15) Kecewa

Selamat pagi!

Maaf banget, kemarin lupa update. Ada beberapa tugas yang perlu dikerjakan hehe.

Enjoy reading!

**********

"Gue pikir, anak baik kayak lo gak berani cabut, Ra," ucap Zain saat mereka---kebetulan---sama-sama sampai di koridor lantai satu.

Zain melanjutkan perkataannya. "Tapi asli, lo nekat banget. Lo OSIS dan lo berani cabut dari sekolah hahahah. Salut gue, Ra." Zain bertepuk tangan setelahnya.

"Gue cuma menikmati masa-masa SMA gue. Cukup sekali dalam seumur hidup. Dan ingat, gue berani cabut, gue bandel, yang salah itu gue. Jangan bawa-bawa OSIS. Sama kayak agama, kalo orangnya khilaf yang disalahkan itu ya orangnya, bukan agamanya."

Aura tidak tahu, mengapa perkataan tersebut lancang keluar dari mulutnya. Padahal ia tahu niat Zain semata untuk bercanda, namun seolah dipancing, emosinya tersulut begitu saja.

Zain terkekeh. "Eitss santai dong, kakak OSIS. Gue juga gak nyalahin organisasinya kok. Tapi beneran, lo dan Yasmin hebat waktu mutusin buat ikut cabut sama kita-kita. Gue pikir, hati kalian udah tertutup sama OSIS."

Aura menghela napas. "Apa separah itu gue sama Yasmin di mata kalian, sampe mikir kalo kita berdua gak mau gabung?"

"Hahahaha sorry."

Langkah mereka terhenti saat melihat Yudith berdiri di ambang pintu kelas 12 IPA 1. Zain mengisyaratkan kepada Aura lewat lirikan mata, gue duluan ya!

"Zain! Jangan tinggalin gue, ih!"

Aura berkacak pinggang. Menatap Yudith dari ujung kepala sampai ujung kaki.

"Mau ngapain lo kesini?"

Yudith diam. Lantas Aura malas memperpanjang dialognya dan hendak menerobos tubuh Yudith yang menghalanginya.

"Geser!"

"Gak."

"Mau lo apa?! Gue mau masuk, bentar lagi bel."

Aura mendesis melihat Yudith yang tidak bergerak sesentipun. Menyerah. Menarik tangan Yudith menjauhi kelas untuk meminta keterangan dari lelaki itu.

"Kenapa kamu cabut semalam?" tanya Yudith. Aura terkejut. Seingatnya, lelaki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya ini tidak meliriknya sama sekali kemarin.

"Peduli apa lo?" Aura bersedekap dada. Menantang Yudith lewat tatapan mata. Yang ditantang justru mengalihkan penglihatannya, tidak sanggup.

"Aku tanya, kenapa kamu cabut semalam?!" Yudith mengulangi pertanyaannya dengan nada tinggi, membuat Aura sedikit terlonjak. Pasalnya, tidak pernah sekalipun ia mendengar Yudith berteriak.

"Lo kena angin apa sih Dit? Kemaren lo liat gue kayak orang gak kenal, tiba-tiba sekarang lo nanyain kenapa gue cabut?"

"Kalo orang nanya itu dijawab, bukan nanya balik," tukasnya kasar.

"Kenapa cabut semalam? Kamu gak sadar apa, udah ngecewain orang tuamu. Atau mungkin, kamu gak pernah diajarin untuk menghargai?"

"Kalo iya emangnya kenapa?! Orang tua gue gak ngajarin gimana jadi anak yang baik. Apa lo lupa, anak kurang ajar di depan lo ini berasal dari keluarga broken home?!"

"B-bukan gitu maksudku, Aura."

Aura menatapnya heran. "Ternyata setelah mahir memainkan hati perempuan, lo udah jago ngomong kasar ya, Dit? Lo berubah. Gue kecewa!"

Aura berlari meninggalkan Yudith yang memaku di tempat.

* * *

"Udah gue bilang, Yudith gak sebaik yang kalian semua pikirkan. Waktu SMP, dia juga gitu. Berubah gitu aja," ujar Deva setelah mendengar curhatan Aura.

Sekarang Deva, Aura dan Yasmin sedang duduk di kantin sambil menunggu Zain yang sedang piket di kelas sebelum mereka mengerjakan tugas kelompok biologi.

"Lo yakin, Dev? Secara, casing Yudith itu bagus banget. Ganteng, pinter, alim dan banyak lagi. He's perfect," puji Yasmin, memaparkan fakta keunggulan yang Yudith miliki.

Deva meneguk teh manisnya sampai habis. Kemudian berkata, "Memang, dia baik. Dia alim. Tapi, dia emang suka berubah-ubah kayak bunglon. Like... mengikuti arus gitu. Setiap orang berhak berubah 'kan?"

Aura menidurkan kepalanya di atas tumpuan tangan. Mendengarkan kedua sahabatnya berceloteh tentang Yudith dan dirinya.

"Kalian kan temen deket, apa Yudith gak pernah cerita tentang kedekatannya sama cewek lain?" tanya Yasmin, seakan menyuarakan pikiran Aura.

Deva menggeleng. "Mulut Yudith ketutup rapat-rapat soal perasaannya sendiri."

"Udah dek, masih banyak cowok lain yang lebih baik dari Yudith. Nih, abang contohnya." Deva dengan bangga menepuk-nepuk dadanya. Membuat Yasmin seketika ingin muntah.

Aura berdecak. Memasang tampang melas, sedih, bercampur gundah.

"Harusnya, dari awal gue tau diri aja. Yudith itu alim, ganteng, pinter. Mana mau orang kek dia sama gue. Udah jelas lah, dia lebih milih Syifa yang notabenenya orang paling berpengaruh di sekolah. Bagusan Syifa ke mana-mana.

"Harusnya, keputusan gue buat gak suka sama Yudith, buat nganggep Yudith kemaren kejadian aja. Biar gue gak jatoh kekgini."

Aura menarik napasnya dalam-dalam.

"Harusnya, gue gak pernah kenal sama Yudith sama sekali."

Yasmin hanya diam mendengarkan, tidak berniat menyangkal, karena hanya akan membuat semua semakin rumit. Di seberangnya, Deva tertawa kecil.

"Muka udah jelek pake ditekuk segala, makin jelek tau, Ra," ledek Deva kemudian menarik Aura ke pelukannya.

Ini sudah terlalu jauh. Yasmin tahu, ada sesuatu di balik semua ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top