Bab 11 : Rumah Kaca

❄ ❄ ❄

"...bagus ... bangun...."

Suara samar-samar Dies ditangkap oleh telinga Elysa. Elysa memijat pelipisnya, berusaha meredakan kepala yang sakit. Perlahan dia membuka mata. Ruangan putih, selimut putih, kasur empuk, dan bau obat-obatan. Di kanannya, cahaya matahari masuk dari jendela yang terbuka, sejajar dengan arah ranjang. Pagi atau sore?

"Hei!"

Elysa menoleh ke asal suara tadi. Dies tersenyum lebar.

"Sudah kukatakan, dia pasti sadar," kata Dies lagi, entah pada siapa.

Di mana ini? Elysa masih menatap Dies, tapi pikirannya berkelana ke mana-mana. Bayangan Dies dalam pandangannya membuat Elysa mengingat Basil yang sedang mengayunkan pedang. Basil kemudian tergantikan oleh Ren, lalu ... jatuh. Elysa langsung melonjak dari kasur.

"Whoa, apa yang kau lakukan?" seru Dies memegang pundaknya.

"Ren...."

Dies menatapnya sambil tersenyum aneh. "Ayolah, aku yang pertama kau lihat, tapi yang kau sebut malah dia."

"Ren...." Mati. Kata itu berngiang-ngiang dalam kepala Elysa. Entah mengapa, "Ren" dan "mati" sangat janggal dibuat dalam satu kalimat.

Dies berdecak kesal. "Kalau kau begitu merindukan pangeran tidurmu itu, cari saja di ruangannya."

"Tapi aku melihatnya—" Elysa berhenti. Masih setengah percaya, dia berkata pelan, "Dia hidup?"

Dies menguap. "Memangnya dia harus mati?"

Dia tidak terlihat berbohong. Elysa tidak melihat cengirannya yang biasa; jejak kesedihan juga tidak tampak pada wajahnya. Dies malah terlihat kelelahan dan mengantuk.

Elysa tidak pernah berpikir dia akan sesenang ini. Dia berusaha menahan senyumannya agar tidak dilihat Dies. Kalau Ren memang masih hidup, berarti rencananya akan tetap berjalan mulus tanpa ada penundaan.

Elysa sekarang memakai piyama biru lengan panjang dengan motif bunga mawar. Dia tidak lagi mengenakan mantel, dress, serta boot merah, seperti saat dia masuk gua. Siapa yang mengganti pakaiannya? Ah, siapa pun orang itu, setidaknya dia tahu dengan warna favorit Elysa. Mungkin Cleva. Bicara tentang Cleva, di mana pelayannya sekarang?

Setelah memperhatikan ruangan putih itu sekali lagi dan melihat perawat yang berjalan dari balik jendela, akhirnya Elysa menyadari kalau dia berada di rumah sakit.

"Bagaimana aku bisa berada di sini?" Dia menatap Dies, meminta penjelasan.

Dies menguap sekali lagi. "Ren dan Basil membawamu semalam. Seorang perawat datang mengabari kami. Aku dan ayah langsung ke sini. Saat kami datang, Ren tiba-tiba melemas dan pingsan. Setelah itu Basil pulang tanpa mengatakan apa pun pada kami. Dia aneh sekali."

Elysa menaikkan alis kanannya.

"Apa yang kau dan Ren lakukan sampai kalian ... pingsan dan sebagainya?" Kecurigaan dalam pertanyaan Dies membuat Elysa tidak enak. Tapi dia tetap menatap kakaknya dengan ekspresi acuh tak acuh.

"Tidak ada. Kami cuma bertarung." Melawan bola aneh memiliki Aura yang mengeluarkan sulur-sulur setajam pisau.

Ketidakpercayaan terpampang jelas di wajah Dies. Namun, dia kelihatan terlalu mengantuk untuk bertanya lebih lanjut lagi.

Elysa mengambil tangan Dies dan menggenggamnya. "Pada akhirnya aku tidak apa-apa kan? Jadi, kau tidak perlu khawatir."

"Kita akan melanjutkan pembicaraan ini," ujar Dies pelan. Matanya terpejam dan napasnya mulai teratur.

Jadi, dia pingsan cuma semalam. Auranya memang habis saat itu. Elysa ingat kalau dia mengkonversi energinya sendiri menjadi Aura, dan itu membuatnya semakin melemah. Bodoh sekali. Mengapa dia melakukan itu? Ren tidak berarti apa-apa padanya, selain dia adalah bagian dari rencana Elysa untuk mendapatkan bagian buku yang dicarinya. Kalau Ren mati, rencana Elysa cuma akan tertunda, bukan gagal. Memang benar melihat kondisi saat ini—dengan badai yang semakin mengganas—Elysa tidak mengharapkan penundaan, tapi tetap saja dia tidak perlu melakukan hal seekstrim itu. Kalau ada yang salah saja saat dia mengkonversi energinya menjadi Aura, dia bisa mati. Mati konyol.

Dan kau tetap melakukannya.

"Aku ingin jalan-jalan," kata Elysa sambil melepaskan tangan Dies. Aku perlu berpikir.

"Dalam piyama?" Suara Dies semakin melemah. Sepertinya dia benar-benar akan tidur sekarang.

Elysa tidak peduli dengan pakaian sekarang. Dia ingin mengikat rambutnya, tapi baru ingat kalau ikat rambutnya telah terputus oleh sulur gelap itu. Elysa menghela napas. Perlahan diperhatikannya Dies yang sudah terlelap di kursi. Kakaknya itu tampak lelah sekali. Elysa tersenyum kecil, lalu mengecup dahi Dies. "Terima kasih, telah menjagaku semalaman ini," lirihnya.

Cleva dan Trista berada di luar ruangan. Trista memberinya sandal setelah melihat kaki telanjang Elysa. Hmm, mungkin Dies bicara dengan salah satu dari mereka tadi.

"Nona, bukannya Anda harus istirahat dulu?" tanya Trista.

"Aku harus banyak bergerak dan merenggangkan tubuh." Elysa memutar kedua tangannya beberapa kali. Dia juga menghidupmatikan Aura. "Terlalu lama di tempat tidur cuma akan membuat bosan."

Dia lantas berjalan di koridor rumah sakit. Trista mengekor dari belakang, sedang Cleva membereskan pakaian Elysa.

Rumah sakit Mazell terletak di selatan kota. Bangunan-bangunannya tidak terlalu besar, mungkin menyesuaikan dengan kondisi Mazell yang juga tidak besar. Dalam perjalanannya mengitari tempat itu, Elysa melihat laboratorium, ruang anak, dan yang agak mengejutkannya, sebuah bangunan untuk penyakit-penyakit yang berkaitan dengan Aura. Setahu Elysa, Caster di Mazell cuma bisa dihitung dengan jari, jadi fungsi ruangan seperti itu seperti tidak ada saja.

Mereka terus berjalan tanpa tujuan, sampai akhirnya Elysa tidak tahan lagi. "Di mana ruangan Ren?"

"Mengapa tidak bertanya sejak tadi?" gerutu Trista. Cleva langsung menyikut gadis itu.

"Di sayap selatan, Nona," kata Cleva.

"Oh." Cuma itu yang keluar dari mulut Elysa. Dia sudah berjalan ke bagian utara rumah sakit, dan sekarang harus berbalik lagi. Dia berharap menemukan ruangan Ren tanpa sengaja, supaya tidak ada yang tahu kalau dia memang ingin mencari di mana Ren berada. Well, tidak ada waktu untuk merasa malu.

Bagian selatan rumah sakit sepertinya berisi kamar-kamar untuk pasien penyakit berat. Namun, Elysa tidak terlalu memperhatikan itu karena satu tempat membuatnya agak tertarik. Sebuah rumah kaca besar berkubah menjulang tinggi sampai belasan meter. Panjang dan lebarnya sekitar lima puluh meter. Di dalamnya ada beberapa tumbuhan, kebanyakan merupakan tumbuhan melata; tapi ada juga beberapa pohon. Hampir semuanya merupakan tanaman herbal, sisanya merupakan bunga-bungaan. Elysa mengetahui tanaman obat-obatan itu karena mereka pernah dipelajarinya di Riege. Dia memperhatikan tanaman-tanaman itu dari luar sampai tidak menyadari kalau dia sudah sampai di tempat Ren.

Di ruang Ren cuma ada George, pelayannya. Laki-laki tua berambut dan berkumis abu-abu itu mengangguk hormat. Pakaian resmi George: jas hitam, kemeja, dasi kupu-kupu, membuat Elysa merasa malu untuk pertama kalinya. Di depannya seorang pelayan dengan pakaian yang resmi sekali, sedang dia cuma memakai piyama saja. Walaupun kedudukannya lebih tinggi, tetap saja....

"Bagaimana Ren, George?"

"Tuan Muda masih istirahat, Nona. Anda ingin menjenguknya?"

Setelah masuk ke sini, Elysa merasa ragu. Namun, dia mengangguk mendengar pertanyaan George.

George membuka pintu ruangan Ren, tapi tidak ikut masuk. Elysa mendekati ranjang Ren. Rambut hitamnya masih berantakan dan kulitnya agak pucat dari yang terakhir Elysa lihat. Selain itu, dia kelihatan biasa-biasa saja, untuk seseorang yang baru terjatuh dari jurang. Apa jurang itu sebenarnya dangkal? Di samping ranjang Ren ada sebuah meja kayu; segelas air dan vas bunga berada di atasnya. Seekor merpati putih berdiri di samping gelas itu. Dia dan merpati itu saling berpandangan.

Elysa langsung menghidupkan Aura, membuat pisau es dan melemparkan pisau itu pada si merpati. Semua itu terjadi begitu saja, dan dia baru menyadari apa yang dilakukannya ketika merpati itu mengelak dari pisaunya. Elysa terpaku. Pisau esnya masih tertancap di atas meja, sedang merpati itu terbang ke dada Ren. Dia menatap nanar merpati itu. Preserving-nya mengatakan tidak ada bahaya. Tidak ada bahaya.

Apa yang kulakukan?

George masuk saat itu juga. Elysa mendekati meja dan menyentuh pisau esnya. Pisau itu kembali jadi uap air.

"Ah, Anda sudah melihat merpati Tuan Muda?" tanya George. Kalau dia menyadari apa yang baru saja dilakukan Elysa, dia tidak memperlihatkan itu. "Kata Basil, Tuan Muda mendapatkannya dalam gua Anora, bersamaan dengan pedang itu."

Elysa menoleh ke sudut ruangan. Sebuah pedang pendek berwarna putih tampak olehnya. Elysa tidak tertarik pada pedang, namun pada merpati itu. Apa yang seekor merpati putih lakukan di dalam gua? Itu jelas aneh. Dan mengapa dia merasa kalau merpati itu bukanlah ... merpati?

Ah, aku terlalu banyak berpikir, pikir Elysa. Dia harus menahan dirinya dari membuat pisau lagi. Keberadaan merpati itu membuat nafsu membunuhnya naik.

Elysa menarik napas panjang dan berjalan keluar ruangan Ren. Dia tidak mungkin membangunkan Ren sekarang. Ren masih butuh istirahat, sepertinya. George mengantarkannya keluar.

"Apa kata dokter?" tanya Elysa.

"Semalam sepertinya dia patah tulang," kata George. "Tapi pagi ini dokter Colton tidak yakin lagi. Tulang yang patah itu seperti sudah sembuh sendiri."

Elysa menaikkan alisnya sambil kembali menatap sosok tidur Ren, lalu beralih pada si merpati. Elysa mengerdipkan mata. Sekali lagi, keinginan membunuh merpati itu timbul lagi saat Elysa melihatnya.

"Terima kasih, George," kata Elysa sambil menghilangkan lagi perasaan itu. "Kalau Ren sadar, beritahu aku ya?"

"Baik, Nona."

Cleva dan Trista berada di koridor ketika dia keluar. Di dekat mereka ada satu orang lagi. Basil. Anak itu tersenyum lemah pada Elysa.

"Aku mencarimu ke ruangan tadi, tapi cuma ada Dies. Dia mengatakan kau pasti ke sini."

Elysa menghela napas. "Ada apa?"

Basil melirik Cleva dan Trista. Ekspresi Cleva tetap datar, sedang Trista tampak cemberut.

"Bisa kita bicara berdua?"

"Tentu. Aku ganti pakaian dulu."

"Baiklah Nona. Akan saya tunggu," balas Basil.

❄ ❄ ❄

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?"

Basil menoleh ke kiri-kanan seolah memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka. Mereka berdua sekarang duduk di kursi panjang yang ada di rumah kaca dengan berbagai herbal itu, dekat dengan ruangan Ren tadi. Bau tanaman di sekitarnya yang harum memasuki penciuman Elysa, membuatnya agak rileks. Tapi hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk Basil.

"Aku...," mulai Basil berbisik, "sepertinya ada yang aneh denganku belakangan ini, Nona."

Elysa tetap mendengar, tapi dia lebih fokus pada tanaman yang merambat di belakang Basil. "Lanjut."

"Tapi aku tidak yakin...." Basil menoleh lagi ke kiri-kanan. "Ah, mungkin aku salah."

Tidak ada yang keluar dari mulut Elysa. Dia menatap Basil, berusaha menebak apa yang ingin dikatakan anak itu. Namun, Basil tidak berani menatap matanya. Juga tidak ada tanda kalau dia akan bicara lagi. Akhirnya Elysa mengalah.

"Kalau kau cuma diam, bagaimana aku bisa menolongmu?" ujar Elysa lembut. Bingung dan Basil sama sekali tidak cocok menurut Elysa, sama seperti Ren dan mati. Dia tidak bohong pada Ren ketika mengatakan bahwa dia punya softspot untuk Basil. Wajah Basil yang kekanakan membuatnya gemas. Melihatnya gelisah seperti ini membuat Elysa tidak senang.

Basil menunduk dan menghela napas panjang. "Baiklah."

Setelah mengatakan itu, cerita mulai berkeluaran dari mulutnya. Semakin lama mendengar cerita tersebut, Elysa semakin tertarik. Terutama saat mendengar kekuatan dadakan Basil yang sering timbul-tenggelam dan "keanehannya" saat badai. Jadi, kecurigaannya terhadap Basil sejak semalam memang benar.

"Apakah ... aku Caster?" tanya Basil di akhir cerita. Suara bergetarnya membuat Elysa kembali menatap anak itu. Sekali lagi, Basil mengelak dari menatapnya balik.

"Hidupkan Auramu!" perintah Elysa sambil menghidupkan Auranya juga.

Uap biru, uap yang sudah familier sekali dengan dirinya, berkeluaran dari balik gaun Elysa. Matanya beralih pada Basil. Basil juga mengeluarkan uap, kadang uap normal, namun uap berwarna cokelat ikut bercampur dengan uap normal itu. Mata Basil membesar sedikit ketika melihat diri Elysa.

"Belum," kata Elysa sambil terus memperhatikan uap cokelat yang sesekali muncul itu. "Kau masih belum menjadi Caster; kau belum 'Bangun'. Tapi tidak akan lama lagi. Kau bisa melihat uapku?"

Basil mengangguk. "Kadang-kadang, Nona. Setiap muncul, uap birumu sangat jelas sekali."

Elysa mematikan Auranya. Kedinginan yang dirasakannya setiap kali menghidupkan Aura menghilang. Sebagian besar orang yang menghidupkan Aura akan merasa badannya menghangat, namun Elysa malah sebaliknya. Mungkin karena dia Caster Es. Sinar matahari pagi melewati kaca dan menerangi kulit pucatnya, membuat dia agak berkeringat. Elysa tidak suka dengan kehangatan yang dirasakannya, tapi saat memandang Basil, mungkin dia harus 'menghangat' sedikit. Hanya untuk saat ini.

"Sebaiknya kau pergi ke Riege sebelum kau Bangun, Sil," kata Elysa. "Aku akan membantumu mengurus kelengkapannya, kalau kau mau."

"Itu artinya aku akan menjadi Caster, kan?" tanya Basil sambil menerawang ke luar rumah kaca.

"Ya. Caster Tanah, kalau dilihat dari uapmu."

"Mungkin ini terkesan konyol, tapi kemampuan pedangku tidak akan menurun atau hilang kan?"

"Tentu saja tidak. Kemampuanmu mungkin akan meningkat drastis tanpa latihan lagi."

Elysa pasti mengatakan sesuatu yang salah, sebab wajah Basil langsung berubah datar. Dia sempat mendengar Basil bergumam "kurang" atau "curang", lalu anak itu melamun. Sebenarnya ada yang ingin disampaikan Elysa, tapi dia akan membiarkan Basil dengan pikirannya dulu. Kesunyian yang melanda mereka berdua bahkan membuat suara kepakan sayap kupu-kupu ungu di samping Basil terdengar jelas. Elysa mengulurkan tangan. Kupu-kupu itu mendarat di jarinya.

"Apa kau takut?" bisik Elysa.

"Aku tidak takut," sahut Basil cepat. "Aku hanya ... hanya...."

"Merasa ini tiba-tiba?" sambung Elysa.

Basil menghela napas panjang. "Bisa dikatakan seperti itu, Nona." Kupu-kupu ungu itu tiba-tiba terbang ke tangan Basil. Dia berusaha tersenyum. "Aku terlalu tua untuk menjadi Caster kan? Apa di Riege ada siswa yang baru Bangun setelah berumur 15 tahun?"

Elysa menggeleng. Setahunya tidak ada. Rata-rata siswa tahun pertama Riege berumur 10-11 tahun. Elysa sendiri berumur 9 tahun saat pergi ke sana. Dia merupakan salah satu yang termuda di angkatannya. Sedang Basil, mungkin akan jadi yang tertua. Jika dia tidak sibuk dengan hal lain sekarang, seperti Frozen Kingdom dan status hubungannya dengan Ren, Elysa mungkin akan tertarik untuk menyelidiki mengapa Basil lama sekali baru Bangun menjadi Caster.

"Yang tertua masuk Riege adalah Wynter Everton, waktu dia berumur 14 tahun," ucap Elysa. "Tapi itu sudah hampir tiga abad yang lalu. Kau kenal kan dengan dia?"

"Orang yang menemukan cara untuk mengubah mineral-mineral elemen menjadi kristalit," kata Basil setengah tertawa. "Alias pencipta kristalit sendiri."

"Ah, kau kenal."

"Bagaimana tidak, Nona. Dia kan salah satu orang terkenal dalam sejarah."

"Mungkin kau akan menjadi seperti dia," ucap Elysa sambil tersenyum.

Tersenyum kecil, Basil menggeleng. Kupu-kupu biru yang dari tadi berada di jarinya terbang. Mereka berdua terdiam melihat kupu-kupu itu hinggap di sebuah bunga. Wajah Basil masih tetap tampak kebingungan, namun sudah tidak separah tadi.

"Apa aku akan berubah?" tanya Basil tiba-tiba.

"Maksudmu?" Elysa balik bertanya.

"Apakah sifatku akan berubah setelah aku menjadi Caster?"

Elysa tersenyum dan hampir tertawa. Namun dia berhasil menahannya. "Tentu saja tidak. Dari mana kau mendapat info seperti itu?"

Basil menunduk. Elysa dapat melihat lirikan Basil padanya.

Sang Pencipta, dia membandingkan dirinya dengan diriku. Kesenangan kecil yang didapat Elysa tadi langsung menguap. Senyumannya menghilang. Yang dilakukan Basil membuat Elysa mau tak mau mengingat masa lalunya, saat dia masih belum menjadi Caster. Ingatannya masih agak kabur, tapi dia tidak melupakan gadis kecil riang yang selalu berbuat kenakalan dengan Ren, membuat orang tua masing-masing frustrasi. Gadis kecil yang merupakan dirinya sendiri.

Aku bukan lagi anak bodoh itu, pikir Elysa sambil mengepalkan tangannya sekuat mungkin.

Tersenyum paksa, Elysa berkata, "Jangan khawatir. Sifatmu tidak akan berubah kok."

Untunglah Basil tidak menyadari perubahan sikapnya. Anak itu masih terpaku pada masalahnya sendiri.

"Semalam," kata Basil, "aku sempat berpikir untuk menyerang kalian. Kesal, marah, aku seperti bukan diriku saja. Hanya gara-gara kalian berhasil menghancurkan bola itu dan menghilangkan 'kesenangan'-ku."

Elysa menarik napas panjang. "Itu merupakan efek samping saat kau berhasil menggunakan Aura secara langsung untuk pertama kalinya. Kau harus hati-hati Sil. Apalagi saat kau Bangun nanti. Orang di sekitarmu akan merasakah dampaknya."

Basil menoleh. Akhirnya dia berani juga menatap Elysa secara langsung. "Apa maksudmu?"

"Tahan impuls apa pun yang akan keluar dari dirimu saat kau Bangun," ujar Elysa penuh penekanan. "Ini sangat penting, Sil. Kau mungkin akan berusaha menyerang orang di sekitarmu. Itulah alasan aku menyuruhmu ke Riege secepatnya."

Basil menjadi semakin pucat. "Aku kira Caster yang mengamuk saat Bangun cuma rumor saja."

Merasa kasihan, Elysa meletakkan tangannya pada bahu Basil.

"Jangan khawatir. Kalau kau ke Riege, kau bisa menyerang apa pun di sana tanpa merasa bersalah. Mereka telah menyediakan ruangan untuk anak-anak yang Bangun."

Basil menggeleng perlahan.

"Menurutmu, kapan aku akan Bangun?"

Elysa mengangkat bahu. "Entahlah, Sil. Bangun menjadi Caster tidak dapat diprediksi. Banyak yang berusaha memperkirakan itu, namun hasilnya selalu berbeda setiap kali. Saranku, pergilah ke Riege secepat mungkin. Kau tidak akan apa-apa di sana."

Basil menghela napas panjang. "Aku akan memikirkannya."

"Jangan pikirkan lagi. Kau harus pergi ke sana."

"Oke, akan kulakukan. Masuk ke sana tidak mahal, kan?"

Elysa tersenyum kecil. "Untuk Caster, biaya di sana gratis. Kau tinggal pergi ke sana dan nyatakan kalau kau Caster. Atau akan Bangun menjadi Caster. Aku akan membantumu."

"Baiklah, Nona. Tapi aku harus membicarakan ini dengan orang tuaku."

"Bagus," kata Elysa menepuk pundaknya.

Merasa pembicaraannya dengan Basil akan berakhir, Elysa berdiri. Lagi pula hari sudah semakin panas, menurut standar Elysa. Basil mengikutinya tanpa suara. Mereka berdua pun berjalan keluar dari rumah kaca itu.

"Kau akan memberitahu Ren?" tanya Elysa.

"Mungkin saat aku akan pergi ke Riege."

"Dia pasti akan merindukanmu," kata Elysa.

Basil tersenyum kecil. "Setidaknya dia sudah mempunyaimu sekarang, Nona. Ada orang lain yang akan diganggunya lagi."

Elysa menaikkan alis. Menggangguku? Karena suatu alasan, Elysa kesulitan membayangkan Ren melakukan itu. Mungkin karena dia masih memasang jarak terhadap pemuda tersebut.

"Nona?" tanya Basil.

"Hmm?"

"Saat kau Bangun, bagaimana rasanya?"

Elysa berhenti. Menahan kepahitan yang tiba-tiba ingin keluar dari dirinya, dia berkata, "Aku sudah pergi ke Riege ketika itu terjadi." Semoga suaranya terdengar normal. Basil masih berada di belakang, jadi dia tidak melihat perubahan ekspresi Elysa ketika topik itu diangkat.

Trista sudah menunggu di luar rumah kaca. Gadis itu seperti akan menyapanya, tapi tidak jadi.

"Hai, Trista," kata Basil.

"Hai, Sil." Trista tersenyum manis pada Basil. Sepertinya wajah cemberut gadis sudah hilang. Pandangannya beralih pada Elysa. "Nona, dokter sudah membolehkan Anda pulang. Cleva sudah menunggu di kereta dengan Tuan Dies. Anda ingin ke sana sekarang?"

Ren pasti masih tidur. Sebaiknya dia pulang dulu. Elysa pun mengangguk.

♢ ♢ ♢

Matahari sudah mulai merangkak turun ketika Ren akhirnya sadar juga. Warna jingga langit sore masuk ke ruangannya dari jendela yang masih terbuka.

"Di mana aku?" gumam Ren.

Bau obat-obatan dan ruangan jingga yang aslinya pasti putih ini membuat Ren menyadari di mana dia. Apalagi setelah melihat kubah rumah kaca dari balik jendela. Oh, benar. Dia berada di rumah sakit setelah mengantar Elysa. Lalu dia pingsan, kan?

Ren duduk di tepi ranjang sambil memegang kepala. Tubuhnya terasa segar, tapi kepalanya masih pusing. Dia mengambil segelas air yang ada di meja dan meneguk habis minuman itu. Dia mencari lagi minuman lain, tapi cuma segelas tadi yang ada di sini.

Suara pintu yang terbuka membuatnya mendongak. George masuk dan tersenyum.

"Tuan Muda sadar juga," kata George. "Tapi Anda harus beristirahat dulu. Jangan terlalu banyak bergerak."

Ren menggelengkan kepala, menghilangkan kabut dalam pikirannya. "Aku baik-baik saja, George." Ren lalu merenggangkan tubuhnya. Ya, dia baik-baik saja. Walaupun kepalanya masih agak pusing, tapi tubuhnya.... Dia bahkan tidak pernah merasa sesehat ini.

"Saya panggil Dokter Colton dulu," ucap George. "Ada yang Anda perlukan?"

"Tidak. Oh, ambilkan aku air," kata Ren melihat langit dari jendela kamarnya. "Berapa lama aku tidak sadarkan diri?"

"Sudah dua hari, Tuan Muda," kata George.

Ren hampir menjatuhkan vas bunga di sampingnya. Lama sekali?

"Aku harus membuatmu terus tidur supaya penyembuhanmu bisa lebih cepat," kata seseorang dalam kepalanya. Apa—? Bunyi vas yang menghantam lantai membuat Ren sadar. Matanya berkeliling memperhatikan sekitarnya. Ada pedang putih di sudut ruangan, cincin itu di jari kirinya, dan ketika Ren menoleh ke samping bantal, seekor merpati putih telah berada di sana. Lucia.

"Apa...?" gumam Ren lagi ketika melihat Lucia.

"Dua hari," kata George.

"Eh, bukan George. Mungkin kamu harus mencarikan aku makanan terlebih dahulu. Aku lapar," kilah Ren. "Dan cari penyapu untuk membersihkan ini."

George mengangguk hormat sebelum keluar dari ruangan itu. Ren langsung berdiri dari ranjang dan mengunci kamarnya. Dia menoleh Lucia, lalu terduduk lagi di sisi ranjang.

"Kau bukan mimpi," kata Ren pelan.

"Tentu saja bukan." Lucia terbang ke samping Ren.

"Aku kira semua kejadian kemarin itu mimpi. Mimpi yang fantastis sekali."

"Tidak, Ren. Semuanya nyata."

Ren memperhatikan cincin yang sudah melekat di tangan kirinya. Pandangannya beralih ke pedang di sudut ruangan.

"Kita dihubungkan oleh cincin itu," gumam Lucia. "Dan itu adalah pedangmu sekarang."

Mengapa dia setuju saja saat Lucia ingin keluar? Apakah karena dia kasihan pada Lucia? Apakah karena Lucia adalah Anima, dan dia punya banyak pertanyaan untuk memuaskan keingintahuannya? Atau dia tergoda dengan kecantikan Lucia sampai akal sehatnya mengkhianati dirinya? Ren harus mengakui kalau Lucia dalam bentuk Anima sangat cantik sekali, dengan kulit putih bersinar dan rambut keperakan. Dia berhasil menggeser Viviana Harnish ke posisi ketiga dan Elysa menjadi posisi keempat dalam daftar "10 Wanita Tercantik"-nya. Ren langsung menjambak rambut. Sang Pencipta, sempat-sempatnya aku berpikir seperti itu.

Mungkin Lucia sudah mempengaruhi pikirannya agar Ren membawa dia keluar.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan," kata Lucia. "Aku tidak membuatmu melakukannya."

"Kejadian semalam terasa jauh sekali. Bagai mimpi," ujar Ren pelan.

"Kau akan membantuku menemukan mereka, kan?" tanya Lucia.

Ren mengambil Lucia dari sampingnya. Dia bertatapan dengan merpati itu. Saat ini dia tidak merasakan Lucia mengutak-atik emosinya. Setelah terasa lama sekali, akhirnya Ren berkata, "Baiklah." Semoga aku tidak menyesali ini. "Tapi aku memiliki banyak pertanyaan yang harus kau jawab. Dan aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk menemukan teman-temanmu."

Buku yang ingin Elysa lengkapkan itu tiba-tiba melintas di pikiran Ren. Mungkin buku itu bisa membantunya.

"Terima kasih Ren," kata Lucia sambil terbang ke bahu kanannya.

"Apa kau tidak bisa menghubungi mereka dengan kemampuan telepatimu?"

"Dengan kekuatanku sekarang, aku cuma bisa berhubungan dengan orang yang memakai cincin itu. Aku punya hubungan telepati dengan Herol, namun dia tidak pernah membalas. Dia ikut tertidur, mati atau dia menutup diri dari telepati."

Ren mengangguk, walau dia tidak terlalu mengerti. Mencari Anima-Anima yang sudah menghilang dari dunia, ya? Hei, ini peluang yang bagus. Semangat Ren naik. Dia memperhatikan cincin yang sudah menemaninya beberapa hari ini dan langsung teringat dengan kristalit yang padam. Lucia mengatakan kalau itu ada kaitannya dengan Aura Revaris. Mungkin dia bisa menemukan solusi permanen untuk kristalit cahaya yang padam saat pencarian.

Namun sebelum itu, dia harus mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Dia tidak mau berpetualang dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mengejar rumor.

"Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan," kata Lucia. "Ambil Eaden!"

Ren mengambil pedang itu sambil tersenyum. Lukisan semalam mengingatkannya pada siapa sebenarnya pemilik asli pedang itu.

"Ini pedang Altair," kata Ren. Dia memperhatikan lagi pedang itu seperti belum pernah melihatnya.

"Ya," kata Lucia.

Altair merupakan tokoh dalam dongeng-dongeng kepahlawanan. Setiap anak di Thrusia, atau Revaris Timur pasti sudah pernah mendengar cerita tentang dirinya. Bagaimana dia mengalahkan Caster-Caster jahat, makhluk-makhluk yang membuat kerusakan dan berbagai cerita heroik lainnya. Dongeng pengantar tidur yang seru. Saat dia masih kecil, ibunya selalu menceritakan dongeng-dongeng itu sebelum Ren tidur.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu Ren mulai melupakan semua itu. Dia tidak punya waktu untuk dongeng lagi. Tapi lihatlah sekarang.

"Dia nyata," gumam Ren.

"Kau selalu mengatakan itu," balas Lucia. "Tentu saja dia nyata. Dia merupakan...."

Lucia tidak melanjutkan ucapannya. Dia malah memandang ke luar jendela. Ren ingin mendengar apa yang akan dikatakan Lucia, namun tidak mau bertanya, takut hal itu akan memancing kemarahannya atau apa.

"Jadi, apa yang ingin kau tunjukkan?" tanya Ren.

"Trik-trik yang dimiliki pedang itu."

Ren menaikkan alisnya. Bagus sekali, sekarang dia mengikuti kebiasaan Elysa.

"Berikan Auramu pada cincin itu," perintah Lucia.

"Tidak akan terjadi apa-apa. Aku dan teman-temanku sudah mencoba melakukannya dulu."

Wajah Lucia yang tersenyum tiba-tiba muncul dalam pikiran Ren. Wajah Lucia dalam bentuk Animanya. Cara baru untuk mengekspresikan diri, pikir Ren.

"Aku tidak mungkin tersenyum dengan bentuk burung kan?" tanya Lucia.

"Eh, benar."

"Jadi, berikan Auramu."

Ren menghidupkan Aura. Seperti saat menghidupkan kristalit, dia juga menyalurkan Auranya pada cincin itu. Tidak terjadi apa-apa. Sama seperti saat dia melakukannya dengan Hein dan Basil beberapa hari yang lalu.

"Sekarang sentuhkan cincin itu pada Eaden."

Ren melakukan yang disuruh. Saat bersentuhan dengan cincin itu, tiba-tiba Eaden menghilang. Ren membuka genggaman tangannya yang tadi memegang Eaden. "Apa yang terjadi?"

"Sekarang, pikirkan kalau Eaden berada di tanganmu lagi."

Meskipun kurang yakin, Ren melakukan apa yang disuruh Lucia. Setelah berpikir seperti itu, Eaden muncul lagi di tangannya. Pedang itu terjatuh karena Ren tidak langsung mengepalkan tangannya ketika ia muncul. Bagaimanapun, Ren tetap bersiul sambil mengangkat Eaden kembali.

"Sealing tingkat dasar," kata Lucia ketika Ren menatapnya meminta penjelasan. "Cincin itu dan Eaden merupakan media untuk melakukan Sealing."

"Sealing?" Ren pernah mendengar Elysa mengatakan itu. Sealing merupakan bagian dari aucast yang belum dikuasai Elysa, kalau tidak salah.

"Kau tidak tahu dengan Sealing?" Lucia tampak keheranan. Tapi dia tetap melanjutkan, "Sealing membuat suatu benda—benda dan makhluk apapun yang mempunyai Aura—berubah menjadi Aura dan tersegel di media yang dijadikan target Sealing. Seperti Eaden, si cincin mengubah Eaden menjadi Aura, lalu menyimpannya dalam cincin itu. Saat kau berpikir tentang Eaden lagi, cincin akan mengubah Eaden menjadi pedang kembali."

Berapa banyak hukum fisika yang dilanggar oleh hal ini? Ren menggeleng. Banyak sekali.

"Apakah ini artinya aku bisa melakukan Sealing?" Well, apa reaksi Elysa tentang itu?

"Tidak juga. Seperti yang sudah kukatakan, cincin itu mengambil energi dari Aura Revaris dan Auramu sendiri," jelas Lucia. "Yang jelas, bukan kamu yang melakukan Sealing, melainkan cincin itu."

Ren menggelengkan kepalanya. "Mengapa yang seperti ini tidak kau ceritakan dari semalam?"

"Maksudmu dua hari yang lalu? Kau terlalu marah karena seluruh rahasiamu berhasil kuketahui."

Ren berbaring lagi di ranjang. Lucia terbang ke dadanya. Sampai saat ini, Ren masih percaya kalau dia berada di bawah kendali Lucia. Mungkin karena itu dia santai-santai saja di depan Anima yang seharusnya pernah menguasai dunia ini. Hah, alasan mengapa dia langsung setuju menolong Lucia bisa jadi karena Lucia "mempengaruhi"-nya.

"Seperti yang kukatakan, aku tidak melakukan itu."

Aku ingin privasiku kembali. Dia sekarang bahkan tidak bisa berpikir yang aneh-aneh lagi, karena pasti akan ketahuan oleh Lucia.

"Kau akan mendapatkannya, kalau berhasil membuatku bertemu Herol."

Ren terdiam beberapa saat. Dia lalu mengangkat Eaden, meneliti pedang berwarna putih itu. "Tadi kau mengatakan Eaden juga media Sealing."

"Benar," kata Lucia.

Tanpa disuruh, Ren memberikan Auranya pada pedang itu. Dia lalu menyentuhkan cincin pada Eaden. Cincin itu pun menghilang. "Ia ter-Sealing dalam Eaden, kan?"

"Kau sudah tahu," kata Lucia sambil terbang. Ren memikirkan cincin itu lagi, dan benda itu kembali muncul di jarinya. Hmm, apa saja yang bisa dimasukkan dalam cincin ini? Lucia mengatakan sesuatu tentang Aura. Kalau begitu, buku tidak mungkin bisa di-Sealing. Benda apa yang memiliki Aura? Kristalit. Kristalit pasti bisa. Ren mengecek kamar. Tas kristalitnya pasti masih tertinggal dalam gua. Apalagi, ya?

Lamunan Ren terhenti ketika George mengetuk pintu. Dia meletakkan Eaden di samping ranjangnya dan membuka pintu itu. George masuk membawa makanan, minuman dan penyapu, diikuti oleh Dokter Colton.

"Bagaimana keadaan Anda, Tuan Muda?" tanya Dokter. Dokter berpakaian putih, berkaca mata, wajah agak persegi dengan rambut yang sudah agak beruban itu memandang Ren dari atas ke bawah.

"Aku tidak pernah merasa sesehat sekarang, Dokter," kata Ren. Dia merenggangkan tangannya. Waktu itu kau mengatakan tidak bisa menyembuhkanku, pikir Ren sambil mengacungkan Eaden ke jendela.

"Menyembuhkanmu saat kau terjaga," balas Lucia. "Alasan mengapa aku membuatmu tertidur selama dua hari berturut-turut."

Lucia terbang ke ujung Eaden. "Bahkan merpatiku juga setuju kalau aku sehat," kata Ren.

Dokter Colton tampak skeptis. "Baiklah kalau begitu," kata Dokter sambil memberinya obat. "Tulang Anda sepertinya sudah sembuh dengan sendirinya. Menakjubkan, saya harus berkata demikian."

Ren cuma mengangguk. Dia tidak mungkin memberitahu kalau Lucia mempunyai peranan dalam penyembuhannya. Sewaktu dia akan menceritakan Lucia pada Basil di gua, Anima itu langsung menolak.

"Baiklah, saya permisi dulu," kata Dokter Colton. "Sebaiknya Anda tinggal di sini untuk sementara, Tuan Muda. Supaya kami bisa memantau perkembangan kesehatan Anda." Setelah mengatakan itu, dokter tersebut pun keluar.

"Dia tidak percaya padamu," kata Lucia.

"Tentu saja," balas Ren.

Matahari akhirnya tenggelam di kaki langit. George meletakkan tangannya pada sebuah kabel. Kristalit cahaya yang berada di langit-langit langsung menyala. Ren mengambil minuman yang dibawa George dan meneguknya sampai habis. Setelah itu dia berjalan mendekati jendela dengan Lucia di bahunya, sementara George membersihkan vas bunga yang pecah itu.

Ren mendongak ke langit. Awan hitam sudah mulai menutupi setengah angkasa, namun dua buah bintang yang belum ditutupi awan gelap itu bersinar terang sekali sampai hampir menyamai sinar bulan. Ren menelan ludah. "Sejak kapan kedua bintang itu bersinar seterang ini?"

"Wah, Anda baru menyadarinya Tuan Muda? Sejak Badai yang terakhir kalau tidak salah."

"Supernova?" gumam Ren.

"Tidak, tapi sesuatu yang lebih buruk lagi," desis Lucia yang ikut menatap bintang-bintang itu. Awan hitam akhirnya menutup keduanya, tapi sinar mereka masih tampak. Angin malam mulai masuk ke ruangan. Ren bergidik.

Apa maksudmu?

Angin malam kembali bertiup kencang. Sepertinya akan ada badai. Ren menggigil. Jantungnya berpacu lebih kencang daripada biasa. Keringat dingin bermunculan. Bulu kuduknya berdiri dan tangannya gemetaran. Ada yang salah di udara. Gerakan angin, gerakan awan gelap itu, semuanya tampak aneh. Tapi apa yang salah? Mengapa dia baru merasakan ini sekarang? Dan mengapa dia ... takut? Beberapa saat kemudian Ren baru menyadari kalau bukan dia yang takut, melainkan Lucia. Ketakutan Lucia menjalar padanya.

"Awan-awan itu digerakkan seseorang," bisik Lucia.

Apa?

Lucia tidak menjawab. Sepertinya dia sudah menguasai diri sekarang. Perasaan ada yang "salah" dengan sekitarnya menghilang. Tapi napas Ren tetap memburu. Dia kembali menatap langit. Pandangannya terarah pada salah satu dari dua bintang itu, bintang yang berwarna biru. Eaden tiba-tiba bersinar, walau cukup lemah.

"Ada yang akan datang ke sini, Ren. Sesuatu yang buruk."

✓✓✓

AN:

Phiew, akhirnya selesai juga.

Untuk informasi tambahan, saya telah membuat sebuah appendix/wikia/glossary tentang cerita ini. Bisa dilihat di profil saya, judulnya "Aura of Revaris : The Appendix". Di sana ada peta Revaris yang lebih lengkap, penjelasan tentang aucast dan Anima yang (tidak) menyeluruh, dan sejenisnya. Benar kata saudara BlindTyper, membuat itu menyebabkan kesuntukan saya dalam menulis ini jadi hilang.

Seperti biasa, vote kalau suka dengan chapter ini. Komen kalau ada saran dan kritikan.

See you next!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top