29) Cerita Syifa

2 tahun yang lalu.

"Assalamu'alaikum."

Syifa membuka pintu tanpa menunggu jawaban salam dari pria yang sedang berkutat dengan kertas dan pulpennya---entah menulis apa. Namun, menyadari kehadirannya tidak ditanggapi, ia kembali berbicara.

"Bunda bilang kamu terlalu sibuk bekerja, sampai tidak sempat makan. Aku bawakan kentang goreng, nih." Ia menyodorkan sepiring kentang goreng beserta saus di meja kerja.

"Yudith, kamu gak dengar---eh, apa itu? Kamu menulis surat?"

Sadar dengan pergerakan Syifa yang cepat, Yudith segera menarik kertasnya. "Syifa, sejak kapan kamu datang?!" teriaknya.

Meski teriakan atas keterkejutan Yudith lebih tampak seperti bentakan baginya, bukan itu yang ia permasalahkan. Memang, Yudith tidak pernah marah. Tapi, cara Yudith menatapnya serta pergerakan tangannya yang terburu-buru memasukkan selembar kertas tersebut ke dalam lacilah yang justru membuat Syifa kaget.

Yudith berdehem. "Kamu... ada urusan apa?"

Syifa menggeleng. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menutupi ketakutannya. Perempuan seperti Syifa memiliki hati yang nudah rapuh, terlebih, ketika seseorang yang dekat dengannya mengeraskan suara.

"Duduklah. Apa kamu kesini atas perintah bunda?"

Syifa mengangguk.

Yudith menghela napas kasar. Ibunda yang paling ia cinta memang selalu begitu. Semenjak mengetahui kedekatannya setelah lulus SMA, bunda selalu ingin tahu perkembangan hubungan di antara keduanya. Meski sampai saat ini, Yudith tidak pernah bertanya tentang perasaan Syifa, bahkan untuk sekali saja.

"Maaf, bunda emang suka maksa.  Jangan diambil hati. Gak mungkin 'kan, aku ngelamar kamu saat kita baru meniti karir, sementara aku juga gak tau perasaan kamu gimana?" Yudith terkekeh setelahnya. Mengatakan kebodohannya sendiri.

Lihatlah, perempuan berpakaian tertutup di hadapannya bahkan masih bisa tersenyum manis. Bukan membuka suara, apalagi memprotes hebat.

Setelah itu, keheningan menyelimuti keduanya. Membiarkan udara air conditioner memperdingin suasana. Meski pada akhirnya, Yudith harus terlonjak mendengar pertanyaan Syifa.

"Tapi Yudith, surat tadi untuk siapa?"

* * *

"S-su-rat?"

Aura menundukkan kepala dalam-dalam. Ia tahu betul siapa alamat tujuan dari surat yang ditulis Yudith. Ia tahu betul siapa orang beruntung yang dikirimkan beratus-ratus amplop dengan berbagai macam pesan. Ia tahu betul, sebab ibunya yang selalu menerima semua surat itu sebelum ia pulang ke Jakarta.

"Aku tau, mungkin terlalu lancang bagiku untuk membuka privasi Yudith. Tapi kamu harus tau juga, Aura, rasa penasaranku lebih hebat dari rasa hormatku. Yudith pergi ke kamar mandi, dan aku membuka lacinya. Setelah itu, kamu pasti bisa menebak kelanjutannya."

Aura menutup mulutnya yang menganga lebar. Pelupuknya sudah membendung banyak air yang hendak tumpah. Tidak menyangka, dirinya menyakiti banyak hati meski tidak berbuat apa-apa. Syifa mengetahui kebenaran, tapi ia tidak marah sama sekali kepada Yudith. Bukankah cinta begitu ikhlas? Masih bertahan, meski berkali-kali tersakiti.

"Syifa, jangan lan---"

"Tapi aku pura-pura gak tau. Sampai sebulan sebelum kamu datang, dia masih melanjutkan kegiatannya. Dia gak pernah sadar, kalau aku selalu mengikutinya ke kantor pos. Melihat senyumnya yang mengembang, hanya karna sebuah amplop. Sampai pada akhirnya... berita kepulanganmu sampai di telinganya."

Lagi, senyuman Syifa menyayat hatinya. Bagaimana bisa, seseorang yang tersakiti hatinya menjadi begitu tegar? Bahkan mungkin, yang selama ini Aura rasakan tidak lebih dari setengah yang Syifa alami.

* * *

5 bulan yang lalu.

Mata berbinar Yudith membuat kelelahan yang dialaminya seharian penuh dalam menangani pasien mendadak hilang. Lelaki yang selalu setia bersamanya ini tampak amat bahagia. Ia masih diam, menunggu Yudith membuka suaranya, sebab lelaki itulah yang memintanya bertemu di kafetaria dekat rumah sakit.

Merasa waktunya terbuang sia-sia selama sepuluh menit lebih, ia lebih dulu bersuara. "Kenapa mendadak banget? Ada sesuatu yang penting? Bunda mau ketemu sama aku? Kerjaan kamu diapresiasi atasan?"

Melihat gelengan Yudith dengan sudut bibirnya semakin tertarik ke atas, ia kembali bertanya, "Terus apa?"

"Kamu mau tau?"

Syifa mengangguk dengan semangat. Mana bisa ia menolak tahu sumber kebahagiaan calon imamnya?

"Kamu ingat Aura?"

Syifa mengetuk keningnya dengan jari telunjuk. Berusaha mengingat. Ah, hanya ada satu Aura yang pernah ia kenal seumur hidup, mana bisa ia melupakannya.

"Aurora Rininta? Sekretaris OSIS yang pernah kerjasama dengan kita?"

Yudith bertepuk tangan. "Wah, kamu mengingatnya dengan baik. Hebat."

Syifa tertawa. Yudith mengapresiasi setiap tindakan kecilnya. Lucunya, hal sesederhana itu mampu mengguncang hatinya.

"Ada apa dengan Aura?"

"Aku bertemu dengannya tadi. Berita itu ternyata benar. Dia benar-benar pulang, Syif. Aurora pulang."

Syifa tahu sejak awal ini akan terjadi. Syifa tahu ia akan menerima kabar seperti ini dari Yudith, dengan ekspresi sebahagia ini. Bodohnya, ia masih menunggu. Menunggu ketidakpastian yang akan menyayat luka lebih dalam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top