Bab 6 : Badai Mazell

❄ ❄ ❄

Semilir angin dingin membelai wajah Elysa. Perlahan, dia membuka mata. Biru. Gelap. Berkabut. Warna dan suasana paling dominan di tempat ini.

Elysa menengadah dengan lemah. Awan hitam menguasai seluruh langit. Mungkin sekarang sedang malam. Cahaya banyak bintang terlihat dengan jelas, puluhan kali lebih terang daripada yang seharusnya. Bagaimana bintang-bintang itu kelihatan, walau seluruh langit ditutupi awan hitam akan tetap menjadi sebuah misteri baginya. Elysa menghela napas lambat-lambat. Dia mulai menyadari di mana dia sekarang.

Matanya menatap horizon. Meskipun gelap, tetapi karena suatu alasan dia bisa melihat sampai ke sana, sampai ke ujung padang tandus ini. Padang tandus biru yang hanya terbuat dari salju dan es. Satu lagi hal absurd yang dimiliki tempat ini.

Tidak ada satu pun kehidupan yang dapat dilihatnya. Eksistensi makhluk hidup seperti sudah terhapus oleh es dan salju. Cuma ada pohon-pohon mati yang berdiri dengan salju bertumpuk di dahan mereka. Suhu sangat dingin, hembusan napasnya saja banyak mengeluarkan uap air. Manusia biasa pasti tidak bisa bergerak atau mati sekarang. Namun, Elysa bukan manusia biasa. Menggigil juga tidak, meskipun tubuhnya cuma dibalut oleh gaun malam tipis.

Dia mulai melangkah.

Kabut biru yang berkumpul di udara tidak membuatnya melambat. Pandangan Elysa tetap dapat menembus kabut, karena kabut ini bukanlah kabut biasa, melainkan kabut yang padat dengan Aura. Dia masih tidak bisa membayangkan banyaknya Aura yang digunakan sampai membentuk kabut—bukan lagi uap—seperti ini. Tempat ini adalah surga untuk Caster. Banyaknya Aura dan sisa Aura yang berkeliaran bebas di udara membuat Caster dapat melakukan apa pun tanpa harus takut kehilangan Aura dalam diri mereka. Casting tak terhingga.

Tapi, tentu saja tempat seperti ini akan membuat non-Caster mati keracunan Aura.

Elysa terus berjalan, mempersiapkan dirinya untuk mendengar suara yang diyakininya akan datang. Sebentar lagi, suara itu akan muncul. Selalu saja begitu dalam dunia ini.

"Aku ... dapat ... mengakhiri ini...."

Akhirnya, pikir Elysa.

"Seharusnya ... aku ... menghentikannya."

Suara yang sangat mirip dengan suaranya sendiri. Namun, bukan dia yang mengucapkan itu. Suara tersebut bergema begitu saja di seluruh padang es, seolah-olah padang ini dikungkung dalam sebuah gua.

"Mengapa aku ... tidak berhenti saja?"

Elysa mempercepat langkahnya dalam kabut, berusaha mencari sumber suara yang semakin putus asa itu. Akan tetapi, dia tahu dia tidak akan menemukannya. Tanpa disadarinya, tempat dia berpijak sekarang berubah jadi sebuah bukit yang terbuat dari es. Padang tandus itu terlihat di bawah. Suara tersebut sudah tidak terdengar lagi. Namun, pemandangan mengerikan itu yang menggantikannya. Dan di sini lah dia menemukan mereka. Di tepi sebuah jurang. Pemandangan yang sama. Keluarganya, teman-temannya. Mati.

Sebuah pedang es menancap tepat di jantung Dies. Ayah membeku dari kepala sampai kaki, matanya menghitam dan tetesan darah hitam keluar dari mulutnya. Cleva menggantung diri. Tubuh Kayri dipenuhi oleh banyak luka pisau. Duane tinggal kepalanya lagi. Elysa menggigit bibir sampai berdarah. Tangannya gemetaran. Serpihan-serpihan es kecil bermunculan di udara. Kamu lemah. Ini cuma mimpi. Mimpi. Mimpi!

Biasanya dia akan bangun setelah ini. Namun, ada yang baru dalam mimpinya. Pandangan Elysa terarah pada seseorang yang ada di tepi jurang. Sosok Ren berdiri membelakanginya sambil memandang padang es. Sebuah pedang putih bersinar terang di tangannya dan seekor merpati yang juga putih bertengger di bahu kanan. Ren menoleh padanya dengan iba.

"Hanya kau yang bisa menghentikan ini," katanya lirih sebelum terjun dari jurang itu. Merpati itu terbang.


"Hah!" Mata Elysa terbuka lebar. Napasnya tersengal-sengal. Gerakan bangunnya yang tiba-tiba membuat dia hampir jatuh dari kursi.

Meja mahoni, rak-rak buku yang familier di belakangnya, dan perapian itu menyadarkannya kalau dia masih ada di perpustakaan.

Mimpi itu lagi.

Mimpi yang kadang-kadang menghantuinya selama enam bulan terakhir makin sering muncul sekarang. Bahkan saat dia melamun sekalipun.

Ada satu hal yang baru dalam mimpi tadi. Keberadaan Ren. Dia tidak tahu apa artinya itu. Elysa memijat pelipis kanannya. Berusaha menenangkan diri, dia membuka halaman terakhir Anima di Revaris.

Dia menatap halaman yang sudah terkoyak itu. Halaman yang seharusnya berisi tentang jawaban atas hal yang ingin ditanyainya selama ini. Halaman yang mungkin menjawab mimpi buruknya. Ren sudah punya jawaban untuk masalahnya. Tidak, cuma untuk setengah masalahnya. Tapi itu sudah penting sekali. Seharusnya Elysa bergembira, tetapi dia tidak segembira yang diduganya.

Aucast untuk Profesional dan Sejarah Awal Revaris terbuka begitu saja, tanpa disentuhnya lagi. Cahaya dalam perpustakaan yang cukup terang tampak gelap bagi Elysa.

"Saya kira Anda bergembira, Nona," kata Cleva tiba-tiba. Elysa tidak menyadari kapan pelayannya masuk. "Anda tampak senang tadi."

"Tadi," ucap Elysa.

Cleva menyerahkan sapu tangan padanya.

"Bibir Anda berdarah lagi, Nona."

Elysa mengambil sapu tangan itu. "Terima kasih," ucapnya pelan. Elysa merasa ingin tertawa saat itu juga. Dia bahkan tidak menyadari ada darah di bibirnya. Caster seperti apa yang tidak menyadari kalau dirinya sendiri terluka? Caster gagal, pikir Elysa miris.

Mimpi itu membuat mood-nya buruk kembali. Belum lagi masalah Ren dengan cincinnya itu. Cincin tidak beruap itu membuatnya takut. Tapi dia tidak tahu mengapa. Apa karena cincin itu aneh? Tidak, pasti ada alasan lain lagi.

Panas yang keluar dari perapian membuatnya makin tidak senang. Sebaiknya dia bekukan saja perapian itu.

Merasa emosinya semakin tidak stabil, Elysa memejamkan mata. Dia tidak perlu takut mimpi itu datang lagi. Mimpi itu biasanya datang tiap beberapa hari sekali, tidak pernah dua kali dalam sehari.

Bahkan mimpi sendiri pun pakai jadwal, pikirnya getir.

Bayangan keluarganya yang meninggal menghantuinya lagi. Dia sudah berkali-kali melihat pemandangan seperti itu, seharusnya dia sudah terbiasa, namun tetap saja melihat Dies, ayahnya, dan teman-temannya.... Berusaha tidak mengingat itu, dia memikirkan hubungannya dengan Ren. Mungkin kalau dia berpikir tentang hal lain, bayangan itu akan terlupakan. Biarpun cuma untuk sementara.

Ayah ternyata berbohong saat mengatakan kalau dia dan Ren akan langsung bertunangan ketika dia pulang. Di hari kedua dia baru mengetahui kalau Ren hanya mengusulkan pertunangan ini, bukan "memaksa" seperti yang ada dalam surat ayahnya. Saat dia menghadapi ayah dengan fakta ini, ayah cuma tertawa dan berkata santai, "Aku berbohong."

Betapa bodohnya aku mempercayai itu.

Tapi tentu saja kalau dia tidak percaya, dia tidak akan mengetahui kalau Ren adalah anggota Perpustakaan Royal Mircea. Elysa tersenyum sedikit. Dengan senang hati dia akan menerima Ren dalam hidupnya, jika itu dapat mencegah bencana yang akan datang. Setelah pernikahannya dengan Ren selesai, dia akan langsung pergi ke Mircea dan menggunakan status barunya untuk mencari lanjutan buku ini, buku rahasia yang seharusnya memuat informasi tentang Visela, sang Anima Air yang sangat diinginkannya.

Waktu semakin mepet. Penyelidikannya selama ini mengindikasikan adanya pendinginan global di hemisphere utara Revaris. Pendinginan yang tidak normal. Dia yakin ada pihak yang ingin mengulang kejadian yang membuat Frozen Kingdom kembali, tapi untuk tujuan apa dia tidak tahu. Elysa tidak buta sejarah. Dia tahu kalau mimpinya selama ini berlatar di Frozen Kingdom. Deskripsi buku tentang kerajaan kuno itu sama seperti yang ada di mimpinya, pembedanya cuma bintang-bintang yang terang saja.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana mencegah itu semua? Jika Visela masih ada, mungkin dia bisa menghentikan bencana ini.

Tenang, aku harus tenang sekarang.

Tapi bagaimana caranya menghentikan atau setidaknya mengendalikan cuaca seekstrim itu? Cuma Anima Air yang bisa melakukannya, tapi dia sudah tidak ada. Elysa tahu kalau pertanyaan seperti itu akan tetap muncul, bagaimanapun dia berusaha menghilangkannya.

"Sial!"

Suara keras Ren dari lantai bawah membuat Elysa kembali ke dunia nyata. Dia menoleh pada Cleva. Cleva cuma mengangkat bahu.

Mungkin sebaiknya dia keluar dari perpustakaan ini.

Elysa mengambil buku Anima di Revaris dengan sayang. Seharusnya buku yang didapatkannya dari jasa anak buah Kayri itu membuatnya harus membayar mahal. Namun karena dia teman Kayri, orang-orang yang Kayri suruh untuk mencari buku ini memberikannya dengan gratis. Baru beberapa hari kemudian Elysa mengetahui kalau teman-teman Kayri itu adalah anggota Perserikatan Blackhood, kumpulan penjahat dan pembunuh bayaran yang paling dicari-cari di Revaris Barat. Bagaimana seorang putri kekaisaran yang terhormat seperti Kayri berteman dengan orang-orang seperti itu cuma Sang Pencipta yang tahu. Dia bergidik memikirkan apa yang dilakukan orang-orang tersebut untuk menemukan buku ini.

Tidak penting lagi sekarang.

Cleva mengikutinya dari belakang. Trista—pelayannya yang baru—sepertinya masih berada di kamarnya. Elysa melihat dari lantai dua. Pertemuan antara ayahnya dengan Ren sepertinya telah berakhir. Ren dan seorang laki-laki tua berambut putih yang dikenalinya sebagai Master Porren sudah berada di dekat pintu depan.

Ren tersenyum padanya sambil melambai. Agak ragu, Elysa melambaikan tangannya juga. Perawakan santai Ren sama sekali tidak cocok dengan matanya. Mata itu mengeras, tidak lagi memancarkan ketenangan, rasa percaya diri yang tinggi atau sedikit kebingungan seperti saat di perpustakaan. Walau begitu, mulutnya tetap menyunggingkan senyum yang tidak terlihat dipaksakan. Selesai melambai, Ren berpaling, mengambil fedora hitamnya dari pelayan dan keluar. Master Porren mengangguk hormat pada Elysa dan mengikuti Ren.

Langkah Dies terdengar dari tangga. Elysa menoleh. Melihatnya sedang memegang railing membuat Dies tersenyum sendirian.

"Hei, kau tidak membekukan Ren," sahut Dies tak percaya.

Elysa tidak membalas, walau dia sedikit mengerti dengan apa yang dikatakan Dies.

"Sial, dia terlalu berhati-hati. Seharusnya aku tidak memperingatinya tadi."

Dies berhenti di sampingnya dan dengan satu tangan menggandeng Elysa. Elysa langsung menghidupkan Auranya tanpa sadar. Tangan Dies perlahan membeku.

"Hoy, hoy. Aku cuma menggandengmu. Masa kau ingin membekukanku juga?"

"Kau tahu aku tidak suka disentuh tiba-tiba," desis Elysa.

"Adikku memang pemalu," kata Dies tanpa mempedulikan es di tangannya."Sangat pemalu."

Elysa dengan risih menyingkirkan tangan Dies. Tapi Dies tidak bergeming. "Apa yang kalian bicarakan tadi?" tanyanya. "Ren kelihatan ... marah?"

Dies tidak menjawab. Ekspresinya berubah datar.

"Baca saja ini," kata ayah yang tiba-tiba berada di belakang mereka. Elysa hampir meloncat saking kagetnya. Untunglah tangan Dies masih ada di bahunya. Kemampuan deteksinya semakin parah saja.

Ayah mengulurkan sebuah amplop putih dengan segel kuda frost merah. Mata Elysa melebar melihat itu. Keterkejutannya menghilang. Bukunya langsung diberikan ke Cleva. Dengan cepat, diambilnya amplop itu.

"Ini surat darurat kan?" Elysa mengeluarkan suratnya. "Ditulis oleh raja sendiri, untuk Master Porren. Aku boleh membacanya?"

"Si Harnish dan Master sedang tidak melihat kita sekarang," cengir ayah.

Tidak memedulikan panggilan biasa ayahnya pada raja mereka, Elysa mulai membaca surat itu.

"Temanku yang baik,

"Walaupun kita sudah lama tidak bertemu, aku tidak akan berbasa-basi lagi. Kerajaan ini membutuhkan kepiawaianmu. Datanglah ke Mircea segera. Berbagai ancaman menuju kerajaan kita. Hubungan Elandor dan Milderia siap meledak kapan-kapan saja. Caster Airku mengatakan kalau suhu Laut Utara semakin tidak stabil. Kristalit cahaya padam tanpa alasan yang jelas. Aswyn menghilang di laut. Enice diserang oleh Caster-Caster liar, dengan kemampuan yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Kapal milik Altera juga dibajak oleh Caster-Caster itu. Berikan lampiran yang kusertakan di surat ini pada Altera muda. Di sana lebih detail.

Aku tidak bisa menulis lama lagi. Sampaikan salamku pada Laird dan istrimu. Aku minta dengan sangat, datanglah ke Mircea. Kami sangat membutuhkanmu.

Salam,

Korel Harnish"

Elysa membalik surat itu. Kertasnya sangat bagus, begitu juga amplopnya. Tulisannya agak berantakan, pasti dibuat dengan buru-buru sekali. Namun berita yang ada di dalamnya ... itu sudah cukup untuk membuat Elysa yakin dengan apa yang sedang terjadi. Apa ini yang membuat Ren marah?

"Untuk seorang raja, dia lugas sekali," kata Elysa akhirnya.

"Memangnya apa yang kau harapkan dari raja kita?" tanya Dies.

"Seseorang yang mampu membuat surat rahasia yang penuh dengan kode-kode yang cuma bisa dimengerti oleh penerimanya."

Dies langsung tertawa.

"Raja tidak perlu membuat yang seperti itu, sayang," kata Dies. "Dia telah memiliki Kurir Kerajaan yang akan mempertaruhkan nyawa mereka untuk menghantarkan surat-surat rahasianya."

Oh, Kurir Kerajaan. Elysa melupakan kurir elit Raja Harnish itu. Menjadi kurir tersebut merupakan pekerjaan yang selalu diimpikan oleh Dies.

"Kurir Kerajaan. Mereka sama ganasnya dengan assassin Shaqsan, Royal Guardian Imperium, atau White Corps-nya Riege," kata Dies mulai melantur. Matanya menatap langit-langit, tangan kirinya ke atas, dan pikirannya pasti sudah ke mana-mana sekarang. "Hei, aku mungkin bisa meminta Master untuk merekomendasikan diriku pada mereka. Kalau itu gagal, jadi pelindung keluarga kerajaan sudah cukup juga."

"Kau yang akan mewarisi ini semua," kata Elysa sambil memandangi rumah mereka. "Kau seharusnya jadi Baron yang baru."

"Dan aku menolak," sahut Dies. "Kau saja yang mewarisi ini," sambungnya enteng.

"Aku—"

"Ren sudah terlanjur mencintai Mazell, dia pasti akan memindahkan pusat pemerintahannya dari Fonte ke kota kecil kita ini. Satu tempat tidak memerlukan dua orang pemimpin. Jadi biarkan saja dia yang memerintah. Dan kau akan menjadi istrinya. Aku cukup gembira untuk itu. Lagi pula, aku akan pergi ke Mircea ketika Master telah meluluskanku."

Elysa pernah mendengar argumen ini sebelumnya. Dia malas untuk berdebat lagi dengan Dies. Dia melirik ke belakang. Ayah sedang memakan ayam goreng, lagi. Kelihatannya dia tidak peduli dengan percakapan mereka. Namun, Elysa tahu kalau ayahnya hanya pura-pura saja dengan tingkahnya itu. Dia pasti sedang awas mendengar. Bagaimanapun juga, dia yang mengajar Ren untuk mengendalikan emosinya secara efektif.

Tanpa sadar, Elysa sudah berada di depan kamarnya. Dies melepaskan gandengannya.

"Sebenarnya aku mau mengajakmu kelahi lagi tadi, tapi kau sepertinya tidak dalam mood yang baik. Sayang sekali, padahal aku ingin melawan seorang Caster," kata Dies mengangkat bahu.

Elysa memandang tajam Dies. "Aku sudah malas menanggapi permintaanmu itu. Lagi pula tadi sore kita sudah 'kelahi'."

"Hasilnya seri," seru Dies. "Aku belum bisa mengalahkanmu."

"Dan aku juga belum bisa mengalahkanmu. Berbeda denganmu, aku tidak peduli dengan semua itu," sahut Elysa ketus sambil membuka pintu kamar.

Dies mendekati Cleva dan langsung mengambil Anima di Revaris dari tangannya.

Elysa berbalik, menghidupkan Aura, dan membuat pisau es dalam sekejap. Dies mundur tepat sebelum pisau itu mengenainya. Elysa tahu gerakan seperti itu tidak akan melukai Dies. Dia cuma ingin Dies mundur saja. Dies sendiri tersenyum lebar.

"Jangan memprovokasiku," bisik Elysa.

"Bagaimana aku melawanmu jika tidak memprovokasimu? Kau tidak akan mau." Dies tersenyum. "Anggap saja ini latihan."

Elysa menghela napas dan mencairkan pisaunya. Dengan gemas diambilnya buku itu kembali. Dia berbalik lagi ke kamarnya.

"Kalau kalian ingin menunjukkan rasa kasih sayang kalian yang aneh dan kalian sembunyikan dengan baik dengan cara yang lebih aneh lagi itu, di luar saja," sahut ayah yang tiba-tiba saja sudah ada di dekat mereka. Sungguh, ucapan ayah yang berbelit-belit membuat Elysa makin pusing.

"Di luar hampir badai, Yah," kata Dies.

"Oh, badai itu," gerutu ayah. Mood Elysa memburuk lagi mendengar Badai Mazell disebut. "Kalian tidak perlu berlatih kalau begitu."

Dies mendesah kecewa. Di luar angin mulai bergerak dengan kencang. Elysa memandang keluar jendela dengan tidak senang.

"Ada salju yang akan turun dan kau malah ... sedih? Kau aneh sekali hari ini," kata Dies sambil berlalu.

Elysa memandang punggung Dies yang masuk kamarnya sendiri.

"Jadi," ucap ayah, "kamu diapakan oleh Ren?"

"Tidak apa-apa. Aku agak kecewa ... sekaligus senang sebenarnya," kata Elysa. "Mungkin Dies benar. Ren terlalu berhati-hati."

"Haha, bagus lah kalau begitu," kata ayah sambil berpaling. "Kontrol juga emosimu itu. Kalau kau ... katakanlah melukai Ren, tiga perempat penduduk Mazell akan mencarimu, sayang."

"Dan jika itu terjadi, apa yang akan ayah lakukan?"

Ayah mengangkat bahu. "Tidak ada. Kau sudah dewasa, kau bisa mengatasi itu. Aku akan makan ayam goreng dan menonton saja."

Salju mulai turun. Elysa menoleh ke luar. Ini merupakan badai pertama yang dialaminya sejak dia kembali dari Riege. Elysa menggigil. Kedinginan yang tidak biasa keluar dari salju-salju itu. Cuma untuk mengecek saja, dia menghidupkan Aura. Dia berjalan ke dekat jendela.

Bunyi buku yang menghantam lantai terdengar jauh, sama seperti suara Cleva yang bicara di belakangnya. Matanya cuma terfokus pada udara luar.

Malam yang sangat "terang". Elysa kehilangan perbandingan untuk mendeskripsikan apa yang dilihatnya. Terlalu banyak uap biru di udara. Salju yang ada di tanah juga mengeluarkan uap biru yang hampir membentuk kabut. Elysa menelan ludah. Serta-merta dia mematikan Aura. Kegelapan malam kembali normal. Badai yang ada juga tampak sama seperti badai pada umumnya.

Elysa menghidupkan Aura lagi. Uap biru itu kembali kelihatan. Agak takut-takut, dia mendongak ke langit. Dua bintang terlihat bersinar lemah menembus awan.

Oh, sial.

❚ ♦ ❚

Bisa dikatakan kalau badai malam ini adalah yang paling parahnya. Angin kencang membuat pohon-pohon seperti akan ditarik dari tempatnya berdiri. Belum lagi salju-salju yang turun dengan deras tertumpah dari langit. Basil tidak bermasalah dengan salju-salju itu. Hey, dia tinggal di daerah yang selalu terkena salju tiap tahun. Tentu saja dia sudah biasa dengan itu semua.

Yang mengganggunya adalah warna salju itu yang tidak biasa. Sama seperti salju-salju yang turun beberapa bulan belakangan. Warnanya agak biru, bukan putih seperti yang seharusnya.

Basil menggigil. John—salah satu penambang sekaligus penjaga pertambangan—memberinya satu mug kopi hangat. Menggeletukkan gigi, dia mengucapkan terima kasih, lirih sekali sampai dia sendiri tidak bisa mendengarnya. Jaketnya yang basah menyebabkan dia hanya memakai kaos biasa dalam cuaca seperti ini. Mengapa dia tidak membawa mantel panjang saja sekalian tadi? Pasti tidak akan sedingin ini.

Dan mengapa belakang kepalanya terasa sakit sekali?

"Ayolah, Sil. Ini belum seberapa. Masa kamu udah kedinginan," seru Gilbert, orang yang juga bertugas menjaga pertambangan ini.

"Sudah, sudah," kata John menggerakkan tangannya. "Nyalakan lagi api itu!"

Gilbert memasukkan beberapa kayu bakar ke dalam perapian yang ada di dalam ruang ini. Api itu dengan lahap menerimanya.

Basil masih menggigil. Kopi itu diminumnya dengan perlahan-lahan, menikmati setiap rasa dan kehangatan yang ada. Api yang ada di perapian sedikit membesar.

"Siapa yang menyangka akan ada badai malam ini?" tanya Gilbert.

"Yang pastinya bukan kau, kau atau aku," tunjuk Basil lemah. Akhirnya, dia bisa bersuara lagi.

"Aku kira kamu trauma tadi, Sil," kata John. Laki-laki berambut pirang pendek dan berkumis tipis itu tersenyum.

"Trauma?"

"Haha, baru satu menit terkena salju-salju itu dan kau sudah sepucat mayat. Kau seperti baru pertama kali melihat badai saja," sahut Gilbert.

Itukah yang terjadi? Basil tidak ingat sebenarnya. Dia cuma ingat kalau dia pergi ke pertambangan malam ini. Sampai di sana dia berlatih dengan pedang yang entah mengapa tiba-tiba saja diberikan Master padanya. Fang, nama pedang itu. Ketika dia berlatih sambil ditonton oleh beberapa orang pekerja pertambangan, datanglah Badai Mazell.

Basil masih ingat bagaimana dia berlari keluar, namun setelah itu ... ingatannya agak kabur. Dia tersesat dalam sebuah situasi dan tempat yang terasa sangat asing. Ketika setengah sadar, dia sudah berada di pos penjagaan ini dengan John dan Gilbert. Dia tidak pernah berada di luar saat badai sebelumnya, jadi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

John menggerakkan tangannya di depan mata Basil. Basil menyadari itu, namun entah mengapa dia malas merespon. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang menghilang, dan gara-gara ada yang hilang itu, dia tidak bisa berkonsentrasi dengan baik.

"Apa sebaiknya kita bawa dia ke rumah sakit saja?" tanya Gilbert.

"Hei, Sil. Kau melamun lagi?"

Basil menggeleng. Kesadarannya muncul kembali.

"Aku ... baik-baik saja. Apa yang sebenarnya terjadi tadi?" tanya Basil sebelum meminum kopinya.

John dan Gilbert berpandangan. Mereka lalu tertawa sekeras-kerasnya. Suara mereka bahkan cukup untuk mengalahkan suara angin yang ada di luar.

Memangnya aku melakukan apa?

"Sil, kau ... aduh bagaimana mengatakannya ya?" John berpikir-pikir.

"Kau menjadi gila," sambung Gilbert sebelum tertawa. Rambut keriting panjang laki-laki itu bergerak-gerak selama dia tertawa.

Basil hampir menyemburkan kopinya ke muka Gilbert. Seharusnya langsung kusemburkan. Dia lalu memandang John untuk mencari jawaban.

John hanya tersenyum saja.

"Kau meracau saat kami menemukanmu. Dan kau hampir melukai kami. Gilbert harus memukulmu supaya kau tenang, lalu membawamu ke sini."

Pantas saja belakang kepalanya terasa sakit sekali. "Memangnya apa yang kuracaukan?"

"Nah," tunjuk Gilbert padanya tiba-tiba. Perban yang meliliti tangan kanannya hampir terlepas. "Itu yang harus kau katakan pada kami."

"Aku tidak ingat, ingat?" balas Basil kesal.

"Kami sendiri juga tidak mengerti kamu mengatakan apa Sil. Kamu pernah belajar bahasa lain, selain bahasa Thrusia?" tanya John.

Basil menggeleng. Dia cuma tahu bahasa Thrusia dan Imperium. Karena bahasa Imperium merupakan bahasa global yang hampir diketahui oleh setiap orang, Basil merasa tidak perlu menyebutkan itu.

"Awalnya kami kira kau meracau biasa. Tapi kau selalu mengucapkan kata-kata yang sama beberapa kali. Sambil memelas lagi. Hey, mungkin kau menggunakan bahasa kuno. Bahasa yang terkesan asal-asalan itu, yang alfabetnya cuma ada sepuluh," sahut Gilbert sebelum tertawa lagi.

Jika Basil tidak mengenal Gilbert seumur hidupnya, Fang pasti sudah menancap di jantung laki-laki itu sekarang.

"Jangan dengarkan dia. Dia cuma ngarang saja," kata John. "Kopi lagi?"

Basil memandang mug-nya yang telah kosong. "Ya, lagi." Dia harus berpikir. Kopi sepertinya akan membuatnya berpikir dengan lebih tenang dan fokus sekarang. Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan itu terus menghantui.

Gilbert yang mengambilkannya kopi. John tetap duduk di kursi, memandang ke luar. Basil ikut menoleh ke sana. Angin kencang dan salju turun dengan deras sekali. Padahal tadi cuaca cukup bagus. Urgh, badai ini mengganggu latihannya saja.

Basil mengambil Fang dari tempat dia meletakkannya. Pedang Master Porren yang sebenarnya sudah cukup tua itu berdencing. Permukaannya masih mengkilat, tanda kalau Master sering merawatnya. Ada beberapa goresan di sana-sini, mungkin karena petualangan Master di masa lalu, namun pedang itu tetap tidak kehilangan keanggunannya.

"Kami agak kewalahan melawanmu tadi," kata John tiba-tiba. "Untunglah kau tidak terlalu fokus dan terus bicara tak karuan, tapi tiap kali kami mendekat, kau akan menyerang. Kepalamu masih sakit?"

"Tidak terasa lagi," kata Basil mengurut bagian belakang kepalanya. Mengapa dia masih tidak ingat? Basil memegang kepalanya, berusaha berpikir keras. Tapi dasar dia yang jarang mau berpikir keras, otaknya seperti menolak saat dia mulai berpikir.

"Haha, Gilbert dengan senang hati menghantam kepalamu itu pakai pentungan itu," tunjuk John. Gilbert datang saat itu juga dengan dua mug kopi panas.

"Dan John dengan senang hati membantuku melakukannya," balas Gilbert.

Basil tidak mendengarkan mereka berdua. Setelah gagal berkali-kali karena tidak ingat apa yang terjadi, dia memandang dua orang penjaga gua yang ada di dekatnya itu.

"Bisa kalian ceritakan apa yang sebenarnya terjadi padaku?"

John dan Gilbert berpandangan lagi. Akhirnya John meletakkan gelas kopinya.

"Badai sudah mulai ketika kami melihat kau berjalan-jalan di luar gua sambil mengayunkan pedang Master seperti sedang melawan sesuatu. Kami mendekat, dan kamu bicara dalam bahasa yang tidak kami mengerti. Kami berusaha membawamu ke dalam gua, tapi kamu malah menyerang. Badai salju, sulit melihat, pakaian tebal, membuat kami kewalahan. Belum lagi kami melawan anak yang kesurupan. Singkat cerita, kami berhasil menangkapmu. Lalu Gilbert memukulmu sampai pingsan dan kami pun membawamu ke sini," jelas John.

Gilbert mengangguk.

"Pukulanmu menyakitkan sekali, ngomong-ngomong. Lihat ini!" Gilbert membuka perban di tangan kanannya. Basil langsung berdiri dan memegang tangan itu. Bagian itu tidak luka, namun lebam biru besar yang ada di sana cukup untuk membuatnya terkejut.

"Aku..."

"Aku tidak menyadari kalau badan sekecilmu bisa memberikan pukulan seperti ini. Tanganmu terbuat dari apa sih, batu?"

Basil duduk kembali. Dia memandang tangannya dengan ngeri. Beberapa peristiwa sejak kemarin langsung teringat olehnya.

Sial, kau menggunakan kristalit tanah.

Kau cukup membuatku terkejut juga dengan gerakan yang tiba-tiba itu.

Ren mengatakan itu kemarin dengan bibir yang penuh dengan darah. Padahal dia tidak bermaksud sekuat itu memukulnya. Dan saat latihan dengan Dies tadi pagi, karena suatu alasan dia berhasil menahan kekuatan Dies, walau cuma sebentar. Kekuatan dadakan itu, kekuatan yang membuatnya merasa terbang ke awan-awan....

Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

"Sepertinya dia trauma lagi," kata Gilbert sambil tertawa. Gilbert menggerakkan tangannya di depan mata Basil.

"Maaf," kata Basil.

Gilbert cuma tertawa.

"Jangan terlalu dipikirkan, Sil. Pasti ada penjelasannya," kata John kalem.

Suasana hati Basil membaik sedikit. Ya, pasti ada penjelasannya. Dia tinggal menanyakan itu pada Ren. Ren biasanya tahu harus melakukan apa. Seperti saat dia mengusir bangau-bangau biru itu dari rumahnya beberapa hari yang lalu.

Hah, mengapa aku harus bersedih sih? Tidak ada yang perlu ditakutkan dari semua ini. Aku tinggal bertanya atau meminta tolong dari orang yang tepat saja.

Basil tersenyum. Dia menarik lagi Fang dengan hormat. Pedang yang diberikan Master secara tiba-tiba itu mulai memenuhi otak Basil sekarang. Dia masih tidak tahu mengapa Master memberikan pedang itu. Namun semangatnya langsung menaik saat menerimanya sore tadi. Master hanya berkata, "Jaga pedang itu baik-baik. Dan berlatihlah sungguh-sungguh. Aku melihat potensi yang besar padamu, Sil, hanya ketidaksabaranmu, kebiasaanmu untuk menganggap remeh segala hal, dan mudahnya kamu melupakan hal penting yang membuatmu tidak bisa berkembang dengan baik. Hilangkan kebiasaan burukmu itu dan kau akan bisa mengalahkan Dies." Setelah itu, dia masuk kembali ke rumahnya dengan Nyonya. Dia bahkan tidak sempat mengucapkan terima kasih.

Mendapat semangat dan pedang baru, Basil mulai berlatih lagi. Apalagi setelah mendengar kata "kau akan bisa mengalahkan Dies". Malam ini dia pergi ke Anora, ke tempat di mana biasanya dia berlatih sendirian. Namun, semua itu digagalkan oleh Badai Mazell yang tiba-tiba datang tanpa diundang. Seharusnya badai itu tidak mengganggunya. Mengapa dia malah keluar dan berkelakuan "aneh" seperti yang dikatakan John dan Gilbert? Dia harus menanyakan pada seseorang. Pada Ren, atau Elysa mungkin. Kata Hein dan Dies, Elysa sudah datang.

Basil tersenyum lagi. Dia baru menyadari kalau John dan Gilbert memandangnya heran.

"Akhirnya wajah itu muncul juga. Serius, Sil. Tadi, kau tidak cocok untuk berpikir. Wajahmu bahkan kelihatan lebih tolol jika dipaksakan untuk melakukan itu," kata Gilbert.

Basil cuma mendesis dan John tertawa. Gilbert sekali lagi melemparkan potongan kayu ke dalam perapian.

"Masih kurang hangat," gumam John. Kristalit api yang dikeluarkannya tampak semakin memerah ketika dia melemparkan benda itu dalam perapian. Seketika api membesar. Udara dalam pos itu menghangat sedikit.

"Aku akan meminta Tuan Muda untuk memasang kristalit api dalam dinding ini," kata Gilbert sambil merapatkan jaketnya. "Badai sekarang malah bertambah dingin."

Basil mendekatkan dirinya ke dekat api. Dia masih menggigil. John dan Gilbert cuma memandangnya dari meja.

"Sekarang sudah mulai mendingin kan?" tanya Basil. "Aku ingin lebih dekat dengan api."

"Kau tidak membawa kristalit api?"

"Daripada membeli kristalit yang bukan main mahalnya itu, lebih baik aku membeli makanan saja," kata Basil. Atau meminta pada Tuan Laird atau Ren. Mereka telah menyuruhnya untuk mengambil cadangan kristalit-kristalit di rumah mereka semau Basil. Setahun yang lalu mungkin Basil dengan senang hati melakukannya, namun sekarang dia sudah malu melakukan itu.

John dan Gilbert menyengir padanya.

"Kamu tadi melihat Hein di dalam?" tanya John.

Semilir angin dingin masuk dalam ruangan itu. Basil menggigil lagi.

"Hein ke sini?"

"Dari tadi sore," kata Gilbert. "Kamu tidak melihatnya? Dia belum keluar sampai sekarang."

"Tidak."

"Katanya dia masih menyelidiki rel yang tidak mau mencairkan salju itu," kata John lagi.

Rel itu? Tapi mengapa sampai ke gua? Lagi pula relnya sudah kembali normal tadi, saat Basil bekerja. Dia mengira Hein sudah menemukan masalah yang menyebabkan itu.

"Dia pasti sedang bersenang-senang dengan para penambang sekarang." Basil mengangkat bahu. "Sementara aku terjepit di tempat yang sempit ini bersama dua orang tua yang hanya tahu mengejek anak-anak saja." John dan Gilbert kembali tertawa.

Setidaknya tempat ini hangat, mau tak mau dia harus mengakui itu.

"Kita main kartu saja," kata Gilbert. Dia membuka laci dan mengeluarkan satu deck kartu permainan. "Bagaimana?"

Basil memandang lagi keadaan di luar. Badai masih semangat untuk menyerang Mazell. Badai Mazell agak aneh menurut Basil. Dia baru mengetahui kalau badai biasanya berasal dari laut, bukan sebaliknya. Badai Mazell memang berasal dari Laut Utara, namun Mazell berada di pantai Laut Herring. Jauh sekali badai itu bergerak, melewati daratan, tundra dan bukit-bukit es di utara sampai ke sini, sebelum menghilang di Laut Herring.

"Ah, sudahlah. Ini telah berlangsung selama hidupku," gumam Basil.

"Kamu mau ikut Sil?" tanya Gilbert.

"Tentu," kata Basil tersenyum. Dia menarik kursi dan mulai menghadap John dan Gilbert. "Kalau untuk permainan seperti ini, aku tidak akan kalah."

Di luar, badai semakin mengamuk. Namun Basil sudah tidak peduli lagi. Dia bahkan sudah melupakan keanehan yang dialaminya tadi.

✓✓✓

A.N:

Pacing cerita ini (secara keseluruhan) ternyata lebih lambat dari yang saya rencanakan. Konflik utamanya aja belum keliatan. Saya akan berusaha mempercepat pacing sedikit di chapter-chapter selanjutnya, semoga bisa. XD

Seperti biasa, vote jika menyukai chapter ini. Ada pertanyaan, saran atau kritikan, silakan di komen.

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top