23) Pilihan
Maaf, kemarin lupa update✌
* * *
"Apa lo yakin, gak akan nyesal?"
Pertanyaan Bella membuat Aura terdiam beberapa saat, enggan menjawab barang satu kata. Memilih menikmati keramaian orang berlalu-lalang seraya menyeret koper dengan berbagai warna.
Aura, Bella, Yasmin dan kedua orang tua Aura sedang berada di bandara. Tujuannya tentu saja untuk mengantarkan Aura, sebab esok ia harus tiba di Singapura dan memastikan kantor yang sudah ia tinggalkan selama satu triwulan tersebut baik-baik saja.
Mungkin, memilih pergi di saat seperti ini merupakan keputusan yang tepat. Memilih pergi, di saat hatinya menyuruh untuk tetap tinggal. Tapi apa boleh buat, Aura tidak ingin menyiksa batinnya lebih lama lagi, terlebih, harus menyaksikan akad nikah Yudith dan Syifa minggu depan.
Aura menghembuskan napas pelan. "Insyaa Allah, gue yakin."
Yasmin mengelus bahu Aura. "Kalo ada apa-apa, kabarin gue."
"Tenang aja, Yas. Ada Bella yang cantik jelita, Aurora pasti aman." Bella mengacungkan jempolnya, tak lupa pula mengerlingkan sebelah matanya.
Yasmin memutar bola matanya. Sesungguhnya, sikap terlalu percaya diri inilah yang selama ini dan nanti akan ia rindukan. Berpisah dengan sahabatnya, dan menunggu jarum jam berputar untuk kembali bertemu.
Aura menghampiri kedua orang tuanya, ibu dan adik tirinya. "Yaudah, semuanya, Aura dan Bella pergi dulu ya. Nanti, kalau kontrak kerja udah selesai, Aura pulang lagi. Assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam."
Kedua wanita bertubuh ramping itu menghilang dari pandangan. Aura menjinjing pegangan kopernya erat-erat. Bertekad, meyakinkan hatinya, bahwa ini memang jalan yang terbaik.
Perintah dari salah seorang petugas bandara terdengar, yang menyerukan bahwa pesawat menuju Singapura akan berangkat dalam waktu dua puluh menit. Para tourist berambut pirang yang mungkin baru selesai menghabiskan liburannya, juga para orang dewasa berwajah asli Indonesia yang sepertinya berkepentingan sama seperti Aura dan Bella berbondong-bondong mengantri menuju ke pesawat.
* * *
Setelah dua jam lebih perjalanan, akhirnya pesawat yang ia tumpangi berhenti. Aura dan Bella berjalan tertatih, merasakan kepalanya berdenyut. Mungkin, efek jetlag masih amat terasa mengingat kondisi udara yang tidak bersahabat dan memgakibatkan jalanan sedikit terganggu.
Beberapa langkah tidak jauh dari mereka, terdapat seorang pria bertubuh tegap melambaikan tangannya. Bersikap girang, berteriak histeris, seolah menyambut kedatangan artis Korea yang akan melaksanakan konser. Berbeda dengan pengunjung lain yang hanya menunggu kerabatnya dalam diam, sembari memainkan ponsel.
"Deva, jangan buat malu Indonesia lo di sini!" gerutu Bella sebal.
Deva terkekeh. "Yah mau gimana, gue kan excited mau ketemu calon istri he he he."
Bella mengerutkan keningnya dalam-dalam. Perkataan Deva terdengar ganjal. Memang, seperti biasa Deva akan melontarkan gombalan-gombalan, merayu Aura di depan umum, bahkan jika boleh, memanggil dukun untuk memelet Aura. Namun, sedikit pun Deva tidak pernah menyinggung suami-istri.
"Aura belum bilang?"
Aura menggigit bibir bawahnya. Sementara Bella, menggeleng sambil menatap penuh tanda tanya.
Deva menyodorkan kelima jarinya. Menunjukkan sebuah cincin terpatri indah di jari manisnya. Berwarna perak, tampak sederhana, namun membuat siapa pun merasa iri.
"Kalian?"
* * *
"Gue gak nyangka lo bisa nutupin semua dari gue dan Yasmin."
Bella menutup ruang kerjanya sesaat setelah mereka sampai di perusahaan tempat Bella bekerja. Kebetulan, Aura diutus untuk menemui salah satu karyawan yang tak lain adalah Bella untuk menjalin kerjasama. Semua akan berjalan lebih mudah, sehingga mereka tidak membahasnya terlalu lama.
Aura mengambil duduk di hadapan Bella dengan gugup.
"Gue udah mau bilang, tapi..."
"Tapi apa? Lo udah nerima lamaran Deva secara gak langsung. Well, walaupun belum resmi di depan om Werfi, tapi tetep aja, lo udah terikat sama dia. Kenapa lo masih santai-santai, dan gak cerita apa pun ke kita?"
Bella menarik jemari Aura. Melihat jari manisnya yang masih bersih---tidak ada apa pun melingkar di dalamnya. "Cincin lo mana? Gak dipake?"
Aura menggeleng. "Gue cuma gak mau---"
"Apa lagi sih, Ra? Gue gak ngerti ya sama jalan pikiran lo. Gue gak mau tau, lo harus jelasin semuanya sama gue!"
Aura menutup telinganya menggunakan kedua tangan. Bella berkata seperti aliran air sungai, deras dan tidak bisa berhenti. Untuk menjawabnya, sungguh, ia tidak tahu harus memulai dari mana.
Sewaktu ia akan pulang ke Indonesia, Deva yang mengantarnya, sementara Bella masih harus mengurusi pekerjaannya. Jadi, tepat saat di perjalanan Deva menyerahkan sebuah kotak merah, serta secarik kertas berupa pertanyaan, 'Will you be mine?' dan entah angin apa yang kala itu bertiup, Aura mengangguk sebagai balasan.
"Terus kenapa lo masih galauin Yudith, di saat lo udah punya Deva?" tanya Bella setelah mendengar cerita Aura. Berhati-hati, agar tidak melukai hati sahabatnya.
"Gue... gak tau."
"Lo ngelakuin ini bukan karna kasihan sama Deva 'kan?"
Aura menunduk. Menegak salivanya---mengurangi kegugupan. Berbicara dengan Bella sama halnya seperti sedang wawancara lamaran kerja, terlebih ruangan saat ini hanya diisi oleh mereka berdua, sepi dan menegangkan.
"Gue..."
"Ra, gue tau lo masih suka, bahkan cinta sama Yudith, dari SMA sampai sekarang. Sama seperti Deva, yang selalu mencintai lo. Lo boleh egois soal cinta, tapi lo gak bisa maksain kehendak. Gak selamanya, dunia memihak ke lo.
"Hidup ini pilihan. Jadi sekarang, lo tinggal pilih, ngelupain Yudith yang lo cinta, atau ngelepas Deva yang cinta sama lo."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top