AURORA THE ART
Aurora menekan pedal gas kuat-kuat, membelah pegunungan yang kabutnya berarak naik. Hatinya bergemuruh karena marah, Nicholas Art sungguh keterlaluan. Seperti wajahnya yang kaku, dia juga berhati batu.
Mulut Aurora tidak berhenti mengutuk nasib sialnya, diusir oleh seorang yang jauh-jauh disambanginya, rasanya sungguh mengesalkan. Dadanya terasa penuh hingga rasanya mau meledak. Dibukanya rooftop, jendela, membiarkan udara pagi menyeruak masuk ke dalam mobil mewah yang dikendarainya, kemudian berteriak lantang.
"Sialan kau Nicholas Art!" pekiknya sambil memukul-mukul kemudi.
Sebenarnya lebih dari segalanya, membayangkan harus menyetir sekitar empat jam untuk kembali ke Nashville, lalu menaiki pesawat ke California tanpa membawa hasil, lebih menyakitkan dari apa pun.
Aurora menghela napas berkali-kali. Menatap ke jalan berumput di depannya, membiarkan angin yang masuk melalui jendela yang terbuka mempermainkan rambutnya. Tidak ada gunanya juga marah-marah seperti ini, sendirian, seperti orang yang tidak waras.
"Tenang Aurora, kamu harus tenang ...," gumamnya seorang diri, seraya melirik ke spion tengah. Kemudian terkekeh sendiri melihat bayangan wajahnya yang terpantul di sana. Bahkan pagi ini dia belum mandi, belum bersolek, belum mengganti pakaiannya sejak semalam.
Ketika Aurora mengembalikan pandangannya ke arah depan, kabut sudah hilang sama sekali. Pemandangan hijau di kanan dan kirinya terpampang semakin jelas, sementara beberapa ekor kupu-kupu dengan tidak tahu malunya berterbangan di sisi jendela mobil yang terbuka. Di antaranya masuk ke dalam, terperangkap beberapa saat, dan kemudian berhasil keluar dari jendela di sisi lain.
Melihat hal itu Aurora mendengkus. Kupu-kupu tidak menyerah ketika terperangkap, lalu apakah dia akan menyerah begitu saja? Sudah kepalang tanggung. Art tidak boleh membuatnya menyerah.
Segera dibantingnya stir ke bahu jalan, berhenti tepat di mulut jurang yang sisi-sisinya dipenuhi bunga-bunga liar yang indah. Diraihnya tas tangan yang sedari malam tidak diturunkannya dari mobil, merogoh ponsel di dalamnya dan menghubungi sebuah nama.
"George!" serunya ketika panggilan tersambung.
"Nona Aurora, ada yang bisa saya bantu?" Suara George, rekan dari Paman Ray-nya menyahut di seberang telepon.
"Aku akan sangat merepotkanmu kali ini, George." Suara Aurora terdengar menyesal. "Aku membutuhkan sebuah tempat tinggal ...."
"Aku bisa membantu Anda menemukan hotel yang—"
"Aku sebenarnya berada di Applachia." Gadis itu memotong ucapan George seraya keluar dari mobil. Di luar sini, dia bisa mendengar kalau ada gemericik air yang terdengar. Sepertinya ada sungai di bawah sana.
"Appalachia? Itu lumayan jauh dari pusat kota. Seharusnya Anda bilang biar saya menyiapkan supir untuk mengantar—"
"Apa di sini ada penginapan?" Lagi-lagi Aurora memotong ucapan lawan bicaranya.
"Uhm ...." George terdengar ragu.
"Tidak ada ya?" Aurora mulai putus asa. Kembali ke rumah Art saat ini bukan hal yang bagus, sementara pulang ke Nashville akan menjadikan segalanya sia-sia.
"Ada sebuah rumah peristirahatan. Tidak besar. Kalau mau—"
"Mau! Aku mau!" Aurora kembali bersemangat. "Di mananya?"
"Aku akan meminta seseorang menjemput Anda. Posisi Anda sekarang di mana?"
Aurora menatap sekeliling. Namun, dia tidak bisa menemukan sesuatu sebagai patokan lokasinya sekarang. Hanya ada pohon-pohon besar, rerumputan hijau yang terhampar seperti permadani, gemericik air sungai yang terdengar samar di bawah sana, juga bunga-bunga liar di ujung kakinya. Bagaimana dia menjelaskan di mana posisinya, sementara tempat ini begitu asing?
Gadis itu menoleh ke jalan yang sudah dilaluinya tadi kemudian berkata, "Aku berada di lima belas menit dari kediaman Nicholas Art. Kamu tahu tempat itu?"
"Nicholas Art? Astaga!" George terdengar terkejut. "Tetap di sana, Nona Aurora. Emma akan segera menjemput Anda."
***
"Rumah ini memang tidak terlalu besar, tapi saya merawatnya dengan baik." Perempuan berambut pirang dengan mata sehitam legam, menjelaskan ketika Aurora melongok ke dalam kamar yang akan menjadi kamarnya.
Aurora mengangguk, masuk ke dalam dan segera duduk di ranjang. Ditepuknya ranjang, lalu sedikit mengangkat dan meletakkan kembali bokongnya di kasur, kemudian menyadari kalau alas tidurnya kali ini tidak akan senyaman yang ditemukannya di rumah Nicholas Art.
"Kalau Anda membutuhkan sesuatu, Anda bisa memanggil saya, Nona." Perempuan penjaga rumah bernama Emma itu, berkata dengan sopan.
"Aku butuh mandi." Aurora bangkit, bermaksud melangkah ke kamar mandi di ujung ruang. Tetapi, tubuhnya segera limbung dan jatuh berlutut di hadapan Emma.
Emma menganga, sementara Aurora memaki tertahan. Sadar kalau salah satu kakinya telah menginjak sandal kebesaran milik Art di kakinya yang satu lagi.
Meski sempat terkejut beberapa saat, Emma segera membantu Aurora berdiri.
"Anda baik-baik saja?" Emma bertanya dengan khawatir.
Aurora mendengkus, pikirannya langsung tertuju pada Nicholas Art. Pada sandal kebesaran di kakinya, pada sepatu andalan yang tertinggal di kamar atas rumah Art.
"Aku akan mandi dan kembali ke rumah itu!" serunya dengan geram.
"Ke mana, Nona?"
"Ke rumah si sialan Nicholas Art!" Lalu, dientaknya kedua kaki dengan kasar, hingga sepasang sandal itu lepas dari kakinya.
Aurora membasuh diri dengan tergesa. Pikirannya penuh dengan rencana bagaimana menaklukkan dan membalas dendam pada Nicholas Art. Tentang bagaimana meyakinkan lelaki itu untuk mau menyerahkan salah satu hasil karya, dan menyesal pernah mengusir dan memperlakukan dirinya dengan tidak sopan.
Bahkan sampai dirinya duduk di meja makan untuk menikmati sarapan yang kesiangan–atau makan siang yang kepagian, otaknya masih berputar-putar. Hingga tanpa sadar, sandwich yang tersedia masih utuh di piring dengan pisau dan garpu yang menancap di atasnya.
"Apa Anda menginginkan menu lain, Nona?"
Suara Emma membuat Aurora tersentak. Dia menoleh, dan menemukan gadis berkacamata bulat itu berdiri di sisi meja makan.
"Tidak. Sandwich sudah lebih dari cukup." Aurora menyahut seraya memotong sandwich dan memasukkan sepotong ke mulut.
"Syukurlah. Karena sejak tadi Anda tidak menyentuh makanan sama sekali. Saya khawatir." Emma terdengar lega.
Aurora menoleh lagi ke arah Emma seraya berpikir. Rumah peristirahatan milik keluarga George ini tidak sampai tiga puluh menit jaraknya dari tempat tinggal Art. Jika Emma sudah berada di rumah ini sejak lama, seharusnya gadis itu mengetahui sesuatu.
"Kamu sudah lama menjaga rumah ini?" tanya Aurora.
"Sejak saya berusia lima belas tahun, Nona."
"Berapa sekarang usiamu?"
"Delapan belas."
"Oh!"
"Ada apa, Nona?"
"Kamu kenal Nicholas Art?"
Emma mengerutkan kening.
"Tidak ya?" Aurora langsung berasumsi.
"Saya hanya pernah mendengar selentingan-selentingan. Dia tinggal di rumah besar di atas sana—"
"Ya! Nicholas Art yang itu!" Aurora bersemangat. "Apa yang kamu dengar tentang lelaki itu? Aku butuh banyak informasi tentang dia. Aku butuh mengambil sepatuku di rumahnya dan menyelesaikan misi yang tidak boleh gagal."
Terlihat leher Emma bergerak. Kemudian senyum kaku terlukis di wajahnya.
Aurora meletakkan pisau dan garpu di piring, membuat gesekan yang berdenting, kemudian menyimak si pirang sengan saksama.
"Mereka bilang, dia tidak berperasaan. Para pembantu yang menjaganya sejak masih kecil, diusirnya tiga tahun lalu. Waktu itu, saya belum tiba di sini. Hanya mendengar cerita dari penjaga rumah sebelumnya." Emma mengangkat kedua bahu, tanda kalau dia sebenarnya juga tidak begitu yakin dengan cerita yang didengar.
Aurora berdecak, menatap lagi ke piring makannya. Art benar-benar mengusir semya orang yang bersamanya. Benar-benar manusia tanpa perasaan.
"Dia diasingkan oleh keluarganya."
Kalimat terakhir dari Emma membuat Aurora kembali mendongak menatap si penjaga rumah. Diasingkan? Ini menarik!
"Emma ...."
"Ya, Nona?"
"Mau ikut denganku beramah tamah dengan Nicholas Art malam ini?" ajaknya, yang terdengar seperti perintah di telinga Emma.
***
Seperti kemarin malam, Aurora kembali memarkir kendaraannya di halaman berumput milik Art. Kali ini, dia tidak datang sendirian. Ada Emma turut datang bersamanya. Gadis delapan belas tahun itu terlihat menatap rumah di hadapan mereka seraya berdecak kagum.
"Saya tidak menyangka ada rumah semewah ini di atas gunung," ujarnya terdengar takjub.
Aurora tidak menggubris, dia segera turun dari mobil dan melangkah mendekati teras rumah.
"Nona! Anda tidak mau memakai jaket? Di luar dingin sekali!" Emma berteriak memperingatkan. Namun, Aurora tak acuh. Masa bodo dengan udara dingin yang menyergap kulit mulusnya yang terekspos bebas. Gaun hitam bertali satu ini akan mempermudahnya dalam menjalankan rencana yang telah disusun.
"Nicholas Art!" teriaknya memanggil si empunya rumah. "Art!" serunya lagi tanpa menghentikan langkah.
Pintu rumah tiba-tiba terbuka. Sosok manusia berwajah dingin yang sejak kemarin mengusik, terlihat muncul dari balik pintu.
Aurora bisa melihat senapan di genggaman Art. Sesungguhnya dia berdebar, tapi kali ini dia terus melangkah. Menaiki anak-anak tangga untuk mencapai teras rumah, sampai akhirnya Art mengangkat senapan dan menempelkan ujungnya di kening Aurora.
"Jangan bergerak tanpa izinku, Aurora," katanya dengan nada berat.
Aurora mau tidak mau menghentikan langkah. Menatap tajam pada mata yang menatapnya dengan lekat, dan menyadari kalau Art tidak mengokang senjatanya. Sepertinya lelaki ini hanya ingin menggertak.
"Kamu mau mengambil sepatumu? Sudah kusiapkan." Art melirik ke arah meja kecil di teras.
Aurora mengikuti arah pandang lelaki itu, dan melihat sepasang sepatunya berada di sana. Berjajar rapi di atas meja.
"Aku memastikan agar kamu tidak perlu repot-repot naik ke kamar atas," kata Art lagi, masih dengan ujung senapan di kening Aurora.
Aurora menelan ludahnya. Wajah tanpa ekspresi Art benar-benar membuatnya tidak nyaman. Apakah sebaiknya dia hanya mengambil sepatu, kemudian pergi dan melupakan semua rencananya semula?
"I-itu salah satunya ...." Sial, dia terdengar gugup.
"Kalau itu hanya salah satunya, apakah ada alasan yang kedua?" Art mengangkat salah satu alis.
"Aku masih menginginkan rock art hasil karyamu." Aurora merasa puas, karena kali ini suaranya tak lagi gentar.
"Apa aku perlu mengokang senjata, Nona? Karena sepertinya kamu hanya paham jika kita berbicara dengan senjata terkokang." Art mengancam. Setidaknya menurut Aurora itu adalah ancaman, meski nada bicara lelaki itu tidak berubah drastis. Tetap datar.
"Selain itu ... aku akan tinggal di sini selama berada di Appalachia. Di rumahmu."
"Benar-benar keras kepala ...." Art memiringkan kepala. Perlahan mata kanannya rapat pada telescope, seakan membidik buruan yang sebenarnya sudah berada tepat di depan mata.
Aurora segera memejamkan mata. Aura Art benar-benar mengintimidasi. Sialnya dia bisa mendengar suara senjata yang terkokang sementara pucuk senjata masih menempel juga di kening. Semoga seorang Art tidak segila itu sampai harus membunuhnya.
Dengan mata tertutup Aurora meraih tali-tali gaun di bahu dan menurunkannya ke lengan. Membuat gaun hitamnya luruh sampai ke ujung kaki. Kemudian masih dengan terpejam dia menanti reaksi Art. Apakah lelaki itu akan tetap meletakkan ujung senapan di keningnya atau melakukan hal sebaliknya.
Sungguh, ini membuat Aurora berdebar bukan main. Ditambah angin malam yang semakin menyengat, menggigiti kulit yang nyaris tanpa penutup.
Pada akhirnya Aurora menghela napas lega. Saat akhirnya laras senapan yang dingin lepas dari keningnya. Perlahan mata Aurora membuka, menatap Art yang sedang merangkum tubuhnya dengan tatapan berkerut.
Aurora tersenyum. "Kamu suka dengan apa yang kamu lihat, Art?" tanyanya menggoda. Lelaki, sedingin apa pun akan luluh pada tubuh tanpa busana. Berengsek memang.
Art mengangkat pandangan dari tubuh Aurora, dan menatap wajah gadis itu. Menelisik.
"Bagaimana, dengan menjadikanku model untuk proyek Anda selanjutnya, Tuan Art?" Aurora tersenyum.
Art menatap tajam pada gadis itu, pandangannya kembali turun pada tubuh yang hanya terbalut pakaian dalam.
"Aurora ... the art?" Lelaki itu bergumam, membuat senyum Aurora semakin melebar.
Ceritanya, ini Aurora Odelia. 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top