Bab 17 : Pernyataan Perang

✫ ✫ ✫

Vega melangkah dengan pasti ke dalam gua Anora. Sepi. Dia tidak menemui para penambang, walau sayup-sayup dia bisa mendengar suara mesin jauh di dalam sana. Kondisi yang bagus, dia tidak ingin membunuh kalau tidak perlu. Nada violin rusak—tanda dari Aura Lucia—terasa semakin nyaring setelah dia berada dalam kegelapan gua. Bunyi itu menuntunnya melewati jalan kecil berliku, menelusuri lorong tua, hingga ke tepi sebuah jurang.

Vega memandang ke bawah. Lucia ada di sana. Dia yakin dengan itu.

Sebentar lagi.

Dia menghidupkan Aura. Sensasi hangat menyebar ke seluruh tubuh Vega. Tidak seperti Caster lain, Caster Langit tidak mengeluarkan uap saat menghidupkan Aura. Kemampuan yang tidak hebat, tapi membuat mereka jadi lebih mudah bersembunyi dari Caster lain.

Hmm. Alpha pernah mengingatkan kalau tempat ini dilindungi oleh Herol dan pasukan kegelapannya, yang akan menghisap habis Aura siapa pun yang berniat buruk terhadap Lucia. Vega mendengus. Cuma sedikit residu dari kekuatan kegelapan yang bisa dirasakannya sekarang. Jika tempat ini memang memiliki sistem keamanan, sistem tersebut tidak aktif lagi.

Vega memungut sebuah kerikil dan memberinya Aura. Api biru langsung melahap dengan lapar batu kecil itu. Vega lantas melemparkannya ke jurang dan mulai berhitung.

Seratus ... dua ratus ... tiga ... empat ... lima ratus. Kerikil itu menyentuh dasar. Lima ratus meter. Cukup rendah. Puas dengan hitungannya, Vega terjun.

Dia melaju dalam kegelapan jurang. Angin dingin mengibarkan jubah hitam dan rambut panjangnya. Sebentar kemudian, api kecil tadi menampilkan lantai jurang berwarna hijau. Api biru menyembur dari kedua tangan dan kaki Vega, memperlambat gerakan jatuhnya. Sekumpulan lumut hijau dan tanah langsung terbakar saat dia mendarat.

Vega memperhatikan sekitarnya. Matanya cukup awas untuk melihat hamparan permadani hijau yang menutupi tanah. Baru beberapa saat kemudian dia menyadari kalau "permadani" itu sebenarnya adalah lumut. Tertarik, dia berjongkok dan mengambil tumbuhan tersebut.

Kukira mereka telah punah saat perang dulu. Vega lupa nama lumut itu, karena sangat panjang, tapi dia ingat kalau mereka memiliki kemampuan penyembuhan yang sangat tinggi, sama manjurnya seperti kemampuan Radiating milik Caster Cahaya. Bahkan ada yang mengatakan kalau lumut ini bisa membuat orang yang berada di gerbang kematian menjadi sehat kembali.

Mungkin dia harus memberitahu Arct tentang tempat ini. Arct senang mengoleksi tumbuhan. Kamarnya di Istana Langit sudah hampir seperti cagar alam. Satu tumbuhan lagi, apalagi dari jenis yang telah dikira punah di era ini, pasti akan membuatnya senang.

Vega mengepalkan tangan. Fokus!

Tanpa membuang waktu, dia bergegas ke pintu yang ada di dinding jurang. Hmm. Pintu tersebut kelihatan bersih. Ada orang yang ke sini, dan belum lama. Menggelengkan kepala, dia membuka pintu tersebut dan masuk.

Melihat isi ruangan, Vega langsung memiliki dorongan untuk menghancurkan apa pun di sekitarnya. Dia menenangkan diri dengan menghela napas panjang.

Dinding ruangan ini melukiskan kronologi kehidupan Lucia. Dari kelahiran Anima itu di Creator's Tear, sampai.... Pandangan Vega terhenti pada lukisan Altair yang berlutut di depan Lucia. Tanpa sadar dia mendekat.

Kau terlihat sangat bodoh melakukan itu, pikir Vega sambil menyentuh figur Altair. Sebuah perasaan yang dikiranya telah lama mati mulai muncul ke permukaan.

Altair. Memori Vega terbang ke masa lalu, sebelum Perang Anima berkecamuk dan mengacaukan segalanya.

Altair, Caster Langit terlemah yang diciptakan, sampai Vega dan Deneb ditugaskan untuk mengawasi dan melindunginya. Saudara-saudaranya yang lain sampai heran mengapa Ayah membuatnya. Tapi Vega menyukainya: menyukai senyum ringannya yang kekanakan; menyukai kebaikannya—yang sangat jarang dilihat karena Caster Langit merupakan kumpulan orang-orang sadis, psycho, bahkan gila. Vega senang melihat bagaimana Altair membalas perlakuan Canopus dan Rigel yang sering menjadikannya bulan-bulanan, bukan dengan senjata, tapi dengan puluhan trik dan muslihat yang bisa dipikirkannya.

Vega tidak tahu sejak kapan dia berhenti menganggap Altair sebagai saudara dan seseorang yang harus dilindungi, dan mulai melihatnya sebagai seorang laki-laki. Perasaan yang juga dibalas Altair. Altair bahkan meminta Achernar untuk membuatkannya senjata, sebuah pedang yang dikatakannya akan digunakan untuk balik melindungi Vega. Vega cuma tertawa saat mendengar Altair "memeras" Deneb dan Arct, salah satu Caster Langit terkuat, agar mengajarinya cara menggunakan Eaden, pedang itu.

Ah, masa-masa bahagia. Tanpa disadarinya, Vega tersenyum.

Dan masa yang cuma sebentar saja. Senyuman Vega langsung hilang.

Ayah memulai perangnya. Altair menghilang saat menjalankan misi. Setelah kembali, dia telah melepaskan diri dari Ayah dan memihak para Anima.

Setelah itu, Altair sering terlihat bersama Lucia, ratu para Anima. Lucia yang tersenyum memuakkan saat melihat Altair mengacungkan Eaden ke wajah Vega yang menangis. Lucia yang berbisik ke telinga Altair kalau Vega harus mati. Kalau waktu itu Deneb tidak menyelamatkannya, mungkin Vega benar-benar mati sekarang.

Dibunuh oleh orang yang paling ingin kulindungi. Haha. Aku benar-benar menyedihkan.

Vega mengepalkan tangannya dengan geram. Sayang Altair telah mati. Dia merupakan target utama Vega kalau masih hidup. Jadi, Vega harus mengganti targetnya menjadi Lucia. Kesalahan mereka berdua yang membuatnya seperti ini!

Tersadar dari lamunannya, Vega berhenti menyentuh lukisan itu. Ruangan ini membuatnya sentimental. Satu jentikan tangan, suhu ruangan mulai memanas. Api-api biru bermunculan di dinding, merayap ke semua lukisan yang ada, pertama kecil, lalu membesar dengan tiba-tiba. Semua lukisan terbakar habis, dengan lukisan Altair terbakar paling akhir.

Ingat mengapa kau ke sini.

Vega berjalan ke pintu yang ada di sisi berlawanan. Cuma ada lorong gelap. Aura Lucia yang dirasakannya berasal dari ujung lorong tersebut. Bunyi violin yang rusak semakin mengusik gendang telinga Vega. Berarti Lucia memang dekat.

Ada sebuah pintu lagi yang menghalanginya. Sekali tendang, pintu itu terbuka.

Ruangan ini merupakan lawan dari ruangan sebelumnya yang gelap gulita. Seluruh tempat ini terang benderang seperti terkena sinar matahari siang. Semua cahaya itu berasal dari wanita bersayap delapan yang berbaring di sebuah ranjang batu besar. Lucia.

Perasaan gembira dan benci menyatu pada Vega. Dia tidak tahu apakah harus menangis saking gembiranya dan berdesis penuh kebencian pada sosok tidur itu. Api birunya bahkan bermunculan sendiri di seluruh ruangan, merefleksikan perasaannya.

Lucia tidak bereaksi terhadap bahaya yang semakin menghampirinya.

Apa Alpha berbohong ketika mengatakan Lucia telah bangun?

Siapa yang peduli? Vega mendekat perlahan sambil mengeluarkan pisaunya. Api biru mulai menyelimuti pisau itu.

Saat yang selalu kuinginkan sejak dulu, pikir Vega. Cahaya putih yang terus keluar dari tubuh Lucia membuatnya muak. Ditambah lagi dengan nada sumbang menyakitkan itu. Vega menggigit bibir melihat salah satu orang yang sangat dibencinya di seluruh Revaris tidur dengan tenang.

Kesempatan sempurna.

Vega tidak peduli lagi kalau lawannya sama sekali tidak berdaya. Dia ke sini bukan untuk bertarung, tapi untuk membunuh. Semakin dekat dia dengan tujuannya, semakin bagus.

Lucia masih tetap tertidur. Napasnya naik-turun dengan teratur.

"Selamat tinggal."

Secepat kilat, Vega menancapkan pisaunya muka Lucia. Betapa dia ingin merobek wajah itu.

Waktu langsung berhenti, tepat sebelum pisaunya mengenai wajah Lucia. Vega menjadi kaku seperti patung. Dia tidak bisa bergerak. Seluruh otot tubuhnya mendadak lemas.

Aura yang familiar mulai terasa mengelilinginya.

Alpha sialan! Vega ingin berteriak, tapi mulutnya yang terkunci cuma mengeluarkan suara yang tidak jelas.

"Tidak, tidak," geleng Alpha yang tiba-tiba telah ada di sampingnya. "Kita memerlukan tubuhnya, ingat? Makin sempurna makin bagus. Apa yang akan kulaporkan pada Ayah kalau kau memutilasinya? Aku pasti akan dimarahi—tidak, terima kasih, aku tidak mau itu—dan kau akan dihukum—yang mana tidak kuinginkan."

Alpha masih memakai jubah putihnya yang terus berkibar seperti tertiup angin. Rambut putihnya juga ikut melambai-lambai. Seperti biasa, dia tersenyum menyenangkan.

Remaja itu mengambil pisau Vega, lalu menyingkap jubah Vega dan menyarungkan pisau itu kembali. Alpha menggeledah tas mini di ikat pinggang Vega dan mengeluarkan sebuah batu kecil kusam. Vega cuma bisa memerhatikan dengan diam dan marah. Remaja itu mengangguk senang sambil menggenggam tangan Vega yang masih mematung.

Vega langsung bernapas dengan cepat. Akhirnya dia bisa bergerak kembali. Dia berbalik dan menggunakan apinya untuk menyerang Alpha. Api tersebut cuma melewati tubuh transparan Alpha.

Yang diserang tersenyum tanpa peduli pada keagresifan Vega. Dia melepaskan tangan Vega, lalu melirik Lucia.

"Tidak ada luka padanya. Phiew, aku sempat."

"Apa yang kau lakukan di sini?" desis Vega.

Alih-alih menjawab, Alpha malah mengelus wajah Lucia. Vega memperhatikan dengan muak.

"Well, well. Ini lebih baik dari yang kukira; dia memisahkan pikiran dan tubuhnya. Dia tidak akan melawan," kata Alpha sambil meletakkan batu kusam tadi ke dahi Lucia. Tubuh Lucia menyala terang, membuat Vega harus melindungi mata dengan tangannya. Perlahan-lahan, Lucia terserap ke dalam batu tersebut.

"Apa ... maksudmu?"

Alpha tertawa. "Bukankah sudah kukatakan, pikirannya terpisah dari tubuhnya. Benar-benar terpisah. Yang kita lihat ini cuma tubuhnya." Alpha mengacak rambut Vega, seolah-olah dia anak kecil yang baru melakukan kesalahan. Vega ingin membakar Alpha saat itu juga, tapi tubuhnya kembali tidak bisa digerakkan. Lagi-lagi Alpha mengunci pergerakannya.

"Jika ini cuma tubuh, di mana aku bisa menemukan pikirannya?" tanya Vega.

"Siapa tahu? Tubuh kita cuma bisa mendeteksi fisik Anima, bukan pikiran atau jiwa mereka." Alpha mengangkat bahu. "Bagaimanapun, misi sampinganmu untuk mencari Lucia telah berhasil. Serahkan sisanya padaku."

"Sampingan?" geram Vega. "Ada alasan lain kau menyuruhku ke sini?"

"Menyuruhmu?" Alpha tampak terkejut. "Kau yang ingin membalas dendam atau apa lah itu pada Lucia. Ayah kebetulan memilihmu. Jadi, mengapa aku tidak menggunakan saja sumber daya yang ada, yaitu kamu"—Alpha menunjuk dada Vega—"dan membiarkanmu berkeliaran untuk sementara?"

Batu itu akhirnya menyerap Lucia sampai habis, cuma menyisakan ranjang kosong. Setelah melakukan tugasnya, ia terbang ke tangan Alpha. Alpha memperhatikan dengan saksama batu yang sekarang telah berwarna putih cerah itu.

Tiba-tiba dia berpaling. Matanya memicing ke pintu yang tadi ditendang Vega.

"Aha!" seru Alpha tersenyum lebar. "Sepertinya mangsamu datang sendiri."

Vega sempat melihat seekor merpati terbang mendekat, sebelum menyadari kalau seluruh ruangan telah berubah jadi putih. Bukan cuma ruangan itu, sepertinya seluruh dunia juga ikut memutih.

Di mana kami? Ini bukan kamar Lucia, dan ini jelas bukan salah satu ilusi Alpha.

Apa mereka ada di 'ruang dimensi' salah satu Anima? Cuma itu yang bisa Vega simpulkan. Setiap Anima memiliki 'dunia'-nya masing-masing, yang mereka gunakan untuk saling berkomunikasi. Ada yang memanggilnya Ruang Dimensi, ada Dunia Mimpi, Kamar Ilusi, padahal mereka semua mengacu pada tempat yang sama. Vega pernah memasuki 'ruang dimensi' Ayah—sebuah tempat di mana bintang-bintang bersinar terang, dengan Revaris dan mataharinya saling berdekatan—dan tempat ini mengeluarkan rasa yang sama dengan 'ruang dimensi' Ayah itu.

Tunggu, ruang putih. Kalau begitu, yang membuatnya pasti—

"Selamat datang, Yang Mulia," kata Alpha sedikit membungkuk.

"Kau!" geram Vega, melihat sosok wanita bersayap yang duduk di kursi emas, tak jauh dari mereka. Cuma dengan dress putih sederhana, dia terlihat sangat agung. Vega sudah siap melompat untuk menyerangnya, tapi ditahan Alpha dari belakang.

"Jangan bodoh. Kita sekarang berada di dunianya, bukan duniaku lagi," kata Alpha. "Lagi pula, dia cuma pikiran Lucia, bukan tubuhnya, ingat?"

Lucia—atau pikirannya—memandang mereka berdua dengan tatapan kurang bersahabat.

"...Vega," ucap Lucia lirih. Vega menatapnya tanpa takut. "Dan Alpha Centaury. Apa yang kalian lakukan di tempat peristirahatanku?"

"Membunuhmu," desis Vega.

"Mencuri tubuhmu," balas Alpha riang. "Dan harus saya katakan, kami berhasil."

"Kalian terperangkap di sini," kata Lucia.

"Ah, Yang Mulia, Anda pasti tahu kalau kalau saya bisa meninggalkan tempat ini kapan saja. Tubuh asli saya ada di Istana Langit," ujar Alpha. "Selain itu, kekuatan Anda telah menyusut, Yang Mulia. Anda tidak akan selamanya bisa mengurung kami di dunia putih ini."

Vega mendengar semua itu dengan apatis. Dia sangat ingin menyerang Lucia, tapi Alpha mengunci kembali gerakannya.

Lucia mengalihkan pandangannya dari Alpha pada Vega. Kelihatannya Anima itu tidak lagi menganggap Alpha sebagai orang penting.

"Dan kau gadisku," kata Lucia menatapnya lekat-lekat. "Kebencian yang sangat pekat...."

"Aku ... bukan ... gadismu," geram Vega.

"Uh, Yang Mulia, umur Vega hampir 14 abad," tambah Alpha. "Dia jelas-jelas bukan seorang gadis."

"Diam, bocah! Kau akan dapat giliran bicara." Lucia kembali menatap Vega. Anima itu terlihat ... mengasihininya? Kemarahan Vega memuncak sampai dia tidak bisa bicara.

"Gadis bodoh, kau menjadi seperti ini gara-gara seorang laki-laki?" Lucia menggeleng. "Dewasa lah sedikit."

Brengsek! Vega menyikut kepala Alpha sampai remaja tersebut terjungkal. Semburan api biru keluar dari kaki Vega, membuatnya hampir terbang pada Lucia.

Namun, di tengah jalan, dia terhenti dengan tubuh kaku. Rantai-rantai putih bermunculan entah dari mana dan mengikat Vega. Ini cuma ilusi, pikir Vega. Seluruh 'dunia' ini adalah ilusi. Tapi ilusi atau bukan, Vega kembali tertahan.

Kita lihat saja berapa lama kau bisa bertahan, pikir Vega marah.

"Kau tidak harus memprovokasinya, Yang Mulia," kata Alpha sambil memijat dahi. "Urgh, sakit sekali. Harusnya aku ingat kalau aku tidak lagi transparan."

Alpha berjalan melewati Vega dan mendekati si Anima. Ekspresi Lucia kembali datar.

"Baiklah, Yang Mulia," mulai Alpha ramah. "Dengan kondisi Anda yang saya yakini sangat lemah, sebentar lagi dunia putih ini tidak akan mampu Anda pertahankan. Saat itu terjadi, saya dengan berat hati terpaksa membiarkan saudari tercinta saya ini untuk menghabisi Anda. Tapi, sebelum itu terjadi, saya ingin berdiskusi sebentar. Saya datang ke sini untuk merepresentasikan Ayah."

"Mengapa Starion tidak datang sendiri?" tanya Lucia.

"Katakan saja kalau Ayah sedang ... sibuk," balas Alpha.

"Sibuk memikirkan cara untuk menghancurkan dunia?" ejek Lucia. "Tujuan Starion sangat tidak jelas sampai aku lupa. Mungkin kau bisa mengingatkanku. Dia ingin menghancurkan dunia, kan? Atau menguasainya, mungkin?"

"Bukan tempat saya untuk mengatakannya," ujar Alpha. "Tapi tentu saja, Yang Mulia bisa menggunakan alasan itu untuk mencari pengikut dan menentang kami. Manusia mana yang akan tinggal diam mendengar dunianya akan dihancurkan, kan?"

"Jadi, dia masih tidak mau bicara." Lucia mengepakkan sayapnya. "Apa yang diinginkannya dengan mengirimmu kemari?"

Alpha tersenyum. "Menyampaikan pesan untuk Anda dan para Anima."

"Dan pesan itu berbunyi...."

"Penyerahan total," ujar Alpha tegas. "Para Anima yang tersisa di zaman ini akan menyerahkan diri dan tidak mengganggu rencana Ayah. Para Anima juga harus memberikan Izin mereka agar Ayah bisa mengendalikan Aura Revaris, sepenuhnya."

"Masih sama seperti dulu? Katakan, mengapa dia sangat terobsesi dengan Aura Revaris?"

Alpha menggeleng sambil melirik Vega sebentar. Dia melakukannya sambil lalu; kalau Vega tidak mengenal Alpha, dia pasti tidak sadar dengan lirikan itu. "Sekali lagi, bukan tempat saya untuk mengatakannya."

"Kalian punya anggota yang bisa mengendalikan Aura Revaris," kata Lucia tiba-tiba.

"Oh, sepertinya Anda tahu," balas Alpha.

Lucia tersenyum tipis. Perkataan Alpha seperti mengkonfirmasikan sesuatu padanya, karena Anima itu malah bertanya, "Kalau kami menolak?"

"Mau tak mau Ayah harus menggunakan cara kasar. Kami akan mencari kalian, dan membuat kalian menuruti syarat-syarat itu. Kami tahu lokasi Anda, Visela dan Arden. Tinggal menunggu waktu saja sebelum Herol, Pyralis dan Ciro muncul. Planet yang kalian cintai ini pernah porak-poranda, dan akan porak-poranda lagi. Kalian mau melihat itu terjadi?"

Sejak melihat mereka, mata Lucia untuk pertama kalinya bersinar. Dia tampak geli.

"Kau pikir manusia akan membiarkan kalian bersenang-senang?" tanya Lucia. "Selain itu, kau terlalu meremehkan kami, bocah."

"Hah, apa yang mampu manusia dan kalian Anima lakukan? Manusia makhluk lemah, dan kalian tidak lagi memiliki kekuatan seperti dulu. Kami memiliki Doll Tanah. Dengan tubuhmu, sekarang kami bisa membuat Doll Cahaya. Yang Mulia mungkin tidak tahu, tapi Caster Cahaya dan Kegelapan sudah punah di era ini. Doll Tanah mungkin bisa dihentikan oleh Caster elemen lain, tapi siapa yang mampu menghentikan Doll Cahaya, kecuali Caster Cahaya atau Kegelapan sendiri?"

Caster Cahaya dan Kegelapan memang memiliki spektrum yang berbeda dibandingkan Caster elemen lain. Umumnya serangan mereka lebih tertuju pada mental lawan daripada fisik. Cuma Caster Cahaya dan Kegelapan lain yang bisa meniadakan kemampuan itu. Doll Cahaya kemungkinan akan memiliki karakteristik sama dengan Caster Cahaya. Vega membayangkan satu batalion tentara mereka memberikan ilusi pada lawan dan mengacaukan area pertempuran. Mau tak mau dia tersenyum.

Lucia tidak terlihat tertarik.

"Aku tidak menyusahkan diriku dengan memikirkan patung mainan kalian itu, bocah," kata Lucia datar.

Alpha tersenyum. "Saya bisa meyakinkan Yang Mulia, kalau 'patung mainan' kami jauh berbeda daripada yang diingatnya. Tentu saja, sekarang selingkuhan Yang Mulia sudah tidak ada lagi untuk memberitahunya tentang kelemahan 'mainan' kami, kan?"

Vega mendesis diingatkan oleh rumor tentang Altair itu.

Sebuah ekspresi asing muncul di mata Lucia, tapi menghilang sesaat kemudian. Lucia cuma tersenyum dingin. "Oh, benarkah? Aku tidak sabar melihatnya."

Alpha balas tersenyum ramah. Untuk beberapa saat dia cuma diam, seolah-olah menunggu sesuatu terjadi.

Nuansa putih di sekitar mereka mulai melayu. Warna abu-abu perlahan mendominasi tempat yang sebelumnya putih.

"Waktunya habis," kata Alpha.

"Sepertinya begitu," ucap Lucia. "Selamat tinggal, bocah, dan," Lucia menatap Vega dengan lama, "selamat tinggal, gadisku."

Dalam sekejap mereka telah kembali ke kamar Lucia di gua Anora. Rantai-rantai yang mengikat Vega juga menghilang. Anima tersebut sudah tidak ada lagi.

"Di mana dia?" tanya Vega sengit. "Aku tidak bisa merasakannya."

Alpha mengangkat bahu. "Sama. Dia pasti telah terbang menjauh."

"Aku harus mengejarnya!" Vega bergegas ke pintu. Lagi-lagi, dia tidak bisa bergerak. Aku mulai benci dengan kemampuan ini.

"Kau lupa, dengan ilusi Lucia menghilang, kita kembali ke dunia ilusiku," ucap Alpha menahan tawa.

"Kau mau melepaskannya begitu saja? Rencana Ayah akan lancar kalau Lucia mati sekarang."

"Aku setuju denganmu," ujar Alpha lambat. "Tapi membiarkan Lucia berkeliaran bebas, setidaknya untuk saat ini, merupakan kemauan Ayah sendiri. Aku tidak bisa menolak."

Bodoh. Apa yang dipikirkan Ayah? Lucia, walaupun telah kehilangan tubuh, masih memiliki pikirannya. Dia tetap akan mengacaukan apa pun yang direncanakan Ayah. Mengapa Ayah tidak melihat itu?

"Bagaimanapun, kita tinggalkan Lucia untuk sementara," ucap Alpha lebih serius. "Aku punya alasan lain menyuruhmu ke sini, kau ingat?"

Sialan kalian semua! teriak Vega dalam hati.

"Apa lagi yang kau inginkan?" desak Vega setelah tenang.

"Well, bagaimana mengatakannya? Aku tidak percaya pada salah satu saudara kita yang seharusnya ada di daerah ini."

"Rigel?" gumam Vega tak sabar. "Apa lagi yang dilakukannya sekarang?"

Alpha mondar-mandir sambil menimang batu yang menyimpan tubuh Lucia. "Aku tidak tahu," katanya gelisah.

Pernyataan sederhana itu membuat Vega hampir melupakan perseteruannya dengan Lucia. "Kau ... tidak tahu?" tanya Vega takjub. "Kau selalu tahu dengan apa yang kami lakukan. Kau tinggal menghubunginya, kan?"

Alpha mengangkat bahu. "Aku tahu di mana Rigel, tapi aku tidak bisa menghubunginya. Entah bagaimana, dia berhasil menghalangi komunikasi dariku. Kau ingat kan siapa yang bisa melakukan hal sama?"

Altair.

"Mantanmu itu," lanjut Alpha. "Dan tak lama kemudian dia mengkhianati kita. Aku tidak mau hal yang sama terulang kembali. Rigel menyembunyikan sesuatu, dan aku tidak menyukai itu!"

Mengapa Ayah tidak masuk saja ke kepala Rigel dan mengetahui apa yang direncanakannya? Apa dia masih lemah dari pertarungannya dengan Dyzek, sampai masalah sekecil ini dia menyuruh Alpha? Atau mungkin, Ayah ... tidak bisa?

Ini ... kesempatan bagus, pikir Vega.

Alpha melemparkan batu putih pada Vega. "Ingat, jangan hancurkan batu itu."

Sepertinya Rigel juga menemukan cara untuk menghindar dari Ayah. Mungkin.... Pikiran Vega mulai menerawang menghadapi kemungkinan.

"Baiklah. Aku akan mencari Rigel dan memata-matainya," ucap Vega. Dia menggenggam batu itu. Jangan pikir ini telah berakhir, Lucia.

Alpha tersenyum. "Bagus." Suaranya tiba-tiba meninggi. "Oh, ada banyak orang yang menunggumu di luar, Vega. Militer, kelihatannya. Mereka terlihat sangat marah."

"Mengapa Slaft tidak mengurus mer—" Dia kalah, pikir Vega tiba-tiba. Dia tidak menyangka kalau bodyguard-nya yang itu akan takluk pada manusia biasa.

"Sebaiknya kau teleport dari tempat ini," kata Alpha. "Kedua anak buahmu telah kalah, aku tidak lagi bisa merasakan mereka. Selain itu, tujuan kita telah tercapai. Jangan membuat penduduk kota ini marah lagi." Sosoknya perlahan menghilang. Kehadiran Aura Alpha di sekitar Vega juga menipis.

"Tunggu! Di mana Rigel?"

"Beberapa hari lalu dia ada di kota ini. Sekarang ... dia ada di Mircea, mungkin. Aku akan menghubungimu kalau telah yakin."

Dan Alpha pun menghilang. Waktu kembali bergerak.

Vega langsung menghela napas. Dia menatap batu kecil di tangannya. Rencananya saat datang ke sini mungkin berantakan, tapi ada harapan yang tidak disangkanya. Harapannya pada kemampuan aneh Rigel.

Slaft tidak ada, pikir Vega tiba-tiba dengan dada sesak. Dia tidak menyangka akan ditinggal oleh laki-laki bertopeng yang telah menjadi bayang-bayangnya sejak dulu itu. Vega membiarkan dirinya bersedih sebentar, mengingat kebersamaannya dengan Slaft selama ini. Setelah itu, Vega langsung menghancurkan perasaan itu dan membuangnya jauh-jauh.

Vega tidak bisa membiarkan memorinya pada Slaft mengganggu rencananya.

Tanpa membuang waktu, dia keluar dari ruangan itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top