16) Berhenti
Bugh bugh.
Bogeman demi bogeman disodorkan kepadanya. Tampak si lawan seperti sedang menyalurkan semua emosinya. Hampir tidak ada bagian tubuh yang tersisa, semua habis disiksa.
Pipinya lebam. Tangan-kakinya luka parah, mengeluarkan darah tanpa henti. Keningnya membiru. Dari hidungnya juga mengalir darah segar. Tapi penampakan itu sepertinya tidak cukup baginya.
"S-salah-ku ap-a Dev?" tanya korban terbata-bata. Napasnya terengah-engah, kesulitan menghirup oksigen.
Lagi, pukulan-pukulan itu melayang ke arahnya. "Salah lo? Lo masih nanya salah lo apa?"
Kemudian segerombol siswa mengerubungi mereka. Beberapa hanya melihat, beberapa menyalakan ponsel untuk merekam dan beberapa berusaha memisahkan.
"D-Dev, ak-ku g-gak ta-han l-agi."
Tapi yang disebut namanya justru tidak peduli. Semakin banyak orang yang menghalanginya, semakin gentar pula dirinya.
"DEVA!"
Kegiatan siksa-menyiksa itu terhenti. Deva menurunkan tangannya. Memundurkan langkahnya.
"Eh, belum pulang lo, Ra?"
Deva menampakkan cengirannya. Mencoba untuk berbasa-basi.
"Gausah ngalihin topik!"
Aura melirik ke arah lelaki yang sedari tadi dipukul-tendang oleh Deva. Sedetik kemudian wajahnya memerah. "Deva, lo?"
"M-maafin gue, Aura. Gue...gue gak berniat buat nyiksa Yudith. Gue cuma... kesel sama dia. Karna dia udah nyakitin lo."
Aura menggeleng. Tangan kanannya menampar pipi kiri Deva. "Tega ya lo. Yudith itu sahabat lo! Cuma gara-gara gue, lo nyiksa dia? Kenapa Dev, kenapa?! Sumpah, gue kecewa sama lo."
"Aura, gue bisa jelasin semuanya."
"Terus kalo gue denger penjelasan lo, apa itu bisa bikin kondisi Yudith pulih? Apa luka-lukanya bisa sembuh? Apa hati gue bisa berhenti ngerasain sakit?!" Kondisi lapangan semakin ricuh. Anak-anak yang menonton sibuk berbisik-bisik satu sama lain.
"Oke, gue gak akan ngasih penjelasan. Tapi gue mau tanya, kenapa lo masih belain dia, disaat dia udah jadi alasan lo sakit? Kenapa lo masih belain dia, setelah dia bersikap kasar?" suara Deva bergetar.
"Dan kenapa, kenapa lo lebih milih dia daripada gue yang selalu melindungi lo? Gue, yang selalu ada buat lo? Kenapa Aura?!"
Air mata Aura tumpah tanpa bisa ia cegah. Dadanya bergemuruh. Naik-turun. Pertanyaan Deva seolah menamparnya keras-keras. Seolah, ia adalah sahabat terburuk, yang lebih memikirkan orang yang baru ia kenal daripada sahabatnya sendiri.
Aura memilih untuk menghentikan perdebatan. Menghampiri Yudith yang nyaris kehilangan oksigen.
"Yang cowok, gue minta tolong dong, angkatin Yudith ke UKS."
Mereka dengan sigap memopoh tubuh Yudith bersama-sama dan mendahului Aura untuk pergi ke UKS.
"Gue harap, kita jaga jarak aja." Itu kata-kata terakhir yang Aura ucapkan sebelum meninggalkan Deva.
* * *
Mereka sedang berada di Rumah Sakit Sentosa. Zain dan teman-teman yang kebetulan masih berada di sekolah dimintai tolong oleh Aura untuk memindahkan Yudith ke rumah sakit setelah dokter di sekolah menyatakan lukanya terlalu parah.
Aura mengaitkan jemarinya ke jemari Yudith. Menatap wajah polos yang sedang tertidur pulas dengan perasaan bersalah.
"Maafin gue, Dit. Gara-gara Deva belain gue, lo yang jadi korbannya."
Aura menyandarkan kepalanya bersisian dengan kepala Yudith. Memejamkan matanya sejenak untuk menghilangkan penat.
Namun matanya kembali terbuka saat tangan yang digenggamnya bergerak, memisahkan diri.
"Udah sadar?"
Yudith membuka matanya perlahan. "Aura? K-kamu?"
Tangannya refleks menyentuh pipinya yang lebam. "Aw," ringisnya.
"Jangan dipegang, lukanya belum kering."
"Kamu nungguin aku?"
Aura menanggapinya dengan tersenyum tipis.
"Gue belum sempat ngabarin Syifa, maaf ya Dit. Gue gak punya nomornya."
Yudith menggeleng kaku. "Aku bukan lagi bahas Syifa. Aku cuma... bingung. Kamu nungguin aku?"
"Eh- gue... enggak. Gue juga baru sampe. Tadi, temen kelas yang nganterin lo disini. Sorry banget yah, gara-gara Deva lo jadi babak belur," jelasnya---berbohong. Padahal jelas-jelas Aura yang memangku kepala Yudith selama di perjalanan dan dua temannya duduk di jok depan. Melupakan makan siang dan lebih memilih menunggu Yudith hingga siuman.
"Gak apa-apa. Mungkin, Deva juga lagi emosi. Oh ya, soal kemarin---"
"Well, it's okay. Mungkin gue aja yang udah mikir terlalu jauh. Gausah dibahas lagi. Setelah ini, gue rasa kita harus... berhenti."
"Berhenti? Maksudnya?"
Aura menghela napas. Menyampirkan tasnya di badan. "Berhenti berkomunikasi, Yudith."
"Kenapa?"
"Apa lo ngerti kalo gue jelasin alasannya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top