5) Sekeping Kisah

Tidak terhitung lagi sudah berapa banyak batu yang Aura lempar ke danau. Masih berseragam sekolah, saat ini ia sedang menenangkan dirinya dari kejadian bersama Vino pagi tadi.

"Gue benci sama lo!"

"Gue benci lo Vino!"

Hiks hiks

Lagi, air matanya terjatuh. Membasahi pipi yang sudah sempat kering. Membuat matanya semakin membengkak. Pertengkaran pertamanya dengan Vino berakhir tragis. Hilang sudah kesabarannya.

"Sering kesini juga?"

Aura menghapus air matanya kasar begitu mendengar suara dari balik tubuhnya. Menundukkan kepala, tidak ingin menampakkan wajahnya yang tidak layak dipandang saat ini.

"Kamu nangis?"

Orang itu mendekat, duduk tepat di sebelah Aura. Aura menoleh. Sedikit terkejut saat mengenali lelaki yang mengganggu waktunya, Yudith.

"Bukan urusan lo," ucapnya ketus, kembali menundukkan kepala.

"Menjadi urusanku setelah kita ditakdirkan untuk ketemu disini. Why do you look so sad? Ada yang bisa kubantu?"

Aura menghela napas kasar. Mendongakkan kepalanya. "Ada."

"Apa?"

"Gue pengen sendiri, tinggalin gue."

"Kalo itu aku gak bisa, Aurora."

Aura menoleh dengan jengkel. "Lebih baik gausah nawarin bantuan kalo gitu."

"Aku juga pengen nenangin diri disini."

"Yaudah, kalo gitu gue aja yang pergi."

Aura menyampirkan tasnya. Mengikat tali sepatu, lalu bangkit. Namun Yudith ikut berdiri dan tangan Yudith meraih tangannya. "Disini aja, ungkapin semuanya sama aku."

"Kenapa lo jadi kepo sih?"

Sunyi. Cukup lama keduanya terdiam. Aura membiarkan tangannya tetap digenggam lelaki tampan di hadapannya. Hingga perkataan Yudith membuatnya harus menahan napas.

"Karna aku peduli."

Sepertinya, Aura harus mengorek kupingnya. Pasti ia salah dengar dan ia yakin itu. "Gue pasti salah denger," gumamnya.

Yudith menarik tubuh Aura untuk kembali duduk bersamanya. Membiarkan gadis itu berceloteh pada dirinya sendiri.

"Papaku pernah bilang, setiap kita punya masalah, gak boleh dipendam sendiri. Siapa tau, ada orang yang bisa bantu buat nyelesain masalah itu."

Aura tidak menjawab.

"Jadi, kalo kamu punya masalah, jangan dipendam sendirian. Aku janji akan jadi pendengar yang baik."

Setelah mengatakan itu, Yudith ikut diam. Membiarkan waktu merangkak. Membiarkan angin mengibaskan rambut. Membiarkan ketenangan menyelimuti hati masing-masing.

"Gue pengen keluar dari OSIS."

Yudith sedikit terlompat. "Bukannya kamu cinta banget sama OSIS ya? Posting-an nya aja rata-rata foto OSIS?"

"Lah, lo stalking ig gue? Ooh, lo ngefans yaa sama gue?"

Aura kemudian tertawa. Raut kesedihan tadi tiba-tiba saja menghilang dari dirinya.

Yudith tersenyum tipis. "Kalau ketawa gini, kamu lebih cantik."

Tanpa Aura sadari, mukanya sudah memerah seperti tomat matang. Salah tingkah, ia mengibaskan tangannya. "Gue kira cowok alim kayak lo gak pande gombal?"

"Yah, aku juga manusia biasa kali. Tapi tadi serius, bukan gombal."

Aura manggut-manggut. "Terserah deh, tapi makasih pujiannya. Btw, lo kesini ngapain? Ada masalah juga?"

"Enggak. Aku emang sering kesini, karna bagiku ini rumah kedua. Buat aku nyaman. Awalnya, mama sama papa yang suka ajak kesini waktu kecil. Jadi kebiasaan deh. Orang tua kamu gimana?"

Hatinya merasa panas kembali. Kata orang tua amat sensitif baginya. Tapi, Aura coba meredamnya. Ia mengerti, Yudith pasti tidak mengetahui hal ini.

Yudith yang melihat perubahan mimik Aura malah menatap menyelidik. "Kenapa?"

* * *

Saat itu, usianya baru menginjak usia sebelas tahun. Sepulang dari sekolah, ia berlarian menuju rumahnya. Melempar asal sepatu di ruang tamu.

Riang, ia memanggil ibu dan bapaknya. "Ma! Pa! Aura pulang!

Tidak ada sahutan.

Aura berinisiatif untuk menemui kedua orang tuanya di dalam kamar. Barangkali, mereka sedang mesra-mesraan di dalam sampai tidak mendengar teriakan Aura yang nyaringnya hampir menyaingi toa.

Ia membuka knop pintu perlahan.

Mulutnya menganga mendapatkan mama yang sudah terduduk di bibir kasur sambil memegangi pipi kirinya. Dan papa yang mengacak rambutnya frustasi.

Ia tahu, ini bukan saat yang tepat.

Aura mundur selangkah demi selangkah. Membiarkan mereka menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.

"Kami akan bercerai, Aura."

Suara mama menghentikan langkahnya. Aura kembali menghadap mama. Menggeleng. Tidak, bukan ini yang ia harapkan.

Bukan hubungannya yang harus diselesaikan, namun masalahnya.

"Dua minggu lagi. Izinlah ke sekolahmu. Dan datang ke persidangan," lanjut mama dengan suara parau. Papa hanya diam. Memperhatikan mama dan Aura bergantian.

"Aura belum ulang tahun, ma. Ini gak lucu." Aura mencoba memberi lelucon di sela kegugupannya.

"Aura, dengarlah. Ini bukan candaan, sama sekali bukan. Satu-satunya jalan keluar untuk mama dan papa adalah berpisah. Papa gak maksa kamu buat nerimanya sekarang. Seiring berjalannya waktu, Aura pasti mengerti."

Aura berganti menoleh ke arah papa. Menunggu kata-kata memuakkan selanjutnya. Ingin rasanya ia mual mendengar omong kosong ini.

Bagaimana bisa berpisah dikatakan jalan terbaik?

"Papa dan mama juga menyerahkan sepenuhnya sama kamu. Mau tinggal sama siapa, terserah. Papa akan pindah ke Medan bersama..."

Papa menggantungkan ucapannya.

"Sama siapa?"

Papa diam.

"SAMA SIAPA, PA?!" bentaknya.

Barulah papanya menjawab, "Bersama calon ibu tiri kamu."

Retak sudah. Hancurlah semua kenangan yang mereka lalui selama lima belas tahun ini. Yang Aura tahu, dunia hanya milik mereka bertiga. Tapi, keputusan tadi seakan merenggut semua kebahagiaan mereka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top