1) Pulang
Alhamdulillah.
Setelah berbulan-bulan gak nerbitin cerita, ide ini muncul di kepala saya begitu saja.
Sebenarnya, ini sedikit terinspirasi dengan cerita yang lama (Last Love) namun dengan tokoh dan konflik yang berbeda.
Masih dengan perempuan aktif dan.....
Check it out!
(Kritik dan saran sangat diharapkan. Mohon vote dan komentarnya juga, terima kasih.)
* * *
"Nah di acara satu Muharram nanti, kita akan bekerja sama dengan anak bintalis. Jadi gue mohon sama kalian semua untuk bertanggung jawab sama tugasnya."
Vino, ketua OSIS SMA Phantasia dengan gagah mengarahkan teman-temannya untuk acara yang akan diadakan beberapa minggu lagi.
"Mengenai SK akan dibagikan oleh Aura. Rapat hari ini ditutup. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Ia kembali ke tempat duduknya semula. Membiarkan yang lain berceloteh dengan sesama.
Aura---sekretarisnya, membagikan dua lembar kertas edaran berisi tugas kerja ke masing-masing pengurus OSIS.
"Buat seksi keagamaan, gue minta tolong buat hubungi ketua bintalis. Di SK itu juga kita akan buat tim. Means, jangan malu-maluin OSIS. Gue gak suka," ucap Vino lagi yang hanya dibalas anggukan oleh mereka.
"Yasmin, lo sekelompok sama siapa?"
Bella---wakil ketua seksi keagamaan membalikkan badannya ke arah Yasmin. "Kepo banget lo!" Yasmin menjulurkan lidahnya. Bella mendengus. Yasmin selalu saja begitu jika ditanya.
"Kalo elo, Ra?" tanya Bella kepada Aura yang baru saja duduk di tempatnya.
"Gue? Sama Echa, Irsan. Kalo anak bintalisnya sih, gatau. Rada males gue ketemu orang baru lagi."
"Eh, gak boleh gitu tau! Awas aja kalo kepincuk sama anggotanya," ledek Bella. Mata Aura melotot. Gak sadar diri banget.
"Eh emangnya Aura kayak elo yang kayak lem! Dikit-dikit nempel, ewh bangeeett!" Yasmin melempar gulungan kertas ke arah Bella.
"Orang belakang gausah ikut campur!"
* * *
Lamunan wanita berusia dua puluh tiga tahun itu terhenti kala suara nyaring awak kabin pesawat Singapura-Jakarta terdengar, mengatakan bahwa mereka sudah sampai di Bandara Internasional Soekarno Hatta.
Tanpa ia sadari, ujung bibirnya terangkat sedikit ke atas. Rekaman masa putih abu-abu itu terngiang begitu saja. Lima tahun terakhir, terhitung hanya tiga kali ia menjejaki kakinya di Indonesia.
Pesawat itu berhenti. Para penumpang beranjak dari duduk. Beberapa yang tadi tertidur selama perjalanan baru saja mengumpulkan kembali kesadarannya. Begitu pula dengannya, wanita berjilbab itu menggendong tas ranselnya di punggung. Bersiap memasuki gedung.
Berjalan melalui pintu international departure, mengambil koper dari ruang yang tersedia, lalu berhenti di salah satu restauran yang tersedia.
Matanya tertuju pada papan nama rumah makan sederhana itu. Warung Suka Suka.
Selalu, tidak pernah berubah.
Tersenyum tipis, kakinya melangkah ke salah satu meja kosong.
Ia melepas jaket porka berwarna dusty yang sedari tadi melindungi tubuhnya dari suhu yang lumayan dingin. Melambaikan tangannya ke salah satu pelayan.
Gadis yang ia perkirakan hanya berbeda dua-tiga tahun dengannya itu tersenyum. "Pesan apa, mbak?"
"Tenderloin steak, jus jeruk dingin satu."
"Lima belas menit dari sekarang. Jika ada apa-apa, bisa panggil saya ya, mbak? Permisi."
Ia mengangguk. Si pelayan menunduk hormat sebelum pergi dari hadapannya.
Ponselnya bergetar tepat setelah ia mematikan mode pesawat.
Mama calling...
"Assalamu'alaikum, Ma."
"Wa'alaikumussalam. Udah dimana Kak?"
Pelayan tadi kembali dengan segelas jus jeruk dipenuhi segenggam es dan sepiring tenderloin steak. Ia mengangguk sebagai jawaban. Melanjutkan kembali obrolannya dengan mama.
"Baru aja sampe, Ma. Tapi kakak mampir dulu ya Ma? Laper hehe."
Mama terkekeh dari seberang sana. Untuk urusan perut, ia memang tidak bisa berbohong. Selalu, tidak pernah berubah.
"Iyaa. Cepat ya? Adik-adik sudah menunggu. Kalau kamu melihatnya sekarang, pasti kamu sudah marah-marah. Betapa rusuhnya mereka saat ini." Mama tertawa lagi.
Ia menghela napas. "Ah iya, adik-adik. Bagaimana kabar mereka?" nada bicaranya tidak sesemangat tadi.
"Mama mendengar seperti ada perubahan mood? Ah, kamu akan tahu sendiri nanti."
"Enggak, Ma. I'm fine. Udah dulu ya? Makanannya keburu dingin. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Ia mengambil pisau dan garpu di sisi kanan dan kiri piring. Menikmati potongan demi potongan daging yang lembut berbalut kuah yang menggungah rasa. Menyesap jeruk manis di sela-sela jeda suapannya. Selalu begitu, tidak pernah berubah.
Hanya tersisa dua potong lagi. Kunyahannya terhenti ketika seseorang memanggil namanya dari kejauhan.
"Aura!"
Senyumnya memudar melihat seseorang yang sudah berjalan ke arahnya.
Tidak, jangan mendekat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top