6) Aura Si Cewek Kuat

Satu tahun yang lalu benar-benar bencana tambahan bagi Aura. Waktu itu hari sudah sore. Matahari hampir terbenam. Aura yang sedang asik mengurung diri dengan kedua telinga disumpel earphone dikejutkan dengan kedatangan mama secara tiba-tiba.

Aura memandangnya sinis untuk sesaat. Melepas earphone dan menaikkan kedua alisnya, apa?

"Ada yang nungguin kita di luar."

Aura memakai sandal rumahnya, mengikuti mama yang sudah turun tangga lebih dulu.

Sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Mukanya memerah saat melihat siapa yang datang. Tangannya mengepal di udara.

"Aura." Suara berat salah satu tamunya terdengar.

Jantungnya berdetak tiga kali lebih kencang dari biasanya. Dadanya mengembang-mengempis. Bergemuruh. Matanya berair sudah melihat pemandangan yang ia benci.

"Aura, papa datang, Nak."

Papa berhambur hendak memeluk tubuh Aura. Namun aksinya terhenti saat Aura tiba-tiba berkata, "Jangan sentuh aku."

Hawa dingin mendadak menguasai penjuru ruangan. Mama hanya bisa menatap kejadian ini dari dapur. Terlalu rapuh untuk menyaksikan adegan yang tidak pernah ia bayangkan.

"Mom, daddy bicala tama tiapa?"

Samar-samar ia mendengar suara anak kecil berumur tiga tahun yang datang bersama papanya. Wanita yang duduk di sebelah anak itu hanya tersenyum sambil mengayun-ayunkan bayi kecil di pangkuannya.

Aura menoleh ke arah mereka bertiga. "Siapa?"

Papa terdiam.

"Mereka siapa, Pa?" suaranya bergetar. Matanya mulai memerah, tidak kuasa menahan diri.

Wanita yang tadi duduk di sebelah anak kecil berdiri. Menghampiri Aura dan papanya.

"Aura, perkenalkan saya ibu tiri kamu."

Deg.

"Pa?"

Papa mengangguk.

Pecah sudah tangisnya. Air mata yang sedari tadi membendung di pelupuk mulai mengalir deras.

Papa memeluk Aura paksa. Membiarkan gadisnya menumpahkan semua di dekapannya. Mengelus-elus punggung Aura. "Maafin papa, Aura. Maafin papa."

Aura memukul-mukul dada bidang Werfi---ayahnya sambil berseru, "Papa jahat! Papa jahat!" secara berulang ulang.

Aura menyudahi pelukan.

Werfi membawa Aura dan istri barunya ke sofa. Menarik kedua sudut bibirnya. "Papa kesini untuk berkunjung, melihat anak gadis papa. Dan, papa juga udah beli rumah disini. Gak bisa jauh jauh dari kamu." Papa mencoba tertawa.

Aura hanya menatapnya datar, tidak tertarik. Mama muncul dengan empat gelas sirup markisa di baki.

"Bagaimana kalau Aura nginap di rumah papa setiap malam Minggu?"

Mama yang tadinya hendak kembali ke belakang terhenti begitu saja. Ada sedikit perasaan tidak rela jika saja Aura mengiyakannya.

Aura melirik ke arah ibunya.

Retno---mama seolah mengerti arti tatapan itu. "Aku tidak keberatan, Mas. Terserah pada Aura saja."

Aura berdiri. Menghentak-hentakkan kakinya. "Nggak!"

Semua yang ada di ruangan itu mengalihkan pandangannya ke Aura. Aura melanjutkan, "Aura gak mau satu atap sama pengkhianat."

Entah apa yang Aura pikirkan saat itu. Namun, hanya itulah yang bisa ia katakan. Di usianya yang masih labil membuatnya tidak berpikir rasional.

Papa, mama, dan ibu tirinya terdiam. Ruangan hanya diisi dengan ocehan-ocehan tidak jelas milik si anak kecil. Sementara Aura, sudah kembali ke kamarnya dengan air mata yang terus mengalir.

* * *

Yudith menelan salivanya susah payah setelah mendengar cerita panjang dari Aura. Tidak bisa membayangkan bagaimana jika dirinya yang mengalami nasib semalang itu.

"Maaf, Ra. Aku gak nyangka kalo---"

Aura tersenyum. "Santai aja. Gue udah biasa kok, cuma lagi kebawa perasaan aja. Gue kan, cewek strong!" Aura menunjukkan otot lengannya.

"Bahkan setelah apa yang kamu lalui, kamu masih bisa ngalihin pembicaraan dengan mudahnya."

"Jangan lebay, Yudith. Hidup ini tentang siapa yang paling kuat bertahan. Gue gak mau jadi orang bodoh yang terus menerus meratapi nasib. Gue gak mau jadi pengecut."

"Dan, menjadi pengurus OSIS salah satu alasan gue untuk kuat bertahan. That's why, i love them so much. So many memories to remember."

Yudith memandang Aura takjub. Bertepuk tangan berkali-kali sampai memekakan telinga Aura. "Ternyata, aku harus belajar banyak tentang hidup dari kamu."

"Bukan Yudith, bukan gue. Tapi pengalaman gue. Experience is the best teacher, isn't it?"

Yudith mengangguk. Lalu mereka melanjutkan berbicara mengenai hal-hal yang harus dipersiapkan untuk minggu depan.

"Ah, iya. Gue minta maaf ya, Dit. Udah berpikiran buruk tentang lo."

"Well, it's okay. Kita cuma belum saling kenal."

Langit mulai mendung, bersiap-siap untuk menangisi kota Jakarta. Sebentar lagi rinai akan membasahi mereka. Dan Yudith lagi-lagi membuat napas Aura kembali tertahan.

"Ayo pulang, aku anter. Hujan gak boleh nyentuh kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top