31) Tidak Ingin Menyesal
"Apa kamu udah baca semua suratnya?"
Syifa menjeda ceritanya. Memilih kembali ke kenyataan untuk beberapa saat sebelum membuka kisah lama kepada Aura. Wanita di hadapannya menggeleng.
Aura hanya membaca sepuluh dari ratusan lembar surat yang ia terima. Pekerjaan yang menumpuk membuatnya lupa dengan apa yang ingin ia kerjakan. "Aku terlalu sibuk untuk sekedar memikirkan Yudith. Bukankah dengan begitu kamu bisa melihat, bahwa Yudith bukan prioritasku?" elaknya.
Syifa berharap yang Aura katakan memang benar dan segera memercayainya. Tapi fakta bahwa mata Aura memancarkan luka dalam membuatnya yakin, wanita ini merasakan sakit yang sama selama bertahun-tahun lamanya. Ia terlalu dewasa untuk Aura bohongi.
"Prioritas bukan berarti selalu memikirkannya tanpa kenal waktu. Prioritas berarti, rela menyisihkan waktu hanya untuk memikirkannya. Kamu penulis dan aku rasa paham betul apa maksudnya." Syifa tersenyum manis, kembali menggenggam tangan Aura erat.
Aura tertegun. Paham sekali dengan kalimat yang Syifa lontarkan dan itu saja cukup menyadarkannya.
Menyerah. Rasa penasaran membuatnya semakin ingin tahu tentang fakta-fakta yang ia lewatkan selama ini. Semakin ingin tahu dengan jawaban dari pertanyaan yang selalu ia pendam sendiri. Sudah saatnya menghadapi kenyataan dengan tegar, bukan hanya berdiam diri dan menghindar.
Aurora Rininta, penulis sekaligus promotor di perusahaan percetakan akhirnya mencoba membuka hati dan pikirannya. Menarik napas panjang lalu berkata, "Ceritakan semuanya, Syifa. Ceritakan apa-apa yang belum aku ketahui."
Melihat kepasrahan temannya, senyum Syifa melebar. Meski kenyataannya, ia seperti sedang memaksa mulut untuk menelan obat. Menyiksa dan terasa pahit di saat yang bersamaan.
"Ada satu surat yang dia kirim sehari sebelum pernikahan kami...."
* * *
"Yudith, mau ke mana kamu?"
Nyonya Prasetya, ibu kandung Yudith berkacak pinggang melihat gerakan anaknya yang tergesa-gesa. Keningnya berkerut dalam dengan raut penuh kekhawatiran.
Yudith mengembangkan senyum. Menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil kunci motor. "Yudith harus pergi, Bun. Ada urusan dengan teman."
"Urusan apa? Kamu gak boleh pergi. Bunda takut terjadi apa-apa denganmu, Nak."
Ia tertawa kecil. Menarik ibunda ke sofa untuk berbicara sebentar. Mengucapkan kalimat yang menenangkan. "Bunda harus percaya, Yudith pasti sampai dengan selamat. Yudith harus ngirim surat penting ke POS sebelum semuanya terlambat. Sebentar aja kok, oke?"
Tanpa sadar ia mengangguk, meski kalimat yang diucapkan anaknya terdengar begitu rancu dan sulit ia pahami. Tapi seperti umumnya, setiap anak butuh kepercayaan dari orang tua, dalam aspek kehidupan apapun termasuk hal sekecil ini.
"Jangan lama-lama, kita harus ke rumah Syifa."
"Iya. Yudith pergi, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
"Surat seperti apa yang membuat Yudith risau?" pikirnya dan segera pergi ke kamarnya untuk menghubungi Syifa.
* * *
Setelah dewasa, ternyata ada banyak hal kecil yang harus kita perhatikan. Bukan berarti takut dengan kemungkinan yang terjadi, melainkan untuk memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik sesuai yang diharapkan.
Salah satu hal kecil yang paling sering disepelekan adalah membuat keputusan. Manusia sering mengabaikan, menghindari, bahkan bertingkah seolah satu masalah tidak ada artinya. Lalu, setelah semuanya terjadi, dengan mudah ia mengatakan menyesal atas kebodohannya sendiri.
Namun kali ini, Aura tidak ingin semuanya berakhir dengan penyesalan. Ia harus menyelesaikan semua sampai tuntas, dengan menemukan fakta-fakta yang jelas, hingga menemukan titik penyelesaian yang logis.
Menghabiskan malam dengan cerita-cerita yang Syifa lontarkan membuatnya lebih dari sadar, bahwa dalam kisah ini bukan hanya ia yang tersakiti. Meski tidak tahu bagaimana cara pandang Yudith, ia tahu betul bahwa semua memiliki porsi luka yang hampir sama, dengan cara yang berbeda-beda.
"Welcome to Jakarta."
Suara itu terdengar nyaring hingga menghentikan lamunannya. Segera ia melepas seatbelt, merapikan pakaian, lalu bangkit dengan menenteng tas berwarna merah jambu di tangannya. Ia menarik napas perlahan. Bergumam pada diri sendiri. "Semua akan baik-baik saja."
Setelah pesawat yang ditumpanginya benar-benar berhenti, ia melangkahkan kaki bersama puluhan manusia lain menuju bandara untuk mengambil koper.
Semua akan baik-baik saja.
Berulang-ulang ia mengatakannya hanya untuk menghilangkan keraguan yang sempat terbersit di hatinya. Untuk meyakinkan bahwa, pulang ke Indonesia dan menjumpai Yudith memang keputusan yang paling tepat, seperti keputusan Syifa memberitahunya tentang semua yang ia lewatkan.
Di depan sana, sudah ada wanita bertubuh mungil melambaikan tangannya sembari meneriakkan nama Aura dengan senyum lebar. Bersemangat sekali.
"Aura!"
Sudah bisa ditebak, wanita tidak tahu malu ini adalah Yasmin. Menampakkan cengiran khasnya di hadapan semua orang. Tapi tampaknya, suasana hati Aura sangat tidak bersahabat saat ini.
Plakk. Tangannya bergetar hebat saat tanpa ia sadari telah melayang tepat ke pipi sahabatnya. Beberapa orang yang melewati mereka menunjukkan ekspresi terkejut sekaligus ingin tahu dengan apa yang terjadi.
Yasmin mengaduh. Bukan karena tamparan yang ia terima terlalu sakit, tapi karena sambutan tidak bersahabat Aura. Perih yang menjalari pipinya tidak lebih sakit dari cara Aura mempermalukannya.
"Aura ... lo ... nampar gue? Kenapa?"
Aura menelan salivanya susah payah. Sedikit menyesali perbuatannya namun tetap membela diri.
"Setelah lo menutupi semua dari gue, lo masih tanya kenapa?!"
Ia menggelengkan kepalanya tidak percaya. Menarik kopernya dan meninggalkan Yasmin yang masih berusaha mencerna perkatannya.
"Apa yang gue tutupi? Sumpah demi Allah, gak ada, Aura."
Ia berdecih.
"Yudith. Syifa. Gue. Semuanya," ucapnya dengan penuh penekanan pada setiap kata.
Yasmin menarik tangan Aura hingga sahabatnya itu berhenti berjalan. "Apa? Bukannya Deva udah nyeritain itu ke lo?"
"Deva?" Keningnya berkerut tajam.
"Iya, gue nelpon Deva pas hari H. Katanya, lo lagi sakit, jadi gue bilang semuanya ke dia."
"Deva sialan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top