33) Satu Nama Saja

Aura kembali fokus pada selembar kertas di tangannya. Membaca paragraf baru yang membuat semuanya terasa semakin jelas.

Singkat cerita, kita berpisah. Entah apa yang aku pikirkan saat itu tapi aku terus mengirimkan sebuah surat setiap minggu. Surat yang aku yakin, tidak akan pernah terbalas.

Beberapa bulan yang lalu aku mendapat informasi bahwa kamu akan tinggal di Indonesia untuk sementara waktu. Aku bertanya pada Deva dan ia membenarkannya.

Kamu berusaha menghindariku terus-menerus. Aku menceritakan semuanya pada Syifa. Kedatanganmu, sikap tak pedulimu, perubahanmu. Ia mendengar semua keluh kesahku. Sampai kemudian, ia menyadarkanku bahwa aku sudah melewati batas. Aku melupakan perasaannya.

Ia bertanya, rasa suka seperti apa yang aku rasakan untuknya. Ia mengungkapkan semua yang ada di pikirannya. Ia juga tahu tentang surat-surat yang aku kirim. Ia memendam semua sakit yang aku torehkan. Aku bungkam. Aku seperti anak kecil yang tidak mengerti cinta. Saat ia bertanya seperti itu, wajahmu yang terus membayangi pikiranku. Tapi aku tahu ini salah. Deva adalah calon suamimu, bukan? Ia menceritakan semuanya padaku dan aku tidak ingin menghancurkan hubungan kalian. Aku mengajak Syifa menikah saat itu juga. Berjanji akan memperbaiki semuanya dengan jalinan kasih yang halal, meski sampai saat itu pun, aku tidak tahu rasa suka seperti apa yang menyelimutiku.

Dua bulan lalu aku menunggumu di acara lamaran. Aku menunggu kehadiranmu untuk memastikan surat yang kamu tulis saat SMA salah. Jadi, setelah ketidakhadiranmu bukankah fakta bahwa kamu menyukaiku adalah benar? Sungguh, hanya itu yang ingin aku ketahui, Aura.

Besok aku akan menikah. Menjadi imam bagi calon makmumku. Menjadi pemimpin bagi keluargaku. Menjadi calon ayah bagi anak-anakku. Apa kamu tidak ingin mengucapkan selamat sama sekali?

Aku tahu ini kasar, tapi kamu pengecut, Aura. Hanya menghindar tanpa menuntaskan semuanya. Aku bahkan berpikir untuk membencimu sesaat saja, tapi aku tidak bisa.

Tapi saat mengetahui kamu memakai cincin yang telah Deva sematkan, saat kamu yang mengatakannya sendiri bahwa kalian akan menikah, saat kamu dengan hebat mengatakan aku akan hidup bahagia dengan Syifa, aku hancur. Aku rapuh seperti kayu yang sudah usang, Aura. Saat itulah aku baru menyadari bahwa menyukai Syifa hanyalah sebatas kagum dan menyukaimu adalah rasa cinta.

Aku mencintaimu. Bukankah itu sederhana?

Aku mencintaimu. Bukankah kamu merasakan hal yang sama?

Apa aku boleh menghentikan niatku mempersunting Syifa lalu mengejarmu ke negeri orang?

Tapi, lagi-lagi aku mengingat pesan yang berkata bahwa hati perempuan serapuh kaca. Lagi-lagi aku ingat bahwa seorang lelaki akan dikutuk setiap langkahnya atas setetes air mata perempuan yang jatuh karenanya. Aku tidak ingin berdosa hanya karena sebuah rasa. Aku tidak ingin serakah dan menghancurkan segalanya. Aku harus bertanggung jawab atas pilihanku. Aku harus bertanggung jawab atas semua pengorbanan Syifa. Aku lelaki, kami menggunakan logika untuk memecahkan masalah. Bukankah berusaha tetap tinggal dengan orang yang mencintai lebih baik daripada mengejar orang yang dicintai?

Maka, doakan aku agar pernikahan ini berjalan lancar dan kita kembali menjalani hidup masing-masing.

Bantu aku melupakanmu. Bantu aku hidup tanpa bayang-bayangmu dengan berhenti muncul di kehidupanku. Bantu aku mempertahankan rumah tanggaku.

Datanglah besok, Aura. Siapa tahu... ah, tidak. Tidak bisa.

Apa kamu merasa ini terlalu puitis? Baiklah, aku sudahi saja salam perpisahan ini agar tidak menggali semakin banyak luka. Aku harap kita hidup bahagia. Maksudku, bahagia dengan cara masing-masing. Bahagia, meski tidak bisa hidup di bawah atap yang sama.

Maafkan aku atas segala kesalahan yang kubuat dengan kembali muncul di hidupmu. Sungguh, aku pun tidak mengerti dengan perasaanku. Sungguh, sekali saja ingin aku mengetahui isi hatimu. Walau mungkin, aku tidak lebih dari sekedar teman di anggapanmu. Maaf, jika aku tidak bisa mengekspresikan rasaku dengan jelas. Aku hanya lelaki yang buta dengan cinta.

Terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku yang akan selalu kusimpan rapat-rapat di dalam ruang sempit yang tidak akan bisa dibuka lagi.

Selamat tinggal, Aurora Rininta.
Selamat berpisah.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tertanda,
Muhammad Yudith Prasetya.

Semua yang Yudith ungkapkan terasa seperti mimpi. Aura berusaha mencubit dirinya sendiri dan sadar, bahwa apa yang telah ia baca memang benar. Bahwa penyataan cinta itu benar. Yudith mencintainya dan itu bukan sekadar angan-angan. Harusnya Aura mengerti dari awal mengapa pria itu terus menghantuinya, memintanya datang untuk berbicara, memberitahu tentang rencana pernikahannya dengan Syifa, sampai berkunjung ke rumahnya.

Air matanya perlahan luruh menghapus bedak yang menempel di pipinya. Menangis. Ia menangis sejadi-jadinya hingga membangunkan Yasmin yang sempat tertidur.

Yasmin segera memeluk tubuhnya yang bergetar hebat tanpa mengucapkan sepatah kata. Menenangkan lewat dekapan hangat seorang sahabat.

Satu hal yang masih selalu ia miliki adalah kehadiran Yasmin dan Bella. Pertemanan ini sungguh nyata dengan bukti mereka selalu berada di sampingnya. Meski salah satunya sedang berada di kota berbeda, Aura tahu, dimana pun ia berada dukungan mereka selalu mengikuti setiap pilihan yang ia buat.

"Yudith cinta sama gue, Yas. Yudith cinta sama gue."

Isakan tangis memenuhi ruang tidur Aura. Keduanya menangis. Mengeluarkan emosi yang selama ini terpendam. Membebaskan diri dari sakit berkepanjangan dengan terus mengeluarkan bulir bening dari matanya.

"Yudith...."

Hanya itu yang bisa ia katakan. Lidahnya terlalu kelu untuk berbicara. Satu kata saja, satu nama saja, Yudith.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top