Bab 8 : Sulur-Sulur Kegelapan

❄ ❄ ❄

Kegelapan di sekitar mereka memang lebih pekat dan menyesakkan. Estimasi Elysa yang tadi salah. Ini bukan lah kabut hitam. Sekarang mereka seperti masuk ke dasar lautan tergelap tanpa ujung. Kristalit yang sangat terang malah tampak sendu setelah dibawa ke sini. Jarak pandangnya dalam tempat ini menurun drastis. Cahaya kristalit mungkin cuma menyebar sepanjang empat meter sekarang.

Ren berjalan sambil tetap memegang tangannya. Dia beralasan kalau dia melepaskan tangan Elysa, Elysa akan tersesat dalam gelapnya gua ini. Hah, Ren kira dia akan tersesat semudah itu? Elysa menduga kalau sebenarnya Ren sendiri yang ketakutan.

Elysa melirik pemuda di sampingnya itu. Ren tidak lagi bertanya-tanya tentang aucast sejak mereka masuk ke dalam kegelapan yang tidak biasa ini. Elysa cukup mengerti dengan itu. Berbicara di tempat ini terasa aneh sekali. Kegelapan itu seolah mau masuk ke mulut setiap kali ada kata yang mau keluar.

Setitik cahaya di depan langsung membuat mereka berdua berhenti.

"Apa itu?" bisik Ren. Cahaya itu membesar.

Elysa menghidupkan Aura. Beberapa pisau es melayang di dekatnya.

Saat itu lah hal yang tidak disangka terjadi. Auranya bertaburan begitu saja ke udara, ditelan oleh kegelapan. Kegelapan itu menyerap rakus uap yang dikeluarkannya. Apa yang terjadi? Masih kebingungan, Elysa mematikan Aura. Pisau-pisaunya tetap melayang. Untunglah dia meng-Casting langsung pisau-pisau itu. Kalau dia mem-Binding uap air untuk membuat mereka, mereka pasti sudah mencair saat dia mematikan Auranya.

"Hey, kau tidak apa-apa?" bisik Ren. Cahaya itu semakin mendekat. Ren melepas genggamannya dan mengeluarkan sebuah pisau dari tas.

Bunyi pedang ditarik dari sarungnya menggema. Ren bergerak ke depan Elysa, menjatuhkan kristalit cahayanya sambil mengeluarkan kristalit api. Elysa tidak bisa melihat apa yang terjadi karena Ren tepat berada di depan, menghalanginya dari melihat siapa yang ada di depan mereka. Namun, gerakan Ren yang langsung terhenti membuat Elysa menyadari kalau siapa pun yang ada di depan mereka itu telah menghunuskan pedangnya ke leher Ren.

"Oh, ternyata kamu," kata orang tersebut.

"Sial, saat aku mengharapkan seekor naga, yang datang ternyata cuma kelinci," balas Ren. "Hilang sudah kesempatanku untuk mengesankan Elysa."

"Kata seseorang dengan pedang di lehernya."

"Kata seseorang dengan kristalit api siap meledak di kakinya," ucap Ren.

"Eh, benarkah?"

Siapa pun yang berkata itu pasti menunduk sekarang. Ren menggunakan momen itu untuk menyingkirkan pedangnya, dan secepat kilat meletakkan pisaunya di leher orang tersebut. "Aku tidak percaya kau percaya itu," kata Ren sambil menahan tawa.

Orang itu mendengus kesal. Suara pedang yang disarungkan terdengar. "Apa yang kau lakukan di sini, Ren?"

"Seharusnya aku yang bertanya demikian."

Ren bergerak dari tempatnya. Ternyata yang ditahannya cuma seorang anak. Bukan. Mungkin karena mukanya yang seperti anak kecil menyebabkan Elysa berpikir seperti itu. Seorang anak—tidak, remaja—yang sama tinggi dengannya. Elysa tidak bisa melihat dengan jelas warna rambutnya dalam kondisi kurang cahaya, tapi dia menduga cokelat.

Wajah yang familiar tampak olehnya. Elysa tersenyum. "Basil."

"Eh." Basil seperti baru menyadari kalau ada dia di sana. Matanya melebar. Dia mengerdipkan mata beberapa kali.

"Nona," seru Basil, hampir meloncat memeluknya. Namun tangan Ren lebih cepat. Dia berhasil menarik kerah jaket Basil, membuatnya terhenti di tengah jalan.

"Bodoh, kau tidak melihat pisau yang melayang itu?" tanya Ren.

"Katakan saja kau tidak suka aku memeluknya," sahut Basil.

Bayangan Ren dan Basil yang sering kelahi saat mereka masih kecil tiba-tiba tampak jelas di ingatan Elysa. Memori sebelum dia Bangun menjadi Caster. Memori yang cuma samar-samar diingatnya. Waktu yang menyenangkan. Mau tak mau Elysa tersenyum lagi.

Ren mengambil kembali kristalit cahayanya yang jatuh sambil memegang jaket Basil. Basil terpaksa menunduk.

"Kau tersenyum," kata Ren tidak percaya sambil mengangkat kristalit itu lagi.

"Memangnya mengapa kalau aku tersenyum?"

"Tidak," kata Ren. "Aku mengira kalau kau cuma tersenyum pada orang-orang yang berhasil mengesankanmu." Dia berbalik pada Basil. "Sejauh yang kulihat, tidak ada yang mengesankan pada anak cerewet ini."

Aku tersenyum pada kalian berdua. Tapi tentu saja dia tidak akan mengatakan itu. Pasti akan terdengar aneh keluar dari mulutnya.

Elysa memperhatikan Basil. Dia memang tidak mengesankan. Dia cuma memakai sebuah jaket abu-abu berkerah yang lusuh, celana panjang kotor, dan sepatu yang koyak. Berbeda sekali dengan pakaian Ren dan jubah Elysa yang bersih dan rapi.

"Mungkin karena aku punya softspot untuknya," kata Elysa lambat.

"Hah, dengar itu Ren."

Ren mengumpat, kali ini dalam beberapa bahasa yang berbeda. Apa dia cemburu? Terang-terangan sekali.

Lepas dari pegangan Ren, Basil menunduk hormat pada Elysa. "Nona Laird. Senang—"

"Perkenalkan," tunjuk Ren pada Basil sebelum dia sempat bicara. "Ini Basil Niles, urutan pertama dalam 'Sepuluh Orang Paling Idiot yang Pernah Dijumpai René Altera'."

"Sialan kau, Tuan Muda Brengsek," desis Basil.

"Oh, ayolah. Siapa yang tidak tahu nama ilmiah burung bangau biru pastilah seorang idiot."

"Hmm?" gumam Elysa. "Aku tidak tahu."

Mereka langsung terdiam. Wajah merah dan terpana Ren selama beberapa saat membuat Elysa berharap dia membawa kamera saat itu juga. Ren berusaha ngomong, tapi mulutnya tertutup lagi. Mungkin dia berpikir lebih baik tidak bicara dulu.

Basil menepuk pundak Ren berkali-kali; menahan tawa yang hampir tumpah dari wajahnya. Dia memandang Elysa dengan hormat. "Nona, aku semakin menyukaimu."

"Sudah-sudah," kata Elysa. Jujur saja dia sebenarnya senang melihat Basil. Tapi mereka ke sini karena mempunyai tujuan, bukan untuk bermain-main. "Apa yang membuatmu ke tempat ini, Sil?"

Basil berhenti tertawa dan menoleh mereka bersamaan. Lalu berpandangan dengan Ren. Ekspresinya mengeruh sedikit.

"Hein belum kembali kan?" tanya Basil. "John dan Gilbert mengatakan kalau dia ada di sini semalam dan tidak keluar-keluar. Pekerja pertambangan mengatakan dia masuk ke tempat 'berhantu' ini. Dia tidak masuk kerja dan tidak ada di rumahnya, jadi aku mengira dia masih berada di sini."

"Jadi sebab itu...," gumam Ren. "Kau yakin dia masih berada di sini?"

"Mungkin. Aku sudah berjam-jam di tempat ini. Sayangnya kristalit cahayaku keburu habis. Mau tak mau aku harus pulang," jelas Basil. "Aku lupa kalau di sini gelap sekali, seperti ceritamu itu."

Muka Ren semakin mengeruh. "Pantas saja kau tidak ada saat Master pergi ke Mircea tadi."

Berita itu cukup untuk membuat Basil menatap Ren tajam. "T-tunggu. Master ke Mircea? Untuk apa?"

"Tidak tahu." Ren mengangkat bahu. Elysa mengernyitkan dahinya. Sepertinya dia tidak mau membicarakan masalah surat itu pada Basil.

"Kau menyembunyikan sesuatu," kata Basil tidak senang. Ren tidak menggubrisnya, malah memandang ke depan mereka yang bukan main gelap. Karena tidak dipedulikan, Basil berkata, "Mungkin karena itu dia memberiku Fang kemarin sore."

Ren melirik pedang yang ada di pinggang Basil. Merasa tertarik, Elysa mengikuti arah pandangannya. Dia cuma bisa melihat sarungnya saja. Lambang kuda frost terlukis indah di sarung yang terbuat dari kayu itu. Lambang kerajaan Thrusia. Tidak sembarangan orang yang boleh memakai lambang itu. Setahunya Master Porren bukan bangsawan. Tapi ayahnya sendiri dan Ren—dari nada bicaranya—sangat menghormati laki-laki itu. Elysa tidak begitu mengenalnya. Mungkin dia harus menanyakan ini pada ayahnya nanti.

"Aku tidak menyangka kalau dia akan memberikan itu padamu," kata Ren.

"Entahlah. Aku juga tidak menyangka. Master aneh sekali saat memberikan ini," gumam Basil.

Pembicaraan ini jelas memakan waktu mereka. Elysa menyikut Ren sambil memandang ke depan. Ren cukup mengerti untuk menerka maksudnya.

"Kami akan melanjutkan perjalanan. Kita cari Hein. Kau ingin ikut?" tanyanya pada Basil.

"Sepertinya kehadiranku akan mengacaukan rencanamu. Jadi aku ikut." Basil tersenyum senang. "Lagi pula, Hein adalah temanku juga."

Ren mengambil kristalit lagi dari tasnya. Dia melemparkan itu pada Basil yang disambut anak itu dengan mudah. Oh, dia menggunakan anak lagi. Muka Basil memang kekanak-kanakan sih, walau dia cuma dua tahun lebih muda dari Elysa.

"Hey, kalian belum mengatakan mengapa kalian kemari," sahut Basil.

Elysa dan Ren langsung berpandangan.

❄ ❄ ❄

Tempat ini memakan Auranya, itu sudah pasti. Elysa sudah mencoba menghidupkan Aura beberapa kali selama mereka berjalan. Tiap dia melakukan itu, Auranya diserap oleh kegelapan di sekitar mereka. Semakin mereka masuk ke dalam, perasaan Elysa semakin kalut. Kegelapan itu seperti ... hidup? Elysa kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikannya. Rasanya seperti ada yang mengintai mereka di tempat ini. Preservingnya—walau buruk—seperti tidak dapat menentukan apakah mereka dalam bahaya atau tidak. Tempat apa sebenarnya ini?

Basil terus berceloteh di depan. Ren kadang-kadang membalas. Elysa masih berjalan berdampingan dengannya, walau mereka tidak bergandengan tangan lagi.

"Masih lama kah?" bisiknya pada Ren.

"Sebentar lagi. Tapi aku tidak terlalu yakin," balas Ren. "Seharusnya kita sudah sampai lima menit yang lalu dengan kecepatan seperti ini."

"Mengapa kalian berbisik? Aku tahu aku mengacaukan rencana kencan kalian—apa pun itu, tapi hey, itu bukan mauku," sahut Basil. Kencan, alasan yang langsung Ren gunakan saat ditanyai tadi. Juga alasan mengapa Basil berjalan mendahului mereka. Dia tidak ingin mengganggu mereka, katanya. Semangat Basil untuk 'mengacaukan' rencana Ren menurun mendengar keterlibatan Elysa di dalamnya.

"Apa kau merasa lemah saat menghidupkan Aura?"

"E, benarkah? Rasanya tidak." Ren berbisik juga.

"Oh, aku tidak dipedulikan," seru Basil sebelum berjalan lebih cepat.

Elysa menaikkan alis kanannya. "Basil sepertinya tidak apa-apa."

Ren cuma mengangkat bahu. "Basil tidak menyadari kalau ada naga yang akan memakannya sampai dia sudah ada dalam mulut naga tersebut," bisik Ren. "Jangan tanyakan padaku bagaimana dia menjadi ahli pedang kedua terhebat di tempat Master. Itu merupakan rahasia alam terbesar yang sangat ingin kubongkar. Dengan kata lain 'tidak, dia tidak bisa dijadikan standar'. Sebaiknya kita kejar sebelum dia membuat dirinya terluka."

"Dan Elysa," tambah Ren. "Aku tidak merasa lemah." Uap keluar dari balik mantel Ren. Berbeda dengan miliknya, uap Ren tidak diserap oleh kegelapan itu.

Baguslah untukmu. Mengapa tempat ini seperti tidak menyukainya? Apa karena dia Caster?

Basil akhirnya tampak lagi. Di antara mereka bertiga, cuma dia yang paling tidak terpengaruh oleh suasana gelap pekat ini. Dia berjalan santai, seolah tempat ini sama sekali tidak membebaninya. Ren masih tampak awas. Elysa telah melihatnya melirik ke sana ke mari, seperti mengharapkan serangan datang. Tangan kanannya sudah memegang gagang pisau.

Tak lama kemudian, Basil berhenti diikuti Elysa dan Ren. Dia menginjak tanah beberapa kali. Jarak pandang kristalit yang cuma beberapa meter saja hanya menampakkan kegelapan di depan.

"Sepertinya kita sudah sampai di jurang yang kau katakan itu Ren," kata Basil.

Elysa berusaha mengamati lagi daerah sekitarnya, namun nihil. Tidak ada yang bisa dilihat.

"Bagaimana kau tahu? Aku tidak melihat apa pun di depan," kata Ren sambil bergerak ke sisi kiri gua.

"Bukannya jalan di depan semakin menurun. Dan gelap sekali di sana. Itu jurangnya kan?"

Elysa berusaha melihat arah yang ditunjuk Basil, tapi seperti tadi, dia tidak melihat apapun. "Berapa jarak pandang kalian? Dalam meter," tanya Elysa cepat.

"Sembilan."

"Lima."

Basil dan Ren mengatakan itu bersamaan. Mereka berpandangan dengan heran.

"Aku empat," potong Elysa.

"Oke, itu baru sesuatu. Hehe, tempat ini sepertinya pilih kasih padaku," cengir Basil.

Elysa memperhatikan kristalitnya yang sendu. Dalam cahaya yang seperti ini, dia tidak akan bisa menyelidiki tempat ini. Mau tak mau dia harus menghidupkan Aura dan menerangi kristalitnya.

Dengan sekali helaan napas, Auranya hidup. Dalam kegelapan ini, uap birunya tampak bersinar seperti Aura saat badai semalam. Uap biru itu tertarik dari tubuhnya, lebih cepat dari waktu tadi. Buru-buru, Elysa memasukkan Auranya dalam kristalit. Dia sempat melihat ke mana uap itu bergerak. Sebuah tempat di depan jurang merupakan tujuan dari uap birunya.

"Memang ini tempatnya. Tanda yang kubuat masih ada," kata Ren. Elysa sempat mendengar dia bergumam pada cincin tanpa uap itu, "Seharusnya aku tidak mengambilmu."

Mata Elysa membesar. Aura yang ada dalam cincin Ren bereaksi dengan Aura gelap yang mengelilingi mereka. Kegelapan pekat di sekitar mereka mulai berkumpul menuju sebuah tempat di depan jurang; tempat di mana uap birunya pergi. Pusatnya? Sebuah bola hitam berdiameter satu meter terbentuk di udara, hasil dari kegelapan yang berkumpul itu. Yang tersisa sekarang cuma kegelapan biasa saja. Kristalit yang tadi sendu sekarang terang kembali.

"Kelihatannya ini tidak bagus," kata Basil mengeluarkan Fang.

"Buang 'kelihatannya'. Ini memang tidak bagus," kata Ren sambil meletakkan kristalit cahayanya di tanah. Dengan tangannya yang bebas, dia mengambil kristalit api dan pisau tadi. Preserving Elysa semakin berteriak-teriak mengatakan bahaya. Elysa menoleh ke bola itu. Uap-uap hitam dan kegelapan semakin berkumpul. Sulur-sulur hitam bertumbuhan dari bola tersebut.

"Menunduk!" seru Elysa.

Untunglah Ren dan Basil melakukan itu. Sulur-sulur gelap dari bola itu menyerang. Ren berusaha mengelak, walau dalam posisinya sekarang melakukan itu terlihat sulit sekali. Elysa beranjak dari tempatnya. Dia mem-Binding uap air di depan Ren, membuat sebuah perisai es yang melindungi pemuda itu. Sulur gelap tersebut menghancurkan perisainya, namun Ren berhasil mundur.

Sulur itu menyerang Elysa. Elysa menghindar sebelum benda yang berbentuk seperti akar tumbuhan dicampurkan dengan pisau hitam panjang itu mengiris mukanya. Dia mem-Binding Auranya pada Aura gelap benda hitam itu, berusaha membuat benda itu membeku. Kegelapan tersebut berubah jadi es hitam.

Elysa membuat beberapa pisau es yang berputar mengelilingi tubuhnya. Cukup untuk melindunginya dari serangan sulur-sulur itu. Auranya terus keluar seperti air mancur, sekarang menuju bola pusat sulur-sulur itu. Elysa berusaha bergerak menuju bola itu, namun jarak dari jurang ke bola hitam tersebut ternyata cukup jauh.

Sulur-sulur itu kembali menyerang. Elysa kewalahan mengelak. Pisau yang melayang di sisi kirinya hancur. Elysa menunduk. Sulur gelap itu menyerangnya dari kiri. Elysa langsung mem-Binding-nya. Es hitam tergeletak begitu saja.

Dia berlari menuju Ren. Basil sudah berada di dekat Ren, menyerang sulur hitam yang mendekati mereka. Sulur hitam itu merempuh dari atas. Namun, Elysa berhasil membekukannya dan mengubahnya jadi air.

"Benda apa itu?" teriak Basil sambil menyabet sulur gelap dengan pedangnya.

"Tidak tahu," sahut Elysa sambil membuat perisai es lagi. Sedetik kemudian perisai itu hancur, namun sulur yang menyerangnya jadi ikut membeku. "Tapi benda itu mempunyai Aura. Dengan kata lain aku bisa mem-Bindingnya." Seandainya saja benangku lebih panjang.

"Aku tidak mengerti," kata Basil menangkis serangan yang datang.

"Masih mengatakan kalau tempat ini pilih kasih padamu?" tanya Ren sambil memberikan Aura pada kristalit api di tangan kirinya.

"Belakang, kiri, kanan," teriak Basil.

Ren mengangkat tangannya. Tiga bola api besar terbentuk di dekat mereka dan terbang ke arah yang disebut Basil. Elysa membentuk perisai di atas. Kegelapan di keempat arah itu gagal lagi menyerang mereka. Namun satu sulur berhasil mengenai tas kristalit Ren; tas tersebut tertendang oleh Elysa yang berusaha membekukan sulur yang melakukan itu.

"Sial," kata Ren sambil mengejar tasnya. Dia membakar apapun yang berusaha menyerangnya. Elysa mengejar Ren, melindunginya dari tiap serangan.

Basil berlari ke depan. Mengelak, menyerang apapun benda gelap yang mendekat. Sulur-sulur yang terpotong menggeliat seperti cacing, sebelum menguap. Aura Elysa semakin terkuras diserap oleh apapun yang ada di depan itu. Tapi kalau dia mematikan Auranya sekarang—

Bola api Ren berubah jadi perisai api yang mengelilingi mereka berdua, membuat kegelapan itu gagal lagi. Elysa membuat beberapa pisau. Satu pisau langsung terbang ke depan Ren, menunjuk arah Auranya dihisap.

"Kita harus menyerang bolanya," tunjuk Elysa. Pisau-pisau itu langsung berhamburan ke bola itu. Menyerang sulur-sulur yang juga menyerang mereka kembali. Bunyi pisau es yang hancur menggema di seluruh lorong. Padahal pisau itu sekeras baja. Tunggu, bagaimana Basil memotongnya?

Di depan, Basil masih menari-nari dengan sulur yang menyerangnya dari segala arah. Saat ada yang mau menyerangnya dari atas, Elysa langsung menahan dengan perisai es. "Perhatikan atasmu," teriak Ren sebelum Elysa mengucapkan itu.

Elysa langsung mengambil pisau yang ada di pinggang Ren. Mematikan Auranya, dia cuma bisa berpatokan pada cahaya kristalitnya sekarang. Bola-bola api dari kristalit di tangan Ren mengelilingi mereka.

"Oh, sial," desis Ren lagi. Elysa menoleh ke arah yang dilihat Ren. Sekitar lima belas sulur gelap ada di depan dan bergerak menyerang mereka.

Elysa mundur, meloncat, menunduk, menangkis serangan-serangan itu. Tubuh atletisnya cukup membuat dia berhasil selamat, walau kegelapan itu berhasil menggores pipi dan tangan kirinya. Ikat rambutnya terkena, rambutnya tergerai. Dia melirik Ren, berharap pemuda itu selamat. Ren melempar sebuah kristalit api ke udara. Kristalit tersebut meledak menghentikan kegelapan yang akan menyerang.

Basil sudah berada di belakang tanpa disadarinya. "Benda-benda itu mengabaikanku."

Cincin yang ada di tangan Ren tiba-tiba bersinar. Kristalit cahaya yang ada di tanah kontan padam.

"Oh, ayolah, saat kita membutuhkan cahaya," desis Basil sebelum berlari menuju Ren. Cuma di dekatnya saja yang ada cahaya. Itu pun karena beberapa bola api yang terbentuk oleh kristalit Ren.

Sulur-sulur itu bergerak lagi. Elysa menangkis setiap serangan, melencengkan benda itu dari tubuhnya. Tidak ada cahaya, dia cuma bisa terpaku pada Preserving sekarang. Namun kegelapan itu menghiraukannya sekarang. Melihat cincin Ren menyala membuat mereka menyerang Ren serentak.

"Ren, awas!" teriak Elysa. Secepat mungkin dia berlari. Napasnya memburu. Sulur-sulur itu semakin bertambah banyak. Setidaknya dua puluh benda itu menyerang Ren sekarang. Elysa melompat, menghidupkan Aura sambil meringis. Sial, rambutnya sangat menghalangi pandangan. Dia berhasil membekukan delapan. Basil berhasil memotong tujuh, kelihatannya. Elysa tidak bisa melihat dengan jelas dalam kegelapan ini, namun dia bisa melihat Aura-Aura hitam yang keluar. Ren mengelak dari tiga yang langsung melekat di dinding dan membakar dua yang tersisa. Kristalitnya pasti sudah habis sekarang.

"Argh!" teriak Basil. Sulur itu telah mengenai tangan kirinya dan langsung dipotong Basil. Dengan gerakan yang tidak disangka-sangka Elysa, Basil mengejar sulur yang mundur itu dan mencincangnya geram.

Kristalit cahaya bersinar kembali. Serangan-serangan itu semakin agresif dan sebagian terarah pada Ren. Kalau begini terus, mereka akan mati kelelahan, sebelum sulur-sulur itu membunuh mereka. Mungkin Basil tidak, karena gerakannya jadi lebih cepat dan bertenaga sekarang.

"Kita harus menghentikan benda ini secepatnya," kata Ren. Dia akhirnya berhasil juga mengambil kembali tasnya, setelah bergulat dengan sulur yang akhirnya dibekukan Elysa. Mereka berpandangan. "Lindungi aku."

"Akan kucoba," bisik Elysa. Dia sendiri tidak yakin bisa melindungi Ren, namun dia akan melakukan itu.

Ren mengeluarkan tiga kristalit cahaya sekaligus. Auranya bergerak ke dalam kristalit-kristalit itu.

Sulur-sulur itu menyerang. Elysa yang sudah merasa muak dengan semua ini langsung membuat mereka semua membeku. Gerakan yang spektakuler, namun sama sekali tidak praktis. Auranya menurun drastis. Sulur gelap itu kembali berkumpul. "Apakah sudah selesai?" tanya Elysa menahan napas.

"Sebentar lagi," balas Ren. "Meng-overcast kristalit cahaya berbeda dengan kristalit api. Mereka memerlukan waktu yang lebih lama."

"Aku tidak bisa menahan mereka lebih lama lagi, Ren. Dan Basil sudah seperti orang gila sekarang."

Di depan, walau yang nampak cuma siluetnya, Basil memang berlawan seperti orang gila. Berteriak sambil menebas sulur-sulur yang datang. Bagaimana dia menebas benda itu sampai putus? Gerakannya juga terlalu laju untuk seorang manusia. Elysa memicingkan matanya. Flaring? Tapi Basil bukan seorang—

"Buat pisaumu sekarang!" perintah Ren, membuat Elysa terhenyak dari pikirannya.

Elysa langsung melakukan itu. Ren melemparkan kristalit cahaya yang telah di-overcast padanya. "Lemparkan kristalit pada bola itu," kata Ren. "Pisaumu ... kau bisa melempar dengan akurat, kan?"

Elysa mengangguk. "Apa yang akan kau lakukan?"

"Menarik perhatian mereka," kata Ren sambil berlari menuju Basil. "Hei, makhluk, benda, entitas, materi bulat gelap sialan," teriak Ren. "Kalian menginginkanku?"

Seakan mendengar perintahnya, semua sulur dari bola mengarah pada Ren. Lima puluh? Semua benda itu menyerangnya serentak dari berbagai arah. "Sekarang!" Elysa sempat melihat Ren meledakkan kristalit cahaya di tangannya. Semua sulur itu menguap sebelum sempat menyentuhnya. Di saat yang bersamaan, Elysa melemparkan pisaunya yang telah diikat dengan kristalit. Dengan sisa tenaganya, dia mengarahkan pisau esnya pada bola tersebut. Pisau itu langsung terbang.

Bola itu berusaha membentuk sulur baru. Namun Ren berlari ke dekat jurang sambil melemparkan kristalitnya yang satu lagi. Kristalit meledak sekali lagi. Sulur-sulur yang baru terbentuk kembali menguap. Pisau Elysa dengan mulus bergerak  menuju bola dan meledak dari dalam bola itu.

Kristalit cahaya yang di-overcast meledak. Tidak ada bunyi ledakan suara, namun ledakan cahaya yang sangat menyakitkan, walau dia telah menutup matanya. Berbeda dengan ledakan cahaya Ren, yang ini lebih terang lagi. Mungkin Ren cuma meng-overcast yang ini. Yang dua itu ... entahlah diapakannya.

Sunyi. Elysa membuka mata. Matanya perih. Suasana masih masih gelap, namun sudah gelap normal. Basil berjalan oyong ke arah mereka. Kegelapan itu sudah menghilang. Auranya hampir habis.

Ren terduduk. Suara napasnya kedengaran sampai ke Elysa. Elysa berjalan lambat mendekatinya.

"Apakah sudah pergi?" tanya Ren lemah.

"Ya. Aku tidak melihat adanya Aura hitam sekarang. Bagaimana denganmu?"

Ren menghela napas panjang. "Aku tidak akan melakukan itu lagi. Meledakkan kristalit cahaya di kepala. Aku melihat bintang berputar-putar sekarang."

Elysa lantas mematikan Auranya, mengartikan perkataan Ren sebagai 'aku baik-baik saja.'

"Benda itu sudah hilang?" tanya Basil kesal. Jalannya yang oleng cuma dibantu oleh Fang. "Sialan."

Elysa menaikkan alisnya. Ren cuma berdesah. "Mengapa kau?"

Basil memandang arah bola itu berasal. Sambil berjalan sempoyongan dia menuju tempat itu.

"Hoi, Sil. Mau ke mana kau? Ada jurang," seru Ren sambil mengucek matanya.

Elysa cuma melihat Basil berjalan. Basil mengayunkan pedangnya ke tempat bola itu. Elysa ingin berdiri, namun tidak memiliki tenaga. Auranya hampir habis dimakan benda tadi. "Apa Basil seorang Caster?" tanya Elysa terengah-engah.

"Eh? Bukan," kata Ren berdiri dan mengejar Basil yang terus berjalan. Jurang itu semakin dekat. Elysa sekarang sudah bisa melihatnya, mungkin karena kegelapan semakin berkurang. Melihat tingkah Basil membuat Elysa agak panik; dia sendiri tidak tahu mengapa. Sekali lagi dia menghidupkan Aura, walau tubuhnya berteriak agar dia tidak melakukan itu.

Untuk kedua kalinya, mata Elysa membesar. Uap cokelat berkeluaran dari tubuh Basil—dalam jumlah yang sangat tidak normal. Benang-benang Aura yang juga berwarna cokelat menempel pada tanah dan mulai menarik tanah-tanah itu. Binding? Basil sendiri seperti tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Dia baru Bangun? 'Bangun', istilah untuk menyebut Caster yang baru mendapatkan kekuatannya.

"Jangan dekati dia!" teriak Elysa.

Ren menoleh. Basil tiba-tiba tergeletak begitu saja. Uap cokelatnya menghilang. Binding-nya pada tanah sekitar mereka menghilang. Tanah langsung bergetar. Lantai gua menjadi miring. Ren berusaha menarik Basil supaya tidak terjatuh. Mereka berdua tergeletak di lantai gua. Lantai itu semakin memiring lagi. Elysa langsung panik. Ren dan Basil terus bergulingan ke jurang. Tanpa berpikir Elysa membuat dua tangan es di udara; yang satu berhasil memegang Basil. Namun tangan yang satunya cuma mencair saat menyentuh Ren. Auranya terlalu sedikit.

Semakin panik, Elysa membuat tangan itu melemparkan Basil ke arahnya. Namun tangan satunya sudah gagal. Dengan ngeri, Elysa melihat Ren mulai jatuh. Matanya dan mata hitam Ren bertemu sesaat. Ren tersenyum sedih sebelum menghilang di balik jurang dan kegelapan.

Kau bisa menghentikan ini. Kata-kata Ren dalam mimpinya seolah menyalahkan Elysa sekarang. Dia berusaha membuat es lagi, namun Aura dan uap air sudah tidak mengindahkan perintahnya. Tidak ada satu pun es yang terbentuk.

"Ren," bisik Elysa sambil mengelap bibir yang tidak disadarinya telah berdarah dengan tangan gemetar.

✓✓✓

Fight scene pertama yang saya buat. Semoga ada yang berkenan. Hahaha.

Saya juga pernah mengatakan untuk mempercepat pacing cerita, dan ternyata oh ternyata saya tidak bisa melakukannya. Mungkin karena gaya seperti ini merupakan gaya penulisan saya atau entahlah. Chapter ini dengan chapter sebelumnya sebenarnya adalah satu satu chapter (makanya updatenya cepat sekali), tapi setelah diedit malah jadi 7k, makanya saya pisah jadi jadi dua chapter masing-masing 3,5k. (Ahli banget deh saya kalo soal memboroskan kata)

Okey, enough with curcol, thanks bagi yang udah baca sampe sini dan segala support yang kalian berikan. Thank you.

See you next chapter. ^^


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top