40) Pria Romantis
Seperti mengulang sejarah, seorang pria dan wanita itu kembali duduk di tepi danau. Melepas alas kakinya lalu mengapung di atas air. Menghirup udara segar dari pepohonan, yang belum tentu bisa didapatkan di tempat lain.
Yudith berkata, "Aku gak nyangka kamu bakal kabur ke sini."
"Sama," jawabnya singkat. Lidahnya terlalu kelu untuk berbicara panjang dengan seseorang yang entah kenapa selalu ingin dihindarinya. Seolah takut, gugup dan kecewa bercampur menjadi satu.
"Kenapa?"
"Apanya?"
"Kenapa menghilang?"
Ia tertegun sesaat. Mungkin, dari sekian banyak pertanyaan, ini adalah pertanyaan yang paling ia hindari. Karena meski sudah tahu jawabannya, mulutnya masih sulit untuk mengungkapkan. Gejolak di hatinya bahkan tidak bisa ia atur.
Tapi, berlakon santai---dibumbui kebohongan, ia menjawab, "Gue gak pernah menghilang, Dit."
Entah karena apa, sapaan 'aku-kamu' yang biasa ia gunakan kini terganti dengan 'lo-gue'. Tapi Yudith tidak terkejut, tidak pula mencela. Mendengarkan penjelasan Aura saja sudah cukup daripada mempermasalahkan panggilannya.
"Gue gak pernah menghilang," ulangnya.
"Tapi kamu gak ada di mana-mana, semua sosmed dan nomor teleponku diblokir, bahkan sahabatmu pun gak tau kamu ke mana, apa itu namanya bukan menghilang?"
"Gue cuma perlu waktu buat nenangin diri."
Yudith menoleh ke arahnya. Masalah apa yang ia derita sampai harus menyendiri di tempat sepi yang bahkan dikelilingi pohon besar?
"Gue butuh waktu buat mengikhlaskan lo."
"Maksud kamu?"
"Lo ... udah nikah 'kan sama Syifa?"
Aura teringat dengan kejadian beberapa tahun silam, tepat lima bulan setelah ia, Yudith dan Syifa terakhir kali berkumpul.
Ia yang saat itu baru menyelesaikan rapat segera menghidupkan ponselnya dan menemukan dua panggilan tak terjawab dari Syifa. Tidak ingin penasaran, ia segera menghubungi Syifa. Aura tersenyum saat Syifa langsung mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum, Syif. Ada apa? Sorry, tadi aku rapat."
"Wa'alaikumussalam. Aduh, maaf ya Ra. Aku gak tau. Ganggu banget ya? Hehehe."
"Enggak kok. Kenapa? Kok kayaknya kamu lagi seneng banget?"
Mungkin perasaannya benar, bahwa perempuan itu tengah dilanda bahagia. Dari pembawaannya, dari deru napasnya, Aura yakin bahwa Syifa sedang mendapat sesuatu yang sangat ia damba.
"Ada yang mau aku bilang sama kamu."
"Apa? Ya ampun, jangan bikin penasaran dong!"
Syifa tertawa. "Aku dilamar! Bulan depan aku nikah, Ra!"
Senyum di bibirnya pudar. "Kamu ... menikah?"
"Iya! Si Yudith belum bilang? Aduh tuh anak ya---"
Aura mematikan sambungan secara sepihak. Tidak ingin mendengar lagi apa-apa yang akan membuatnya semakin sesak.
Sejak saat itu, Aura memutuskan untuk memblokir nomor Syifa dan Yudith. Mengalihkan pembicaraan ketika Bella atau Yasmin mulai membahas kedua pasang suami istri tersebut. Apa saja, asal ia tidak lagi berurusan dengan Yudith maupun Syifa.
"Jadi ... karena itu?" Yudith tertawa. Entah karena kekonyolan Aura yang keterlaluan, atau rasa lega yang menyelimuti hatinya hingga tidak perlu mencemaskan apapun lagi.
"Kok ketawa? Emang ada yang lucu?"
"Ya iyalah! Kamu tuh ya, makanya, kalo orang lagi ngomong jangan diputus putus!"
Aura menoleh, bingung dengan perkataan Yudith. Emangnya, ada yang salah dengan sikapnya?
"Syifa nikah sama seniornya waktu kuliah, namanya Dokter Firman."
Yudith mengeluarkan ponselnya. Membuka galeri dan menunjukkan foto seorang bayi perempuan di pangkuannya. "Ini anak mereka, namanya Khadijah."
Mulutnya nyaris tidak bisa tertutup ketika mendengar penuturan Yudith. Ia menggelengkan kepala tidak percaya. Bukan kepada Yudith, melainkan kepada dirinya sendiri yang bisa-bisanya mengambil kesimpulan secepat itu.
Dua tahun mengurung diri, mengalihkan perhatian dari Yudith, menepi selama setahun di tempat yang jauh dari perkotaan, ternyata hanya tingkah bodoh yang tak beralasan.
Ia membuang muka. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus dan mungkin akan segera meledak seperti api jika harus menahan lebih banyak malu.
"Aku jadi penasaran, gimana ya tanggapan Syifa kalo tau alasan kamu kabur-kaburan ini? Hmm." Yudith mengetuk-ngetuk dagunya.
"Ngeselin tau gak!" Merasa 'akan' dipermalukan, ia memukul bahu Yudith gemas. Tapi, seketika sadar bahwa tindakannya berlebihan---menyentuh Yudith yang biasanya menjaga wudhu---ia segera menghentikan aksinya. "Sorry, kelepasan."
Mengurangi gugup sebab tidak sengaja disentuh perempuan di sampingnya, Yudith menundukkan kepala. "Tahan dulu. Nanti kalo udah halal, boleh mukul sepuasnya kok."
Uhuk uhuk.
Mungkin Aura terkena virus dadakan, terserang penyakit batuk kronis hingga batuknya tak kunjung reda atas ucapan Yudith. Mungkin perkataan manis itu bisa ia dapatkan dari pria lain, dan terdengar amat biasa. Tapi semuanya menjadi berbeda ketika Yudith yang mengucapkannya. Pengungkapannya tulus, penuh dengan kepastian yang membuat Aura mau tak mau mudah percaya.
"Bentar, aku ambil minum," kata Yudith, setengah panik.
"Enggak. Gak perlu. Di sini aja, sama gue."
Permintaan yang lagi-lagi dituruti Yudith setelah sekian tahun berlalu, memintanya untuk tetap tinggal. Tanpa Yudith tahu, makna yang sebenarnya. Bahwa Aura benar-benar ingin pria itu tidak pergi ke mana-mana, hanya di sini, bersamanya.
Aura berdehem, meredakan batuknya. "Jadi, apa tujuan lo ke sini?"
Ia melihat pergerakan Yudith yang gelisah, berulang kali menarik-buang napasnya kasar. "Aku bukan orang yang pandai berbasa-basi, bukan orang yang puitis seperti kamu untuk merebut hati orang."
Ia mendongak ke atas, memandang langit mendung, menikmati atmosfer sejuk yang diciptakan oleh angin kencang. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun.
"Aku juga gak akan nembak kamu, atau ungkapin hal-hal yang bikin kamu terbang sesaat."
Aura mengepalkan jemarinya erat. Untuk kesekian kali, lelaki di sampingnya membuat degupan jantungnya menjadi lebih keras. Satu, dua, ritme yang tercipta menjadi semakin cepat seiring bertambahnya waktu.
"Aku cuma mau bilang. Besok, orang tuaku akan datang. Entah apa jawaban kamu, sudah aku serahkan semua kepada Allah."
Orang tuanya akan datang? Ia ... akan dilamar? Aura mencerna kata-katanya dalam hati. Hingga, bulir bening keluar dari pelupuk matanya.
"Yudith, you know what? You're the most romantic person i've ever know."
Yudith terkekeh. "I know. Kamu aja yang sadarnya baru sekarang."
"Bisa aja kamu."
"Eits, ngomongnya udah kamu kamu nih, gak elo elo lagi?"
"Rese!"
Setelah itu, obrolan diisi dengan bagaimana keseharian mereka selama berpisah. Tentang Aura yang sudah berbaikan dengan Deva, tentang Yudith yang dipuji-puji oleh kliennya, tentang Yasmin dan Bella yang sibuk mencarinya, tentang hari-hari yang indah namun hampa.
Kemudian, setetes air langit jatuh membasahi tanah. Membuat mereka terdiam, mengakhiri pembicaraan secara tiba-tiba. Hingga pada akhirnya, Yudith bangkit dari duduknya, mengulurkan sebatang kayu---seolah mengulurkan tangannya sendiri--- yang diterima Aura dengan ragu-ragu dan berkata, "Ayo balik, hujan gak boleh nyentuh kamu."
* T A M A T *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top