Bab 12 : Caster Langit

✫ ✫ ✫

Mazell. Salah satu kota paling utara di Revaris. Kota Cahaya, kata Kapten Harlake. Tempat di mana manusia untuk terakhir kalinya melihat Visela, kata Rigel. Sebentar lagi Kota Mati, pikir Vega. Wanita itu tersenyum sinis sambil memperhatikan jalan yang bersalju. Siapa yang menyangka kalau Sang Cahaya—bukan Sang Air—ternyata berada di sini? Dengan suhu yang sangat rendah dan langit yang selalu mendung, tempat ini lebih cocok untuk Anima Air daripada Cahaya.

Badai baru saja berakhir saat Vega dan kedua anak buahnya tiba di Mazell. Pohon-pohon bergerak sedikit ditiup angin, menumpahkan salju yang ada di atas mereka. Tidak ada suara makhluk apa pun yang bisa didengar. Walaupun hampir setiap rumah menyala, cuma kesunyian yang ada di sana. Di pagi yang sangat dingin ini, mereka pasti sedang bermimpi indah di balik selimut.

Vega melangkah sambil mengamati itu semua. Angin yang bertiup pelan membuat dia merapatkan jubah panjangnya. Dia menghela napas.

Sembilan hari, pikir Vega, hanya untuk sampai ke tempat terpencil ini. Perjalanan dari Enice ke Mazell mungkin akan lebih cepat kalau mereka menggunakan kereta api, melewati Mircea. Akan tetapi, tindakan Shelk yang membuat Enice terbakar menyebabkan mereka tidak bisa menggunakan pilihan itu. Di Mircea mereka pasti dihadang oleh ramai prajurit kerajaan. Itu artinya pertempuran dan pembuangan Aura lagi, hal yang tidak ingin Vega lakukan sekarang.

Tapi, di kota ini pertempuran lah yang diinginkan Vega. Dia melirik Shelk yang berjalan di sisi kirinya. Untuk pertama kali sejak memulai ekspedisi ini, Vega senang dia membawa Shelk yang haus darah itu. Walaupun dia harus membuat Shelk marah padanya karena melarang anak itu menghancurkan Rancewind.

Vega sengaja membiarkan penumpang kapal Rancewind hidup. Kapten Harlake bersumpah kalau Vega dan anak buahnya akan menerima balasan atas pembantaian sebagian awak kapalnya. Mereka pasti memanggil penjaga kota sekarang. Tindakan yang memang diinginkan Vega. Akan terjadi pertempuran lagi. Tidak seperti Enice, di mana dia tidak yakin apa yang harus dilakukannya, di kota ini Vega menghilangkan semua keraguan itu. Lucia ada di sini. Dia tidak peduli apakah kota ini akan menjadi Enice yang kedua.

Ah, Lucia. Vega dapat merasakan Anima itu sekarang. Hanya memikirkan Anima itu membuat dia ingin membakar sesuatu. Membuatnya harus menahan diri untuk tidak menghidupkan Aura.

"Di mana target kita?!" tanya Shelk tak sabar.

Vega tidak menjawab. Dia tahu Lucia ada di kota ini. Dia tidak tahu dengan pasti keberadaan Lucia, tapi dia bisa memperkirakan letaknya. Bagi Vega, setiap Anima mempunyai nada tersendiri; dan Lucia mengeluarkan bunyi violin yang telah rusak. Bunyi yang membuat telinganya terasa ditusuk dengan jarum. Bunyi itu berasal dari barat, mungkin di luar kota. Tempat itu merupakan tujuannya.

Shelk memungut sebuah kaleng dan menggenggamnya sampai remuk. Anak itu telah menghidupkan Auranya sejak tadi. Sesekali tangannya menyemburkan api. "Aku bosan!" Shelk melemparkan kaleng itu ke udara. Kaleng tersebut langsung meledak, seolah-olah ia adalah sebuah bom.

Suara ledakan itu sebenarnya kecil, tapi di pagi yang sepi seperti ini, suara seperti itu bisa membangunkan semua orang. Suara orang-orang yang terbangun mulai terdengar. Di belakang, beberapa orang bersenjata tampak mengejar mereka bertiga. Pasti prajurit kota yang dipanggil awak Rancewind.

Waktunya mulai.

"Slaft, denganku," kata Vega. Dia menunjuk Shelk, "Dan kau, tinggal di sini!"

"Apakah aku boleh meledakkan mereka semua?" Tangan Shelk semakin banyak mengeluarkan api.

Sebuah senyuman kecil menghiasi wajah Vega. "Terserah."

Dengan Shelk membuat kekacauan di kota—yang pasti akan dilakukannya—Vega mempunyai waktu untuk pergi ke barat bertemu dengan Lucia. Ada yang ingin dibicarakannya dengan Lucia, sebelum dia membunuh Anima itu.

Vega kembali berjalan. Slaft dengan setia tetap mengikutinya.

"Aku akan membakar kota ini, Vega!" seru Shelk.

"Silakan," gumam Vega tanpa menoleh.

Tidak butuh waktu yang lama, sebuah kembang api meluncur ke angkasa. Kembang api itu meledak, serpihannya bertaburan ke mana-mana. Sebuah serpihan hampir mengenai Vega, tapi Slaft memukul serpihan itu dengan sarung pedangnya ke sebuah pohon. Pohon tersebut langsung meledak.

Setidaknya sepuluh ledakan terdengar di belakang Vega sekarang. Ledakan yang disebabkan oleh serpihan kembang api Shelk, serpihan yang padat dengan Aura anak itu. Vega tersenyum.

Sekarang, lakukanlah apa yang sangat ahli kau lakukan.Dan buat perhatian mereka semua teralih dariku.

♢ ♢ ♢

"Daaan ... fedora juga tidak bisa!" ucap Ren sambil melemparkan topi itu ke langit-langit, bangkit dari posisi berbaringnya, dan menangkap topi itu lagi. Dia menghembuskan napas pasrah dan kesal.

Auraku jadi sia-sia lagi.

Lucia masih terdiam; sejak badai turun dia tetap bertengger di jendela sambil menatap malam. Ren tidak menyalahkannya. Ketakutan Lucia yang sempat dirasakannya sebelum badai, sampai sekarang masih membuat Ren bergidik. Apakah Lucia sedemikian takut pada ... apa pun yang membuatnya takut itu?

Tidak ada yang bisa Ren lakukan kecuali membiarkan Lucia dengan privasinya. Tidak ditanggapi, dia bermain lagi dengan cincin putih itu; cincin yang sekarang dinamainya dengan "Cincin Altair", untuk menghormati pemilik aslinya.

Berbagai macam benda berserakan di lantai kamar. Pisau bedah, tisu, masker, buku, kristalit, pakaian, obat-obatan, bahkan tanah dan sedikit salju. Stetoskop Dokter Colton juga ada. George setengah hati mengumpulkan benda-benda itu. Ren berusaha men-Sealing semuanya dalam Cincin Altair, tapi sejauh ini dia hanya berhasil pada Eaden dan kristalit-kristalit saja. Buku tidak bisa, meskipun dia telah memberikan Auranya sebanyak mungkin pada Cincin. Demikian juga dengan fedora yang dipegangnya sekarang.

"Hanya benda yang dapat menggunakan Aura—seperti kristalit dan Eaden—atau apa pun yang terbuat dari Aura, bisa di-Sealing di Cincin itu," kata Lucia tiba-tiba. "Bukankah tadi telah kukatakan?"

Ren tersenyum. Kau hidup! Baguslah, aku tidak mau kehilangan wanita ke-2 tercantik di daftarku.

Lucia memberinya pandangan datar. Ren tidak peduli, dia terlalu senang mendengar suara Lucia dalam kepalanya.

Kau tahu, seandainya makanan bisa disimpan di sini. Atau buku. Atau pakaian. Atau mansionku. Hidup pasti akan lebih mudah.

"Tidak akan mungkin," balas Lucia. "Lagi pula, mengapa kau ingin men-Sealing mansionmu sendiri?"

"Mengapa? Mungkin aku akan terlihat hebat kalau mempunyai rumah yang bisa dibawa ke mana-mana. Seandainya aku pergi berpetualang, aku tidak perlu berkemah. Ingin tidur? Keluarkan saja mansion dari Cincin. Sesederhana itu."

Seandainya, pikir Ren sambil mengambil dua buah kristalit cahaya dan tiga kristalit angin; benda-benda itu dengan mudah masuk ke dalam Cincin. Dia berbaring lagi di kasur.

Setelah berbaring dan mendengar suara Lucia, Ren baru menyadari betapa lelahnya dia. Sudah pukul tiga pagi, tapi dia belum tidur juga. Dia terlalu mengkhawatirkan Lucia yang tiba-tiba tidak menghiraukannya. Sepertinya Lucia telah normal lagi sekarang, pikir Ren sambil melihat Cincin Altair.

Dia ingin tidur, tapi Cincin itu malah membuat Ren mengingat lagi masalahnya yang belum selesai. Kristalit cahaya ... dan sekarang badai Mazell juga.

Ren menatap kristalit cahaya yang masih bersinar temaram di langit-langit. Pandangannya beralih pada Lucia. Dia tersenyum kecil, sedikit senang dengan keberadaan Anima itu di dekatnya. Cincin Altair tidak pernah lagi bersinar dengan adanya Lucia. Pemadaman kristalit cahaya juga tidak terjadi. Sedikit hiburan di saat-saat sulit seperti ini.

Akan tetapi, Ren tahu itu cuma sementara. Kristalit akan mati lagi. Dia sendiri tidak tahu mengapa sampai seyakin itu. Mungkin karena Lucia pernah menegaskan kalau pemadaman kristalit tidak ada kaitannya dengan Cincin atau dirinya, tapi berkaitan langsung dengan Aura Revaris.

Aura Revaris. Aura yang dimiliki oleh planet ini, kata Lucia. Ren cukup terkejut ketika mendengarnya. Dia tidak pernah tahu kalau Revaris ternyata memiliki Aura juga. Bagaimana bentuk Aura itu? Apa warnanya? Apakah Revaris bisa menggunakannya? Banyak pertanyaan yang mengusik Ren dan itu membuatnya semakin tidak tenang.

Aura Revaris, pikir Ren lagi. Seseorang sedang mem-Binding-nya, entah siapa dan untuk apa. Yang pasti, gara-gara itu kristalit terus padam.

Bagaimana dia melakukannya? Sejauh yang Ren ketahui tentang Binding, si pem-Binding harus mengeluarkan benang Aura dan mengikatnya pada objek yang akan di-Binding. Jadi, bagaimana seseorang mengikat dunia?

Tapi, lebih baik menanyakan yang lebih penting dahulu.

"Kau tahu siapa yang melakukan semua ini, kan?"

"Aku punya dugaan."

Starion, pikir Ren. Makhluk misterius yang sepertinya sangat dibenci Lucia. Ren menelan ludah. Dia tidak pernah mendapat jawaban yang jelas tentang siapa sebenarnya Starion. Lucia selalu menghindar kalau topik itu disinggung. Keingintahuannya muncul kembali.

"Kau tahu apa yang kupikirkan," kata Ren lirih. "Apa kau akan mengelak lagi?"

Sunyi. Tidak ada suara yang keluar dari Lucia. Dia tetap mematung di jendela dan membelakangi Ren.

Dia takut, pikir Ren, lebih pada dirinya sendiri. Dia langsung sadar kalau pikirannya bisa didengar Lucia.

"Kau benar, Ren. Aku takut," ucap Lucia lemah. Suaranya terdengar jauh, seolah-olah dia berada di tempat lain. "Aku takut dia mengulang lagi apa yang pernah dilakukannya dulu. Aku takut aku tidak mampu melakukan apa-apa untuk menghentikannya."

Cahaya kristalit meredup sedikit. Bayangan Lucia di jendela tampak semakin menjauh. Suara pasrah dan putus asanya membuat Ren heran. Apakah Anima juga kenal dengan kata menyerah? Tapi dia membicarakan Anima di sini. Mereka adalah dewa—

Merpati, pikir Ren tiba-tiba. Dia terduduk lagi. Mengapa dia baru menyadari itu? Sejak menemukan Lucia, Ren selalu melihatnya sebagai Anima yang kuat, tanpa peduli dia mengambil bentuk apa. Tapi, Lucia cuma seekor merpati sekarang; tubuhnya sendiri bahkan masih ada di gua Anora. Dia ... tidak lengkap. Dia bukan lagi seorang dewi yang bisa meratakan gunung hanya dengan gerakan jarinya, seperti dalam cerita.

"Terima kasih atas perhatianmu. Tapi aku tidak selemah yang kau pikir."

"Aku tahu," kata Ren menggeleng. Dia harus belajar mengendalikan pikirannya mulai sekarang, bukan cuma mulut dan ekspresinya. "Tapi aku telah berjanji untuk menolongmu, kan? Aku akan membantumu bertemu Anima lain."

Lagi-lagi Lucia tidak menjawab, walaupun Anima itu menatapnya tanpa berkedip. Ren berharap dia bisa membaca apa yang dipikirkan Lucia sekarang, bukan sebaliknya.

Ren mengulang lagi pertanyaannya. "Lucia, siapa Starion sebenarnya? Jika kau ingin aku membantumu, setidaknya aku harus tahu siapa yang kita hadapi." Dia mengambil napas, dan berkata lagi, "Selain itu, dia pasti ada kaitannya dengan pemadaman kristalit dan badai yang semakin tidak menentu."

Dan alasan mengapa kotaku menjadi seperti ini. Diserang oleh badai yang seharusnya muncul sebulan sekali, tapi sekarang jadi beberapa hari sekali. Kondisi komuditas utamanya—kristalit cahaya—menjadi tidak menentu. Apa yang akan terjadi kalau kristalit cahaya tidak bisa hidup lagi? Yang pasti, Ren akan kehilangan sumber keuangan terbesarnya. Mazell akan kehilangan identitasnya sebagai Kota Cahaya. Para penambang akan kehilangan pekerjaan mereka.

Ditambah dengan masalah yang akan timbul seandainya badai Mazell terus-menerus berkelakuan seperti sekarang. Ren mendapat laporan kalau beberapa ikan tidak bisa lagi ditangkap oleh nelayan Mazell. Ikan-ikan yang sensitif dengan Aura. Itu baru masalah kecil. Bagaimana kalau badai berlangsung sampai siang hari? Sang Pencipta, bagaimana kalau sampai musim semi?

Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Selesaikan sebuah masalah sebelum masalah itu muncul.

Cahaya kristalit di kamar itu semakin meredup. Sunyi kembali. Suara-suara hewan malam memang selalu hilang saat badai berakhir. Ren dan Lucia tetap saling pandang, seolah-olah mengukur siapa yang paling kuat pendiriannya. Setelah satu menit yang terasa berjam-jam, akhirnya Lucia berkata, "Dia merupakan salah satu dari kami."

"Starion?" Ren mengingat lagi pertanyaannya yang belum terjawab. "Tunggu, dia Anima?"

Lucia mengepakkan sayapnya. "Aku tidak tahu apa yang teman-temanku lakukan sampai kalian tidak pernah mendengar tentang Starion sebelumnya. Tapi itu di luar cerita."

Kebanyakan catatan tentang Anima memang menghilang saat Frozen Kingdom terjadi. Mungkin itu termasuk salah satu alasan absennya Starion dari pengetahuan dunia. Atau mungkin Caster tahu dengan ini, tapi tetap mereka rahasiakan. Kalau begitu, mengapa harus dirahasiakan? Dia harus menanyakan ini pada Elysa nanti.

"Dia Anima apa?"

Menanggapi pertanyaan itu, berbagai gambaran langsung masuk ke pikirannya. Matahari yang mendekati Revaris. Bintang-bintang terus bersinar terang di siang hari. Langit berwarna merah darah. Hujan meteor menyerang Revaris. Di tengah semua itu, seekor makhluk dengan jubah ungu bersedekap. Dia dikelilingi oleh beberapa sosok manusia yang juga memakai jubah, tapi dengan warna-warna yang berbeda.

Semua gambaran itu tiba-tiba berhenti. Ren terengah-engah. Dia baru sadar kalau Lucia telah berada di sampingnya.

"Langit," gumam Ren. Dia memegang pelipisnya menahan sakit. Setiap gambaran yang muncul terasa mengiris pikirannya. "Anima Langit."

"Maaf. Tidak seharusnya aku melakukan itu. Pikiranmu masih belum terbiasa dengan keberadaanku, tapi aku malah memaksakan memoriku padamu."

"Apakah yang berjubah ungu itu Starion?" tanya Ren, berusaha tidak memedulikan sakit kepalanya. "Siapa yang mengelilinginya?"

Lucia memerlukan waktu sebentar untuk menjawab. "Starion bersama para Destra, Casternya. Caster Langit."

Hmm, ada Anima Langit, jadi tidak aneh ada Caster Langit.

Menarik napas panjang, Ren berkata, "Aku ... melihat seseorang memegang Eaden dan seorang wanita berambut biru. Wanita itu ... pernah kulihat." Dalam mimpi, dia dan dua orang lagi sedang membakar sebuah kota. Enice mungkin. Dia juga membakarku dalam api biru.

"Yang memegang Eaden adalah Altair; wanita biru yang kau maksud pasti Vega."

Jawaban Lucia malah membuat pertanyaan Ren semakin bertambah, seperti apa yang dilakukan pahlawan seperti Altair di sana. Tapi dia menyingkirkan itu untuk sementara. "Apa yang terjadi sebenarnya?"

Lucia terdiam cukup lama sebelum menjawab, "Perang di antara kami, Ren. Kegagalan terbesarku."

Ren menunggu Lucia melanjutkan ceritanya.

"Starion menyerang seluruh kerajaan di Revaris dan mengacaukan semuanya. Dia memang sendirian dan jumlahnya lebih sedikit, tapi dia terlalu kuat dan Destra lebih superior dari Caster kami. Dia juga mempunyai Doll, patung-patung bergerak yang fokusnya cuma untuk menghancurkan apa pun yang hidup. Tentara Dollnya membantai makhluk hidup yang mereka temui. Perang di mana-mana. Anima melawan Starion. Caster melawan Destra. Prajurit melawan Doll. Itu merupakan waktu yang sangat buruk. Setiap mata memandang, pasti ada tempat yang hancur atau mayat yang berserakan."

"Mengapa dia memulai perang?" tanya Ren pelan ketika Lucia tidak lagi bercerita.

Entah mengapa, Lucia tertawa.

"Itu lah bagian lucunya dari perang kami, Ren. Kami sama sekali tidak tahu alasan Starion. Dia tidak membuat klaim apa pun. Dia juga tidak menghiraukan pesan kami. Dia cuma menyerang dan membunuh.

"Pada akhirnya, aku lelah bertarung terus menerus tanpa alasan yang jelas, dan mencoba berdamai dengannya. Dia membalas pesanku dan menentukan tempat pertemuan. Tapi dia malah menggunakan kesempatan itu untuk membunuhku. Kami bertarung; aku kalah."

Lucia terdiam lagi. Akhirnya dia berkata, dengan suara yang lebih lemah, "Aku rasa itu merupakan kesalahan pertamanya saat perang. Aku tidak yakin apa yang terjadi, tapi kekalahanku sepertinya membuat Altair mengkhianati Starion. Peristiwa itu merupakan awal dari kejatuhannya.

"Aku sudah tertidur saat dia kalah. Herol datang dalam Dunia Mimpi-ku, mengatakan kalau Starion telah tersegel dan Dyzek menjadi penjaga segel itu. Dia juga mengatakan kalau segel Starion akan hancur setelah 3.000 tahun, karena aku tidak ada untuk menyempurnakan segel itu. Dia berharap aku sudah sadar ketika hari itu tiba, supaya kami bisa menghadapi Starion sekali lagi.

Cuma itu yang kuingat."

Ren menambahkan tanpa sadar, "Dan sekarang, dia telah kembali. 1.700 tahun lebih awal." Pikiran Ren agak kosong. Masalah seperti pemadaman kristalit cahaya ternyata menyeretnya ke dalam hal sebesar ini.

Namun, kalau membantu Lucia bisa menyelesaikan masalah kristalit dan badai, serta menghalang Starion, Ren dengan senang hati akan melakukannya. Siapa pun yang mem-Binding Aura Revaris pasti ada kaitannya dengan Starion. Atau yang melakukannya adalah Starion itu sendiri. Yang pasti, hal tersebut telah melukai Mazell. Ren tidak akan membiarkan siapa pun membuat Mazell terluka. Siapa pun. Termasuk makhluk-makhluk kuno yang disebut oleh Lucia itu.

Ren menghela napas. Dia memerlukan rencana dan informasi. Pengetahuan mendalam tentang Anima merupakan rahasia Caster, jadi tidak mungkin ditemukan di tempat umum. Beruntung bagi Ren, tunangannya sendiri adalah seorang Caster yang sepertinya tidak mempermasalahkan rahasia itu. Namun, kematangan rencananya sangat bergantung atas pengetahuan Elysa. Kalau Elysa cuma tahu sedikit, sepertinya dia harus ke Mircea dan memulai dari sana.

Mircea? Ah, buku Anima di Revaris. Dengan buku itu— Tunggu. Dengan adanya Lucia, Ren tidak memerlukan buku tersebut. Dia tinggal bertanya pada Lucia tentang Anima lain.

Namun, pengetahuan Lucia tentang apa yang terjadi sejak dia kalah sangat sedikit. Waktu Anima lain menyegel Starion, Lucia telah tertidur. Apa yang terjadi setelah itu tidak diketahui oleh Lucia. Jadi, mungkin buku itu masih ada gunanya. Oke.

Pertama-tama, dia harus menemui Elysa dulu.

"Gadis manis itu tunanganmu?" tanya Lucia tiba-tiba. Nada Lucia kembali normal lagi, tidak serius seperti tadi.

"Oh, kau telah bertemu dengannya?" tanya Ren sambil mengambil kristalit lagi.

Lucia terbang ke bahunya. "Sulit melupakan seseorang yang melempar pisau padamu saat pertama kali bertemu."

Jawaban itu sukses Ren berhenti memasukkan kristalit api pada Cincin. "Dia ... apa?"

"Dia berusaha membunuhku," kata Lucia enteng.

"Mengapa dia—"

"Entahlah," potong Lucia.

Bayangan Lucia yang mengangkat bahu muncul dalam pikiran Ren. Dia memegang kepalanya mendapat gambaran yang tiba-tiba itu. Harus terbiasa dengan semua ini.

"Aku akan bicara dengan Elysa," ucap Ren. "Tapi dia harus tahu tentangmu. Dia lebih berpengalaman soal ini daripada diriku."

"Tidak, Ren. Belum waktunya. Tunggu sampai aku mendapat kekuatanku kembali."

Lucia pernah membuat Basil menjadi "tidak tertarik" padanya dalam gua Anora. Padahal saat itu Ren telah siap-siap menceritakan pengalamannya bertemu Anima itu pada Basil.

Tapi mengapa kau tidak ingin orang lain tahu?

Lucia mengepakkan sayapnya, yang kontan terkena pipi Ren. Merasa risih, Ren mengambil Anima itu.

"Aku harap kau berhenti melakukan itu," kata Ren.

"Mengapa? Aku senang melakukannya."

Desahan sengsara keluar dari mulut Ren. Apakah merpati ini memang benar Lucia, sang Anima Cahaya itu? Lucia yang ditemuinya di gua Anora tampak berbeda sekali. Anggun, regal, dengan tatapan wanita bangsawan saat memandang Ren. Saat dia bercerita tentang Starion, dia juga lebih serius. Tapi sekarang, dia malah seperti anak-anak yang cerewet. Yang kadang-kadang membuat Ren frustasi sendiri.

Agak aneh Lucia tidak mengoloknya setelah dia memikirkan itu. Anima itu malah memalingkan kepala merpatinya kembali ke luar jendela.

"Ada apa?" tanya Ren. Entah mengapa, dia ikut-ikutan menoleh ke luar.

Sunyi. Terlalu sunyi. Bulu kuduk Ren berdiri. Lagi-lagi, dia takut tanpa tahu mengapa.

"Kita harus pergi!" kata Lucia terbang dari tangan Ren.

"Apa—"

"Cepat!"

Bunyi kembang api melesat ke langit terdengar dari pusat kota. Kembang api itu meledak nyaring. Ren menelan ludah. Entah mengapa, dia tahu ini belum berakhir. Sedetik kemudian, dia benar. Beberapa ledakan langsung terdengar dari kota. Rumah sakit agak bergetar, karena salah satu sumber ledakan dekat dengan tempat itu. Ledakan lain juga terdengar, tapi berasal dari bagian kota yang lain.

Ren langsung berlari ke pintu dan membukanya keras. George yang sedang tidur di sofa ruangan terbangun. "Tuan Muda?"

"Apa yang meledak?"

Tanpa menunggu jawaban George, Ren berlari keluar ruangannya. Beberapa pengunjung rumah sakit keluar dari ruangan mereka juga. Seorang perawat berusaha menghentikannya, tapi Ren mengelak. Mungkin dia bisa melihat apa yang terjadi dari halaman. Dia mendorong pintu depan sedikit paksa.

Ren langsung berhenti.

Mata Ren membelalak melihat pemandangan di depannya. Banyak bangunan kota yang dimakan api. Sebuah toko sepatu yang seharusnya berada di tepi jalan rumah sakit sudah tidak ada lagi. Tidak ada apa pun yang berada di sana, kecuali tanah yang berwarna hitam dan mencekung ke dalam. Sementara itu, di beberapa bagian kota langit agak memerah oleh api.

Tanah masih bersalju dari badai tadi. Namun, kedinginan udara tidak membuatnya menggigil. Apa yang dilihatnya cukup untuk membuat Ren melupakan cuaca.

DHUARR!

Api setinggi sepuluh meter terlihat di depan. Teriakan seseorang terdengar sampai ke telinga Ren. Beberapa detik kemudian, sebuah ledakan terjadi lagi. Kali ini yang meledak sebuah lampu jalan. Ren mempercepat langkahnya. Bingung, takut, dan ingin tahu bergabung menjadi satu. Tapi ingin tahu sepertinya lebih dominan, karena Ren terus berlari mendekati asal suara-suara itu.

Di depannya, beberapa orang penjaga kota membentuk semacam barisan. Ren mendekat pada mereka.

"Apa yang terjadi?" tanya Ren.

Seorang laki-laki berwajah agak bundar dengan bekas luka di mata kirinya menoleh. Wakil Field, orang kedua yang memegang kekuatan militer Mazell. "Tuan Muda, apa yang Anda lakukan? Cepat tinggalkan tempat ini."

"Maaf, Field. Tidak bisa melakukan itu. "

Beberapa bola api meluncur ke angkasa. Bola-bola itu berpencar, dan menyerang beberapa rumah penduduk. Ren cuma bisa menatap dengan ngeri ketika rumah yang terkena bola api itu memerah—dindingnya, jendela, pintunya—dan meledak begitu saja. Serpihan-serpihan turun seperti hujan. Beberapa orang keluar dari rumah yang meledak itu; berteriak keras dengan tubuh dilahap api.

Beberapa prajurit kota mendekat dan berusaha menyelamatkan mereka. Dari ekspresi para prajurit kemudian, Ren tahu kalau mereka gagal.

Salah satu yang meledak adalah rumah John, penjaga pertambangan Ren. Sang Pencipta, seluruh keluarganya.... Otak Ren hampir berhenti bekerja melihat semua itu.

"Hahaha. Terbakar, meledak. Hahaha," tawa seorang anak.

Saat Ren menemukan suaranya, dia cuma bisa berdesis. "Kau."

Api menari-nari di tangan si Anak. Lampu kristalit jalan memperlihatkan wajahnya yang tampak seperti berumur 11 tahun, dengan rambut pendek merah menyala. Mulutnya menyunggingkan sebuah senyum menyakitkan. Matanya yang merah memandang Ren dengan tajam. Ren ingat di mana dia pernah melihat anak itu, di mimpinya tentang kebakaran Enice. Tapi di mana teman-temannya yang lain?

"Bagaimana dengan bantuan?" geram Ren.

"Sedang diusahakan, Tuan Muda. Mereka akan datang tak lama lagi!" kata Wakil Field. Dia beralih memandang si Anak yang semakin dikelilingi oleh api.

"Beberapa orang, ikut aku!" kata Ren. "Kita hentikan anak itu sebelum dia meledakkan tempat lain. Yang lainnya tetap menolong korban."

Wakil Field menyuruh anak buahnya untuk melakukan perintah Ren. Dia sendiri menarik pedangnya.

"Anda yakin?" tanya Field. "Saya akan meminjamkan pedang untuk Anda."

"Tidak perlu. Aku punya senjata sendiri," desis Ren sambil memberikan Auranya pada Cincin. Pandangannya tidak teralih dari si Anak. "Dan Field, jangan harap untuk membuatku pingsan dan menyeretku ke tempat aman. Aku tidak akan termakan oleh trik itu lagi."

Wakil Field cuma tertawa kecil.

"Si bodoh Vega pasti tidak mengira kalau aku akan ke sini," kata si Anak sambil tetap tersenyum. "Ternyata aku benar. Kau, aku merasakan Aura Lucia padamu," tunjuknya pada Ren. Beberapa bola api kecil terbentuk di sekitar tangannya. "Mana dia, maka kematianmu tidak akan menyakitkan."

Destra. Entah mengapa Ren tidak terlalu terkejut. Dalam hatinya dia telah menduga mereka akan mulai menyerang, walau tidak secepat ini. Dia juga tidak perlu merasa bersalah karena akan melukai anak kecil. Lagi pula, "anak kecil" yang dihadapinya pasti telah berusia satu milenium lebih.

Ren membuat Eaden terbentuk di tangannya, lalu menunjukkan pedang itu pada si Anak.

Anak itu tertawa. "Aku akan bermain denganmu dulu sebelum memburu Lucia. Vega bodoh pasti akan sangat marah kalau aku duluan menemukan Anima itu." Dia tertawa lagi. "Ngomong-ngomong, namaku Shelk, dan aku adalah orang yang akan membunuhmu. Ingat itu!"

Api keluar dari kaki Shelk, membuatnya meluncur ke arah Ren dengan kecepatan tinggi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top