26) Kalah?

Minggu ini lagi rajin update.
Happy reading, teman temancuu!
Much love,
Y.

* * *

Ia meremas seatbelt yang sedari tadi melindungi tubuhnya, bila sewaktu-waktu kecepatan kendaraan bertambah. Pandangannya ia arahkan ke luar jendela. Memerhatikan orang-orang berlalu lalang. Biasanya, menikmati kondisi jalanan kota Singapura di siang hari. Tidak macet, sumpek dan panas seperti Jakarta. Negeri ini tenang. Namun ternyata, kesunyian seperti ini jauh lebih buruk dari kebisingan di ibukota.

Entah sudah berapa lama ia dan pengemudi roda empat ini berdiam diri. Membiarkan diri terhanyut dengan pikiran masing-masing. Membiarkan alunan musik jazz menghiasi kesunyian.

Tak lama kemudian, ia merasakan tangannya digenggam oleh si pengemudi. Erat, seolah tak mau lepas. Hangat, membuatnya nyaman. Tapi, ia tak mau semakin terhanyut. Cepat-cepat ia tepis tangan yang berukuran lebih besar dari miliknya itu.

"Bukan muhrim."

Singkat, tetapi mampu membuat orang di sampingnya menghentikan aktivitasnya. "Maaf."

Aura berdehem. Mengalihkan dirinya dengan mengambil ponsel dari dalam tas. Hendak memeriksa, siapa tahu ada pesan dari atasan, atau kabar dari keluarga di Indonesia.

Matanya terbelalak ketika melihat sebuah pesan singkat dari Yasmin. Menggeleng kuat. Tidak mungkin.

Syifa kesana minggu dpn.

Menyadari keterkejutan Aura, orang yang sedari tadi ia diamkan bertanya, "Ada apa?"

Aura masih memfokuskan matanya ke layar. Membaca ulang pesan yang dikirim oleh Yasmin. Benarkah Syifa akan mengunjunginya? Sendirian?

Hati kecil Aura tertawa hambar. Mana mungkin sendirian. Yudith sudah sah menjadi suami wanita itu, bukan? Mungkin, Syifa akan memamerkan kemesraan mereka selaku pengantin baru. Bertingkah seolah pasangan paling bahagia di dunia ini. Berkata pada dunia, hei, lihatlah betapa bahagianya kami!

Salahkah ia berburuk sangka seperti itu?

"Aura! Kamu kena-- Syifa?!"

Aura sontak menarik ponselnya. Menekan salah satu tombol untuk mematikannya. "Deva! Kebiasaan deh ngintip-ngintipin chatting orang."

"Yah abis. Kamu dipanggil diam aja."

Tidak mau menanggapi, ia kembali menatap ke luar jendela. Membuka sebagian kacanya untuk sekedar merasakan tiupan angin dari luar.

"Syifa yang mana? Istrinya Yudith?"

Istri Yudith. Aura tersenyum getir. Mendengar orang lain menyebutkan dua kata terlarang itu ternyata jauh lebih menyakitkan daripada melakukannya sendiri.

Menoleh sebentar, mengangguk.

"Kamu masih berhubungan dengan mereka? Atau jangan-jangan---"

"Bisa gak sih kita urusin urusan kita aja?"

Sepertinya, Aura sudah malas berlama-lama berada di sekeliling Deva. Mungkin, Deva melupakan fakta bahwa Aura tidak suka mengurusi sesuatu yang tidak menyangkut dirinya.

"Oke oke. Maaf. Aku cuma capek diam-diaman gini... sebelum kita membicarakan topik utamanya."

Setelah mengatakan itu, keduanya benar-benar saling bungkam. Tidak mengatakan apa-apa, bahkan jika bisa, bernapas pun tidak. Sesekali Deva menolehkan kepalanya ke Aura, memerhatikan gerak-geriknya.

* * *

"Dari tadi diem terus, ada apa sih?"

Lamunan Aura buyar. Lelaki di depannya ini, pandai sekali membuat konsentrasinya terpecah. Jawabannya sederhana, hanya gelengan singkat sembari menampilkan senyum tipis.

"Jadi kenapa tadi kamu buru-buru minta dijemput? Kita bahkan melewatkan perayaan ulang tahun Bos Ji Min."

Lee Ji Min, pria kelahiran Gangnam, Korea Selatan, pemimpin perusahaan industri obat-obatan tempat mereka bekerja baru saja menginjak usia 52 tahun. Ji Min mengundang seluruh karyawannya makan di restoran cepat saji dekat kantor saat jam makan siang. Sayang, hal ini harus mereka lewatkan.

Mengusap mulutnya yang kotor menggunakan tisu, membuangnya ke plastik bekas bungkus makanan. Memberi waktu sebentar sebelum berbicara.

"Kita masih muda. Dua puluh tiga tahun. Ada banyak hal yang ingin aku lakukan. Menikmati hidup, sebelum akhirnya terikat."

Merasakan kening Deva berkerut, Aura melanjutkan perkataannya.

"Kamu juga begitu. Banyak mimpi yang harus kamu kejar. Berkeliling dunia, berpetualang tanpa kenal waktu, bukan begitu?

"Aku pernah membaca sebuah novel yang isinya, lebih baik aku menyesal karena telah melakukan sesuatu, daripada menyesal karena tidak melakukannya. Awalnya aku bingung apa maksudnya. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai mengerti."

"Aurora, please. Aku bukan tokoh Rangga di AADC yang ngerti dengan sejuta bahasa kiasan." Suara Deva menginterupsi. Membuat Aura mau tak mau mengeluarkan tawa.

Melihat mata kecil itu menyipit karena tawa, ruang di hati Deva seakan menyejuk. Seolah, tawa Aura merupakan udara segar yang mampu membuatnya bernapas lega.

"Lamaran, akad, resepsi, aku merasa belum pantas, Dev. Aku..."

"Apa semua karena Yudith?"

Mulutnya menganga mendengar pertanyaan Deva.

"Ini bukan soal Yudith!"

"Tapi kenapa kamu berubah semenjak dari Jakarta? Because you stuck in him, right? Lo masih cinta sama Yudith!" Wajahnya memerah. Urat nadinya pun bermunculan.

"Hei, kenapa jadi kasar gitu? Kita lagi di tempat umum, apa kamu gak malu?" Aura mengelus bahu Deva pelan, namun segera ditepis pria itu.

Benar saja, orang-orang yang sedang berlalu-lalang di lapangan kecil ini menatap mereka penasaran.

"Gue gak peduli! Jawab gue, Aura! Lo masih cinta kan sama Yudith? Dan selama ini lo cuma manfaatin gue, cuma jadiin gue pelampiasan, iya kan?!"

Plak.

Tamparan keras mendarat mulus di pipinya. Deva tahu, ia memang pantas mendapatkannya. Tamparan penuh kemarahan, sekaligus kekecewaan. Ia juga tahu, tidak seharusnya berbicara sekasar itu terhadap Aura.

"Itu yang bikin gue gak pernah nyaman sama lo. Selalu menyalahkan orang atas apa yang menimpa diri lo. Dan itu juga yang bikin lo gak pernah bisa menang dari Yudith!"

Aura melepas cincin di jari manisnya. Meletakkannya di genggaman tangan Deva.

"Jangan pernah muncul di hadapan gue sebelum lo berubah!"

Setelah mengucapkan kata itu, Aura memberhentikan taksi dan memilih pergi meninggalkan Deva.

"Sial!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top