CALIFORNIA - NASHVILLE - APPALACHIA

Pesawat pribadi Aurora mendarat dengan sempurna, di bandara pribadi seorang teman dari Paman Ray-nya di Nashville. Angin yang berembus kencang siang sore itu, membuat gaun tanpa lengannya melambai-lambai. Berkali-kali dia harus merapikan rambutnya yang berantakan karena tertiup angin.

"Apa pesawatnya akan menginap untuk menunggu Anda, Nona Aurora?" Seorang lelaki setengah baya yang menyambutnya, bertanya dengan sopan.

"Tidak." Aurora menyahut. "Aku akan berada di sini selama beberapa hari."

"Apa Anda membutuhkan penginapan? Aku bisa membantu Anda membuka kamar di The Hermitage Hotel," tawarnya.

Aurora menggeleng. "Aku hanya membutuhkan kendaraan yang nyaman. Apa di sini ada rental mobil?"

Lelaki itu tertawa renyah. "Aku akan menyiapkan Aston Martin Rapide yang bisa Anda pakai selama di Nashville, for free."

Mata Aurora berbinar penuh rasa terima kasih. "Itu mobil yang sangat bagus. Terima kasih, Pak ...."

"George. Aku George." Lelaki itu mengulurkan tangannya. Aurora segera menyambut tangan itu, bersalaman untuk pertama kalinya. Dia tahu, kalau George akan sangat dibutuhkannya selama di Nashville.

Tidak lama, Aurora sudah berkendara di jalanan yang sepi. Berbeda dari California, Nashville terlihat lebih sepi dan rindang. Dia berkendara menyusuri sepanjang Sungai Cumberland yang indah–bahkan di sore hari seperti ini–dengan sun roof mobil yang dibiarkan terbuka. Air sungai yang terlihat berkilau diterpa matahari sore, langit yang cerah, juga pemandangan perkotaan yang perlahan berubah menjadi pepohonan hijau yang berkejaran di sisi sungai.

Sesekali dia menatap mobil yang di layarnya menunjukkan rute yang harus ditempuh. Aurora sudah berkendara selama dua jam, dan masih harus menempuh dua jam lagi untuk tiba ke lokasi yang dituju.

Paman Ray-nya memang hebat. Bisa dengan mudahnya mencari informasi tentang Nicholas Art. Bahkan, Aurora sudah mendapatkan foto lelaki tiga puluh tahun berwajah tampan dengan ekspresi dingin itu.

Sudah gelap ketika kendaraannya menyusuri jalan menanjak yang di kanan kirinya dipenuhi pohon-pohon besar. Sun roof di atas kepalanya sudah tertutup rapat, sementara lampu mobil sudah menyala dan menyorot dengan terang.

Aurora melirik lagi ke layar pada dashboard. Titik merah yang berkedip, menunjukkan kalau dia akan sampai dalam lima menit. Perempuan itu menghela napas, mengingat bagaimana perjalanan yang sudah ditempuh, hasil yang didapat nanti haruslah sepadan.

Pohon yang rindang perlahan menjadi jarang. Sisi-sisi jalan yang dilaluinya menjadi lebih terang, karena pepohonan yang berubah menjadi tiang-tiang penyangga lampu.

Mata Aurora beradaptasi menjadi lebih awas. Memperhatikan ke mana tiang-tiang berlampu itu akan membawanya. Hingga akhirnya sebuah halaman berumput yang luas menyambutnya di akhir perjalanan.

Aurora menekan pedal rem. Matanya menatap rumah berdinding putih yang modern di depan sana. Tadinya, dia sempat berpikir bahwa yang akan ditemukannya adalah sebuah rumah dengan gaya kuno yang menyeramkan. Namun, ternyata salah.

Rumah besar itu terlihat benderang dan indah. Kursi-kursi kayu bercat putih juga terlihat di teras rumah bergaya Amerika modern itu. Sebuah jendela besar yang menghadap ke depan, terlihat terbuka tirainya.

Cepat Aurora turun dari mobil, melangkah menuju mendekati rumah itu. Ada sekitar lima anak tangga yang terbuat dari kayu bercat putih di pelataran. Anak tangga yang akan membawanya sampai ke teras rumah.

Namun, baru saja kakinya akan menyentuh anak tangga pertama, pintu bercat putih itu terbuka dari dalam. Otomatis Aurora mengurungkan langkah. Salah satu kaki yang tadinya sudah menyentuh anak tangga, ditarik turun kembali.

Seorang lelaki berkaus hitam dan bercelana jeans muncul dari dalam. Sebuah senapan panjang yang biasa dipakai untuk berburu, berada di tangan kanannya.

Aurora mematung, terlebih ketika lelaki yang sempat dia lihat fotonya itu, mengarahkan senapan ke arahnya dan dikokang. Mata kanan lelaki itu terpejam, sementara mata kirinya terlihat berkonsentrasi pada lubang telescope.

"Aku sedang tidak menunggu tamu," katanya dengan suara berat.

Aurora mengangkat kedua tangannya naik, layaknya penjahat yang menyerahkan diri. Dadanya berdebar tidak keruan, terkejut sekaligus takut. Ini bukan sambutan yang diharapkannya.

"Katakan keperluanmu dengan singkat, atau silakan angkat kaki sekarang, Nona," katanya lagi.

"Ni-Nicholas A-art ...." Suara Aurora terdengar bergetar saking takutnya.

"Benar. Itu aku. Ada apa?"

"A-Aku A-Aurora Odelia, dari California ...."

"Halo, Nona Aurora. Ada yang bisa aku bantu? Mungkin bisa bicara lebih cepat sedikit, karena tanganku mulai pegal menahan untuk tidak menekan trigger." Nicholas Art sepertinya mulai kesal, meski nada bicaranya sama sekali tidak berubah. Datar.

"Boleh kuturunkan tangan?" Aurora meringis, tangannya yang terangkat naik terasa pegal.

"Aku tidak pernah memintamu untuk menaikkan kedua tangan."

Aurora menelan ludah karena jengah. Benar juga. Sejak tadi Nicholas Art tidak memintanya untuk menaikkan tangan. Namun, siapa yang tidak refleks melakukan gerakan menyerah ketika senapan tertuju padanya?

Perlahan Aurora menurunkan kedua tangan, matanya menatap ke arah Nicholas Art, mencari celah untuk membuat lawan bicaranya mau mengalihkan senapan darinya.

"Aku tidak terbiasa dengan senapan yang mengarah padaku, Tuan Nicholas. Itu membuatku cemas." Aurora berbicara dengan pelan.

"Cemas?" Nicholas Art bertanya seakan-akan baru kali ini mendengar kata itu. "Cemas? Apa artinya kamu merasa gelisah, gugup?"

"Ya. Gugup sampai aku menjadi gagap." Aurora berkata memelas.

Nicholas Art masih juga mengarahkan senjata ke arah Aurora, membuat gadis itu menjadi serba salah.

"Tolong—"

Belum juga Aurora menyelesaikan kalimatnya, Nicholas Art telah menurunkan senapan.

"Bagaimana perasaanmu sekarang, setelah aku menurunkan senjata?" Lelaki itu bertanya. Masih dengan suara datar, masih dengan ekpresi yang begitu-begitu saja.

"Aku merasa tenang," sahut Aurora. Lalu, dengan rasa was-was, kakinya mulai menaiki anak-anak tangga. Matanya menatap lekat ke arah lelaki yang jauh-jauh disambanginya.

Ketika kakinya sampai pada anak tangga terakhir, Nicholas Art terlihat hendak mengangkat naik senapannya lagi. Namun, Aurora tahu apa yang harus dilakukannya.

Seakan dipenuhi rasa cemas dan takut berlebihan, gadis itu segera memejamkan mata dan membiarkan tubuhnya ambruk. Membuat lelaki itu segera melepas senjata dan membiarkan benda itu terjatuh di sisinya, demi menangkap tubuh langsing Aurora agar tidak sampai jatuh berdebum di lantai.

Menit berikutnya, Aurora merasakan tubuhnya diangkat. Sepertinya, lelaki itu membawanya masuk ke dalam rumah. Entahlah, dia sama sekali tidak berani mengintip. Pura-pura pingsannya harus terlihat sempurna, jika dia tidak mau diusir malam ini dari kediaman Nicholas Art.

Aurora bisa merasakan kalau saat ini mereka sedang menanjaki tangga-tangga kayu. Suara derit pintu yang terbuka, lalu tubuh yang dibaringkan pada kasur yang nyaman dan empuk.

Sepertinya dia sudah berada pada jalur yang benar. Mendapatkan tempat tinggal gratis malam ini, di rumah seseorang yang karya seninya menjadi incaran. Sempurna. Aurora hanya perlu memikirkan rencana selanjutnya.

Gadis itu berusaha menahan rasa geli saat telapak kakinya tersentuh. Sepertinya, alas kakinya dilepas. Ah! Selain tampan, seniman itu juga sangat gentleman.

"Apa nyaman tidur dengan gaun seperti itu?"

Aurora menajamkan telinga. Pikiran buruk mulai bermain di kepalanya. Jangan bilang kalau lelaki itu bermaksud untuk mengganti pakaiannya.

"California ke Nashville lalu ke Appalachia. Pasti sangat tidak nyaman mengenakan pakaian yang sama sepanjang hari. Apa aku perlu mengganti pakaianmu?"

Sialan.

"Aku akan mengambil kaus yang nyaman, dan segera kembali."

"Tidak perlu!" Sontak Aurora membuka mata dan bangkit untuk duduk. "Aku akan mengganti pakaianku sendiri!"

Nicholas Art yang ternyata sudah bersiap untuk keluar kamar, berbalik kembali menatap Aurora.

"Aku pikir, kamu pingsan." Lelaki itu memiringkan kepalanya.

"Uhm ... tadinya." Aurora terdengar serba salah, matanya bergerak dengan tidak fokus. "Lalu, aku memutuskan untuk sadar." Ah, pasti seniman itu menganggapnya aneh. Namun, dia tidak rela kalau tubuhnya dijamah oleh seseorang yang tidak dikenal dan baru ditemuinya beberapa menit yang lalu.

Ragu, Aurora kembali menatap Nicholas Art. Dibayangannya, lelaki itu pasti sedang menahan senyum atau terlihat marah karena telah dibohongi. Tetapi, dia salah. Ekpresi lelaki bermata hazel itu, sama sekali tidak berubah.

"Apa kamu akan menjelaskan tentang kedatanganmu malam ini, Nona Aurora?"

Aurora berdeham, dia kelewat lelah jika harus berbicara banyak malam ini. Tubuhnya sangat ingin beristirahat. Namun, untuk kembali ke kota dan menempuh perjalanan empat jam lagi, tidak bisa dibayangkannya.

"Apa aku boleh menginap di sini malam ini, Tuan Nicholas?" Aurora memohon dengan gaya sok imut. "Aku akan menceritakan tujuanku datang besok. Aku lelah sekali."

Nicholas Art terdiam sejenak.

"Pusat kota, sangat jauh sekali. Aku sangat lelah. Satu malam saja." Aurora mengerjapkan mata, berharap Nicholas Art mengasihaninya.

Pria itu menghela napas, kemudian berbalik memunggungi.

"Selamat malam, Nona Aurora," katanya. "Panggil aku Art. Cukup Art saja." Lalu, Art melangkah menuju pintu, menarik kenop hingga daun pintu itu terbuka. "Have a nice sleep ...." Tubuh itu pun menghilang di balik pintu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top