22) Tamu istimewa

Ting tong. Ting tong.

Bel di halaman depan berbunyi. Aura meletakkan serbet yang ia kenakan untuk membersihkan meja. Setengah berteriak saat berkata, "Iya, sebentar!"

"Assalamu'alaikum," ucap suara di balik pintu.

Aura yakin, itu bukan suara papanya. Pasti ada tamu lain. Sanak sadara, atau boleh jadi rekan bisnis mamanya.

"Wa'alaiku---" wajah cerianya mendadak hilang saat melihat sepasang indan sedang tersenyum kepadanya---satu tulus dan satunya kikuk.

Perempuan berkhimar panjang memeluknya erat. Aura hanya diam, tidak membalas, tidak juga menolak. Matanya fokus pada pasangan si perempuan.

Terbata, ia berucap, "S-syif-fa? Yu-dith? A-yo masuk."

* * *

Suasana makan siang ini hening. Hanya sesekali ajakan mama untuk menambah porsi atau ocehan Arya dan Raya---adik tiri Aura.

Aura sempurna tidak berbicara sejak kedua tamu 'istimewa' itu menginjakkan kaki di rumahnya. Hanya bisa mengangguk, menggeleng atau tersenyum tipis saat Syifa bertanya tentang karirnya. Papa dan ibu tirinya juga tidak banyak bertanya. Sepertinya mama sudah berkompromi mengenai hal ini.

"Kamu tahu, Aura? Yudith seneng banget waktu kalian bertemu di bandara. Dia bilang kamu sudah berhijab dan semakin cantik," kata Syifa ketika keduanya berada di gazebo.

Aura tersenyum tipis. Yudith memujinya?

"Itulah alasannya aku minta dipertemukan dengan kamu. Yudith benar, kamu tumbuh menjadi wanita yang cantik. Tapi kayaknya... wajah kamu kusut, kenapa? Ada masalah?"

Aura menggeleng. "Biasalah, kerjaan kantor."

Aura tidak harus mengatakan yang sesungguhnya 'kan?

"Itu kalimat pertama yang aku dengar tiga jam terakhir." Syifa bergurau.

Aura termangu. Merutuki kebodohannya yang memikirkan ego, layaknya seorang anak kecil. "Sorry."

"Santai aja, Aura." Syifa tertawa kecil. Melirik Yudith yang sedang termenung---sama seperti Aura, tidak banyak bicara---bergantian melirik perputaran jarum jam.

Menepuk jidat pelan. "Astaghfirullah, lupa, hari ini ada janji sama WO. Aku pamit yah, Ra. Assalamu'alaikum."

Yudith mengambil kunci mobil. Bangkit. "Aku antar."

Syifa mengibaskan tangan. "Gak usah. Aku naik taksi online. Lagipula, kamu mau ngobrol sama Aura 'kan?"

* * *

"Aku gak tau harus mulai dari mana. Tapi Aura, sebentar lagi aku dan Syifa akan menikah. Menikah... terjun ke kehidupan yang baru. Menjalin ikatan, lebih dari sekedar pertemanan." Yudith membuka percakapan setelah hampir setengah jam keduanya berdiam diri.

Aura memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak sanggup menatap Yudith, bahkan untuk sedetik. Membiarkan angin menjamah pipinya.

Cuaca ibukota hari ini indah, tidak mendung, tidak pula panas. Suasana yang tepat untuk mengobrol ringan dengan sanak saudara, ditemani secangkir teh manis dengan sebungkus biskuit renyah. Walau sepertinya, baik Yudith maupun Aura tidak membutuhkannya untuk saling bicara.

"Syifa mencintaiku... tepat seperti yang kamu katakan. Dia mencintaiku, jauh sebelum kita saling bertegur sapa.

"Butuh dua tahun untuk meyakinkan diri, memutuskan untuk mengucapkan janji sehidup semati. Dan kemarin... aku telah melamarnya di depan semua orang, kecuali kamu.

"Aku akan menikah Aura, menjadi suami orang. Tapi, setelah pertemuan di bandara, setelah Yasmin menyerahkan surat itu. Semua terasa ganjal...."

Aura menggigit bibir bawahnya. Sedikit terlonjak. Tangannya meremas celana kulot yang ia kenakan, sekuat tenaga menahan tangis.

"Waktu kamu bilang kita harus berhenti, aku bener-bener gak ngerti. Berhenti berkomunikasi, berarti, berhenti dalam segala hal. Rasanya berbeda, Aura."

Aura menggeleng. Menggigit bibirnya semakin keras. Air mata sudah membendung di kantungnya.

"Berhenti, Yudith! Sudah kubilang, surat itu hanya masa lalu. Hanya perasaan sesaat. Hanya sekadar cinta monyet. Kenapa harus dipermasalahkan lagi, hah?"

Aura merasakan angin kencang berhembus menerpa permukaan kulitnya. Mengipas jilbab yang menutupi kepala dan rambutnya. Mungkin, hujan akan turun sebentar lagi. Menyuarakan rindunya lewat tetesan air.

Berbeda dengan Aura yang gugup, pria di sampingnya ini justru memasang tampang percaya diri. Hanya saja... ada aura yang belum pernah Aura lihat terpancar lewat manik matanya.

Banyak orang berharap kembali ke masa kanak-kanak saat dewasa. Berharap tidak perlu menghadapi masalah-masalah yang terlalu menguras pikiran. Dan untuk kali ini saja, biarkan Aura mengharapkan yang sama.

"Kenapa kamu terlalu sepele menanggapinya?"

"Terus apa? Aku harus apa? Bukankah ini sudah bagian dari takdir? Kalian saling mencintai, apa lagi yang kamu ragukan? Kenapa mengikutsertakan aku ke dalam hubungan kalian?"

Yudith menghela napas kasar. Membiarkan pertanyaan tersebut hilang terbawa angin. Bergeming, tidak mengucap sepatah kata pun.

Aura mengambil sesuatu dari kantung celananya. Memperlihatkannya kepada Yudith. "Aku akan kembali ke Singapura. Bukan hanya kamu, aku juga akan menikah. Barang ini buktinya."

Yudith terperanjat. Melihat aksesori perak berukir indah tersebut, membuatnya benar-benar kehabisan kata-kata.

Dengan suara parau, Aura berkata, "Demi Allah aku ikhlas. Menikahlah...."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top