30) Ungkap

Ramadhan is over. Happy eid al fitr everyone!
Mohon maaf lahir&batin🙏

* * *

Merapikan penampilannya, Syifa mengetuk pintu berwarna putih dengan ragu-ragu. Ia sedang berada di depan rumah Yudith. Pikiran buruk menghantuinya semalaman dan ia rasa berbicara dengan Yudith adalah langkah yang tepat.

Mulutnya berkomat-kamit memilih kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang ia rasakan, agar Yudith lebih mudah memahami. Untuk kali ini saja, biarkan Syifa mengorbankan harga dirinya dengan datang ke rumah laki-laki yang bukan mahramnya, tanpa diminta oleh sang pemilik rumah. Untuk kali ini saja, biarkan Syifa menuntut haknya.

Pintu terbuka dan memperlihatkan sosok yang ia tunggu berdiri tegak di hadapannya. Yudith sedikit terlonjak sepersekian detik, lalu seperti biasa, keduanya langsung menundukkan pandangan, menjaga iman.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Gak bilang-bilang mau datang. Ada apa?"

"Ada yang harus kita bicarakan."

"Oh oke. Kita ngobrol di luar aja ya? Di dalam gak ada orang. Sebentar, aku kunci pintu dulu."

Yudith mengajak Syifa menuju garasi mobil setelah yakin rumah sudah terkunci. Saat merasa Yudith hendak menghidupkan mesin, Syifa menghentikannya.

"Kita di sini aja. Gak enak kalo orang dengar."

Yudith menghela napas. Meletakkan tangannya di saku celana. "Emang kenapa? Kok kayaknya serius banget."

Syifa menatap ke luar jendela. Melihat bunga-bunga yang ditanam oleh ibunda Yudith sedang bermekaran. Beragam bentuk dan warna membuat taman kecil ini terlihat indah. Sayang, kondisi hatinya tidak seindah bunga-bunga itu.

"Menurut kamu, sebenarnya hubungan kita disebut apa?"

Yudith beralih menatapnya tajam. Urat nadinya bahkan timbul di beberapa sisi wajahnya. Raut terkejut, bingung sekaligus marah bercampur menjadi satu. Namun, cepat-cepat ia menetralisir emosinya. Ia bukan lelaki yang memperlakukan perempuan dengan buruk. Bersikap kasar adalah musuhnya.

"Maksud kamu? Kenapa tiba-tiba nanya gitu, Syifa?" Suaranya amat lembut seolah tidak ingin menyakiti Syifa.

"Waktu SMA, kamu bilang kamu menyukaiku."

"Tentu saja. Aku menyukaimu sejak dulu, sampai detik ini."

Syifa mengalihkan pandangannya. Mencoba menatap mata Yudith meski sulit. Sekali saja, ia ingin memandang selain mahramnya selama yang ia mau. Sekali saja. "Rasa suka seperti apa?"

Yudith terdiam. Tenggorokannya mendadak tercekat hingga tidak bisa menjawab apapun. Sungguh, pertanyaan itulah yang selama ini ia tanyakan pada dirinya sendiri. Pertanyaan yang selalu ia simpan, namun selalu ia abaikan.

"Rasa suka itu bervariasi. Kalau kamu menyukai karena kebaikanku, maka itu menghargai. Kalau kamu menyukai karena kepintaranku, maka itu mengagumi. Kalau kamu menyukai segala sisi hitam putihku, maka itu mencintai. Lalu, rasa suka seperti apa yang kamu maksud?"

Sepertinya, ia benar-benar kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan wanita ini. Ia mampu berdebat dengan lawan kerjanya dengan baik, tapi saat ini, untuk membela diri saja tidak bisa.

Satu hal yang kini mulai Yudith sadari adalah, ia telah menyalahartikan perasaannya. Menyamakan kedudukan antara menghargai, mengagumi dan mencintai. Semua begitu rumit dan ia tidak bisa berpikir jernih.

"A-aku...." Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Selanjutnya, kicauan burung mendominasi suasana. Membiarkan pembicaraan terhenti, seolah tidak bisa terselesaikan lagi.

Syifa kembali tersadar dari lamunannya. Perkataannya selanjutnya sungguh membuat Yudith terkejut dan bingung dalam waktu yang bersamaan.

"Aku tahu aku lancang, tapi aku gak bisa menahan lebih lama lagi. Kapan... kita akan menikah?
Tidak... kamu tidak harus menjawabnya dulu. Aku tahu kamu pasti terkejut. Tapi... dengarkanlah alasanku, Yudith.

"Kamu mengatakan kamu menyukaiku beberapa tahun lalu, saat kita SMA. Aku tahu ini konyol tapi aku benar-benar mempercayainya. Kita selalu berteman baik sampai saat ini, bahkan sudah saling mengenal keluarga masing-masing.

"Kamu mengatakan kamu menyukaiku lalu membuktikannya dengan selalu berada di dekatku, tapi yang aku tahu perilakumu kepadaku dan perempuan lain tidak ada bedanya.

"Kamu mengatakan kamu menyukaiku tapi kamu bahkan tidak bertanya apa aku merasakan yang sama atau tidak. Kamu membuatku bahagia sekaligus sedih di saat yang bersamaan."

Syifa menundukkan pandangannya. Sungguh, ia merasa menjadi wanita paling memalukan dengan mengungkapkan segala perasaannya. Tapi mau bagaimana lagi, hatinya sudah terlanjur tersakiti.

Sementara Yudith terpaku dengan setiap kata yang ia dengarkan. Ia tidak ingat kapan terakhir kali berbicara seserius ini mengenai perasaanya. Tidak, lebih tepatnya ia diajak berbicara serius tentang perasaannya. Ia hanya akan memendam tanpa membiarkan orang lain ikut campur dalam hubungan percintaannya.

"Tapi kemudian aku menemukan titik terang. Jawaban atas segala permasalahan kita."

Yudith mengerutkan keningnya. Bagaimana mendapatkan solusi sementara mereka baru membahasnya kali ini?

"Kamu menyambut kepulangan Aura dengan sangat baik. Kamu mengatakannya kepadaku tanpa bertanya apakah aku baik-baik saja mendengarnya. Kamu mengirimkan surat yang bahkan gak pernah dibalas sekali pun. Kamu terlihat seperti malaikat, tapi aku bahkan gak ngerti... apa kamu lebih baik dari setan?"

Bulir bening yang sedari tadi ditahan meluap sudah membanjiri pipinya. Menghapus bedak tipis yang ia kenakan untuk menutupi bekas tangisnya semalam. Syifa sadar ini salah besar, tapi menahan pilu berlama-lama justru mengundang lebih banyak duka.

Syifa menangis sejadi-jadinya, hingga pria di sampingnya ikut merasakan sakit yang sama. Cinta benar-benar tidak kenal waktu. Ia menghibur dan melukai di saat yang bersamaan.

Yudith merenung di tempat. Kata-kata yang Syifa katakan sepenuhnya benar. Ia selalu ada untuk Syifa, tapi tak pernah menanyakan perasaannya. Ia mengatakan ia menyukai Syifa tanpa membuktikannya. Ia juga terkejut dengan penuturan Syifa mengenai surat-surat itu. Syifa mengetahuinya tapi ia hanya diam dan tidak marah sama sekali. Ah, kenapa ia tidak pernah menyadarinya?

"M-maaf...."

Syifa menggeleng. Menghapus air matanya kasar, merasa air mata membuatnya tampak seperti wanita lemah. Memasang senyumnya kembali di sisa-sisa tangisan. "Aku lega udah mengatakannya. Permisi. Assalamu'alaikum."

"Tunggu."

Syifa menghentikan gerakannya tanpa membalikkan badan ke arah Yudith.

"Jangan pergi."

Ia menarik napas dalam-dalam. "Menikahlah denganku, Assyifa Humairah."

* * *

889 kata? Well, lumayan panjang. Saya sedikit terbawa emosi dengan part ini. Saya telah mengungkapkan kebenarannya dan mungkin, sebentar lagi Aurora akan tamat.
Ah iya, maaf jika Aura tidak muncul di part ke 30 ini, supaya hubungan antara Syifa dan Yudith benar-benar clear dan Aura bisa memahami keadaan.

Sampai jumpa di part selanjutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top