

Tahu-tahu Bella sudah memeluk Meira dengan erat. Air matanya menetes sampai membasahi baju hangat Meira, tetapi hal itu mana mungkin bermasalah. Meira pun membalas pelukan Bella, di mana diam-diam ia merasa bersyukur. Rengkuhan yang pertama-tama untuk mengobati kekecewaan Bella akhirnya digantikan dengan rengkuhan yang mengharukan hati, sehingga setelah ini semuanya pasti baik-baik saja.

"Oh iya sekarang giliran Meira!" Kamera di tangan kanan Meira langsung diambil. Bella memposisikan sahabatnya itu agar berada di tengah-tengah Aurora, dan setelah pas ia segera memulai.

"Aku ingin menjadi seorang wedding organizer demi membantu orang-orang mewujudkan momen istimewa mereka bersama yang tercinta. Karena itulah aku berharap Bella bahagia dengan pilihanmu, dan aku juga bahagia dengan pilihanku sehingga suatu hari nanti kita bisa menciptakan momen indah yang lain."

Duka tidak mungkin lepas dari kehidupan, tetapi selama keduanya berjanji untuk menetap pada jalan yang mereka pilih segalanya pasti berakhir manis. Usai merekam monolog di bawah aurora secara bergiliran, kehangatan dilanjutkan dengan mengobrol di depan api unggun. Bahkan walaupun pada hari itu aurora mendadak tak muncul, sebenarnya mereka telah menciptakan aurora mereka sendiri melalui tawa, canda, serta kepercayaan, bukan?

Walau dua aurora di bawah langit yang sama tentu lebih luar biasa lagi, karena persahabatan pun merupakan takdir dari alam.

Tamat.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top