39) Air Mata Rindu
Suara decitan roda berbunyi, tanda mobil hitam metalik yang mereka tumpangi berhenti melaju dan diparkirkan di halaman luas penuh dengan rerumputan. Keempat insan tersebut segera turun dari mobil, tidak ingin membuang waktu lebih banyak.
Mata mereka menyapu ke seluruh arah. Berdecak kagum saat melihat pemandangan indah; tanaman hijau di mana-mana, danau buatan berair bening, juga sebuah rumah kayu kecil yang mungkin ditempati oleh sang penjaga.
"Beneran di sini?" tanya Bella dan Yasmin serentak, masih dengan seruan-seruan memuji tempat ini.
Berbeda dengan ketiga temannya, pria berkulit kuning langsat itu justru mematung. Mengamati dalam diam tanpa sepatah kata. Tertegun setelah menyadari di mana ia sedang berada.
"Aku pernah ke sini," ujarnya yang membuat Yasmin, Bella dan Deva menoleh.
Tapi ia masih diam dan terus mengamati. Melontarkan pertanyaan di dalam hati. Melangkah dengan gamang, tanpa memedulikan teman-temannya yang masih memperhatikan gerakannya.
Yudith menghela napas. "Waktu SMA, kita pernah ke sini. Aura ngeluhin semua bebannya. Mulai dari Vino dan Keysha yang bikin dia tersiksa, sampai perceraian orang tuanya yang saat itu belum bisa dia terima."
Ia tersenyum pahit. Kejadian-kejadian yang ia lalui bersama Aura meski telah ditelan waktu, nyatanya tidak membuat kenangannya terhapus. Justru semakin lama semakin melekat di ingatannya.
Aura yang tertawa, Aura yang menangis, Aura yang menyuruhnya pulang karena tidak ingin ia melihat air mata gadis itu, ia ingat kisah singkat yang pernah mereka ukir di sini.
Tapi, setelah mencari ke semua tempat, dari sekian banyak lokasi menenangkan diri, mengapa Aura memilih tempat ini?
Ia kembali terdiam saat menyadari, bahwa danau buatan ini mengalami banyak perubahan. Tidak ada anak-anak SMA yang merenungkan diri di pinggir danau, tidak ada anak SD yang berlarian bermain layangan, tidak ada orang dewasa yang berduaan di bawah pepohonan. Sepi. Tidak ada seorang pun di tempat ini selain mereka berempat.
"Setahuku, ini tempat umum. Tapi kenapa ... sunyi?" lirihnya.
"Maksud lo, Aura beli danau ini, gitu?" sambung Yasmin.
Deva berdecak takjub. "Gila. Duit dari mana doi mau beli tempat se-asik ini?"
"Dia lebih gila dari yang gue kenal," sambung Bella.
Mereka berpencar, menelusuri setiap titik untuk mencari keberadaan sahabat. "Aura! Aura!"
* * *
"Aura! Aura!"
"Lo di mana?!"
Mulutnya sontak menganga saat mendengar rentetan teriakan itu. Menggelengkan kepalanya beberapa kali. Berusaha menghilangkan bayang-bayang sekumpulan orang yang mulai ia rindukan.
Padahal, baru saja ia memandangi fotonya dengan Yasmin dan Bella, baru saja mengenang persahabatan rumitnya dengan Deva, sekarang halusinasinya sudah bermain. Ia bahkan mendengar dengan jelas suara milik teman-temannya.
"Aura! Ini gue, Yasmin!"
Ia menutup kedua telinga sekuat tenaga. Alih-alih menghilang, suaranya semakin dekat.
"Aura! Kamu di mana?"
Ketika mendengar suara parau namun penuh ketulusan itu barulah ia tersadar. Bahwa semua yang ia dengar bukan imajinasi belaka. Bahwa teriakan-teriakan tadi nyata. Bahwa Yasmin, Bella, Deva dan Yudith benar-benar ada di sekitarnya.
Aura mengikat rambutnya asal, memasang hijab dan melangkah cepat, keluar dari rumah kecil yang selama ini menjadi tempatnya berteduh.
Saat melihat wajah gusar lelaki bertubuh jangkung itu, saat melihat dua wanita berhijab sedang meneriakkan namanya lagi, saat melihat seorang pria berkacak pinggang sambil memanggilnya, saat itulah cairan bening di matanya luruh.
"Gue di sini ... gue di sini...."
Suaranya mungkin amat pelan, mungkin terbenam oleh isak yang semakin keras, tapi keempat manusia itu bisa mendengarnya dengan jelas. Melihatnya yang kini terduduk di tangga rumah dengan tangan memegangi tiang kayu berwarna cokelat.
"Aura...."
* * *
"Gimana ceritanya lo bisa tinggal di sini? Kata Yudith ini tempat umum."
Setelah adegan tangis-menangis, Aura memutuskan mengajak teman-temannya masuk. Duduk di atas semen beralaskan tikar. Menyuguhkan teh manis panas dan sebungkus biskuit---satu-satunya camilan yang ia punya.
"Gue juga baru tau kalo tanah ini punya bokap. Dulu gak terurus, jadi semua orang bebas masuk. Makanya, begitu tau ini punya bokap, gue langsung minta tempat ini dikosongin, buat gue istirahat."
"Kenapa harus di sini?"
Seolah bergantian, setelah mendengar pertanyaan Yudith---yang sedari tadi hanya menyimak---ia justru bungkam. Tidak tahu harus menjawab apa, sebab alasan ia ingin di sini hanyalah karena tempat ini satu-satunya yang membuatnya yakin bahwa pria itu pernah menjadi bagian terindah dalam hidupnya.
"Yee si kunyuk kek ga tau aja, cewek itu suka ke tempat-tempat yang bikin dia flashback!" sahut Deva penuh percaya diri.
Aura melongo. Jawaban mantan calon suaminya itu nyaris sama dengan apa yang ia pikirkan.
"Diem lo Dev! Apaan sih! Lagian, ngapain lo ikut-ikutan ke sini?!" katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tapi, tanpa disangka, lelaki itu justru menanggapinya dengan serius. Raut wajahnya berubah kusut. "Lo masih marah sama gue, Ra? Ya Allah, maaaaaaf. Waktu itu ... gue tu ... lo tau 'kan gue tu---"
"Shut up! Oke, gue maafin lo. Udah, gausa dibahas, oke?"
Deva menyengir lebar. Puas dengan permintaan maafnya yang diterima secara cuma-cuma. Kemudian, keaadaan justru menjadi hening. Mungkin tiga manusia lain canggung, merasa tidak nyaman dengan dua orang yang pernah terlibat di masa lalu.
Hingga secara tiba-tiba, Yudith membuat semuanya terhenyak. "Aura, bisa bicara sebentar?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top