Bab 7 : Ke Anora
♢ ♢ ♢
"MAAF ... SAUDARAKU."
Ren terbangun oleh kata-kata yang menggelegar itu. Pegunungan tinggi yang mengelilinginya membuat dia kebingungan. Enam buah menara dengan warna yang berbeda juga menghiasi pandangannya. Dia sendiri berada di tengah, tepat di puncak menara ketujuh yang dikelilingi oleh keenam menara itu. Dia merasa pernah melihat pemandangan ini sebelumnya. Sebuah lukisan. Riege. Dia ada di atas Menara Putih Riege.
"Bagaimana aku—"
"AKU ... TIDAK BISA ... MENAHANNYA ... LAGI."
Ren langsung terduduk dan memejamkan mata. Suara itu bergema dari mana saja. Dari tanah, langit, bahkan dalam kepalanya sendiri. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya.
"DIA ... MENGINCAR ... KALIAN."
"Siapa itu?" teriak Ren.
Siapa pun pemilik suara tersebut sepertinya tidak mendengar Ren. Dia terus bergumam, meminta maaf dan sebagainya. Bunyi dencing rantai beberapa kali terdengar. Ren mungkin akan kasihan pada orang yang mengucapkan kata-kata itu, jika saja suaranya tidak membuat kepala terasa pecah.
"MAAFKAN AKU...." Suara itu melemah.
Ren tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, karena tiba-tiba dia terlempar ke angkasa, terbang seperti seorang Caster Angin. Riege telah menjadi titik sekarang. Dia berusaha bergerak, namun seluruh tubuhnya tidak mau merespon. Matahari membesar dan dalam sekejap, langit berubah merah. Semua bintang kelihatan, walau sekarang masih siang.
Seluruh Revaris tampak terlihat jelas dari sini, betapa tidak mungkinnya hal tersebut. Ren bahkan dapat melihat apa saja yang dilakukan oleh orang-orang. Dia menoleh ke Thrusia. Dia bisa melihat Elysa membuka buku-buku di kamarnya dengan gelisah. Basil sedang bersenda-gurau dengan John dan Gilbert. Seorang gadis tampak melukis dalam kegelapan hutan Norwood. Di Mircea dia melihat seorang pemuda berambut sebahu bermain-main dengan anjing kelabu. Raja dan staf-stafnya merapatkan sesuatu. Enice masih dalam perbaikan. Kapal Rancewind bergerak lambat di Laut Herring menuju utara. Dalam kapal itu, seorang anak berambut merah menyala hampir meledakkan wajah Kapten Harlake, sebelum dihentikan oleh wanita berambut biru.
Semua bayangan itu membuat Ren pusing. Dia memandang ke barat. Di istana Verinka, gadis berambut merah dengan tangan penuh api sedang bertarung melawan laki-laki bertopeng yang menggunakan kristalit listrik, merebutkan sebuah berlian hitam. Pandangannya beralih lagi, melewati Drasia, hujan meteor yang menyerang daerah Kalesia, rawa-rawa Ire, sampai badai pasir yang menyerang Shaqsan.
Di selatan, Imperium Elandor tampak jelas di hadapannya. Matanya menembus sampai ruang bawah tanah istana Corona, memperlihatkan seorang gadis kecil yang menangis di depan keranda emas. Di belakang, anak laki-laki yang sedikit lebih tua memperhatikan dengan ekspresi yang sama sedihnya. Semakin ke selatan, tampak garuda-garuda Silestra berperang melawan naga-naga Elandor, memperebutkan supremasi mereka di Kings Islands. Hewan-hewan legenda itu berjatuhan satu per satu dari langit bersama-sama dengan penunggang mereka.
"Berhenti!" desis Ren menutup mata.
Gambaran-gambaran itu berakhir.
Selang beberapa saat, pikiran Ren kembali tenang. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan dalam kepalanya, seperti bagaimana dia bisa berada di sini, atau—
"DIA ... RENCANA. MEREKA ... DUNIA ...."
Ren memegang kepalanya dan meringis kesakitan. Sial, saat pikirannya sudah mulai normal, suara itu terdengar lagi.
"TUBUHNYA."
"Diam!" teriak Ren membuka mata.
Apa yang dilihatnya kemudian langsung membuat Ren bergidik ngeri. Langit Revaris menjadi semakin merah. Matahari mendekat perlahan. Awan-awan hitam dari utara bergerak menujunya. Dalam sekejap, padang salju menghapus eksistensi makhluk hidup di Revaris Utara. Seluruh bangunan berubah jadi es. Orang-orang bahkan tidak sempat berteriak. Sementara itu, matahari semakin mendekat. Bintang-bintang di langit bersinar terang sampai mata langsung sakit cuma dengan melihatnya.
Angin dingin dari utara menerpa Ren, membuatnya melayang-layang di langit Riege. Ren berteriak. Sebagian kulitnya terkelupas terkena panas matahari, sebagian lagi tidak bisa bergerak karena dingin. Tubuhnya terbakar dan membeku sekaligus. Belum lagi dilayangkan oleh angin-angin itu.
"PIKIRANNYA ... BEBAS. HENTIKAN ... LAGI."
Suara dencing rantai semakin nyaring.
"AAARGGH."
Suara yang tersengal-sengal dan memelas itu tetap terdengar oleh Ren, mengalahkan teriakannya sendiri. Dia sempat melihat matahari yang sudah menutupi setengah langit, tapi daerah utara semakin membeku. Memandang berbagai hal-hal yang berada di luar logika membuat otaknya berhenti bekerja. Angin itu mulai berhenti. Sepertinya hukum gravitasi bekerja sekarang. Ren terjatuh dan teriakannya semakin keras.
Saat Ren mengharapkan kematian dengan cepat, kecepatan jatuhnya mulai melambat. Sesosok makhluk bersayap putih memegang tangannya. Kesadarannya memudar dan dia tidak bisa melihat dengan jelas bentuk makhluk itu, namun dari fisik sepertinya seorang wanita.
"Shht," bisik wanita itu di telinganya. Suaranya yang sejernih air langsung membuat Ren bungkam. "Ini hanya mimpi, bangunlah."
Wanita itu melepaskan tangannya. Ren melayang dalam keadaan setengah sadar. Sayup-sayup, dia mendengar wanita tersebut berkata lemah, "Selamat tinggal, Dyzek. Semoga kau tenang di sisi Sang Pencipta sekarang."
Ren langsung membuka mata. Sinar cincin di jari kirinya membuat dia menutup mata lagi. Terlalu menyilaukan. Saat itulah pintu kamarnya roboh. George dan beberapa orang pelayan masuk ke dalam. George langsung mendekati Ren dan memegangnya.
"Tuan Muda, Anda tidak apa-apa?"
Cahaya cincin menghilang. Kristalit cahaya yang dipegang George bersinar, demikian juga dengan kristalit lain di kamar Ren. Wajah George tampak pucat, begitu juga dengan yang lain.
"Tuan, Tuan Muda!" seru George. Dari pendengaran Ren, suara George terdengar lemah sekali seolah dia berada di tempat yang jauh.
"Tuan Muda!" seru George keras. Ren akhirnya tersadar. Peluhnya bercucuran. Seorang pelayan membawakan handuk kecil. Ren menerima itu dengan tangan yang gemetar.
"A-aku ... tidak apa-apa," kata Ren kacau.
"Apa saya harus memanggil Dokter Colton?"
"Sumpah, aku tidak apa-apa. Aku cuma ... mimpi buruk."
Muka tua George tampak skeptis. "Anda tadi berteriak. Kami kira Anda diserang atau apa."
Ren melirik pintu kamarnya yang sudah tidak ada lagi. Dia mendesah, berusaha memasang wajah netral. Mungkin yang lain akan mengerti kalau dia tidak ingin diganggu untuk saat ini.
"Kami akan berada di luar." George menoleh pintu yang sudah hancur. "Pintu Anda?"
"Besok saja."
Ren merebahkan tubuhnya kembali. Satu per satu pelayannya berkeluaran. George sepertinya agak ragu, namun pandangan tajam dari Ren membuatnya ikut keluar juga.
Tidak seharusnya kamu mengusir mereka seperti itu, pikir Ren. Berusaha menyampingkan perasaan bersalahnya, dia memikirkan mimpi tadi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ren memperhatikan cincin yang ada di tangannya. Dia tidak memakai cincin itu saat tidur. Cincin itu sepertinya dapat berpindah dengan mudah, dan selalu hinggap pada dirinya. Sial, bagaimana dia melepaskan diri dari cincin ini? Elysa benar. Sepertinya dia harus kembali lagi ke gua Anora dan menaruh cincin tersebut pada tempatnya lagi. Kemungkinan akan gagal, namun dia tidak bisa menemukan cara lain lagi.
Tapi kalau dia membuang cincin ini, misteri padamnya kristalit cahaya mungkin tidak akan terpecahkan. Argh.
Suara-suara minta maaf dan teriakan yang ada dalam mimpinya membuat Ren bergidik lagi. Dia melihat jam dinding. Satu pagi. Badai di luar masih mengamuk Mazell. Ren mendesah. Dia tidak akan bisa tidur sekarang. Malam yang akan panjang.
❄ ❄ ❄
"Delapan tahun," kata Elysa, "sejak terakhir kali aku melihat gua ini."
"Hmm," gumam Ren di sampingnya. "Kau masih ingat bagaimana kita dan Basil selalu ke sini? Mengganggu para penambang, bermain-main dengan pengebor. Ibu harus menyeret kita bertiga."
Elysa mengangguk pelan. Sebenarnya dia tidak ingat dengan apa yang dikatakan Ren. Memori sebelum dia Bangun sebagai Caster terasa buram sekarang. Mungkin itu efek samping dari menjadi Caster. Memori saat masih menjadi manusia biasa perlahan meredup, namun memori setelah menjadi Caster menjadi lebih kuat. Sampai sekarang Elysa masih ingat kereta apa yang dikendarainya, apa makanan yang dibelinya dan jam berapa dia membeli makanan tersebut, saat dia pergi untuk pertama kali ke Riege.
Kesibukan di mulut gua Anora dan pertambangan lightite di dalamnya terpampang di depan mereka. Para pekerja lalu-lalang, menarik bongkahan lightite, dan keluar-masuk gua. Semua orang menunduk hormat padanya dan Ren ketika berpapasan.
"Apa yang pernah kau lakukan sampai mereka seperti sangat menghormatimu?" tanya Elysa.
Ren terbatuk. "Hehe, aku Count mereka, sudah pasti mereka menghormatiku," sahutnya.
Dia jelas mengelak dari menjawab itu. Ini sudah kesekian kalinya Ren mengelak dari pertanyaan Elysa. Dia memang tampak aneh sore ini. Wajahnya terlihat lelah. Semua tingkah lakunya terasa dipaksakan. Beberapa kali Elysa memergokinya melirik cincin tanpa uap itu, seperti takut ada yang akan keluar menyerang dari cincin itu. Elysa sendiri juga tidak lebih baik. Dia merasa lemah. Melihat banyaknya Aura dalam badai semalam membuat dia tidak bisa tidur. Gara-gara kurang istirahat, kualitas Auranya menjadi jelek. Tapi karena semua itu, dia harus masuk ke gua secepatnya. Ren sepertinya juga ingin cepat kembali ke sini.
Dua orang penjaga pertambangan berjalan ke arah mereka. Elysa semakin melingkarkan tangannya pada tangan Ren, membuat kesan seolah mereka sedang bermesraan. Ren berseru, "Hai, Gilbert, Pak Tua."
Gilbert dan John—akhirnya Elysa ingat nama mereka—mendekat. "Tuan Muda, Nona Laird," kata John. "Anda ingin inspeksi mendadak lagi?"
"Haha, seperti itu," kata Ren tertawa. Dalam sekejap muka lelahnya berubah cerah. Terlalu cerah. "Aku kebetulan mengajak Nona Laird jalan-jalan ke sini. Mencari udara segar dan sebagainya."
"Ooh...," kata kedua orang itu bersamaan. Mereka langsung tersenyum menggoda. Ren nyengir.
Muka mereka bertiga yang seperti orang tolol membuat Elysa terganggu. Tanpa basa-basi lagi, dia menarik Ren ke dalam gua.
"Selamat bersenang-senang, kalian berdua," seru Gilbert tertawa.
Elysa menghidupkan kristalit cahaya saat kegelapan gua sudah semakin dominan. Dia melepas tangan Ren. Ren ikut menghidupkan kristalitnya. Wajahnya masih tetap tersenyum-senyum. Malas melihat mukanya, Elysa mengalihkan pandangan ke sekeliling mereka.
Lorong gua ini cukup besar. Tiap lorong memiliki beberapa cabang lagi. Berbagai peralatan berserakan di beberapa tempat. Mungkin karena keteraturan tempat ini, Elysa tidak merasa kalau dia berada di sebuah gua, tetapi sebuah ruangan bawah tanah yang telah didesain sedemikian rupa.
Mereka berjalan dalam diam. Wajah tolol Ren berganti semakin serius seiring dalamnya mereka masuk. Ren menuntunnya ke sebuah 'jalan pintas', lorong sempit bercabang yang menurutnya akan membawa mereka lebih cepat sampai ke pintu masuk. Elysa berusaha mengingat jalan-jalan yang mereka ambil. Namun, karena gelap dia sudah tidak ingat lagi. Sekitar lima belas menit, mereka keluar dari lorong itu.
Ren menunjuk sisi kiri gua. Lubang berdiameter dua meter terbentang di lantai. Sebuah tangga tali terpasang di sisi lubang itu.
"Jalan masuknya," kata Ren. "Siapkan kristalitmu, di sana ada kegelapan yang tidak biasa."
Mereka mendekat. Ren membuka tas kecilnya, mungkin memeriksa persediaan kristalit. Dia turun, diikuti oleh Elysa beberapa saat kemudian.
Elysa harus mengakui kalau tempat ini memang bukan gua biasa. Dia yakin sekali kalau saat ini dia berada dalam sebuah istana yang telah terkubur selama ratusan tahun. Dia masih tidak tahu mengapa langit-langitnya tidak ambruk. Pasti ada sesuatu yang menopangnya agar tidak roboh.
Setengah jam mereka berjalan. Semakin lama, gua ini kelihatan lebih rapi. Langit-langitnya melengkung ke atas dengan sempurna. Dindingnya yang terbuat dari tanah keras menunjukkan beberapa tonjolan batuan yang bersinar terkena cahaya kristalit. Lightite. Elysa mendekati salah satu dan menyentuhnya. Halus sekali.
"Lightite murni," kata Ren yang ikut berhenti. "Teksturnya sangat halus, kan? Jika lightite murni bisa dibuat pakaian, mungkin benda itu bisa menjadi komoditas utama Mazell selain kristalit cahaya."
"Huh? Batu ... jadi pakaian?" tanya Elysa datar.
"Tentu saja," kata Ren langsung senang. Kegelisahan yang ditampakkannya sejak mereka bertemu tadi memudar sedikit. "Mengubah lightite menjadi produk selain kristalit cahaya masuk dalam sepuluh impianku, kau tahu?"
Elysa mendengus. "Mungkin menyenangkan punya banyak impian," katanya berhenti mengelus batuan itu. "Walau impian itu sangat ... tidak biasa, seperti mengubah batu jadi tekstil."
"Jika orang-orang Drasia bisa memintal baju dari emas, mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama? Bahannya saja yang berbeda."
Elysa tidak membalas perkataannya. Dia berjalan lagi dengan Ren yang buru-buru ke sampingnya. Kristalit cahaya diangkat sekali lagi. Cahayanya semakin melebar ke seluruh lorong. Berbeda dengan lorong gua tadi, lorong ini lebih teratur. Bukan buatan alam pastinya. Lantainya yang bercorak membuat Elysa semakin yakin kalau mereka berada di sebuah bangunan yang telah tertimbun oleh tanah.
"Mimpiku tidak banyak kok, cuma sepuluh," kata Ren lagi. "Ngomong-ngomong, memenangkan hatimu jadi nomor satu sekarang."
Elysa hanya mengangkat alis. Ren sepertinya berharap dia mengatakan sesuatu. "Tadi kau terlihat lelah, di depan Gibert dan John kau terlalu ceria, masuk ke sini kau kelihatan seperti idiot, kemudian berubah serius, sekarang kau jadi ... senang? Ada apa Ren?"
"Wah, Elysa. Kau perhatian sekali padaku. Aku merasa tersanjung."
Elysa cuma menggeleng. Ren balik bertanya, "Tapi, apa perubahannya terlalu kentara?"
"Seperti siang dan malam," sahut Elysa datar.
Ren mengumpat pelan. Dia mendesah. "Aku memang lelah, dan masih lelah sebenarnya. Hein tidak masuk; semua pekerjaannya harus kulakukan. Sialnya aku tidak bisa tidur."
Mukanya cerah lagi. "Tapi, aku tidak akan membiarkan hal tersebut mengganggu perjalanan kita. Lagi pula, bicara tentang lelah, kau harus melihat cermin, Elysa. Aku yakin kau tidak tidur semalam. Kau bermimpi buruk juga?"
Elysa lebih memilih untuk diam. Dia masih tidak mau bicara tentang mimpi-mimpinya. Bahkan Kayri saja tidak tahu kalau dia sering memimpikan Frozen Kingdom. Biar dia sendiri yang menanggungnya, untuk saat ini. Mungkin akan tiba saat di mana dia harus menceritakan alasan sesungguhnya mengapa dia menginginkan bagian dari Anima di Revaris, tapi tidak sekarang. Rencananya mungkin akan terganggu. Elysa tidak ingin mengambil risiko.
"Dan di sini lah kita," seru Ren, "dua orang kurang tidur, berkencan dalam gua gelap, yang satu terlalu sibuk mengunci mulutnya, yang satunya lagi terlalu sibuk membuka mulutnya. Jika ini bukan definisi dari 'Pasangan yang Saling Melengkapi', aku tidak tahu lagi harus memanggilnya apa."
Entah mengapa, Elysa jadi kesal sendiri dengan sikap Ren yang terus berubah itu. "Oh, diamlah. Dan kembali ke sifat aslimu, apa pun itu."
Ren menunduk. "Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu jengkel. Aku bahkan tidak menduga kau bisa jengkel."
Elysa berdecak kesal. Auranya bahkan hidup sendiri. Menenangkan diri, dia mematikan Aura. Dia sempat mendengar Ren bergumam, "Ini semua gara-gara mimpi itu."
Bongkahan lightite semakin banyak di bagian ini. Di langit gua juga ada. Bentuknya juga sama seperti yang disentuh Elysa tadi. Lightite murni. Tempat ini memiliki lightite murni dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang dimiliki pertambangan Riege. Kristalit cahaya yang dibuat pasti akan lebih baik dan tahan lama. Nilai jualnya—
Oh, benar. Pemadaman kristalit cahaya. Jika peristiwa itu terus berlanjut, kristalit cahaya mungkin tidak akan laku lagi di pasar. Apa Ren melakukan semua ini untuk menyelamatkan bisnisnya?
Ren tiba-tiba berhenti dan memegang pundaknya. Elysa berbalik. Mata mereka beradu. "Nona Laird, maafkan sikapku yang menjengkelkan tadi. Tidak seharusnya aku berkelakuan seperti itu." Dia tersenyum kecil sambil mengarahkan kristalitnya ke dinding yang agak jauh. "Sebagai permintaan maaf, aku persembahkan itu padamu."
Awalnya Elysa tidak tahu apa yang dilihatnya. Cuma sedikit warna hijau di dinding gua. Dia mendekat untuk melihat dengan lebih jelas. Sekumpulan lumut hijau bertebaran di sana. Lumut-lumut itu tumbuh dengan subur membentuk beledu hijau yang bergerak-gerak seolah ditiup angin. Pasti disebabkan oleh efek cahaya kristalit.
"Aku sudah mencari lumut itu dalam buku klasifikasi tumbuhan cetakan terbaru. Tidak ada datanya," ucap Ren. "Aku cuma bisa memperkirakan lumut ini dari kelas Lauselopsida. Tentang namanya, aku bisa memberinya dengan namamu kan? Lauselsa Elysia. Ditemukan oleh Ren Altera, dipersembahkannya untuk calon istrinya."
"Kau memberi nama lumut dengan namaku?" Elysa tidak tahu harus jengkel atau senang.
"Tentu," kata Ren. "Jika suatu saat pelajar menyelidiki lumut ini, mereka akan tahu tentang sejarahnya. Mungkin aku harus meromantiskan cerita penemuan ini, supaya terdengar lebih seru."
Elysa memijat kepalanya. Entah mengapa dia jadi pusing.
"Jika saja aku tahu bagaimana mereka bisa hidup.... Aku mengira ada keterlibatan Aura," ujar Ren. "Kau bisa memeriksa mereka?"
"Terserah." Elysa menghela napas sambil menghidupkan Auranya.
Lumut-lumut itu mengeluarkan uap putih. Beberapa benang putih juga tampak melingkar di sekitar lumut itu. Pantas saja bisa hidup di tempat seperti ini. "Mereka menggunakan lightite sebagai sumber energi. Mereka menghidupkan Aura secara terus menerus dan menyerap Aura yang dimiliki lightite untuk menunjang kehidupan."
Elysa melirik Ren. Mata Ren bersinar seperti menemukan mainan baru. Kesenangannya juga tidak terlihat dipaksakan, melainkan kesenangan murni. "Jadi seperti itu? Apakah prinsipnya sama seperti seorang Caster?"
"Lebih kurang," kata Elysa. Ren sepertinya belum mau beranjak dari tempatnya memperhatikan lumut itu. Apa sih yang dilihatnya dari lumut-lumut ini? "Mereka melakukan Binding pada lightite, sejauh yang kulihat."
"Binding? Apa itu?" tanya Ren.
"Kau tidak tahu?" Ah, tentu saja dia tidak tahu tentang itu. Non-Caster biasanya cuma tahu tentang aucast secara garis besarnya saja.
Ren menggeleng. Binar di matanya semakin terang. Elysa tidak tahan melihat mata Ren yang memelas penjelasan.
Menghela napas, Elysa berkata, "Aucast terbagi menjadi sembilan bagian, Ren. Setiap Caster setidaknya dapat melakukan empat dari sembilan bagian itu. Kita menggunakan istilah Imperium saja untuk menyebut bagian-bagian tersebut.
"Yang sering kau lihat dan sering juga kupakai adalah Casting. Seperti ini." Elysa menghidupkan Aura dan menggerakkan tangannya. Dua buah pisau es melayang di udara. "Aku langsung mengubah Auraku menjadi sebuah materi. Karena aku Caster Es, jadi yang kubuat hanya apapun yang terbuat es atau air. Itu merupakan dasar Casting."
Ren mengeluarkan buku kecil dan pena dari saku mantel biru tuanya. "Aku selalu mengira kalau aucast itu cuma satu. Ternyata tidak. Tunggu, aku harus menulis ini." Dia manggut-manggut sebelum bertanya, "Hmm. Kalau Casting itu menciptakan elemen dari Aura, bagaimana dengan Caster Tanah? Tanah yang mereka kendalikan, mereka tidak membuatnya dari Aura, kan?"
Elysa hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah pemuda itu. "Tidak. Mereka bisa sih membuat tanah dari Aura, tetapi aku jarang melihatnya. Nah, mereka memakai Binding untuk mengendalikan tanah-tanah itu." Elysa mengarahkan tangannya pada Ren. Benang-benang biru keluar dari jarinya dan mulai meliliti tubuh Ren. Ren tidak bisa melihat benang itu. Cuma Elysa sendiri—atau Caster lain—yang dapat melihatnya.
"Kau melakukan apa?" tanya Ren heran.
"Aku baru saja mem-Binding tubuhmu," kata Elysa tersenyum.
"Apakah aku harus merasakan sesuatu?"
"Tidak, karena kalau aku mem-Bindingmu dengan serius, kau sudah mati sekarang. Tubuhmu berubah jadi bunga-bunga es. Dan Aura-mu menjadi milikku. Coba hidupkan Auramu."
Uap biasa mulai berkeluaran dari pakaian Ren. Wajahnya langsung memucat. Gerakan menulisnya terhenti. Elysa mematikan Aura sambil menahan tawa. Benang-benang itu pun menghilang.
"Aku tidak bisa bergerak," kata Ren terengah.
"Dasar Binding seperti itu. Kau mengeluarkan benang Aura, mengikatnya pada target, dan melakukan apa yang kau mau pada target. Kalau aku, aku bisa mengubah target jadi es, menyerap Auranya, atau kalau targetnya adalah air dan es, aku bisa mengendalikan mereka. Aku bisa juga mem-Binding uap air yang ada di udara. Pokoknya seperti itu. Jika seorang Caster mem-Binding non-Caster, hasilnya seperti yang kau alami. Apa yang dapat dilakukan oleh Binding tergantung dari siapa yang melakukannya sih. Kalau yang melakukannya adalah Caster lain, maka bentuk Binding mereka akan beda lagi. Tapi prinsipnya tetap sama. Mereka harus mengeluarkan benang Aura dan mengikatnya pada target.
"Seperti yang dilakukan oleh lumut-lumut itu. Mereka mem-Binding lightite dan menyerap Auranya. Binding yang hebat dapat kau lihat pada Caster Angin. Mereka bisa mengikat benang-benang Aura pada udara kosong dan terbang menggunakan itu. Huh, aku selalu iri pada mereka. Selain itu—" Elysa berhenti. Sial. Dia terlalu banyak bicara, dan terlalu semangat. Ren tidak menulis, malah memperhatikannya seolah dia adalah makhluk hidup baru.
"Apa?" sahut Elysa.
"Aku suka ekspresimu saat menjelaskan itu," kata Ren. "Kau tampak lebih ... 'hidup'. Sama seperti saat kau tersenyum semalam." Ren meletakkan kembali catatannya dalam saku. Dia mendekati Elysa dan tiba-tiba memegang tangannya. "Mari kita bicara sambil jalan."
"Apa yang kau lakukan?" Elysa berusaha melepaskan tangannya. Namun pegangan Ren lebih kuat.
"Aku baru saja mem-Binding tanganmu," ucap Ren.
"Kau memegang tanganku, bukan mem-Binding," balas Elysa. "Kau tidak mendengar penjelasanku tadi? Binding—"
Ren sudah menggenggam tangannya dan membuatnya berjalan. Mau tak mau, Elysa mengikut. Dia sempat berpikir untuk membekukan jari-jari Ren dan melepaskan diri. Namun, perkataan Ren selanjutnya membuat dia ragu melakukan itu.
"Kau tahu, aku suka dengan tanganmu yang dingin ini," kata Ren sambil merapatkan lagi genggamannya. "Kedinginan yang kau keluarkan sepertinya membuat otakku tidak berjalan dengan baik."
Hmm.
"Dan kau suka dengan itu?"
"Aku terlalu banyak berpikir akhir-akhir ini. Rasanya sangat menyenangkan sekali tidak berpikir untuk sesaat," kata Ren pelan. Dia menghela napas dan berkata, "Pernahkah kau bermimpi buruk sedemikian nyatanya sampai kau takut untuk tidur lagi?"
Hampir setiap hari. Memikirkan Frozen Kingdom membuat Elysa menggigit bibirnya. Tanpa sadar, dia membalas genggaman Ren.
"Aku ingin melupakan sebuah mimpi. Melupakan panasnya matahari yang membakarku, melupakan padang beku Revaris Utara, melupakan bintang-bintang yang mengerikan itu, melupakan kristalit yang padam. Melupakan semua masalah-masalah ini. Bersamamu dan kedinginan yang kau ciptakan, sepertinya aku bisa melakukannya."
Ren terdengar jauh sekarang. Elysa agak terganggu dengan salah satu kalimat Ren tadi, namun wajah damai Ren membuatnya tidak jadi bicara. Mereka berjalan dalam diam.
Entah sudah berapa lama mereka berjalan, sampai Ren berkata, "Lanjutkan penjelasanmu tentang aucast tadi."
"Kau tidak akan mendengar. Kau mengatakan otakmu sedang tidak berjalan."
"Jadi?" tanya Ren. "Aku akan terus menggenggam tanganmu sampai aku bisa berpikir dengan baik saat melakukan itu."
Elysa mendesah pelan. Sepertinya dia tidak akan bisa lepas dari Ren saat ini.
"Yang ketiga adalah Preserving," mulai Elysa. "Preserving sebenarnya adalah mekanisme pertahanan diri untuk seorang Caster. Bagian yang ini melindungi Casternya dari serangan fisik dan mental. Seperti insting, tapi lebih akurat lagi. Berbeda dengan bagian yang lain, Preserving tidak perlu dikontrol—tapi bisa kalau Caster mau mengontrolnya—dan lebih terikat pada emosi dibandingkan pada nalar. Contohnya, jika dalam bahaya, Aura seorang Caster akan hidup sendiri tanpa diperintah, membuat si Caster sadar akan bahaya di sekitarnya. Itu merupakan salah satu pengaplikasian Preserving. Seorang Caster dengan Preserving yang hebat dapat mengetahui dari mana dan bagaimana suatu serangan akan datang, bahkan sebelum penyerangnya melakukan serangan itu."
"Wow. Bagaimana denganmu?" tanya Ren.
Elysa menunduk. "Aku ... agak buruk. Masih terlalu terikat pada emosi. Walau cuma terkejut saja atau disentuh dengan tiba-tiba, Preservingku akan beraksi." Elysa tertawa pelan. Dies yang sering mengejutkannya selalu terkena efek dari Preservingnya.
"Sebenarnya, aku cuma bisa menguasai ketiga bagian aucast itu saja," tambah Elysa. "Jadi aku tidak bisa menjelaskan yang lain."
"Aku kira kau menguasai semuanya."
"Aku belum menguasai Sealing. Menguasai semua adalah mustahil, Ren. Bukankah sudah kukatakan kalau Caster cuma menguasai empat bagian saja? Ada bagian yang eksklusif untuk Caster tertentu. Seperti Accelerating yang hanya bisa dipakai oleh Caster Elektrik dan Angin. Ada juga yang telah punah seperti Voiding. Karena Caster Kegelapan yang hanya bisa menggunakan itu sudah tidak ada lagi sekarang, jadi kita cuma bisa menduga bagaimana caranya. Binding sendiri cuma bisa dipakai oleh Caster Air, Angin dan Tanah."
Ren manggut-manggut.
"Ternyata banyak juga yang tidak kuketahui tentang Caster. Sial, aku terlalu menutup mata terhadap dunia itu." Ren tersenyum. "Aku sangat ingin mendengar lanjutan penjelasanmu, Elysa. Namun itu ditunda dulu. Kita sudah sampai."
Kegelapan yang sangat pekat menghalangi jalan mereka. Cahaya kristalit bahkan tidak mampu menembusnya. Kegelapan di depan lebih menyerupai kabut hitam daripada kegelapan biasa. Elysa menelan ludah. Kegelapan itu ... memanggilnya.
"Kau lihat?" tanya Ren. "Berikan sebanyak-banyaknya Auramu pada kristalit. Tapi jangan di-overcast. Nanti kristalitmu malah meledak."
Menuruti saran Ren, Elysa memberikan banyak Auranya. Kristalit semakin bersinar terang, sampai dia hampir menutup mata. Sebelum dia sempat bergerak, Ren telah menarik tangannya masuk dalam kegelapan tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top