17) Sahabat terbaik
Dari kejauhan, matanya menangkap sosok sepasang manusia sedang berbincang serius. Selangkah demi selangkah ia tapaki, mendekati sumber suara. Mendengar namanya disebut, ia kembali mendekatkan telinganya.
"Sandiwara yang hebat, Deva. Lo pake topeng yang gak bisa dibuka siapapun, kecuali gue."
Aura mengenal jelas suara yang masuk ke indera pendengarannya. Milik Yasmin.
"Yasmin?" Deva memasang ekspresi terkejut dengan kedatangan Yasmin yang tiba-tiba, mengusik ketenangannya.
"Kenapa Dev? Kenapa Aura?" Yasmin memiringkan senyumnya.
Aura melebarkan matanya. Berusaha sekuat mungkin menutup mulutnya rapat-rapat untuk tidak bersuara.
"Aura gadis yang baik, kita semua tahu itu."
Yasmin menyangkal, "Dan lo manfaatin keadaan buat dekat sama dia?"
Deva tertawa pelan. "Manfaatin keadaan? Buat apa? Toh, dia gak akan pernah mandang gue."
"Bagus, kalo lo sadar. Kalo Aura tahu semuanya, mungkin hubungan kalian gak akan lebih dari sebatas teman."
"Kita memang berteman, kan?"
Yasmin menggeleng. "Lo segalanya buat Aura. Abang? Hahahaha. Tapi sayang, hatinya cuma buat Yudith."
"Abang? Itu lebih baik dari teman."
"Gue harap, lo kubur perasaan itu dalam-dalam sebelum semua berakhir sia-sia," tutup Yasmin.
Aura berhambur ke tubuh Deva. Memeluk erat sahabat lelakinya. Deva balas memeluknya. Mengusap punggung Aura. "Maafin gue, Ra. Semua ngalir gitu aja tanpa bisa gue cegah. Gue---"
Aura melepas pelukannya. Menggeleng sambil tersenyum haru. "Enggak, Dev. Gue yang salah. Gak pernah sadar sama perasaan lo. Gue emang sahabat yang jahat ya?"
Yasmin yang melihat kejadian itu ikut tersenyum bahagia melihat kedewasaan Aura. "Kayaknya, gue harus ke luar deh. Bye," ucapnya kemudian meninggalkan Aura dan Deva.
Aura melanjutkan kata-katanya. "Maaf, gue udah marahin lo waktu lo mukulin Yudith sampe babak belur. Tapi, beneran, gue gak sanggup liat dia terbujur gitu. Rasanya, gue kayak ikutan disiksa. Sakit, Dev."
"Maaf, Aura."
"Apa setelah ini, lo akan membenci gue, seperti apa yang Yasmin bilang?" tanya Deva.
Aura mengernyit. "Benci? Untuk apa? Lo selalu ada buat gue. Cuma gara-gara perasaan, kita harus musuhan gitu? Enggak, Deva. Lo terlalu berharga buat disia-siain."
"Oke, jadi kita damai nih?"
"Damai." Mereka saling bersalaman dan tak henti-henti mengukir senyum.
* * *
Aura dan Deva menikmati pemandangan di atap sekolah. Menunggu matahari terbenam. Menunggu langit menyambut bintang.
"Lo tau, kenapa bintang cuma bersinar di malam hari?"
Aura menoleh. "Kenapa?"
"Karna menurutnya, membiarkan matahari bersinar sepanjang hari, merelakan dirinya digulung kegelapan, adalah hakikat cinta yang sebenarnya. Mencintai, tanpa harus memiliki. Membiarkan yang disayang bahagia, walaupun bukan sama kita.
"Itulah alasan gue melindungi lo. Dari Yudith dan cowok-cowok sebelum dia. Mendengarkan semua curhatan lo yang kadang bikin gue iri sendiri. Ngasih lo solusi, padahal gue sendiri cuma akan nyesal, kalo ternyata solusi itu berhasil.
"Karna memiliki lo cuma khayalan, gue gak bisa maksain itu. Dan membiarkan lo bahagia dengan cinta yang lo pilih, jadi salah satu alasan gue buat tersenyum lagi. Karna kebahagiaan lo, kebahagiaan gue juga."
Aura sebisa mungkin tidak meneteskan air matanya. Lagi-lagi memandang Deva dengan haru. "Gue yakin. Suatu saat nanti, ada perempuan yang jauh lebih pantes dapetin cinta lo yang setulus itu. Dan pasti, gue jadi orang pertama yang bahagia dengan kebahagiaan baru yang lo buat."
Deva menggenggam erat tangan Aura. Membawanya ke dada untuk merasakan detak jantungnya saat ini. "Nama lo akan tetap disini, Aura. Gue akan terus mencintai lo, dengan selalu berada di samping lo. Jadi satu-satunya orang yang ngebela, disaat semua orang nyuruh lo mundur.
"Dan gue harap, lo juga akan mencintai dengan cara yang sama. Mencintai, dengan seikhlas hati."
[Flashback off]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top