24) Gagal fokus

Waktu itu seminggu setelah pembubaran pengurus OSIS, seluruh siswa kelas 12 dikumpulkan di Aula Utama SMA Phantasia yang letaknya tepat di sebelah ruang guru.

Ruangannya lebar, mampu menampung sekitar seribu orang di dalamnya. Cahaya lampu bertebaran di setiap sudut, membuat aula terang benderang. Dindingnya dibuat kedap suara, agar ketika diadakan sebuah seminar atau kegiatan lain, siswa yang sedang belajar tidak terganggu. Sama seperti kali ini, siswa-siswi kelas 10 dan 11 tidak akan mendengar suara nyaring microphone dari dalam.

Di depan sana sudah berdiri seorang wanita berkemeja putih, rapi dengan jas kerja yang ikut membalut tubuhnya. Di bagian dada menggunakan pin bergambar logo sebuah perusahaan. Senyumnya ramah, menyapu seantero aula. Beberapa siswa menghela napas lega. Setidaknya, sekarang bukan waktunya mereka akan diceramahi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan ujian.

Wanita tadi mendapat tatapan penasaran dari 213 siswa kelas 12. Suara bisik-bisik pun mulai terdengar, saling bertanya satu sama lain, untuk apa mereka dikumpulkan di sini?

"Aura, kita mau ngapain?" tanya salah seorang temannya.

Yang ditanya hanya mengangkat bahu. Sebab, Aura memang tidak tahu-menahu mengenai seminar ini.

"Yah masa gatau, lo kan OSIS!"

Aura memutar bola mata. Apa mereka lupa, kalau Aura telah resmi keluar dari OSIS sejak pelantikan masa jabatan baru minggu lalu?

"Gue bukan Tuhan yang tahu segalanya."

Teman-temannya meringis. Sudah terkenal di seluruh kelas 12, bahwa seorang Aurora Rininta selalu ketus saat menjawab pertanyaan yang menurutnya tidak ada hubungan dengan dirinya. Bahkan, pernah sekali siswa kelas 12 IPA 2 bertanya kepadanya, "Mana duluan, ayam atau telur?" dan Aura hanya menjawabnya dengan, "Tanya aja sama ayamnya."  Hingga anak tersebut tidak berani lagi menatap mata Aura.

Dua jam berlalu begitu saja. Wanita yang diketahui bernama Wulandari tadi ternyata berasal dari perusahaan yang bergerak di jasa taksi online. Ia menjelaskan semuanya, mulai dari cara penggunaan, promo yang diadakan setiap bulan, sampai hadiah bagi pengumpul poin terbanyak.

Satu per satu mereka berlarian keluar setelah mendapat bingkisan berupa topi yang berlogo perusahaan. Begitu pula dengan Aura dan teman-temannya.

Tapi, tanpa sengaja, ia terpisah di keramaian. Aura berdecak. Memutuskan untuk menunggu sampai sepi, daripada harus bertabrakan dengan yang lain.

"Kok gak ke luar?"

Suara seseorang membuat Aura menolehkan kepalanya. Sudah ada Yudith berdiri di belakangnya seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. "Rame, malesin."

"Yaudah, bareng."

Aura mengangguk. Keduanya menepi di salah satu sudut yang jauh dari keramaian. Membicarakan beberapa hal menyangkut kelulusan.

"Btw, alhamdulillah ya kamu bisa nyelesain tugas OSIS sampe akhir," tutur Yudith.

"Iya, alhamdulillah. Ini juga karna lo kok. Lagi pula, emang ada yang gak bisa di dunia ini?"

"Ada."

"Apa?"

Aura memandangnya penasaran. Mungkin, ia akan menangkis jawaban Yudith jikalau pernyataannya salah. Karena menurutnya, nothing is impossible, impossible is nothing.

"Ngelupain kamu."

Sungguh, Aura tidak bisa membantah apa-apa lagi.

* * *

Senyumnya semakin mengambang ketika kembali mengingat sekeping kisah putih abu-abunya. Bahkan, tak sedikit orang memandangnya curiga. Mengira bahwa wanita berparas ayu dan tampang bijaksana ini sudah tidak waras.

Telinganya pun sampai tidak berfungsi---terlalu asik mengenang masa lalu. Mengabaikan panggilan pria yang kini melambaikan tangannya tepat di depan mata.

"Aura! Hei!"

Lamunannya buyar. Seketika ia tampak gamang. Ia memejam matanya sejenak. Menetralisir kegugupan yang sungguh membuatnya harus menahan malu sekaligus takut.

"Kamu kenapa?"

Sosok yang kini berada di hadapannya, sibuk menyerukan namanya, lalu bertanya keadaannya dengan lembut tak lain adalah Deva. Devano Kazuya, pria keturunan Jepang yang selalu berada di sampingnya. Dan mungkin, jika Tuhan berkehendak, keduanya akan melaksanakan pernikahan secepatnya.

"Gapapa." Aura menjawab singkat. Tidak ingin membuat Deva khawatir, pula mendapat pertanyaan lain yang akan membuatnya sulit menjawab.

"Syukurlah. Dari tadi aku nanya, kita mau pestanya di Indo apa Singapura? Biar bisa cari Wedding Organizer secepatnya."

Matanya terbelalak. Sedari tadi, calon suaminya berbicara mengenai mekanisme pernikahan dan ia malah sibuk mengingat lelaki lain?

"Ke--kenapa buru-buru?" Bicaranya terputus-putus. Sudah berapa lama ia melamun?

"Bukannya kamu sendiri yang dulu pengen cepat nikah?"

Jika pertanyaan tersebut diajukan saat ia masih duduk di bangku perkuliahan, atau saat baru menjadi karyawan magang, mungkin Aura akan menjawabnya 'iya'. Membayangkan memiliki keluarga kecil yang harmonis dan penuh kasih sayang menjadi impiannya saat itu. Tapi sekarang setelah semua yang ia alami hampir dua bulan yang lalu, rasanya sangat sulit untuk tidak mengatakan 'tidak'.

Setelah melirik jam tangan dan melihat jarum pendek berada di angka dua, ia menghela napas.

"Istirahat udah selesai. I have many things to do. Bisa, kita tunda pembicaraan ini?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top