12) Puisi dan Bola

Setiap setahun sekali SMA Phantasia mengadakan acara yang disebut dengan PORSENI, Pekan Olahraga dan Seni. Perlombaan yang diadakan pun macam-macam. Juga dilengkapi beberapa jajanan dari luar yang tidak dijual di kantin.

Aura selaku pengurus OSIS pun sibuk mengerjakan ini-itu. Ia mengenakan baju panitia berwarna putih terang serta name tag menggantung di leher.

Bersama Vino, ia mengawasi pertandingan sepak bola. Keduanya masih kurang komunikasi dan sedikit canggung, namun profesionalitas harus tetap dijunjung tinggi.

"Wah seru nih, IPA 2 lawan IPA 3," serunya.

Aura mengambil microphone dan mengumumkan informasi yang baru dibisikkan oleh Bella.

"Diinformasikan kepada seluruh tim yang mengikuti pertandingan sepak bola diharapkan datang ke meja panitia untuk mengisi line up dan membayar uang deposit."

Tidak sampai lima menit, beberapa perwakilan dari tim sepakbola mulai mendatangi meja panitia sepak bola yang terletak di pinggir lapangan.

Mata Aura berhenti mengerjap saat mendengar suara lelaki yang kini berada di hadapannya. "Ra, minta line up."

"Eh, Yudith. Lo main? Bajunya mana?" tanya Aura sembari mengambil secarik kertas dan menyerahkannya ke Yudith.

"Enggak, jadi manager doang hahaha."

"Yaelah hahah. Uang depositnya?"

Yudith mengeluarkan selembar kertas biru, uang nominal lima puluh ribu dari dompetnya.

"Udah nih? Thanks ya Ra."

"Belum."

"Apa lagi? Kurang ya uangnya? Atau datanya ada yang salah?" Yudith mengecek tulisannya sendiri dan tidak mendapati kesalahan.

"Gak ada yang salah. Tapi, lo disini aja temenin gue."

Senyum Yudith mengambang. Tanpa menjawab lagi, dengan hati yang ikhlas ia mendaratkan bokongnya di sebuah kursi kosong tepat di samping Aura.

Aura menutup mulutnya. Sebenarnya, tadi ia hanya menyuarakan isi hatinya. Namun siapa sangka, Yudith mau menurutinya.

"Kenapa kamu gak jadi panitia puisi? Bukannya kamu suka ya?"

"Yap, gue emang suka puisi. Oh no, I loved them so much. Tapi, gue cuma suka nulis puisi, bukan mendengarkan orang baca puisi."

"Ooh gitu. Sejak kapan kamu suka buat puisi?"

Aura memejamkan matanya. Menghirup napas dalam-dalam. Bayangan masa lalu kembali menguasai dirinya.

"Jangan dijawab kalo itu cuma buat sedih," potong Yudith sebelum Aura hendak berbicara.

Namun Aura menggeleng. "Nggak, gak apa-apa. Semua berawal dari perceraian nyokap dan bokap, lima tahun yang lalu. Gue frustasi. Gue bener-bener gatau mau cerita ke siapa, I had no place to share.

"Kesedihan itu terus aja ngalir sampe dua tahun. Tapi waktu belajar pengenalan puisi di sekolah, guru bahasa Indonesia gue bilang, ibarat melukis, puisi adalah kanvas-mu. Kamu berhak menuliskan apa aja. Kamu boleh menuangkan rasa apa aja. Senang, sedih, tawa, duka."

Yudith tetap memfokuskan pandangannya ke arah pertandingan dan telinganya ke suara Aura.

"Sejak saat itu, gue alihkan rasa sakit hati gue. Mulai dari masalah ortu sampe masalah pacaran. Dan itu malah jadi kebiasaan yang membangkitkan bakat gue."

Aura menyudahinya dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya. Ini kali pertama ia berbagi tentang alasannya menulis puisi. Di sampingnya, Yudith menyodorkan sapu tangan biru langit tanpa berkata-kata.

Aura menerima sapu tangannya dan kembali berkata, "Ah udah lupain aja. Btw, lo kenapa gak main bola? Emang gak suka?"

"Suka banget. Aku pribadi sih, pengamat sepakbola. Pokoknya, suka banget deh. Tapi selain aku gak punya passion di bidang itu, aku juga gak mau ngelakuinnya. Kenapa? Karna ketika kita menikmati sesuatu, kita gak harus melakukannya."

Yudith menatap Aura lamat-lamat. Sementara Aura berusaha keras memerangi kupu-kupu yang beterbangan di perutnya. Namun ia tetap berusaha menantang Yudith.

"Kamu harus tau, ditatap kayak gini bisa bikin iman menipis," kata Yudith.

Aura memutar bola matanya. "Huft. Gue juga, Yudith. Lo sih, mulai duluan!"

Yudith menggaruk tengkuknya---salah tingkah. Kemudian kembali melanjutkan perkataannya yang sempat tertunda.

"Ketika kita menikmati sesuatu, kita gak harus melakukannya, gak harus terjun ke dalamnya," ulangnya.

"Sama seperti ketika kita menyukai sesuatu, kita gak harus memilikinya."

* * *

Aura mengeluarkan kepalanya keluar jendela. Menghitung bintang yang satu per satu muncul dengan malu-malu. Berkerlip. Menerangi langit di malam hari. Membawa mimpi-mimpi indah ke makhluk Tuhan yang terindah.

Tersenyum. Sama seperti bulan sabit yang saat ini menemani bintang. Tangannya menopang dagu. Menikmati setiap hembusan angin yang bertiup.

Aura menghirup napas dalam-dalam. Menikmati sensasi angin malam yang sering ia lewatkan.

Ia mengingat kata-kata ambigu Yudith kemarin siang, saat pertandingan sepak bola itu dilaksanakan. Mencoba meresapi kalimat tersebut.

"Sama seperti ketika kita menyukai sesuatu, kita gak harus memilikinya."

Aura tidak lagi harus menghindar, mengatakan bahwa semua hanya ketidaksengajaan. Karna semua, ia jalani dengan kesenangan.
Tidak harus berbohong, mengatakan bahwa rasa itu tidak pernah ada. Karna kejujuran selalu menjadi obat yang menyehatkan.

"Selamat malam, Muhammad Yudith Prasetya. Semoga mimpi indah."

Benar, pada akhirnya, tidak ada pertemanan yang murni antara perempuan dan laki-laki normal; cinta datang kapan saja dan menjerat siapa saja. Tidak ada pertengkaran yang abadi; benci beralih menjadi cinta.

Benar, Aurora Rininta telah menyukai Yudith. Menyukai... tanpa harus memiliki.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top