37) Misi-Misi Yudith
Tiga tahun kemudian.
Seringaian lebar tercetak jelas di bibirnya begitu melihat seseorang di hadapannya tersenyum haru. Memuji kepandaiannya memenangkan kasus, tentang seorang ibu tua yang dituduh mengambil uang majikannya, padahal melihat ratusan lembar merah saja beliau tidak pernah.
Ia merasa lega. Kembali mengukir prestasi dengan membela kebenaran, membela rakyat kecil dari kejamnya hukum di negeri ini yang memberlakukan sistem tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Suminah---nama ibu tua yang menjadi kliennya selama beberapa minggu ini menyatukan kesepuluh jemarinya. Mengucap beribu permintaan terima kasih setelah ia dinyatakan tidak bersalah, alih-alih membuat majikannya malu sebab uang tersebut ternyata dihamburkan oleh anaknya sendiri.
"Hatur nuhun atuh, Jang. Hatur nuhun."
"Iya, Bu. Sudah kewajiban saya membela ibu, apalagi ibu tidak salah."
Bu Suminah mengangguk. "Kalau gitu, ibu pamit dulu, atuh. Mau nemuin orang rumah." Ia bangkit dengan susah payah. Badan kurusnya yang ringkih membuatnya sedikit susah berjalan.
"Ibu pulang naik apa?"
"Naik angkot, Jang."
Ia menggeleng. "Ibu tunggu sebentar, saya panggilkan taksi."
Bu Suminah tampak terkejut dengan sikap pengacaranya yang lagi-lagi membuatnya terpukau. Kebaikannya, keramahannya, membuat Suminah kembali memujinya di dalam hati. Mendoakan, agar suatu saat pengacara ini mendapat hidup yang lebih baik lagi dan akan selalu tersenyum bahkan hingga akhir hidupnya.
"Ibu pulang dulu. Makasih banyak, Jang. Assalamu'alaikum," pamitnya setelah taksi yang dipesan datang. Ia melambaikan tangan sebelum akhirnya kembali ke ruang kerjanya.
Senyuman, seringaian, apapun yang tadi ia tampakkan perlahan memudar. Hilang entah dibawa siapa. Pergi entah ke mana. Ia menarik napas, jengah. Memasang topeng bahagia di depan orang-orang yang membutuhkan dukungannya sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Tapi, tetap saja, ia tidak pernah bisa terbiasa dengan sandiwaranya.
"Semenjak kenal lo, nafsu buat pacaran udah gak ada lagi."
"Lo di sini aja, temenin gue."
"Lo berubah. Gue kecewa!"
"Berhenti berkomunikasi, Yudith."
Ucapan-ucapan itu, perkataan Aura bertahun-tahun lalu seolah terputar secara otomatis di benaknya, bagai kaset rusak, setiap kali ia tidak berada dalam kesibukan. Suara-suara teriakan Aura, isakan tangisnya, bahkan deru napas wanita itu pun masih terekam jelas di ingatannya.
Setelah tiga tahun ditinggal, nyatanya tidak membuat ia berubah.
"Aku pasti akan menunggumu, Aura." Begitu janji yang dulu ia tuturkan saat membaca surat terakhir dari Aura, sebelum wanita itu benar-benar menghilang. Tanpa jejak. Tanpa bisa ia lacak keberadaannya seperti yang sudah-sudah.
Maka, ia akan menepatinya. Mencari Aura meski tanpa memiliki arah yang jelas. Mencari Aura meski harus berperang dengan teriknya siang. Mencari Aura, meraihnya dan tidak membiarkannya pergi lagi dengan alasan apapun.
Namun sebelum melakukan misi utamanya, masih ada misi-misi lain yang harus ia selesaikan. Masih ada tempat-tempat yang harus ia kunjungi. Masih ada orang-orang yang ingin ia temui.
Satu, kediaman Keluarga Prasetya.
Ia memandangi bangunan semi tua di hadapannya. Masih tampak seperti rumah orang Belanda, hanya saja berwarna lebih cerah. Ornamen-ornamen di sudut bangunan ini tertata rapi. Yudith melangkah masuk ke dalam rumah tersebut. Rumahnya, tempatnya mendekam dalam gelapnya malam. Tempatnya merengek meminta dibuatkan susu oleh bunda. Tempatnya memaksa ayah bermain mobil-mobilan.
Matanya jatuh kepada ayah dan ibu yang asik mengobrol, sambil ditemani suguhan teh, juga tawa kecil di sela-sela pembahasan.
"Yudith, sudah pulang, Nak?" Bundanya yang pertama kali menyadari kehadirannya, melambaikan tangan, menyuruhnya bergabung ke meja kecil mereka.
"Iya, Bun, Yah."
Melihat raut serius anaknya, Prasetya buka suara, "Ada apa? Mukamu itu kenapa? Kusut seperti baju yang gak disetrika."
Yudith tahu itu bukan sebuah candaan. Ayahnya ini hanya berbasa-basi, memancingnya untuk segera bercerita tentang apa yang ingin ia lakukan. Tapi ia tetap tertawa, tawa yang dipaksakan.
"Yudith ingin mencari Aura."
Meski sedikit kaget saat nama Aura disebut, ayah dan bundanya tetap diam. Berusaha mendengar anaknya dengan sabar.
"Sudah tiga tahun. Yudith gak bisa nunggu lebih lama lagi, Yah. Selama ini Yudith minta orang lain yang nelusuri jejak Aura, tapi sekarang enggak. Yudith sendiri yang akan pergi. Jadi, Yudith minta restu ayah sama bunda, supaya semuanya berjalan lancar."
"Lalu, kerjaanmu itu gimana?"
"Jatah cuti Yudith sejak empat tahun lalu gak pernah dipakai. Mungkin cukup, atau nambah sedikit."
Bunda menghela napas. Melirik ayahnya yang sudah mengangguk. "Yasudah. Pergilah, Nak. Semoga kalian berjodoh. Jaga diri baik-baik."
Ia mengangguk. Menyalami kedua orang tuanya bergantian, lalu pergi ke kamarnya untuk mengemas beberapa potong pakaian, serta mengganti kemejanya dengan kaus hitam polos dan celana jeans.
Setelah dirasa siap dengan barang-barangnya, setelah berhasil pamit dengan ayah-bundanya, kendaraan roda empat yang dibawanya pun bergerak. Membawanya ke tempat yang semakin lama semakin jarang ia kunjungi.
Dua, menemui orang tua Khadijah.
Bayi kecil yang masih belajar berjalan itu tahu-tahu sudah berada di depannya saat ia baru sampai. Melebarkan tangannya, pertanda ia minta digendong.
Yudith tertawa. Meraih tubuh kecil Khadijah untuk memeluknya. Membawanya masuk ke dalam, dan menemukan kedua orang tua bayi itu berjalan bersamaan.
"Ya ampun, Nak. Langsung lengket aja kamu sama Oom Yudith."
Khadijah tidak menyahut. Malah asik memainkan kaus yang melekat di badan pamannya. "Iya nih. Khadijah jadi anak Oom Yudith aja ya? Gausah jadi anak umi sama abi lagi, mau?" tawar Yudith yang ternyata membuat Khadijah mengangguk.
"Enak aja lo, Dit."
"Hehe, iya deh, Mas Firman. Sorry. Kalian gak dinas nih? Atau sekarang gak ada orang sakit lagi ya?" tanya Yudith sekenanya.
Sontak, sepasang suami istri itu tertawa. "Ada-ada aja sih lo. Lagi libur aja, 'kan Sabtu. Mau malam mingguan dong." Tawa mereka meledak saat wajah Yudith memerah. Merasa tersindir dengan perkataan Firman, mungkin.
"Kamu ngapain ke sini, Dit? Kok gak ngabarin?" Kali ini istrinya bersuara. Masih dengan nada lembut sebagaimana pertama kali ia berkenalan dengannya. Juga senyum manis yang menghiasi bibirnya.
"Aku mau cari Aura, Syif."
Iya, dia adalah Assyifa Humairah, sahabatnya semasa SMA. Sebulan setelah kepergian Aura, salah seorang senior kampusnya---Dokter Firman, tiba-tiba saja datang ke rumah orang tuanya. Mengajaknya bertaaruf, mengkhitbahnya dua bulan kemudian, dan menikah dua bulan setelahnya. Sebuah proses panjang yang dilalui dalam waktu singkat. Kini, setelah dua tahun lebih pernikahan itu berjalan, keduanya dikaruniai seorang anak perempuan bernama Khadijah, yang baru saja berumur satu tahun tepat seminggu yang lalu.
"Iya, itu yang dari dulu aku harapkan."
Yudith tersenyum. Hatinya menghangat setelah mendapat dukungan juga dari Syifa dan Firman. Mereka berbincang-bincang setelahnya. Memberi Yudith arahan, semangat, hingga petuah kalau-kalau Aura tidak ditemukan, atau mungkin sudah ketemu, namun wanita itu mengusirnya. Yudith meresapi nasihat Firman baik-baik.
Tiga, menjumpai sahabat Aura.
Di meja kayu persegi panjang ini sudah berkumpul empat kepala yang masih sibuk bertukar pandang. Masih diam. Tanpa suara. Hanya embusan napas yang saling beradu, hingga Yudith membuka pembicaraan terlebih dahulu.
"Makasih, kalian semua udah menyempatkan waktu buat datang."
"Santai kali, Dit. Gak perlu baku-baku amat. Kayak guru bahasa Indonesia aja lo," ledek wanita bertubuh kecil di seberangnya.
Yudith terkekeh. "Oke oke. Langsung ke inti aja, ya. Aku ngumpulin kalian semua, karna aku mau minta tolong sesuatu."
"Apaan?" tanya mereka serempak.
"Bantu aku nyari Aura."
Ketiganya terenyak. Tidak menyangka bahwa pria ini masih menunggu sahabatnya. Masih berusaha mencari, meski harus melalui ribuan tantangan sekalipun.
"Gue gak tau Aura di mana. Kalian tau sendiri 'kan? Semenjak kejadian itu... Aura bener-bener marah sama gue." Suara lelaki di sampingnya membuat ia menatap kasihan. Menepuk bahu sahabatnya pelan.
"Dev, lo jangan kek ayam ditinggal induk deh. Makanya, kita cari Aura sama-sama. Gue sama Bella pasti bantu," balas Yasmin, kemudian melirik Bella yang sedari tadi termenung. "Iya kan, Bel?"
"Eh? Iya. Gue ... pasti bantu."
Yudith mengangguk. Menatap Yasmin, Bella dan Deva bergantian, kemudian mengucapkan terima kasih dan mulai menyusun strategi perangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top