Bab 4 : Latihan Pedang
❚ ♦ ❚
"Maju!" seru Master Porren.
Basil langsung meluncur ke depan. Pedangnya ditujukan ke arah Dies yang sudah memasang kuda-kudanya. Basil sudah menunggu sesi latihan yang ini, saat di mana dia melawan Dies. Semua kemahiran berpedangnya akan dikeluarkan Basil untuk mengalahkan teman sekaligus rivalnya yang satu itu.
Bersiap-siaplah, Dies! Dies tetap berada di tempatnya berdiri. Wajah datarnya tidak terpengaruh oleh semangat yang sedang dikobarkan oleh Basil sekarang.
Pedang mereka bertemu. Dies menghadapi serangan Basil dengan mudah. Basil tidak menyerah. Dia menyerang berkali-kali lagi pada Dies. Dies mundur beberapa langkah, menghindari dan menangkis setiap tebasan pedang Basil. Kelihatannya dia tidak bermasalah meladeni setiap serangan Basil. Itu membuat Basil semakin panas. Namun, itu juga membuat semangatnya terbakar.
Basil menyadari taktik yang digunakan Dies kali ini. Dia akan pura-pura terdesak dan saat lawan lengah, dia yang akan menyerang balik. Basil tersenyum. Taktik seperti itu tidak akan berlaku lagi padanya.
Di sekeliling mereka, murid-murid yang lain bersorak-sorai. Ada yang menyemangati Basil, ada yang mendukung Dies. Ada yang sibuk bertaruh.
"Hiyaa!" seru Basil.
CRING!
Dies mundur lagi setelah menerima serangannya, membuat jangkauan pedang Basil tidak mengenainya lagi. Basil terpaksa menghentikan serangan tanpa hentinya itu. Mulut Dies membentuk sebuah senyuman kecil yang datar kembali, sebelum dia maju ke arah Basil.
Sekarang giliran Dies yang mengambil inisiatif menyerang. Namun, gerakan pedangnya yang laju dan lincah sedikit berhasil dibaca oleh Basil, dan itu semakin menambah semangat tarungnya. Terlalu sering melawan Dies sepertinya membuat insting Basil menajam untuk menghindari serangan-serangannya.
Sekali lagi Dies mengayunkan pedangnya. Dengan sigap, Basil menghadang serangan itu.
Pedang mereka bersentuhan kembali. Tekanan Dies pada pedangnya tiba-tiba menguat. Mata Basil membesar. Dies yang sebelumnya tanpa ekspresi langsung tersenyum lebar. Dengan gerakan mendadak, dia mendorong Basil. Tanah yang agak licin karena bekas bersalju memudahkan gerakan Dies itu. Basil berusaha menahannya, setelah mundur tiga langkah dia akhirnya berhasil.
Entah datang dari mana, Basil tiba-tiba merasa kuat sekali. Penuh semangat dia mengayunkan pedangnya, membuat Dies harus mundur. Giliran Basil yang tersenyum. Dia akhirnya berhasil menahan dan membalas kekuatan Dies, hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Teriakan murid lain semakin keras. Basil merasa berada di atas dunia. Semangatnya berkobar-kobar. Pedang di tangannya juga terasa semakin ringan. Dies akan kalah, cuma itu yang ada di pikiran Basil sekarang.
Namun, saat itu juga kekuatan dadakannya menghilang. Basil merasa kembali terhempas ke bumi. Dies yang melihat itu kembali menyerang dan Basil sekarang cuma bisa bertahan.
Kali ini giliran Dies yang menyerangnya bertubi-tubi. Basil mulai kewalahan melawan setiap serangan itu. Serangan-serangan kilat Dies membuatnya mundur berkali-kali cuma untuk mengelak dan menangkis. Kuda-kudanya mulai berantakan. Otot-ototnya melemas. Kepercayaan diri yang tadi begitu tinggi sirna begitu saja. Kesadarannya terasa menghilang. Setiap insting tubuhnya hanya digunakan untuk menghindar, menangkis, dan kadang-kadang mencari celah pada setiap serangan yang diberikan Dies.
Dencang pedang yang bersentuhan dengan pedang lain mewarnai suasana pagi ini. Sorak-sorai pendukung Dies mulai meningkat. Namun semua itu terasa tidak nyata bagi Basil. Dia hanya melihat seseorang berambut pirang terus memukulnya mundur. Saat kesadarannya kembali normal, Basil langsung menyadari kalau dia akan kalah. Namun, dia tidak akan memberikan kemenangan yang menyenangkan pada Dies Laird. Satu celah, itu yang diperlukannya. Akan tetapi, Dies sepertinya sudah tahu apa yang dipikirkan Basil. Dia tidak memberi kesempatan sama sekali pada Basil untuk menyerang balik.
Tanpa dia sadari, Dies sudah berada di belakangnya. Basil berbalik, mengarahkan pedangnya pada Dies, menangkis serangan Dies yang diprediksinya akan datang. Dies mengelak ke bawah dan dengan mudah dia bergerak, langsung menancapkan pedangnya ke leher Basil.
Basil tertahan. Tangan kiri Dies sudah mengunci tangan kanannya. Dengan cepat, Dies memutar pedangnya, mengarahkan gagang pedangnya pada wajah Basil. Basil berusaha mundur, namun pukulan Dies tetap mengenainya, membuatnya terjungkal di tanah.
"Aduh," pekik Basil.
Kilauan pedang Dies sudah ada di depan dahinya. Dies tersenyum lagi.
"Oke, aku menyerah," sahut Basil mengangkat tangan. Pedangnya dihempaskan ke tanah.
"Yea." Beberapa murid—yang jelas pendukung Dies—berteriak gembira. Basil bahkan dapat melihat beberapa Deuce uang dibagikan. Mereka bertaruh lagi.
Dies menarik pedangnya dan dengan penuh kasih sayang memasukkan pedang tersebut dalam sarungnya. Basil memutar mata melihat adegan itu.
Langkah berat Master Porren terdengar mendekati mereka. Masih berbaring di tanah, Basil melihat kedatangan guru pedangnya itu. Basil berusaha memasang wajah tanpa ekspresi, yang biasa dilakukan oleh Ren dalam situasi seperti ini. Namun, dia yakin kalau dia gagal, sebab Dies hampir tergelak menahan tawa setelah menoleh wajahnya. Apa wajah tanpa ekspresiku sedemikian parahnya?
Muka kecewa Master Porren tampak jelas sekali, pasti terhadap penampilan Basil tadi. Dia mengelus janggut pendeknya perlahan, kebiasaan yang sering Basil lihat saat laki-laki tua itu marah.
"Dies Laird menang, sekali lagi," kata Master datar.
"Master, bagaimana aku mengalahkannya? Dia cepat sekali."
Master Porren cuma menggeleng mendengar itu.
"Jadi? Cari cara untuk mengatasi kecepatannya itu!" sahut Master keras.
Setidaknya beri aku petunjuk, kakek tua!
"Haha, kamu cuma kurang latihan, Sil," kata Dies sambil mengulurkan tangannya pada Basil. "Dan kamu tadi berhasil mengagetkanku juga."
Dengan malas Basil menerima uluran tangan Dies. Pemuda bermata biru itu masih tersenyum, yang membuat Basil malah semakin jengkel. Dia mengibaskan kotoran di belakang pakaiannya dengan gemas.
"Ada peningkatan pada pertarungan saya, Master?" tanya Basil.
Master Porren tampak berpikir sebelum mengangguk perlahan. "Well, kamu bisa bertahan satu menit lebih lama daripada pertarunganmu dengan Dies yang lalu."
Oh, setidaknya ada peningkatan. Semangat Basil naik kembali. Pertarungan tadi jadi terasa tidak sia-sia lagi. Oke, perjalanannya untuk mengalahkan Dies semakin mendekat. Basil melirik temannya yang sedang menatap pintu pagar rumah Master. Hah, sebentar lagi kau akan kalah, Dies. Dan aku akan menjadi ahli pedang terhebat di sini. Aku sudah malas jadi nomor dua terus.
Teriakan para murid yang lain mereda juga. Basil menoleh pada para pendukungnya dan tiba-tiba dia terdorong untuk tersenyum setelah menatap mereka semua. Kebanyakan pendukung Basil adalah anak-anak yang lebih muda darinya, tidak peduli anak rakyat biasa, anak baru atau anak bangsawan. Walau dia cuma anak seorang nelayan, namun sentimen tentang siapa bangsawan dan siapa yang rakyat biasa tidak terlalu dipedulikan di Mazell. Dan dia cukup bersyukur untuk itu. Melihat ada yang mendukungnya sudah cukup untuk membuat Basil senang.
Pintu pagar berderit. Semua yang ada di halaman menoleh ke arah itu. Seorang tukang pos namun dengan pakaian yang agak mewah masuk ke halaman. Dies langsung mendekat dan menyapa orang itu. Mereka berdua bicara sebentar sebelum Dies kembali lagi ke Master. Tukang pos itu mengangguk hormat pada Master, sebelum menghilang dari balik pintu pagar.
"Surat untuk Anda, Master," bisik Dies. Dia menyelipkan sebuah amplop kepada Master dengan cepat.
Ekspresi Master Porren mengeras setelah melihat tanda yang ada di surat itu. Basil mencoba melirik amplop itu.
"Tanda kerajaan," bisik Basil. Dia langsung menatap tempat tukang pos tadi berdiri. Pantas saja pakaiannya mewah sekali.
Master Porren memasukkan surat itu ke saku pakaiannya. Mukanya tampak keruh ketika dia berbalik pada murid-murid yang lain.
"Kalian lanjut latihan lagi. Aku akan pergi sebentar," kata Master sebelum berjalan ke rumahnya. "Dies, latih mereka!"
"Baik, Master." Dies mengangguk.
Mereka berdua menatap punggung Master yang akhirnya menghilang di balik pintu rumahnya.
"Surat apa itu tadi?" tanya Basil.
"Sepertinya dari istana," sahut Dies.
Basil mengernyitkan dahi. "Master hebat juga ya? Dia bukan bangsawan, tapi istana memanggilnya." Nada heran dan kagum menyatu dalam suaranya. "Tapi mengapa raut muka Master menjadi seperti itu? Dia bahkan belum membuka surat tersebut."
Dies mendesah. "Kau benar-benar tidak tahu dengan segel-segel yang dikeluarkan istana? Surat tadi bersegel kuda frost merah, itu artinya apapun isi surat tersebut, yang pasti tidak akan menyenangkan." Dies memperhatikan lagi anak-anak yang berlatih pedang di sekeliling mereka. Ada juga yang sedang bermalasan. "Tidak akan menyenangkan bagi kita semua," gumam Dies, tapi cukup nyaring untuk didengar Basil. "Sudahlah, aku akan melatih mereka. Kau ingin membantu?"
"Aku mau sih, tapi jam berapa sekarang?" Basil balik bertanya.
Dies melihat arlojinya. "Hampir sepuluh."
"Kalau begitu tidak. Aku harus bekerja," sahut Basil.
"Ren tidak akan marah kalau kau terlambat," kata Dies.
"Hei, aku masih punya tanggung jawab. Lagi pula, Ren tidak berada di pabrik sekarang," ujar Basil. "Saat aku ke mansion-nya tadi, George berkata begini, 'Tuan Muda mengatakan kalau dia tidak ingin diganggu seharian ini. Dia ingin menghabiskan harinya untuk merangkai kata-kata romantis yang akan digunakannya untuk meluluhkan hati Nona Laird'. Itu yang dikatakannya."
Entah mengapa, Dies langsung tersenyum jahil setelah mendengar itu. "Aku tidak merasa kalau kata-kata romantis akan berlaku untuk adikku. Ren tidak tahu dengan siapa dia berurusan. Tapi ... kita lihat saja nanti malam."
Basil yang sudah mulai berpaling langsung membalikkan tubuhnya lagi. "Memangnya nanti malam ada apa?"
Dies tersenyum lagi. "Tadi Ren mengirim pesan. Kelihatannya dia akan ke rumah kami untuk bicara dengan Elysa."
Wow, karena itu dia tidak latihan hari ini? Dia pasti serius sekali terhadap hal ini. Basil beruntung sebenarnya, sebab kalau Ren hadir, dia harus berjoget di depan Master Porren gara-gara taruhannya dengan Ren kemarin sore.
"Ngomong-ngomong Dies, Elysa seperti apa sekarang?" tanya Basil perlahan.
Dies memejamkan mata sebelum menjawab.
"Seseorang yang sangat berbeda dari yang kau ingat, pastinya," ucap Dies sambil berpaling dari Basil. Dia mulai meneriakkan perintah-perintah pada para junior yang sedang bermalas-malasan gara-gara ketidakhadiran Master itu.
"Berbeda, ya?" gumam Basil. Dia mengangkat bahu. "Bukan masalahku."
Basil baru akan membuka pintu pagar ketika sebuah suara menghentikannya. Seorang wanita tua dengan rambut yang sudah agak memutih dan memakai celemek cokelat datang menghampirinya dari dalam rumah Master. Dia memakai sarung tangan yang biasa Basil lihat dipakai orang pada saat membakar kue. Dengan sarung tangan itu, wanita tersebut membawa sebuah kotak hitam.
"Basil, kamu sudah mau bekerja?" tanya Nyonya Porren, wanita itu.
"Iya, Nyonya," jawab Basil melirik kotak itu.
"Tolong titipkan kotak ini ke petugas stasiun, ya." Nyonya Porren memberikan kotak hitam itu pada Basil. "Mereka yang ada di sana sudah tahu kalau aku akan mengirim kotak ini pada hari ini."
Basil menerima kotak yang agak berat itu dengan hati-hati. "Apa ini, Nyonya? Jika saya boleh tahu."
Nyonya Porren tersenyum senang. "Tumbuhan langka untuk temanku."
"Baiklah," kata Basil. Dia yang cukup buta tentang tumbuhan hanya bisa mengangguk saja. "Saya akan mengirimkan ini segera."
Basil sudah hendak berjalan keluar dari halaman ketika Nyonya Porren berseru lagi. "Ambil ini." Enam keping uang melayang ke arah Basil. Dia menyambut semua kepingan itu dengan tangan kirinya yang bebas. Satu keping uang perak dan lima perunggu berada dalam genggamannya sekarang.
"Seratus lima puluh Deuce? Ini terlalu banyak Nyonya," sahut Basil. Ini bahkan sudah cukup untuk makan mewah lima hari sekeluarga.
"Sudah, sudah," kata Nyonya mengibaskan tangannya. "Pergi sana! Dan cepat kirimkan bunga cheres itu sebelum kereta api jam 10.15 berangkat."
Dia tidak tahu apa itu bunga cheres. Nyonya sering menanam tumbuhan yang aneh-aneh di belakang rumahnya. Tumbuhan yang kadang-kadang Basil sendiri sulit melafalkannya. Well, pantas saja terasa berat. Apa bunganya dalam pot juga? Ah sudahlah.
"Baik, Nyonya dan terima kasih."
Nyonya Porren sudah berlari-lari ke rumahnya. Celemek yang dipakainya tertiup angin, menambah kesan energik yang dimiliki wanita tua itu. Dia berhenti berlari, menyapa Dies dan beberapa orang murid Master yang sedang diomeli oleh Dies.
Hehe, Nyonya bersemangat sekali hari ini. Bukan hal baru, sih.
Basil memperhatikan alamat yang tertulis di atas kotak yang dipegangnya.
"Untuk temanku Willie Deurox di Mircea."
Basil mempercepat langkahnya ke stasiun Mazell. Nyonya sudah memberi kepercayaan padanya dan dia akan melaksanakan itu sebaik-baiknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top