25) Selamat...
Panas matahari sudah menyinari bumi Indonesia pagi-pagi sekali. Tidak ada tanda-tanda langit akan mendung. Mungkin, suasana hatinya sedang bercahaya secerah sang mentari.
Jarum jam yang masih menunjukkan pukul delapan pagi tidak mengurungkan niat baiknya sama sekali. Mobil-mobil berdatangan memenuhi parkiran. Beriringan wanita berseragam kebaya dengan warna tosca melangkah dengan anggun, sementara para pria tampak tegas dengan jas hitam serta kemeja serupa dengan kebaya pengiring wanita.
Hari ini, di sebuah gedung dua lantai bernuansa sederhana ini akan diperdengarkan sebuah janji. Janji suci yang diharapkan hanya untuk sekali seumur hidup.
Puluhan papan nama tersusun rapi di pelataran gedung. Berbagai ucapan selamat terpatri beserta nama dua orang mempelai; M. Yudith Prasetya, SH. dan dr. Assyifa Humairah.
Yudith mengambil ponsel yang sedari tadi ia atur menjadi mode pesawat. Terlalu sibuk mengurusi akad sekaligus resepsi pernikahannya yang akan dilaksanakan seharian penuh. Membuatnya tidak sempat mengecek notifikasi barang sedetik.
Tangannya mencari nama seseorang. Memencet tombol hijau berlogo telepon putih setelahnya. Namun tidak ada tanggapan sama sekali.
"Angkat, plis," gumamnya pelan. Seolah, hanya ia yang dapat mendengarnya. Walau sebenarnya ada seseorang yang sedang menyaksikan kegusarannya pagi ini dari balik celah pintu.
Namun sia-sia, lima panggilan yang ia tuju ke nomor tersebut tidak dijawab sama sekali. Wajahnya pias. Keringat bercucuran semakin deras mengalir di pelipisnya. Membasahi tuxedo hitam yang kini ia kenakan.
"Yudith, kamu kenapa?"
Wanita paruh baya menghampirinya dengan raut cemas. Mungkin, firasat seorang ibu memang tidak bisa terkalahkan. Nyonya Prasetya menatap mata anaknya lamat-lamat dan melihat sesuatu yang sulit diartikan.
"Gapapa, Bun. Bunda ngapain ke sini?"
Yudith menghentikan aksinya. Menyembunyikan ponselnya di balik saku celana.
"Sebentar lagi akad nikah dimulai, ayo siap-siap."
* * *
Menurut ramalan cuaca yang disiarkan salah satu televisi swasta di negeri ini, Singapura akan dilanda hujan lebat. Terlebih, kini rintik-rintik mulai berjatuhan. Mengguyur satu-dua pejalan kaki.
Wanita cantik yang sedang duduk di balkon apartemennya ini tersenyum kecut. Memandangi sebuah surat undangan pernikahan berwarna tosca. Tidak henti-hentinya memerhatikan tanggal yang tertera, tanggal hari ini.
"Selamat menempuh hidup baru, Yudith."
Ia bergumam sendiri, layaknya seorang wanita yang ditinggal pergi kekasihnya. Frustrasi, sampai membuatnya gila.
Tidak lama kemudian, ia merasakan ponselnya bergetar. Saat melihat siapa penelepon yang sibuk memanggilnya, Aura segera mencampakkannya ke lantai. Tidak peduli seberapa pun mahalnya.
Yudith is calling...
"AGH!"
Teriakannya terdengar sampai ke ruang makan. Bella yang baru bangun dari tidurnya segera berlari tergopoh-gopoh. "Aura! Aura lo kenapa?!"
Mata sipit Bella menangkap ponsel sahabatnya sudah tergeletak di lantai. Beruntung layarnya dibalut dengan anti gores, sehingga hanya menimbulkan sedikit pecah. Melihat nama Yudith masih tertera di layar.
"Yudith?"
Keningnya berkerut seiringan dengan interupsi dari seseorang yang kini menenteng tas belanja berisikan beberapa bungkus mie instan.
"Yudith?"
Seketika, kesadaran Aura menghilang.
* * *
Tiga orang berkumpul di ruang tamu apartemen milik Aura dan Bella. Bella menatap tajam lelaki yang muncul tiba-tiba di hadapannya. Tidak kalah sengit, lelaki ini balas menatapnya. Berapi-api, netra mereka seolah mengisyaratkan bendera peperangan. Berbeda dengan Aura yang masih terkulai dengan sofa sebagai penumpu.
"Jelasin sama gue, kenapa Aura punya nomor telepon Yudith? Kenapa pula Yudith nelpon Aura pagi-pagi begini?" Suaranya amat nyaring, menyebar ke seluruh ruangan. Mungkin, tetangga sebelah akan memprotes jika Bella tidak menghentikannya sekarang juga.
"Deva! Stop! Lo bisa bikin gue diusir dari sini. Lo juga bisa bikin Aura makin sakit kalo suara lo sekencang itu!"
Deva menghela napas kasar. Memilih membungkam mulutnya daripada membiarkan emosinya meledak. Benar kata orang, diam itu emas. Diam bukan berarti kalah. Diam artinya, kita tahu bagaimana memposisikan diri.
Mereka terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Bella menoleh ke arah Deva. Tatapannya tidak setajam tadi. Matanya bahkan hampir berair, entah karena apa.
"Gue gak berhak ngomong apa-apa ke lo. Nanti, lo bisa tau sendiri dari Aura."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top