34) Jangan Memendam

Jika kamu menemukan sesuatu yang salah, berbicaralah. Jika kamu sedang merindu, berbicaralah. Jika kamu memendam rasa, berbicaralah. Berbicara adalah senjata ampuh untuk mengatasi semua masalah.

"Lo terlihat murung setelah pernikahan batal."

Ucapan Tyo, pengacara muda sekaligus teman sekantor Yudith di firma hukum tempatnya bekerja mengalihkan perhatiannya. Meski tergolong orang yang jarang mengutarakan perasaannya, gerak-gerik Yudith tetap dapat dibaca oleh Tyo. Dapat ia akui, seseorang seperti Tyo memang pantas menjadi pengacara dari caranya menyimpulkan sesuatu.

Ia menggeleng pertanda semua baik-baik saja. Seolah tidak percaya, Tyo malah menepuk bahunya. "Ayolah, kita udah dua tahun kenal. Berhenti menyakiti diri sendiri dengan memendam, gak sehat, tau!"

Perkataan Tyo seperti menamparnya. Berhenti menyakiti dirimu sendiri dengan memendam. Apa yang Tyo katakan sepenuhnya benar. Sudah berapa lama ia membuat lukanya sendiri? Tidak terhitung.

Ia juga ingat dengan nasihat yang ia berikan kepada Aura saat keduanya bertemu di danau, kalo kamu punya masalah, jangan dipendam sendirian. Aku janji akan jadi pendengar yang baik. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang mengingkari itu.

Namun mulutnya enggan berbicara. Ia memilih beranjak dari tempatnya duduk dan bersandar di jendela yang terbuka. Menikmati suasana perkotaan yang masih ramai dipenuhi kendaraan roda dua meski waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Mungkin menenangkan pikiran atas kejadian-kejadian selama setahun terakhir masih merupakan jalan yang tepat untuk mengobati diri.

"Gue gak tau alasan Syifa bilang gak cinta sama lo, sementara dia selalu ada tiap lo butuh."

Yudith berdehem. Memandang Tyo sepersekian detik sebelum kembali menatap kilau lampu yang menghiasi jalan raya.

"Saya juga," ujarnya singkat.

Tyo menggeram kesal. Usahanya mendengar curahan dari temannya ini tidak mendapat tanggapan yang baik. Kesal sekaligus prihatin di saat yang bersamaan. "Tuhan! Lo gak percaya sama gue? Astaga! Walaupun gue masih pemula, tapi ingat, gue juga udah menangani beberapa kasus dan rahasia mereka aman! Apa itu belum cukup?" Tyo menjambak rambutnya sendiri sambil menyumpahserapahi temannya dalam hati.

Yudith kembali ke kursinya. "Maaf."

"Yaelah. Gue cuma manusia. Sana lo sholat, minta maaf sama Tuhan."

Yudith meringis. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Meski Tyo berbeda keyakinan dengannya, pria itu sangat menghormati agama Islam. Ia berjanji akan selalu menghargai Tyo setelah ini.

"Gue rasa, ada alasan penting yang buat Syifa berubah pikiran."

Benar juga. Syifa seseorang yang cerdas. Mengerti betul bahwa pernikahan bukan acara sepele yang dapat dipermainkan. Pernikahan sifatnya ibadah, tidak boleh menjadi bahan candaan. Yudith merutuki kebodohannya sendiri sebab tidak mencari tahu alasannya sejak awal.

"Kamu benar."

"Apa yang terjadi sebelum nikahan?"

Tiba-tiba bayangan Aura melintas.

Tanpa keraguan lagi, Yudith memberi kepercayaannya kepada Tyo. Cerita selama beberapa tahun terakhir mengalir begitu saja dari mulutnya. Dari perkenalan dengan Syifa, sampai hari pernikahan yang menjadi alasan kesedihannya selama tiga bulan terakhir.

Tyo beberapa kali menganggukkan kepalanya, mencerna setiap kata yang Yudith ucapkan.

"Ooh ngerti gue. Jadi sebenarnya, siapa yang ada di hati lo? Eh .... bukan bukan. Siapa yang selalu menetap di hati lo? Syifa yang lebih dulu lo kenal, atau Aura yang--"

"Saya gak tahu. Yang saya tahu, saya merasa nyaman berada di antara keduanya. Saya merasa kehilangan Aura. Di sisi lain, saya gak mau Syifa dan Deva sedih."

Tyo memandangnya takjub. Bertepuk tangan sesudahnya. "Gila. Parah sih. Lo cowok paling berengsek yang pernah gue kenal, Dit."

Tidak dapat dipungkiri, ia pun mengiyakannya dalam hati. Ia terlalu serakah dengan menyukai dua perempuan. Ia ingin menjaga satu perempuan tanpa melupakan yang lain. Ia ingin melindungi, bukan malah menyakiti keduanya.

Keheningan menyelimuti keduanya beberapa saat kemudian. Membiarkan suara klakson terdengar nyaring memperamai suasana. Membiarkan dua pria dewasa ini berpikir untuk menemukan jalan keluarnya.

"Satu satunya hal yang bisa lo lakuin adalah, bertanya pada diri sendiri. Siapa yang lebih berharga di saat lo memilikinya dan membuat lo jatuh di saat dia pergi."

Saat itu, Yudith menyadari betul siapa perempuan yang muncul di pikirannya setiap waktu. Perempuan yang menjadi bunga tidurnya setiap malam. Perempuan yang membuat tidurnya tidak nyenyak, makannya tidak teratur, bahkan pekerjaannya sering terbengkalai.

Jawabannya hanya satu.

"Aura."

* * *

Yeah. Ini adalah part khusus Yudith. Buat teman-teman yang selama ini ingin tahu bagaimana perasaan Yudith yang sebenarnya, sudah saya jelaskan secara singkat dan padat.

Sudah ketahuan dengan jelas 'kan? Yudith mencintai Aura, menyayangi Syifa, dan ingin menjaga hati teman baiknya, Deva.

Sungguh, saya ingin dipertemukan dengan lelaki seperti Yudith di dunia nyata. He he.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top