32) Amplop Merah Muda
BOOM!
Mungkin ini update terakhir saya sebelum kuliah (ceilah yang udah ngampus wkwk). Insya Allah, setelah semuanya berjalan lancar, cerita ini akan segera tamat.
Kita tunggu saja, kepada siapa Yudith akan berlabuh.
Akankah ada sosok baru yang bisa menggantikan Syifa maupun Aura?
H A P P Y R E A D I N G
* * *
Kakinya berjalan secepat mungkin menuju kamar tidurnya. Langkahnya tergesa-gesa sampai mengabaikan sambutan makan siang dari orang tua serta adik-adiknya.
Jika Aura tidak sedang berada dalam keadaan genting, pasti ia akan menerima dengan senang hati manisan jambu dari tante Hera---ibu tirinya, atau ajakan mengobrol dari ayahnya. Ia sudah melapangkan dada mengenai keluarga ini sebelum berangkat untuk melanjutkan studinya di Singapura.
Ia segera berlari ke arah meja belajar dan menemukan sebuah amplop berwarna merah muda. Mungkin, ini surat yang Syifa maksud.
"Aku ngikuti Yudith dari belakang waktu dia mau kirim surat. Setelah dia pergi, aku datangi petugas dan benar saja, menemukan alamat kamu sebagai tujuannya, bukan alamat klien penting atau firma hukum yang menjadi kantornya selama ini. Mungkin, dia ingin mengucapkan selamat tinggal.
"Tapi semuanya gak berakhir di situ. Besoknya, sesaat sebelum ijab kabul, aku ngintip dia mencoba nelpon seseorang."
Aura tahu persis siapa orang yang Syifa maksud. Dirinya. Yudith mencoba menghubungi Aura sebelum pernikahan, tapi tidak satupun diangkat.
"Dan kamu tahu, Aura?"
Apa? Aura menyimpan pertanyaannya dalam hati. Membiarkan Syifa menarik napasnya perlahan. Sesuatu terasa sesak dan menggerogoti seluruh tubuhnya.
"Saat waktunya ijab kabul, aku menghentikannya dengan berkata aku tidak pernah mencintainya. Aku dan Yudith ... pernikahan itu ... tidak pernah ada."
Setelah kata terakhir diucapkan, mereka menangis bersama. Meratapi nasib yang tidak kunjung berpihak kepada keduanya. Menyalahkan diri sendiri atas masalah yang menghampiri kesehariannya.
Saat itu juga, ia baru mengerti mengapa Syifa berusaha menjelaskan semuanya secara rinci. Saat itu juga, ia baru paham, mengapa Syifa datang.
Aura tersadar dari ingatannya dua hari lalu setelah terdengar ketukan pintu dari luar. Yasmin datang dengan dua gelas sop buah di tangannya.
"Boleh gue masuk?" tanya Yasmin setelah melihat wajah nanar sahabatnya.
Yasmin memilih duduk di samping Aura setelah meletakkan sop buah di atas nakas.
"Surat dari Yudith juga?"
Ia mengangguk lemah.
"Udah dibaca?"
Gelengan Aura membuatnya berdecak sebal. "Aura, lo kayak ayam kehilangan induk. Lo benar-benar kehilangan arah setelah tahu kenyataannya. Maaf, harusnya gue langsung bilang ke lo atau Bella, bukan Deva. Habisnya, lo buat kesel karna gak ngabarin tentang hubungan kalian."
Aura mencoba menarik kedua ujung bibirnya. "Gak apa-apa. Lagipula, gue dan Deva udah berakhir."
Pernyataan Aura membuat dahinya berkerut, namun urung memberikan pertanyaan. Seperti mengerti jalan pikiran Yasmin, Aura berkata, "Nanti gue jelasin."
"Oke. Tapi sekarang lo harus baca surat itu. Gue akan nunggu tanpa bertanya sedikit pun. Kalo ada sesuatu, gue siap mendengarkan. Cepat!"
Ia memutar bola matanya jengah. Nada memerintah oleh sahabatnya terdengar seolah ia adalah karyawan yang sedang disuruh sesuatu oleh bosnya.
Aura membuka perekat amplop dan terlonjak ketika menemukan dua lembar kertas buku terisi penuh dengan kata-kata. Berdecak kagum saat menyadari, Yudith bahkan lebih cocok menjadi penulis daripada dirinya.
Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh.
Selamat pagi/siang/sore/malam, kapan pun surat ini dibaca.
Apa kabar? Semoga kamu selalu baik-baik saja di dalam lindungan Allah, aamiin. Tapi kalau kamu ingin tahu, keadaanku justru sebaliknya. Nanti, akan aku jelaskan mengapa.
Aku tahu, ketika surat ini dikirim, kamu tidak langsung menerimanya. Kamu masih mengadu nasib di perantauan meninggalkan kota kelahiranmu. Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan semuanya dari sini, meski kamu baru bisa membacanya sepuluh tahun lagi.
Aku tidak menyangka, pertemuan kita akan berakhir serumit ini. Lebih rumit dari kasus-kasus yang aku tangani. Lebih rumit dari penyakit yang Syifa teliti. Lebih rumit dari diksi-diksi yang menjadi makananmu sehari-hari.
Sudah berapa tahun berlalu setelah kamu meminta agar kita berhenti berkomunikasi? Lima? Enam? Tujuh? Rasanya bahkan lebih lama dari seribu tahun.
Baiklah, cukup basa-basinya. Aku sudah menghabiskan banyak tinta hanya untuk menuliskan salam pembuka. Apa itu terlalu panjang? Hehehe.
Aku mengenal Syifa sejak hari pertama pengenalan ekskul sewaktu kita kelas 10. Ia adalah gadis yang sempurna bagi setiap lelaki yang melihatnya. Aku tahu ini berlebihan sebab tidak ada manusia yang sempurna. Tapi, ia benar-benar bersinar seperti bintang di antara yang lain. Kami menjalin komunikasi setiap hari dengan bekerja sama pada acara-acara keagamaan. Ia gadis yang tekun dan bertanggung jawab, seperti yang dikatakan guru-guru. Dari situ aku merasa bahwa aku mulai menyukainya.
Aku mengenalmu di tahun ke dua sekolah setelah kepala sekolah mengamanahkan kita untuk berkolaborasi. Saat itu kamu menyepelekanku dan menganggap aku tidak pantas menjadi pemimpin. Kamu membuat keributan bersama Yasmin dengan mengatakan bahwa aku ketua yang aneh. Hahaha. Lucu sekali wajahmu saat membujukku untuk kembali ke ruang rapat.
Ternyata, berakhirnya acara tidak menjadi akhir pertemanan kita. Beberapa kali kita tidak sengaja bertemu lalu bertukar cerita satu sama lain. Mendengarkan, memberi solusi, berbicara tiada habis. Ketegaranmu menghadapi permasalahan keluarga sangat aku apresiasi. Dari situ, aku merasa kagum padamu.
Aku tidak tahu kenapa harus marah begitu berita kelas kalian bolos menyebar. Yang aku tahu, aku khawatir dan perlu memastikan keadaanmu. Tapi itu justru membuat dinding pembatas antara kita.
Deva memukulku tiba-tiba dengan dalih aku merebut cinta pertamanya. Aku terkejut dan bingung. Ia terus menghajarku sampai kamu datang dan menghentikannya. Terima kasih telah menolong dan membawaku ke rumah sakit, aku tahu kamu melakukannya namun ingin menyembunyikannya.
"Masih lama? Ngantuk gue," potong Yasmin di sela-sela bacaannya. Sudah sepuluh menit berlalu dan Aura masih tiba di halaman pertama. Ia menguap beberapa kali untuk menghilangkan kantuk namun sia-sia.
Ia memutar bola mata jengah. "Gue bacanya pake hati, dihayati. Udah, tidur sana. Nanti gue banguni, kalo inget."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top