14) Cabut
Tadi malam, papanya kembali berkunjung ke rumah. Lagi, membawa istri baru dan dua orang anaknya.
Aura yang jelas-jelas tidak suka dengan kedatangan mereka langsung mengunci pintu kamarnya rapat-rapat.
"AURA GAK MAU KELUAR! AURA GAK MAU KETEMU SAMA ORANG ASING!"
Ia hanya meracau, berteriak keras-keras hingga memekakan telinga seisi rumah, terutama papa yang sedang mengetuk pintu kamarnya sambil berseru, "Aura, papa datang nak! Buka pintunya!"
Berulang-ulang, namun Aura tetap tidak mau keluar. Bahkan ia melupakan makan malamnya. Dari luar, samar-samar ia bisa mendengar aksi adu mulut antara papa dan mamanya.
"Aura belum bisa menerima semuanya, Mas. Datanglah nanti esok, mungkin Aura sudah lebih dewasa." Retno menghela napas.
"Apa ini rencanamu, Retno? Mengajak Aura berkompromi untuk membenciku?"
Werfi menatap Retno tajam, membuat mantan istrinya itu kepalang kaget. Retno menggeleng. Setetes air matanya membasahi pipi.
"Tidak, Mas. Sama sekali tidak. Demi Tuhan, aku gak pernah sekalipun menjelekkan keluarga baru kamu ke Aura," ucapnya parau.
"Lalu kenapa? Kenapa dia jadi membantah seperti itu? Bukankah itu karna didikanmu yang salah?"
"Apa maksudmu? Aura seperti itu juga karenamu, karena keegoisanmu yang lebih memilih wanita itu daripada darah dagingmu sendiri. Kamu bahkan gak mikirin konsekuensinya dulu."
Rahang Werfi mengeras begitu mendengar penuturan Retno yang menusuk hatinya.
Di dalam kamar, Aura menggigit bibirnya keras. Menahan tangis. Seperti yang Aura lakukan jauh sebelum perceraian itu terjadi; tidak ingin menambah masalah orang tuanya dengan menangis dan mengacaukan yang sudah kacau.
"Jangan asal ngomong kamu. Saya juga begini karena--"
"Karena apa Mas? Apa salahku?" Retno terduduk di lantai---terlalu lemah untuk berdiri.
Kemudian terdengar langkah kaki tertatih dari tangga. Hera---istri Werfi muncul dari kejauhan. Mimiknya menunjukkan bahwa ia merasa bersalah. "Maafkan aku, Mbak. Maaf, aku yang telah menjadi sumber masalah dari keluarga kalian."
Retno menggeleng. Tersenyum tipis kepada Hera. "Enggak, Hera. Ini bukan salahmu. Keluarga ini memang sudah tidak bisa dipertahankan dari dulu."
Hera berlari menghampiri Retno dan mendekap mantan istri suaminya erat. Berkali-kali menggumamkan kata maaf. Retno membalasnya, mengatakan semua baik-baik saja. Sementara Werfi, matanya meredup melihat pemandangan di depannya. Hatinya seketika luluh.
Mungkin benar, dia terlalu egois. Menuntut banyak kepada Retno sejak dulu. Menyalahkan Retno jika kejadian buruk menimpa Aura. Tapi, otaknya masih belum terima. Maka ia memutuskan untuk pergi dan turun ke bawah.
Setelah itu Aura tidak mendengar apa-apa lagi. Hanya helaan napas ibunya. Dan suara mobil meninggalkan pelataran rumahnya. Papa sudah pergi.
"Jadi ikut gak?" Zain membuyarkan lamunannya.
"Eh?"
"Lo ikut cabut gak? Kalo ikut, tasnya dilempar ke jendela. Nanti ditangkap sama Sela. Kita turun dari tangga depan aja, aman kok." Zain berjalan lebih awal, meninggalkan Aura yang masih menimbang-nimbang. Mengingat, reputasinya di sekolah selaku pengurus OSIS harus dijunjung tinggi.
"Cabut sekali gak bakal bikin nilai turun kali ya," gumamnya. Lantas melemparkan tasnya lewat jendela dan bergegas ke bawah.
Kemudian, Aura dan beberapa teman yang lain mengosongkan kelas dan berjalan santai agar tidak dicurigai.
Sudut mata Aura menangkap sosok Yudith dan Syifa sedang tertawa puas, entah menertawakan apa. Yang jelas, Aura benci melihatnya. Aura benci melihat Yudith tertawa bersama yang lain, bukan bersamanya.
Aura benci, karena terlalu menyukainya.
Tahan aku, Dit. Tahan aku.
Tahan aku untuk gak cabut dari kelas.
Aura terus menyerukan harapannya di dalam hati. Berjanji, sepatah kata saja dari Yudith akan ia turuti, bahkan mengurungkan niatnya membolos pelajaran.
Tapi, Yudith hanya melirik sekilas ke arah Aura. Tidak berniat untuk memanggilnya. Wajahnya mendatar saat tahu Aura sedang memperhatikan gerak-geriknya.
Syifa ikut menoleh ke arahnya. Menyapa Aura riang sambil melambaikan tangan. "Hai Aura!"
Aura tersenyum tipis. Sedetik kemudian ia kembali melangkahkan kakinya. Menyusul teman-teman yang sudah sampai di lapangan parkir lebih awal.
"Zain, Sela, tungguuuu!"
Ternyata benar, lo emang gak pernah suka sama gue, Yudith. Dari cara lo natap gue aja, beda sama cara lo natap Syifa.
Maafin gue, Yudith. Maaf, gue berubah jadi orang jahat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top