35) Berubah Pikiran
Aurora memperhatikan tampilan dirinya di cermin. Syifa mengundangnya makan malam di sebuah restoran di hotel bintang empat, maka ia harus memakai pakaian mewah pula. Dress panjang berwarna hitam, jilbab biru donker dililit di belakang leher membuat ia tampak berbeda malam hari ini.
Ia juga meminta salah satu karyawan anak cabang kantornya di Jakarta untuk mengantarnya menggunakan mobil kantor, agar tubuhnya bisa sedikit beristirahat setelah otaknya lelah berpikir selama hampir setahun belakangan.
Helaan napasnya tertahan. Lagi dan lagi, bergumam pada diri sendiri, meyakinkan diri bahwa kembali ke Jakarta memang keputusan yang paling tepat. Menyiapkan kata-kata yang akan ia ucapkan nanti, setelah bersusah payah mencari kalimat yang tepat dalam semalaman.
Pandangannya jatuh pada pria berjas biru donker. Seperti direncanakan, keduanya memakai warna senada. Saling bertatapan selama beberapa detik sebelum sebuah deheman menyadarkannya.
"Assalamu'alaikum, Aura. Ayo duduk."
Syifa, wanita ini menggunakan pakaian syar'i berwarna emas yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Aura tersenyum kecut. Dari penampilan saja ia sudah kalah dari perempuan ini.
"Wa'alaikumussalam."
Aura duduk di tempat yang telah disediakan dengan gerakan kaku.
Untuk beberapa saat, kecanggungan menyelimuti ruangan kecil khusus tamu spesial di restoran ini. Syifa, Aura dan pria itu menikmati makanan masing-masing dalam diam. Seolah menjunjung tinggi peraturan agama saat makan, tidak boleh mengeluarkan suara.
"Kita harus selesaikan masalahnya sekarang. Aura, Yudith, tolong dengarkan aku," ucapnya dengan nada memohon setelah mereka bertiga selesai menyantap hidangan.
Aura menganggukkan kepalanya. Menunggu Syifa berbicara. Yudith menegakkan tubuhnya. Melakukan hal yang sama seperti Aura, menunggu Syifa.
"Kalian pasti udah tau, apa maksud pertemuan ini."
Tentu saja ia sudah tahu alasan Syifa mengajaknya makan di restoran mahal yang harus direservasi sejak jauh hari seperti ini, dengan bayaran mahal pula. Ia juga sudah tahu bahwa Yudith akan datang.
"Pertama, aku minta maaf ya, Dit. Aku mutusin pernikahan secara sepihak dan buat keluarga kamu malu." Senyuman manis selalu terpasang di bibirnya.
"Aku ... aku melihatmu mengirim surat ke alamat Aura. Melihatmu berusaha menelepon Aura sebelum akad nikah."
Seketika wajah Yudith sebelum acara dimulai terbayang jelas di otaknya. Melihat wajah frustrasi Yudith karena teleponnya tidak diangkat membuat hatinya teriris. Bukan karena lelakinya menghubungi perempuan lain, tapi karena melihat lelakinya menahan sakit.
"Kalau kamu bilang kamu gak tau perasaanku, maka akan kuberitahu. Aku menyukaimu sejak dulu. Lalu perasaan itu bermetamorfosa menjadi cinta. Saat aku selalu berada di sampingmu, harusnya kamu bisa menyimpulkan bahwa cinta datang karena terbiasa."
Aura merasakan tubuh temannya bergetar. Syifa benar-benar telah mengorbankan harga diri untuk pria ini. Harusnya Syifa yang menerima cinta Yudith, bukan dirinya.
"Tapi aku sadar, aku cuma manusia. Bukan Allah yang bisa membolak-balikkan hati manusia. Meski kamu menyukaiku, bukan berarti kamu harus menjadi teman hidupku.
"Aku terlalu egois waktu menutupi fakta bahwa hatimu benar-benar sudah untuk Aura. Aku tetap memaksakan keinginanku, agar keadaan berbalik."
Ia tertawa sumbang, membuat Aura menggigit bibir bawahnya pelan. Tawa itu sama sekali tidak bersahabat.
Syifa menarik tangan Aura untuk menggenggamnya erat. Menyalurkan emosi kepedihan sekaligus persahabatan kepada seseorang yang sekarang telah merebut cinta pertamanya. "Sekarang semuanya sudah jelas. Kalian saling mencintai. Lupakan aku dan segera langsungkan pernikahan kalian."
Siapapun yang melewati meja ini pasti sadar dengan perubahan wajah Yudith. Rautnya sulit dibaca, namun ketegangan jelas tercetak pada wajahnya.
Lelaki mana yang tidak bingung dihadapkan dengan kejadian seperti ini?
Aura menggeleng. "Enggak. Permintaanmu gak akan pernah terkabul, Syifa."
Syifa tersentak. "Kenapa? Bukannya kamu pulang ke sini untuk menjemput cinta Yudith? Bukannya kamu datang untuk menuntaskan masalah kita?"
Aura berdesis. "Omong kosong. Kapan aku bilang aku kembali untuk menjemput cinta Yudith? Kamu salah, Syifa. Benar-benar salah." Aura menyadari perubahan kata sapaannya dari 'lo-gue' ke 'aku-kamu' untuk temannya, entah karena apa.
"Lalu untuk apa? Ini bukan permainan, Ra. Kamu gak bisa mempermainkan perasaan orang lain."
Bukan, Aura tidak pernah mengira bahwa kisah ini hanyalah permainan. Tidak mungkin ia berusaha mempermainkan perasaan orang lain setelah ia pun merasa dipermainkan oleh takdir.
Membiarkan dua wanita di hadapannya beradu mulut, Yudith memilih diam mendengarkan. Mengutarakan pendapat saat yang lain melakukan hal serupa hanya menambah beban yang ada. Setidaknya, ia tidak ingin mengacaukan suasana setelah semua masalah yang ia timbulkan.
"Bukan itu maksudku, Syif. Dengarkan. Dari awal aku bilang, semua hanya masa lalu. Aku kesini bukan untuk mendapatkan raga Yudith setelah tau hatinya sudah untukku, tapi untuk menuntaskan yang masih gantung. Jadi, tidak akan ada pernikahan antara aku dan Yudith."
"M-maksudnya?"
Ia merasakan Yudith dan Syifa terlonjak.
"Syifa, bagaimana bisa aku bahagia di atas penderitaanmu? Bagaimana bisa aku tertawa di atas air matamu? Aku paham bagaimana rasanya di posisi kamu, jadi mana mungkin aku melakukan hal yang sama?"
Aura menghela napas. Menatap Yudith dan Syifa bergantian.
"Lagipula, seseorang pernah bilang kepadaku. Ketika kita menikmati sesuatu, kita gak harus terjun ke dalamnya. Sama seperti ketika kita menyukai sesuatu, kita gak harus memilikinya."
Perkataan itu. Perkataan yang pernah Yudith ucapkan kepada Aura beberapa tahun silam.
Perkataan yang tanpa terasa menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
**
Kejutan!!
Cie Auranya labil cie hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top